Kau tidak serius soal menikahi Kahfi, kan?" cecarnya tanpa basa-basi lagi.
"Bukan urusanmu. Kau sudah melihat kami berciuman. Masih bilang aku bercanda?"
"Kau hanya bermain-main, Key. Kau hanya ingin membuat Papamu marah. Kau sudah gagal. Jadi, cepat batalkan niatmu itu."
"Memangnya kau siapa, berani mengatur hidupku?"
"Aku mengenal semua teman kencanmu, Key. Kahfi bukan termasuk kriteria seperti mereka.""Sudah kubilang jangan menilai Kahfi di depanku. Tentu saja dia berbeda dari para bedebah itu. Mereka tak sama, dan aku tidak ingin kehilangan laki-laki seperti dia."
"Pikirkan lagi, Key," ucapannya sedikit melunak. "Jangan anggap pernikahan seperti mainan yang biasa kau mainkan. Kau bisa menyakiti perasaannya."
"Oh, my brother. Mulia sekali hatimu," sindirku dengan nada mendayu. "Kau sedang memikirkan perasaannya, atau perasaanmu?" Telunjukku kini telah menempel di dagunya.
Aku mendekatkan wajah, merasakan hembusan napasnya yang terasa bergemuruh. Matanya sedikit terpejam, menikmati sentuhan meski hanya dari sebuah jari.
"Kau cemburu, Erik?" Dia kembali membuka matanya. Memandangku dengan tatapan penuh harap.
"Ya. Kau sudah tahu tentang itu."
"Hmmm... itukah sebabnya kau memintanya untuk melapor padamu, saat aku sedang mabuk?"
"Ya. Aku memang memintanya."
Aku meniup wajahnya dengan kasar, kemudian mendorong tubuhnya menjauh. Aku tertawa melihat wajah penuh hasrat itu sedang menatapku.
"Kumohon, Key. Hentikan niatmu itu."
"Alasan apa yang harus kukatakan pada Papa? Bahwa anak tiri kesayangannya, begitu tertarik pada putri kandungnya?" Aku semakin. tertawa sambil menepuk kedua tanganku.
"Key, aku..."
"Keluar!" bentakku kemudian. "Aku muak mendengar suaramu."
Seperti biasa, dia selalu menarik diri agar tak lepas kontrol saat bersamaku. Dia langsung menurut begitu aku mengusirnya. Kuakui, dia cukup sopan ketimbang pria-pria lain yang berusaha mendekatiku. Hingga aku pun pernah jatuh hati dibuatnya.
Tapi itu dulu. Dulu sekali. Saat keluargaku, dan keluarganya masih menjalin hubungan yang begitu harmonis.
.
"Kahfi!" Aku melompat girang saat baru saja turun dari mobil.
Dia tengah duduk bersantai sambil menghisap rokok, karena sedang tak ada pelanggan. Dia melirik sekilas, kemudian membuang pandangan.
"Hei, kenapa wajahmu cemberut seperti itu? Aku punya kabar bagus."
"Kenapa? Kau berhasil membuat Papamu mengamuk dengan berita kehamilanmu?" sindirnya dengan nada mengejek.
"Kau salah, Kahfi," ucapku, sembari duduk di sebelahnya. "Yah, walaupun aku sedikit kecewa karena kenyataannya dia terlihat bahagia."
"Kau mau bilang apa? Jangan bertele-tele."
"Papa menyetujui pernikahan kita. Kau senang? Dia menyukaimu, Kahfi. Ajak Ibu dan Sifa datang malam ini."
"Jangan bercanda, Key. Kau pikir itu lucu?"
"Come on, Fi. Ini bukan lelucon. Tutup kedaimu, ayo pulang. Aku ingin bicara pada Ibumu." Aku menarik lengannya untuk segera bangkit.
"Kau benar-benar sakit jiwa rupanya. Minggir!" Dia menepiskan peganganku.
Tapi dari raut wajahnya aku tahu kalau dia percaya dengan kata-kataku barusan. Dia terlihat gelisah, kurasa dia benar-benar gugup dengan semua ini.
"Tolong, Key. Demi apa pun itu, hentikan semua permainanmu. Carilah cara lain untuk melampiaskan kemarahanmu pada mereka, tapi jangan libatkan aku."
"Ayolah, Fi. Aku hanya ingin seseorang membawaku keluar dari rumah itu. Aku ingin sekali tinggal bersamamu. Aku menyukai masakan Ibumu, dan aku juga menyukai Sifa. Aku ingin tinggal di sana. Aku akan jadi istri, menantu, serta kakak ipar yang baik." Aku melebarkan senyum di depan wajahnya.
"Selama ini kau selalu datang ke rumah. Tak perlu sampai menikah."
"Tapi Papa selalu melarangku menginap. Dia pasti mengancam, akan menyuruh Erik menyeretku pulang."
"Memang seharusnya begitu, kan? Tidak baik seorang gadis menginap di luar rumah."
"Terserah kau saja. Papa ingin kita cepat-cepat menikah."
"Dasar gila. Aku tidak mau."
"Kenapa? Kau tidak mau karena sikapku selama ini? Ayolah, Fi. Aku tidak seburuk itu. Aku masih perawan."
"Haish... apa lagi yang kau bicarakan?"
"Kau pasti meragukanku, kan? Kau bisa membuktikannya saat malam pertama kita nanti. Kalau tak ada noda darah di pahaku, malam itu juga kau boleh menceraikan aku."
"Astaga, Key. Bicaramu semakin tak karuan. Kau tidak malu bicara seperti itu di depanku, ha?"
Aku tertawa geli. Seolah baru pertama kali ini aku membicarakan hal pribadi kepadanya. Dia bahkan pernah berlari ke warung, saat tiba-tiba aku datang bulan saat berada di rumahnya. Saat itu aku masih kelas satu SMP. Belum terlalu hafal, kapan jadwalnya akan datang bulan.
Aku bahkan pernah melihat sarungnya terjatuh saat luka bekas khitannya belum mengering. Apa lagi yang mau dia sembunyikan?
"Oh, Tuhan. Kenapa kau mengungkit-ngungkit hal itu lagi? Kita sudah dewasa, Key." Dia semakin tak karuan.
"Biar kau selalu ingat, sudah tak ada jarak lagi di antara kita."
.
Aku makan siang dengan sangat lahap. Kahfi sengaja meminta Sifa untuk tak mengantarkan makanan ke kedai, karena aku ingin ikut ke rumahnya.
"Ingat, kau diam saja. Biar aku yang bicara pada Ibu!" ancamnya, sebelum sampai di pintu.
Well, biarkan saja. Yang penting keluarganya akan datang malam ini.
"Vlog kakak di Bali kemarin masuk trending. Bagus." Puji Sifa, adik perempuan Kahfi yang masih duduk di kelas tiga SMA.
"Kau menyukainya?" sahutku senang. Sifa mengangguk penuh senyuman.
"Oke, good. Lain kali kita bisa pergi bersama sekeluarga."
"Nak Keyra mau jalan-jalan sama Bapak?" Ibunya Kahfi terlihat senang. Karena yang seperti yang dia tahu selama ini, aku dan keluarga baru Papa tak pernah cocok dan selalu saja berselisih paham.
"Tidak, Bu. Maksudku, keluarga kita. Sebentar lagi aku akan jadi menantu Ibu. Aku akan menikah dengan Kahfi." Aku tersenyum riang sambil membentuk huruf v di samping telingaku.
"Key... " Suara bariton itu muncul dari belakangku.
Ups! Aku keceplosan lagi.
************
Aku menoleh ke belakang, dan kulihat laki-laki berambut lurus lagi lebat itu, tengah berdiri menatapku."Kak Key serius?" tanya Sifa tiba-tiba."Hush. Jangan sembarangan!" bantah Ibunya.Aku hanya bolak balik memandang mereka secara bergantian, lalu mengangkat bahu. Kuserahkan padamu, Fi..Kahfi mengantarku keluar hingga menuju ke mobil. Meminta aku menunggu, karena dia akan berbicara pada Ibunya. Padahal apa susahnya tadi, ia hanya tinggal menyambung saja ucapanku. Atau ada ritual khusus, yang aku tidak boleh tahu?Oh, ya ampun. Dia membuatku menjadi pusing saja. Kupikir membicarakan sesuatu itu adalah hal yang sangat mudah. Hanya mengatakan kami akan menikah, sudah. Dasar lamban.Aku terpaksa pulang, setelah dia menjanjikan pasti datang malam ini. Yeah, ternyata dia masih takut dengan ancamanku. Tentu saja dia akan kehilangan muka di depan Papa, jika aku sampai benar-benar mengatakan bahwa aku sedang h
"Aku tak tahu lagi harus bicara apa, Key. Aku cemburu. Benar-benar cemburu melihat kau bersamanya," ucapnya dengan napas yang naik turun."Lepaskan aku, bodoh!" makiku, menggerakkan kedua tanganku yang kini terkunci di tembok. Tangannya terus menekan hingga aku tak bisa melepaskan diri."Kumohon. Belum terlambat untuk kita, Key. Aku tak mau lagi menjadi kakak tiri bagimu. Kau tahu sendiri bagaimana perasaanku.""Sialan kau bajingan. Beraninya bicara seperti itu setelah kau dan keluargamu menghancurkan keluargaku. Menghancurkan seluruh hidupku. Kau brengsek Erik. Kalian semua bajingan!" Aku berteriak histeris.Tanpa sadar aku mulai menangis. Mengeluarkan air mata, yang selama ini kutahan agar tak terlihat di hadapan mereka."Maafkan aku, Key. Bukan hanya kau saja. Aku dan Elena juga sama hancurnya seperti perasaanmu saat ini. Kita semua korban, Key."Kulihat matanya memerah, ada yang ikut menggenang di pelupuk matanya. Menat
Aku dan Kahfi baru saja turun dari taksi online. Dia langsung membawaku ke rumah yang selama ini dia tempati bersama Ibu dan adiknya. Aku menyukai rumah ini, juga para penghuninya."Tidak ke rumah mertuamu dulu, Fi?" Ibu mertua menyambut kedatangan kami."Key ingin langsung pulang ke sini," sahut suamiku. Aku memasang senyum termanis di depan Ibu dan juga adik iparku."Kamarnya belum dibereskan. Kami pikir masih akan lama di sana.""Kamar yang mana? Nanti aku rapikan.""Pakai kamar Ibu saja. Tempat tidurnya lebih besar.""Tidak mau!" sanggahku segera. "Aku mau tinggal di kamar Kahfi." Aku kembali melebarkan senyumku..Untuk sekian lama, aku tak pernah lagi memasuki ruangan ini. Tak banyak berubah. Warna cat dan juga perlengkapannya masih sama sejak terakhir aku memasukinya.Kahfi selalu mengunci pintu dan melarangku untuk masuk sejak dia masuk SMP. Saat itu aku masih kelas lima SD. Sama sek
Aku memperhatikan dia yang sedang memasang karpet berwarna coklat muda. Bulunya terlihat begitu tebal, dan sepertinya sangat halus. Disusunnya dua buah bantal, kemudian duduk bersantai di atasnya."Ke sini!" Dia menepuk sisi di sebelah kanannya. Aku membuang pandangan, masih tak terima dengan sikapnya tadi."Kau marah?""Menurutmu?""Berhenti merokok. Tak baik untuk kesehatanmu.""Are you crazy? Kenapa baru sekarang? Sudah bertahun-tahun kau membagi rokokmu padaku.""Sekarang berbeda. Aku melarangmu.""No, Kahfi. Aku tidak mau. Aku akan membelinya sendiri, dan aku tidak akan membaginya denganmu." Aku memutar bola mata, malas."Coba saja lakukan itu. Akan kupatahkan rahangmu itu.""What? Kau sedang mengancamku?" Aku langsung bangkit dan mendatanginya."Kau bicara apa tadi?""Kau sudah dengar dengan jelas. Aku tak mau mengulanginya." Dia menjatuhkan kepalanya ke bantal super besar itu.
Mataku menatap sinis kepadanya."Kau bicara apa?" tanyanya datar. Tangannya meraih koper besar di atas lemari."Kau sudah mendengar pertanyaanku.""Kau menuduhku, hanya karena dia menatapku?""Oh, shit. Kau bahkan tahu dia sedang menatapmu. Kalian saling berpandangan di hadapanku, ha?""Hentikan omong kosongmu, Key. Kau terlihat seperti seseorang yang sedang cemburu.""Kau benar! Aku tak ingin kau akrab dengan keluarga itu, apalagi dia.""Jangan berlebihan. Aku bahkan tak pernah bicara padanya.""Semoga saja itu benar. Kau tak ingin aku membuat masalah baru lagi, kan?""Cepatlah! Kau bilang tak ingin berlama-lama di sini.""Oke! Ini sudah sangat cepat.""Kau yakin semua barang-barangmu muat di kamarku?""Kamar kita. Jangan serakah, Fi. Sekarang itu juga kamarku.""Terserah kau saja.".Aku bernyanyi riang dengan irama musik 'Senorita'. Mengikuti tiap bait lirik yang dibawak
Aku kembali ke rumah setelah selesai mengambil video. Dengan perut kekenyangan, karena harus menghabiskan semua makanan. Damn! Rasanya ingin memuntahkan semua yang ada. Membayangkannya saja membuatku ingin berhenti makan dalam waktu seminggu.Aku baru saja turun dari mobil, saat melihat Sifa baru saja melepas sepatunya di teras rumah. Masih dengan seragam sekolah yang dipakainya pagi tadi."Kau baru pulang?" Aku melirik arloji di pergelangan tangan. Hampir jam lima."Iya, tadi jenguk Ara di rumah sakit.""Ara?"."Seperti biasanya aku mengentakkan bokongku ke kursi bambunya. Pasiennya baru saja pergi. Kurasa dia kedatangan banyak pelanggan hari ini, melihat banyaknya sisa potongan rambut di tempat sampah.Dia mengambil posisi di sebelahku. Mengapit rokok di sela bibirnya, kemudian menyulutnya dengan api. Mataku berkedip-kedip memandangnya."Apa?" sinisnya."Aku mau.""Kau tida
Ada masalah apa?" tanyanya lagi."Cepatlah. Aku tunggu di mobil."Tak butuh waktu lama untuk ia membereskan kiosnya. Hanya menyusun beberapa barang, dan meletakkan kantong sampah di luar. Esok hari, akan ada yang memungutnya. Sebentar saja, dia langsung masuk ke bangku kemudi. Lalu diam, dan membiarkan aku sedikit menenangkan diri.Aku memejamkan mata sambil bersandar. Kupikir setelah menikah dan menghilang dari rumah itu, tak ada satu pun lagi masalah yang mengganggu. Namun kenyataannya, Mama membenci Kahfi dan keluarganya. Itu sangat menyakitkan. Aku benar-benar tak rela, suami pilihanku diperlakukan seperti itu."Erik menghubungimu?”"No.""Papa?""No.""Apa yang mengganggu pikiranmu?""Entahlah. Jalan saja. Aku benar-benar butuh minuman."Mobil kembali melaju membelah malam. Jalanan masih terlihat ramai. Banyak kendaraan berlalu lalang, meski tak sepadat saat siang. Kali ini dia
Kami kembali berjalan melewati jalan yang kulalui tadi. Cukup jauh, dan dia kini berbalik arah sambil membawaku sebagai bebannya."Kau pasti lelah, selalu saja melakukan ini kepadaku. Aku selalu saja merepotkanmu, kan?" Aku berbicara tepat di telinganya."Ini belum seberapa. Saat mabuk, perjalananmu bisa semakin jauh.""Dan kau masih kuat menggendongku seperti ini?""Kenapa? Kau ingin aku menghubungi Erik saja, dan menjemputmu pulang?""Cisis... hentikan itu.""Ada apa lagi? Kenapa kau menangis?"Aku kembali terisak. Kali ini dengan menyandarkan kepalaku ke punggungnya."Mama meneleponku tadi.""Lalu?""Aku membencinya. Aku menyesal bicara padanya." Aku terus merengek."Dia memarahimu karena kau menikahiku?""Kau sudah tahu?" Dia malah tertawa."Semua orang tahu Mamamu tidak menyukai keluargaku. Kenapa mempermasalahkannya?""Kau tidak marah?"
Tak jauh berbeda dengan Erik. Ia sudah mengakui perbuatannya dulu pada Papa. Mengakhiri hubungannya denganku begitu saja, hanya agar tak ada halangan yang membuat Papa membatalkan niat untuk menikahi Mamanya.Ia mengakui, saat itu hidup mereka benar-benar sedang terpuruk. Papanya mengusir mereka dari rumah dan tak mendapatkan apapun karena Tante Winda tetap bersikukuh meminta cerai.Ya, wanita mana yang sanggup hidup seperti itu. Selalu diperlakukan kasar dan juga di khianati. Dan keputusan Papa untuk menikahi dan kembali mengangkat derajat mereka, benar-benar perbuatan yang mulia. Sayangnya, aku baru menyadari hal itu sekarang.Erik mengakui semua penyesalannya. Bahwa ia telah mengorbankan rasa cintanya dan juga telah melukai perasaanku. Hubungan yang kami jalin sejak masa pubertas harus hancur karena takutnya ia akan kemiskinan. Dan itu sangat menyakitiku hatiku saat itu.Penyesalan? Ya. Dia begitu menyesal karena a
Huek... huek...Aku mengeluarkan semua isi perutku. Kegiatan rutin yang selalu menyiksaku setiap pagi. Ouch... ini menyebalkan. Aku kembali ke kamar dan berbaring. Menghirup aroma minyak kayu putih yang tak bisa lepas dari genggamanku."Minumlah." Kahfi membawakan segelas air hangat seperti biasa. Aku bangkit dan meraih pemberiannya."Sampai kapan aku seperti ini, Fi?" rintihku, meneguk air yang dibawanya."Sabarlah. Paling lama hanya tiga bulan. Setelah itu kau akan baik-baik saja," ucapnya lembut sembari memijat keningku."Tiga bulan? Itu terlalu lama, Fi. Ini bahkan baru beberapa minggu saja," rengekku manja, menjatuhkan kepala di bahunya.Dia tertawa kecil."Memangnya apa yang ingin kau lakukan? Kau bisa minta padaku. Nanti aku yang bawakan." Ia merangkul dan mengusap bahuku."Aku ingin jalan-jalan keluar. Tapi setiap aku berdiri, rumah ini terasa seperti berputar. Apa semua
"Apa yang kau lakukan dengan pakaian seperti ini?" geramnya, dengan setengah berbisik."Mengantarkanmu makan siang," sahutku, sembari menepis pegangannya."Pulanglah! Ada banyak pria di sini."" Memangnya kenapa, Fi?" Aku pura-pura tak mengerti."Kau tidak lihat cara mereka memandangmu?""Tentu saja. Aku memang cantik, bukan? Wajar kalau mereka tertarik melihatku.""Aku bilang pulang!" perintahnya lagi."Tidak mau!"Aku menjauh dan duduk di kursi bambu di antara kedua pria yang sedang menunggu giliran untuk dieksekusi."Punya rokok?" tanyaku dengan suara menggoda.Mereka tersenyum. Lalu keduanya bergerak cepat merogoh kantong masing-masing. Aku tersenyum lebar, saat kedua bungkus rokok berbeda merek itu kini berada di hadapanku. Tanganku mulai menyentuh benda itu, sampai sebuah tangan besar menyambar, dan mengambil keduanya."Kami akan tutup. Kalian pulanglah!" ucap Kahfi ket
Aku berjalan gontai keluar dari Rumah Sakit. Pembicaraan dengan dokter Satya bagai suatu hal yang tak masuk di akal bagiku. Apa dia sudah tahu selama ini, jika Elena telah mengalami gangguan. Itukah yang ia dapat dari konsultasi mereka beberapa waktu yang lalu?Kupikir semua baik-baik saja, dan berjalan dengan lancar. Tanpa kutahu, Dokter muda itu telah menangkap gelagat aneh dari dirinya. Ditambah lagi dengan pengakuanku yang tak sengaja didengarnya waktu itu.Oh my God, ini benar-benar gila. Si jalang itu benar-benar gila telah berani merayu suami orang, dan tak ingin melepaskannya begitu saja.Bitchi!Aku terduduk lemas begitu sampai di balik kemudi mobil. Menyandarkan punggung demi merenggangkan urat syarafku yang dari tadi menegang. Teringat apa yang dikatakan Dokter Satya di ruangan tadi."Awalnya memang benar ini soal hutang piutang. Papaku menangguhkan pinjaman karena Elena memohon. Papa tak tega melihatnya,
"Yes, Dokter?" jawabku tanpa berbasa-basi."Bisa kita bertemu?" pintanya dari kejauhan.Oh, shit. Kenapa dia harus memanggilku di saat yang tidak tepat. Membuatku merasa dilema, antara mengantarkan makan siang Kahfi atau mengurus Elena.Aku segera mengganti pakaian dan mengambil tasku. Aku harus tahu bagaimana nasib Elena selanjutnya. Jika Dokter itu tak bisa mengatasi bajingan itu, aku sendiri yang akan datang mengancamnya.Baru saja aku hendak keluar menuju teras depan, saat kulihat Kahfi sudah masuk dan kembali menutup pintu. Sudah hampir jam dua. Dan ini terlalu lambat untuk makan siang.Kedua mata kami saling bertemu. Membuatku rindu dan ingin sekali memeluknya. Lalu bagaimana jika tiba-tiba ia menolak dan mendorongku? Tidakkah hal itu sangat memalukan untuk wanita sepertiku?"Aku keluar sebentar," ucapku memberi tahu. "Hanya sebentar saja.""Bukankah sudah kubilang lakukan sesukamu?" s
"No, Kahfi. Kau tidak bisa bicara seperti itu padaku. Kau sudah berjanji. Kau tidak boleh memperlakukan aku seperti ini."Dia langsung membuang pandangan. Membuat hatiku terasa begitu perih. Tidak. Ini tidak nyata. Kahfi pasti sedang bercanda."Pulanglah! Aku tak ingin kita saling menyakiti lagi," ucapnya tanpa berbalik."Aku tidak mau. Itu rumahku. Kau tidak punya hak mengusirku," ucapku dengan bibir bergetar.Dia kemudian berbalik dan memandangku. Menatapku dengan tatapan kosong."Jangan lagi bohongi dirimu sendiri, Key. Sandiwara ini tak akan pernah berhasil. Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan. Pulanglah, aku melepasmu.""Tutup mulutmu, sialan! Aku tak mau mendengar kata-kata itu lagi. Kau jahat. Aku membencimu. Kalau kau tak ingin bersamaku lagi, kau saja yang pergi. Aku akan tetap tinggal di rumah itu." Dadaku kembang kempis menahan sesak."Hentikan omong kosongmu, Key. Untuk apa kau
Aku mengangkat pelan tangan ke udara. Bergerak perlahan mendekati kembali untuk mengusap wajahnya."Maaf," ucapku setengah berbisik. Ia mundur selangkah, sebelum tangan ini berhasil menyentuhnya.Aku tertunduk dengan tangis yang tak dapat lagi kutahan. Menjatuhkan kembali tanganku dan mengepalnya dengan kuat. Apa yang telah kulakukan? Bukan hanya hatinya yang kini telah kulukai. Ia berlalu pergi. Meninggalkanku yang kini terduduk lemas menangisi diri..Malam telah larut. Namun mata masih belum dapat terpejam. Aku berbaring di atas karpet, menanti suamiku yang belum juga pulang. Berharap ia mulai tenang, dan melupakan semua kejadian ini. Bahkan aku berharap ini semua bagian dari sebuah mimpi.Kulirik jam analog di dinding kamar. Sudah hampir tengah malam. Apa yang ia lakukan di luaran sana. Mungkin dia sedang berada di kiosnya. Ini sudah terlalu malam. Aku harus menyusul dan mengajaknya pulang.Baru sa
Aku bergegas menghubunginya kembali. Dan sekarang ponselnya benar-benar tidak aktif sama sekali. Ada apa lagi dengannya? Aku bergegas masuk dan menemui Papa di ruang kerjanya. Ia harus menjelaskan semuanya padaku saat ini juga."Apa yang Papa bicarakan dengan Kahfi?" Aku langsung bertanya begitu melihat Papa bersandar di kursi kerjanya. Tempat dimana aku dan dia baru saja berdamai pagi tadi.Kulirik kunci mobil Kahfi terletak begitu saja di atas meja. Apa ini? Perasaanku benar-benar terasa kacau."Papa hanya menuruti apa yang membuatmu bahagia, Key. Tak akan pernah lagi membuatmu kehilangan orang yang kau cintai.""What?""Ada apa? Apa Papa telah membuat kesalahan lagi?"Oh my God!Tentu saja Papa telah membuat kesalahan besar. Ia sangat berterima kasih pada Kahfi karena telah rela mengorbankan kebebasannya untuk menikahiku.Papa juga menceritakan apa yang diucapkan Erik saat mabuk, dan semua perca
Mereka berdua sesenggukan menahan tangis. Kulihat Tante Winda tertunduk dengan isakan yang juga tertahan. Tak perlu lagi aku bertanya, apakah sikapnya tulus atau tidak. Aku tak butuh jawaban. Aku tak harus tahu. Dan aku sama sekali tak peduli."Jangan ikut campur urusan keluargaku, Key!" Erik kembali berbalik dan menantangku."Mereka juga bagian dari keluargaku," balasku, ikut menantang ucapannya. Dia berdecih."Drama apalagi kali ini? Bukankah seharusnya kau senang? Akhirnya kau bisa bebas dari benalu seperti kami.""Seharusnya memang seperti itu. Tapi sudah terlambat. Kalau ingin menyingkir kenapa tak dari dulu saja? Begitu ada masalah, kau langsung melarikan diri. Kau sama sekali tak pernah berubah. Pengecut. Dasar lemah!" sinisku.Matanya menyipit memandangku. Mungkin merasa terhina karena aku benar-benar telah merendahkannya. Ya, sama seperti waktu itu. Mundur teratur dan melarikan diri dari hubungan kami.