"Apa yang kau lakukan dengan pakaian seperti ini?" geramnya, dengan setengah berbisik.
"Mengantarkanmu makan siang," sahutku, sembari menepis pegangannya.
"Pulanglah! Ada banyak pria di sini."
" Memangnya kenapa, Fi?" Aku pura-pura tak mengerti.
"Kau tidak lihat cara mereka memandangmu?"
"Tentu saja. Aku memang cantik, bukan? Wajar kalau mereka tertarik melihatku."
"Aku bilang pulang!" perintahnya lagi.
"Tidak mau!"
Aku menjauh dan duduk di kursi bambu di antara kedua pria yang sedang menunggu giliran untuk dieksekusi.
"Punya rokok?" tanyaku dengan suara menggoda.
Mereka tersenyum. Lalu keduanya bergerak cepat merogoh kantong masing-masing. Aku tersenyum lebar, saat kedua bungkus rokok berbeda merek itu kini berada di hadapanku. Tanganku mulai menyentuh benda itu, sampai sebuah tangan besar menyambar, dan mengambil keduanya.
"Kami akan tutup. Kalian pulanglah!" ucap Kahfi ket
Huek... huek...Aku mengeluarkan semua isi perutku. Kegiatan rutin yang selalu menyiksaku setiap pagi. Ouch... ini menyebalkan. Aku kembali ke kamar dan berbaring. Menghirup aroma minyak kayu putih yang tak bisa lepas dari genggamanku."Minumlah." Kahfi membawakan segelas air hangat seperti biasa. Aku bangkit dan meraih pemberiannya."Sampai kapan aku seperti ini, Fi?" rintihku, meneguk air yang dibawanya."Sabarlah. Paling lama hanya tiga bulan. Setelah itu kau akan baik-baik saja," ucapnya lembut sembari memijat keningku."Tiga bulan? Itu terlalu lama, Fi. Ini bahkan baru beberapa minggu saja," rengekku manja, menjatuhkan kepala di bahunya.Dia tertawa kecil."Memangnya apa yang ingin kau lakukan? Kau bisa minta padaku. Nanti aku yang bawakan." Ia merangkul dan mengusap bahuku."Aku ingin jalan-jalan keluar. Tapi setiap aku berdiri, rumah ini terasa seperti berputar. Apa semua
Tak jauh berbeda dengan Erik. Ia sudah mengakui perbuatannya dulu pada Papa. Mengakhiri hubungannya denganku begitu saja, hanya agar tak ada halangan yang membuat Papa membatalkan niat untuk menikahi Mamanya.Ia mengakui, saat itu hidup mereka benar-benar sedang terpuruk. Papanya mengusir mereka dari rumah dan tak mendapatkan apapun karena Tante Winda tetap bersikukuh meminta cerai.Ya, wanita mana yang sanggup hidup seperti itu. Selalu diperlakukan kasar dan juga di khianati. Dan keputusan Papa untuk menikahi dan kembali mengangkat derajat mereka, benar-benar perbuatan yang mulia. Sayangnya, aku baru menyadari hal itu sekarang.Erik mengakui semua penyesalannya. Bahwa ia telah mengorbankan rasa cintanya dan juga telah melukai perasaanku. Hubungan yang kami jalin sejak masa pubertas harus hancur karena takutnya ia akan kemiskinan. Dan itu sangat menyakitiku hatiku saat itu.Penyesalan? Ya. Dia begitu menyesal karena a
Plak!Sebuah tamparan keras mendarat di pipi glowingku. Membuat rambut lurus berwarnaku sedikit tersibak. Aku tersenyum sinis, melihat laki-laki paruh baya bergaya necis yang kini berada di depanku, dengan wajah merah menahan amarah.Mataku berkeliling mengitari mereka yang berlagak baik dan ingin membelaku, namun tak mampu. Mata mereka berkaca-kaca, mencoba memberikan isyarat bahwa aku harus meminta maaf dan segera memperbaiki kesalahanku. Munafik betul makhluk-makhluk itu.Aku terus menantang, meski diam. Masih bergeming dengan sorot mata tajam, tanpa air mata. Aku lelah menangis sejak tujuh tahun yang lalu, di hadapan...nya."Bikin malu! Tidak punya harga diri. Kau senang ditonton semua orang? Kau sengaja mempermalukan Papa, ha? Dasar gadis liar. Bereskan masalahmu, atau angkat kaki dari rumah ini!"Oh, good. Kenapa tak dari dulu kulakukan hal itu. Dengan begitu, aku punya alasan untuk pergi dari neraka ini.Aku be
Ayo, minum!" Aku kembali meminta, setelah pasiennya pergi. Dia kini mengambil tempat di sebelahku, juga menyulut rokok."Pipimu bengkak. Kau dipukul?""Ya.""Kenapa kau lakukan itu?""Apa? Memajang foto polosku?" Aku tergelak. "Kau melihatnya? Aku seksi, kan?""Gila!" Dia berdecih."Yes, Fi. I am crazy. Aku benar-benar sudah gila tinggal di rumah itu.""Kenapa? Kulihat mereka memperlakukanmu dengan baik.""Oh, shit, Kahfi." Aku mendorong bahunya. "Kau juga tertipu rupanya."Dia menggelengkan kepala, sembari membuang asap rokoknya."Apa lagi yang kau tunggu. Tutup kedaimu.""Kau gila. Ini masih pagi. Kau mau minum apa? Jamu?""Oh, ya ampun, Fi. Ini sudah hampir jam dua belas. Kalau tak mau minum, kau bisa temani aku makan.""Kau saja, makan siangku sudah datang." Dia bangkit penuh senyuman, menyusul seorang gadis berseragam SMA yang berjalan menuju ke arah kami.Sepertinya ga
Dia sedikit terdiam, kemudian mendorong bahuku agar terlepas dari bibir seksinya. Uh, manis sekali."Apa yang kau lakukan?" ucapnya, setengah membentak."Menciummu. Kau tak sadar?" Aku tertawa geli.Lalu terdengar suara batu berbenturan, bekas langkah gadis yang tadi menyaksikan aksi kami. Kahfi langsung menoleh ke belakang. Raut wajahnya kembali gusar, melihat kekasihnya setengah berlari sambil mengusap air mata. Dasar cengeng!Pria berpostur tinggi tegap itu langsung mengambil langkah untuk menyusulnya. Meninggalkanku begitu saja tanpa bilang permisi. Dimana sopan santunnya. Tapi kurasa dia terlambat, pintu rumahnya sudah tertutup dari dalam. Ouh, kasihannya temanku itu.Pasti gadis itu sedang berdiri bersandar di balik pintu, menutup mulut agar suara tangisnya tak terdengar dari luar. Tempat si bodoh itu berdiri dan mengetuk dengan pelan. Klise, aku sudah sering melihat adegan seperti itu di drama-drama menyedihkan.
Jadi kau benar-benar iri padanya? Setelah sekian lama? Ke mana saja kau selama ini saat aku tengah bersamanya?""Tapi baru malam itu aku melihatmu menciumnya. Apa kau menikmatinya? Atau hanya mengerjainya?""Oh, shit. Brengsek kau, Erik. Kau memata-mataiku?" Aku memukul dadanya secara brutal.Dia tak melawan. Hanya terkadang sedikit mendongak, agar aku bisa lebih leluasa memukulinya."Tak perlu menunggu kau mabuk jika ingin mendapatkanmu. Kalau aku mau, saat ini pun aku bisa memaksamu melakukannya," geramnya, sambil menangkis dan mendapatkan kedua tanganku di genggamannya. Lalu mendorong tubuhku ke atas ranjang hingga terduduk, hampir terlentang.Dia terus menatapku dengan tajam, tentu saja aku semakin menantang. Pantang bagiku terlihat lemah dan takut di hadapan mereka. Lalu ia pun bergegas keluar dan membanting pintu.Fiuhh... aku selamat.*Aku kembali mengunjungi kios Kahfi usai melakukan pemot
Kau sudah tidak waras, Key. Tanggung jawab seperti apa itu?" Dia menekan ujung rokoknya di atas kursi hingga padam."Kau seharusnya senang, Fi. Kau sangat beruntung bisa mendapatkan aku," sahutku penuh percaya diri. Dia terkekeh mendengarnya."Kenapa kau tertawa? Kau pikir aku bercanda? Ayo temui Ibumu. Aku akan bicara padanya."Dia semakin tergelak sampai menggelengkan kepalanya. Dasar sialan."Mabukmu belum juga hilang rupanya. Biar kubuat kau agar sadar." Dia bangkit, sambil mengambil semprotan air yang biasa ia gunakan untuk membasahi rambut atau membersihkan wajah pelanggannya."Hentikan itu, Fi. Aku tidak mabuk. Kau membuatku basah. Dasar sialan!" umpatku, sambil merebut benda yang digunakannya itu."Oh, begitu. Baiklah. Jadi kau sudah sadar? Kurasa kau ingin sekali menikah denganku, ya? Kau iri karena aku punya pacar?""Kalian baru putus. Kau yang sudah tidak tahan ingin menikah. Jadi aku berbaik h
Kau tidak serius soal menikahi Kahfi, kan?" cecarnya tanpa basa-basi lagi."Bukan urusanmu. Kau sudah melihat kami berciuman. Masih bilang aku bercanda?""Kau hanya bermain-main, Key. Kau hanya ingin membuat Papamu marah. Kau sudah gagal. Jadi, cepat batalkan niatmu itu.""Memangnya kau siapa, berani mengatur hidupku?""Aku mengenal semua teman kencanmu, Key. Kahfi bukan termasuk kriteria seperti mereka.""Sudah kubilang jangan menilai Kahfi di depanku. Tentu saja dia berbeda dari para bedebah itu. Mereka tak sama, dan aku tidak ingin kehilangan laki-laki seperti dia.""Pikirkan lagi, Key," ucapannya sedikit melunak. "Jangan anggap pernikahan seperti mainan yang biasa kau mainkan. Kau bisa menyakiti perasaannya.""Oh, my brother. Mulia sekali hatimu," sindirku dengan nada mendayu. "Kau sedang memikirkan perasaannya, atau perasaanmu?" Telunjukku kini telah menempel di dagunya.Aku mendekatkan wajah, merasakan h
Tak jauh berbeda dengan Erik. Ia sudah mengakui perbuatannya dulu pada Papa. Mengakhiri hubungannya denganku begitu saja, hanya agar tak ada halangan yang membuat Papa membatalkan niat untuk menikahi Mamanya.Ia mengakui, saat itu hidup mereka benar-benar sedang terpuruk. Papanya mengusir mereka dari rumah dan tak mendapatkan apapun karena Tante Winda tetap bersikukuh meminta cerai.Ya, wanita mana yang sanggup hidup seperti itu. Selalu diperlakukan kasar dan juga di khianati. Dan keputusan Papa untuk menikahi dan kembali mengangkat derajat mereka, benar-benar perbuatan yang mulia. Sayangnya, aku baru menyadari hal itu sekarang.Erik mengakui semua penyesalannya. Bahwa ia telah mengorbankan rasa cintanya dan juga telah melukai perasaanku. Hubungan yang kami jalin sejak masa pubertas harus hancur karena takutnya ia akan kemiskinan. Dan itu sangat menyakitiku hatiku saat itu.Penyesalan? Ya. Dia begitu menyesal karena a
Huek... huek...Aku mengeluarkan semua isi perutku. Kegiatan rutin yang selalu menyiksaku setiap pagi. Ouch... ini menyebalkan. Aku kembali ke kamar dan berbaring. Menghirup aroma minyak kayu putih yang tak bisa lepas dari genggamanku."Minumlah." Kahfi membawakan segelas air hangat seperti biasa. Aku bangkit dan meraih pemberiannya."Sampai kapan aku seperti ini, Fi?" rintihku, meneguk air yang dibawanya."Sabarlah. Paling lama hanya tiga bulan. Setelah itu kau akan baik-baik saja," ucapnya lembut sembari memijat keningku."Tiga bulan? Itu terlalu lama, Fi. Ini bahkan baru beberapa minggu saja," rengekku manja, menjatuhkan kepala di bahunya.Dia tertawa kecil."Memangnya apa yang ingin kau lakukan? Kau bisa minta padaku. Nanti aku yang bawakan." Ia merangkul dan mengusap bahuku."Aku ingin jalan-jalan keluar. Tapi setiap aku berdiri, rumah ini terasa seperti berputar. Apa semua
"Apa yang kau lakukan dengan pakaian seperti ini?" geramnya, dengan setengah berbisik."Mengantarkanmu makan siang," sahutku, sembari menepis pegangannya."Pulanglah! Ada banyak pria di sini."" Memangnya kenapa, Fi?" Aku pura-pura tak mengerti."Kau tidak lihat cara mereka memandangmu?""Tentu saja. Aku memang cantik, bukan? Wajar kalau mereka tertarik melihatku.""Aku bilang pulang!" perintahnya lagi."Tidak mau!"Aku menjauh dan duduk di kursi bambu di antara kedua pria yang sedang menunggu giliran untuk dieksekusi."Punya rokok?" tanyaku dengan suara menggoda.Mereka tersenyum. Lalu keduanya bergerak cepat merogoh kantong masing-masing. Aku tersenyum lebar, saat kedua bungkus rokok berbeda merek itu kini berada di hadapanku. Tanganku mulai menyentuh benda itu, sampai sebuah tangan besar menyambar, dan mengambil keduanya."Kami akan tutup. Kalian pulanglah!" ucap Kahfi ket
Aku berjalan gontai keluar dari Rumah Sakit. Pembicaraan dengan dokter Satya bagai suatu hal yang tak masuk di akal bagiku. Apa dia sudah tahu selama ini, jika Elena telah mengalami gangguan. Itukah yang ia dapat dari konsultasi mereka beberapa waktu yang lalu?Kupikir semua baik-baik saja, dan berjalan dengan lancar. Tanpa kutahu, Dokter muda itu telah menangkap gelagat aneh dari dirinya. Ditambah lagi dengan pengakuanku yang tak sengaja didengarnya waktu itu.Oh my God, ini benar-benar gila. Si jalang itu benar-benar gila telah berani merayu suami orang, dan tak ingin melepaskannya begitu saja.Bitchi!Aku terduduk lemas begitu sampai di balik kemudi mobil. Menyandarkan punggung demi merenggangkan urat syarafku yang dari tadi menegang. Teringat apa yang dikatakan Dokter Satya di ruangan tadi."Awalnya memang benar ini soal hutang piutang. Papaku menangguhkan pinjaman karena Elena memohon. Papa tak tega melihatnya,
"Yes, Dokter?" jawabku tanpa berbasa-basi."Bisa kita bertemu?" pintanya dari kejauhan.Oh, shit. Kenapa dia harus memanggilku di saat yang tidak tepat. Membuatku merasa dilema, antara mengantarkan makan siang Kahfi atau mengurus Elena.Aku segera mengganti pakaian dan mengambil tasku. Aku harus tahu bagaimana nasib Elena selanjutnya. Jika Dokter itu tak bisa mengatasi bajingan itu, aku sendiri yang akan datang mengancamnya.Baru saja aku hendak keluar menuju teras depan, saat kulihat Kahfi sudah masuk dan kembali menutup pintu. Sudah hampir jam dua. Dan ini terlalu lambat untuk makan siang.Kedua mata kami saling bertemu. Membuatku rindu dan ingin sekali memeluknya. Lalu bagaimana jika tiba-tiba ia menolak dan mendorongku? Tidakkah hal itu sangat memalukan untuk wanita sepertiku?"Aku keluar sebentar," ucapku memberi tahu. "Hanya sebentar saja.""Bukankah sudah kubilang lakukan sesukamu?" s
"No, Kahfi. Kau tidak bisa bicara seperti itu padaku. Kau sudah berjanji. Kau tidak boleh memperlakukan aku seperti ini."Dia langsung membuang pandangan. Membuat hatiku terasa begitu perih. Tidak. Ini tidak nyata. Kahfi pasti sedang bercanda."Pulanglah! Aku tak ingin kita saling menyakiti lagi," ucapnya tanpa berbalik."Aku tidak mau. Itu rumahku. Kau tidak punya hak mengusirku," ucapku dengan bibir bergetar.Dia kemudian berbalik dan memandangku. Menatapku dengan tatapan kosong."Jangan lagi bohongi dirimu sendiri, Key. Sandiwara ini tak akan pernah berhasil. Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan. Pulanglah, aku melepasmu.""Tutup mulutmu, sialan! Aku tak mau mendengar kata-kata itu lagi. Kau jahat. Aku membencimu. Kalau kau tak ingin bersamaku lagi, kau saja yang pergi. Aku akan tetap tinggal di rumah itu." Dadaku kembang kempis menahan sesak."Hentikan omong kosongmu, Key. Untuk apa kau
Aku mengangkat pelan tangan ke udara. Bergerak perlahan mendekati kembali untuk mengusap wajahnya."Maaf," ucapku setengah berbisik. Ia mundur selangkah, sebelum tangan ini berhasil menyentuhnya.Aku tertunduk dengan tangis yang tak dapat lagi kutahan. Menjatuhkan kembali tanganku dan mengepalnya dengan kuat. Apa yang telah kulakukan? Bukan hanya hatinya yang kini telah kulukai. Ia berlalu pergi. Meninggalkanku yang kini terduduk lemas menangisi diri..Malam telah larut. Namun mata masih belum dapat terpejam. Aku berbaring di atas karpet, menanti suamiku yang belum juga pulang. Berharap ia mulai tenang, dan melupakan semua kejadian ini. Bahkan aku berharap ini semua bagian dari sebuah mimpi.Kulirik jam analog di dinding kamar. Sudah hampir tengah malam. Apa yang ia lakukan di luaran sana. Mungkin dia sedang berada di kiosnya. Ini sudah terlalu malam. Aku harus menyusul dan mengajaknya pulang.Baru sa
Aku bergegas menghubunginya kembali. Dan sekarang ponselnya benar-benar tidak aktif sama sekali. Ada apa lagi dengannya? Aku bergegas masuk dan menemui Papa di ruang kerjanya. Ia harus menjelaskan semuanya padaku saat ini juga."Apa yang Papa bicarakan dengan Kahfi?" Aku langsung bertanya begitu melihat Papa bersandar di kursi kerjanya. Tempat dimana aku dan dia baru saja berdamai pagi tadi.Kulirik kunci mobil Kahfi terletak begitu saja di atas meja. Apa ini? Perasaanku benar-benar terasa kacau."Papa hanya menuruti apa yang membuatmu bahagia, Key. Tak akan pernah lagi membuatmu kehilangan orang yang kau cintai.""What?""Ada apa? Apa Papa telah membuat kesalahan lagi?"Oh my God!Tentu saja Papa telah membuat kesalahan besar. Ia sangat berterima kasih pada Kahfi karena telah rela mengorbankan kebebasannya untuk menikahiku.Papa juga menceritakan apa yang diucapkan Erik saat mabuk, dan semua perca
Mereka berdua sesenggukan menahan tangis. Kulihat Tante Winda tertunduk dengan isakan yang juga tertahan. Tak perlu lagi aku bertanya, apakah sikapnya tulus atau tidak. Aku tak butuh jawaban. Aku tak harus tahu. Dan aku sama sekali tak peduli."Jangan ikut campur urusan keluargaku, Key!" Erik kembali berbalik dan menantangku."Mereka juga bagian dari keluargaku," balasku, ikut menantang ucapannya. Dia berdecih."Drama apalagi kali ini? Bukankah seharusnya kau senang? Akhirnya kau bisa bebas dari benalu seperti kami.""Seharusnya memang seperti itu. Tapi sudah terlambat. Kalau ingin menyingkir kenapa tak dari dulu saja? Begitu ada masalah, kau langsung melarikan diri. Kau sama sekali tak pernah berubah. Pengecut. Dasar lemah!" sinisku.Matanya menyipit memandangku. Mungkin merasa terhina karena aku benar-benar telah merendahkannya. Ya, sama seperti waktu itu. Mundur teratur dan melarikan diri dari hubungan kami.