Mereka serempak menoleh ke arahku. Gurat keterkejutan terlihat jelas di wajah wanita berbibir pucat itu.
"Key? Tante...." Dia terlihat ragu meneruskan kata-katanya.
"Kenapa di sini? Siapa yang menjaga Elena?" ketusku.
"A_ada Erik dan Papamu di sana." Wanita itu terlihat gugup, kemudian tertunduk diam.
"Masuk saja. Kenapa menemui pria lain tanpa sepengetahuan Papa? Ingin kembali menjalin hubungan di belakangnya?" Tiba-tiba saja wajah garang Papa melintas di benakku. Membuatku merasa... iba.
Ya. Entah mengapa rasa sedih menjalar di hati ini. Teringat saat dulu Mama ketahuan selingkuh, dan Papa hanya terdiam. Tanpa menghiba, dan memaksa Mama tuk kembali. Sikap tegasnya tak sedikit pun mengguratkan kesedihan. Hanya sikap dingin saja yang saat itu ia tunjukkan. Termasuk padaku.
Kini aku menyadari, rasa sakit itulah yang membuat Papa menjadi sedingin itu. Tak ada lagi kehangatan, dan perhatian di dalam k
Aku kembali masuk ke dalam mobil. Menelungkupkan wajah ke stang kemudi. Menangisi apa yang baru saja terjadi. Aku bahkan tak dapat lagi membedakan mana yang tulus dan hanya berpura-pura. Oh, no. Aku benar-benar hampir gila. Aku benci dengan mereka semua.Aku mengangkat wajah, dan mengusap air mata, saat kudengar suara ketukan dari kaca jendela. Kulihat Kahfi berdiri, sembari tersenyum dari balik sana. Segera kutekan tombol untuk membuka kunci, lalu membiarkannya masuk."Kau baru sampai?" Dia kini telah duduk di sampingku."Tidak. Sudah dari tadi.""Ibu tak jadi ikut? Kenapa tak masuk?"Aku menceritakan apa yang baru saja terjadi. Dan hatiku masih saja terasa sakit."Jangan dipikirkan, Key. Biarkan saja mereka.""Bagaimana jika terjadi sesuatu pada Papa?""Kau mengkhawatirkannya?" Kahfi menatapku penasaran."Kau ingin aku menjawab 'ya'?"Dia tersenyum, lantas mencubit pipiku seperti an
Aku benar-benar tidak menyangka, kalau Papa sudah mengetahui semuanya. Apa yang Papa pikirkan tentang keluarga itu. Seharusnya dia bersikap lebih posesif, dan lebih perhatian.Sikap tak acuhnya selama ini, membuat ia terkesan tak membutuhkan siapapun. Seolah-olah bisa hidup sendiri, tanpa orang lain. Apa pak tua itu tak ingat, kalau usianya sudah tidak muda lagi? Memangnya siapa yang akan mengurusnya jika nanti dia sakit.Aku? No way!.Sudah beberapa hari ini, Elena siuman. keadaannya terus membaik. Wanita itu dengan setia menungguinya setiap hari. Erik sudah bekerja seperti biasa, dan sesekali kami berpapasan. Dia masih masih berusaha menangkap pandangan dari wajahku, sedang aku terus saja bersikap dingin."Bagaimana keadaanmu, Elena?" tanyaku, saat mengunjunginya siang ini.Matanya masih saja terlihat sembab. Mungkin yang dia lakukan hanya menangis sepanjang malam. Apa dia kecewa, karena nyatanya dia masih hidu
Elena lebih banyak diam. Dia bahkan tak menyahuti pertanyaan-pertanyaan Erik. Aku menarik sudut bibir, merasa aneh dengan hubungan mereka yang ternyata begitu kaku. Sejak kapan mereka terlalu menjaga jarak seperti itu?Apa sebenarnya, Elena juga tak suka, Papa menikah dengan Mamanya?."Sudah kubilang, Elena lebih percaya padaku," ucapku, saat kami duduk di koridor. "Biarkan aku yang membereskan semuanya.""Apa yang kau rencanakan, Key?" Dia sedikit menunduk, agar bisa memandangku sejajar."Kau tidak perlu tahu. Sikapmu membuatnya takut.""Sejak kapan kalian akrab? Lagi?"Lagi? Dia mengucapkan kata 'lagi'? Ya. Tentu saja. Meski tak seusia, tapi kami cukup dekat. Sering piknik dan ke taman bermain bersama. Siapa sangka, dua keluarga yang tadinya begitu dekat, kini terpecah belah, hingga tak menyisakan satu kenangan pun."Hentikan ocehanmu, Erik. Kami tak seakrab itu. Aku menolongnya hanya karena... sesama wanit
Aku ikut berbalik, dan memandang wajah suamiku. Menatapnya dengan penuh tanda tanya. Kenapa tiba-tiba saja mengungkit akan hal itu. Ini bahkan belum memasuki enam bulan pernikahan."Biarkan saja. Aku bisa tidur di ranjang, dan kau tidur bersama bayi kita di bawah," ucapku asal. Dia terkekeh, lalu kembali ke posisinya seperti semula."Kau juga sangat egois, meski sedang berhayal.""I'm serious. Aku tak mau keluar dari sana. Bukankah kita punya banyak kenangan di rumah itu? Aku tak mau kehilangan memori tentangnya.""Ya, aku juga," ucapnya, dengan sebuah helaan napas."Apalagi kamar itu. Aku menyesal kenapa tak menciummu dari dulu. Harusnya dari dulu kita berpacaran. Agar tak ada Ara atau Erik dalam kehidupan kita.""Kenapa membahas hal itu lagi?""Kau benar. Sorry.""Ya. Semua orang punya masa lalu, kan?""Fi?""Hemmm?""Kau kecewa padaku?""Kenapa?""Karena aku masih belum siap unt
"Apa tua bangka itu menghubungimu?" tanyaku, saat sedang berada di kamar Elena."Aku belum mengaktifkan ponselku.""Kalau begitu buang saja nomornya. Kalian sering berhubungan melalui sosial media?""Percuma. Dia akan mencariku di kampus.""Oh, shit! Sejauh apa perbuatannya padamu? Apa dia juga memukul, atau mengancam akan membunuhmu?" Gadis itu menggeleng."Sama sekali?" selidikku. Dia mengangguk."Dia hanya mengancammu dengan vidio itu, dan kau sama sekali tak melawan?" kesalku."Bagimana jika dia berbuat nekat, Key? Aku tak mau membuat malu Papa. Aku semakin takut saat Papa marah soal fotomu saat itu."Oh, shit. Kenapa semua tentang Papa. Baik Kahfi, Erik, bahkan gadis yang hampir mati ini. Apa yang sebenarnya telah mereka dapatkan dari Papa. Aku bahkan tak pernah merasakannya.Yang bisa dia lakukan hanya marah-marah dan memukulku saja. Pipiku mungkin sudah kebal karena tamparanny
Kurasa semua berjalan dengan lancar. Hubungan Elena dan Dokter Satya mungkin mengalami kemajuan. Pertemuan mereka kini semakin intens, meski terkadang ada rasa takut di hati gadis itu. Namun aku berusaha untuk meyakinkannya, inilah satu-satunya cara agar tua bangka itu mau melepaskannya.Baru saja aku mengantar kepergian Kahfi di halaman depan, ponselku tiba-tiba berdering. Kulihat ada nama Satya sedang memanggil.Why? Bukankah seharusnya dia menghubungi Elena saja?"Morning, Key!" sapanya dari kejauhan."Yes, Dokter," sambutku."Bisa bertemu hari ini?""Now?""Ya.""Aku akan menghubungi Elena, dan mengajaknya.""Tidak. Kau saja.""Why?""Kenapa? Kau takut bertemu denganku?""No way! Aku hanya merasa kalau aku masih waras."Terdengar suara tawa dari seberang sana."Aku bukan petugas Rumah Sakit Jiwa, Key.""So, apa kita punya urusan?" tanyaku penas
"Kau salah paham, bodoh. Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Apa kau akan menggunakan ini untuk mengancamku, agar tidak mengadu pada Kahfi?""Kau mulai takut? Kalau tak menginginkannya, kau bisa melepasnya. Kau hanya menjadikannya sebagai mainan.""Tutup mulutmu, sialan!" Aku mulai berani menarik kerah kemeja itu lagi. Memangkas jarak yang kubuat tadi. "Sudah kubilang, aku mencintai suamiku.""Dan kau pikir kata-katamu masih bisa dipercaya, setelah apa yang baru saja kulihat?""Aku tidak peduli apa yang kau pikirkan. Tapi ini benar-benar bukan seperti yang ada di dalam kepalamu!""Ah, ya. Jadi kau mau bilang, kalau dia itu...?" Erik menggantung ucapannya. Sebuah senyum sinis menatapku, menunggu sesuatu untuk kujelaskan."Dia Dokter Satya. Psikolog yang saat ini sedang menangani Elena," terangku.Matanya menyipit. Menyiratkan bahwa dia masih belum percaya."Ada banyak psikolog wanita yang membuat Elena
Tubuh Erik kembali lunglai. Tak mengelak sedikit pun dengan pukulan Papa yang entah sudah berapa kali diterimanya. Tante Winda dan Elena hanya bisa menangis tanpa berani mencegah. Sementara Erik terus mengerang dengan tangisan.Dia terus mengoceh tanpa sadar. Seperti menyesali segala hidup yang telah ia jalani selama ini."Aku bersalah, Pa. Mengorbankan kebahagiaan semua orang hanya demi membahagiakan Mamaku saja," sesalnya. "Yang kulakukan hanya agar Mama mendapatkan kehidupan yang layak, seperti sebelum jalang itu menggoda Papaku," umpatnya dengan air mata, dan juga liur yang telah menyatu.Dia terlihat benar-benar kacau."Aku tak lagi memikirkan perasaan orang lain, Pa. Adikku, bahkan rasa cintaku sendiri." Dia kembali meracau."Aku bahkan tahu, bahwa Papa tak pernah mencintai Mama. Papa hanya menjadikannya pajangan untuk membalas wanita jalang itu!" umpatnya lagi.Plak!Tangan besa