Gemericik hujan membasahi bumi. Aku yakin langit sedang berduka atas seorang perempuan yang ditinggal setelah diberi harapan. Tentang seorang perempuan yang melambungkan harapan dan mimpi terlalu tinggi sehingga ketika jatuh teramat sakit. Pun karena seorang perempuan yang harus menjahit lukanya seorang diri.
Perempuan itu adalah aku. Luka sebenarnya sudah sering aku rasakan, tetapi ini berbeda. Aku bisa saja tersenyum walau perih, tetapi ayah dan ibu sampai menangis setelah kepergian Mas Ilham dua hari yang lalu. Lelaki itu sungguh tidak memikirkan berapa banyak hati yang terluka karena sikapnya.
"Bagaimana kalau kamu kejar beasiswa buat ke Mesir, Yum?" tanya Mas Dika ketika mendapatiku memeluk lutut di sudut kamar.
Aku mengembus napas kasar. "Gak bisa, Mas. Aku gak ada sesuatu yang bisa diandalkan buat ke sana. Ngejar beasiswa itu tidak mudah."
"Tidak usah disembunyikan, Yum. Mas tahu kamu sudah hafal 27 juz al-qur'an dan bisa baca kitab. Itu aktivitas rutin kamu setiap pulang kuliah, 'kan?"
"Mas?" Aku menganga.
"Amel yang cerita, makanya tahu. Tadi mas tidak sengaja ketemu sama dia dan ceritain masalah kamu. Mas cerita karena percaya sama Amel."
Amel memang sahabat yang paling dekat denganku. Kami sering berbagi cerita bahkan dia tahu tentang Mas Ilham yang melamar. Sebenarnya sebelum pesan singkat itu aku baca, kami mau ke majelis Ustaz Hasan untuk menyetor hafalan al-qur'an dan melanjutkan belajar fiqih. Aku jadi merasa bersalah karena tidak memberi kabar padanya.
"Dan sekarang Amel ada di sini. Dia menunggumu di ruang tamu," lanjut Mas Dika.
Mendengar itu aku gegas meraih jilbab rabbani dan melangkah cepat ke luar kamar. Benar saja ada Amel dengan kerudung birunya. Aku tersenyum getir, duduk di depannya dengan mata bengkak karena terus menangis merutuki diri yang mendapat takdir buruk.
Amel tidak berbasa-basi, tetapi langsung mengingatkan bahwa apa pun yang terjadi itu sudah diatur sama Allah. Baik itu rezeki, ajal bahkan jodoh. Lelaki yang baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah dan kita harus patuh pada ketetapan-Nya. Bersabar atas segala cobaan yang Allah beri dengan kesabaran yang indah.
"Apa kamu lupa, Yum? Andai sabar itu seorang lelaki, maka?"
"Pastilah ia lelaki yang mulia," sambungku tersenyum pahit.
"Lalu, apa yang membuatmu sedih, Yum? Seharusnya bersyukur karena Allah sudah menunjukkan sifat asli dari Mas Ilham. Jika saja kalian menikah, boleh jadi sebulan kemudian sudah mendapat adik madu atau bahkan jadi janda." Ucapan Amel membuatku tertegun sesaat. "Itu karena kamu sudah jatuh cinta, lalu melabuhkan harapan padanya. Iya, 'kan?" lanjut Amel lagi. Dia tersenyum walau ada linangan di mata indah itu.
"Aku tidak mencintainya," elakku menunduk.
Amel tertawa kecil, lalu berucap jujur bahwa ketika tahu sekelumit kisah yang menyakitkan ini dari Mas Dika, dia langsung naik pitam dan minta nomor telepon Mas Ilham untuk memberi pelajaran dengan harapan lelaki PHP itu sadar kalau tindakannya melukai hati banyak orang. Namun, Mas Dika melarang Amel dengan dalih perempuan bukan lawannya laki-laki, juga khawatir ikut terluka.
Aku hanya tersenyum mendengar cerita itu. Jujur saja hati ini tahu kalau Amel datang ke sini untuk menghibur, tetapi apa daya luka itu masih sangat membekas. Aku tidak tahu harus melakukan apa agar pikiran bisa menghapus tentangnya. Nomor Whats*pp Mas Ilham saja masih tersimpan rapi di kontak telepon tanpa ada niat menghapusnya.
"Luka itu akan sembuh kalau kita berusaha untuk mengobati, bukan dibiarkan." Amel menghela napas panjang. "Kata Maulana Jalaluddin Rumi, segala sesuatu menunggu pada waktunya."
"Tak ada mawar yang mekar sebelum waktunya, matahari juga tidak terbit sebelum waktunya. Apa yang menjadi milikmu pasti akan datang kepadamu," sambungku meneruskan kalimat indah itu.
Amel mendekat, dia duduk di sampingku dan memeluk erat. "Kalau saja kamu izinkan aku untuk memberi Mas Ilham pelajaran, sekarang juga dia akan kuhajar."
"Tidak, Amel. Aku yakin Mas Ilham akan sadar pada waktunya," balasku tersenyum.
***
Malam hari biasanya kami kumpul menonton televisi di ruang keluarga setelah makan dan salat isya. Sekarang pun sama, tetapi aku duduk sedikit jauh dari mereka bertiga. Ada rasa sungkan untuk mendekat terutama ayah dan ibu.
Sungguh, mereka sama sekali tidak menyalahkanku, tetapi Mas Ilham. Hanya saja aku yang malu karena melakukan ta'aruf tanpa sepengetahuan mereka. Ini juga merupakan kesalahan terbesar yang aku lakukan. Namun, sebenarnya merahasiakan ta'aruf itu murni agar mereka tidak kecewa jika saja batal. Pada kenyataannya salah.
"Yumna," panggil ayah tanpa memandangku.
"Iya, Ayah?"
"Demi nama baik keluarga kita, besok minta Ilham datang ke sini atau orangtuanya. Tadi ayah ditanya tetangga, kapan acara pernikahanmu."
Aku menunduk, luka kembali menganga. Dari suara ayah sangat ketahuan beliau terluka. Hal yang paling menyakitkan adalah bayangan ketika ayah sibuk menelepon paman untuk datang ke acara lamaranku. Saat itu aku merasa lembaran baru akan dibuka, tetapi tidak.
Takdir memang tidak selalu indah dan kini sangat enggan berpihak kepadaku. Jika bersabar dan terus memperbaiki diri karena Allah, apakah akan mendapat jodoh paling baik? Sementara Mas Ilham telah memilih Nurul Hafizah. Bisa jadi dalam waktu dekat mereka akan menikah.
"Iya, Ayah." Akhirnya aku menjawab setelah diam sesaat. Lidah terkunci rasanya.
"Ayah cuma minta kamu untu melupakannya. Biar saja Ilham bersama dengan perempuan tadi. Namun, dia harus melepasmu dengan cara yang baik."
"Kalian bukan orang pacaran yang bisa putus-nyambung begitu saja. Hubungan kalian sudah melibatkan keluarga, tentu mengirim pesan singkat itu sangat tidak beretika," sambung Mas Dika.
Suasana kembali hening. Pandangan mereka tetap mengarah pada televisi. Aku memeluk kedua lutut sambil menangis dalam diam. Pikiran kalang kabut mencari jawaban sebenarnya tentang alasan Mas Ilham membatalkan pinangannya.
Apakah mungkin karena Nurul dari keluarga terpandang?
"Tidak usah banyak pikiran, masuk kamar dan istirahatlah!" titah ibu.
Aku tidak menjawab melainkan langsung berdiri dengan langkah gontai masuk kamar. Malam ini aku berharap luka dalam hati kian pulih. Aku khawatir pikiran buruk merajai hati sampai tidak bisa lagi membedakan mana yang boleh dan dilarang agama. Misalnya saja bunuh diri.
"Astagfirullah," gumamku.
Dengan cekatan aku meraih ponsel dan melihat story Mas Ilham. Sebuah undangan digital bahwa dia dan Nurul akan menikah tanggal 20 Maret depan.
Aku : Masya Allah tabarakallah, semoga dilancarkan sampai hari H, Mas. Insya Allah, Nurul adalah perempuan salihah.
Sengaja aku swap dan mengirim pesan itu sebagai kalimat sindiran. Tidak butuh waktu lama, Mas Ilham sudah membaca dan mengirim balasan yang mengejutkan.
Ilham : Terimakasih doanya.
"Ya, seolah tidak ada apa-apa di antara kita, Mas," gumamku tersenyum getir sebelum akhirnya mematikan ponsel.
Muhammad Ilham Thalib. Seorang lelaki yang senyumnya mampu menciptakan debaran dalam dada. Dia lelaki kedua yang singgah di hati setelah Qabil yang merupakan putra tunggal Kyai Sholeh, pengasuh salah satu pondok pesantren salafy di kampungku. Aku mengenal Mas Ilham dari teman kuliah yang merupakan saudara sepersusuannya—Aisyah. Dia bilang Mas Ilham sedang mencari teman hidup dan ingin melakukan ta'aruf dengan perempuan mana saja yang siap menikah. Kala itu aku tidak begitu tertarik karena tahu kalau Mas Ilham selain tampan juga mapan. Akan tetapi, Aisyah terus meyakinkanku bahwa jodoh itu harus diusahakan bukan hanya dinanti tanpa usaha. Dalam masalah ini aku sama sekali tidak menyalahkan Aisyah karena memang bukan inginnya sehingga lamaran ini batal. Bahkan ada kemungkinan dia tidak tahu karena perempuan itu sudah berangkat ke Mesir bulan desember kemarin. "Sudah minta Ilham ke sini?" tanya Mas Dika menepuk pundakku yang sedang memandang ke luar jendela. "Belum, Mas. Masih trauma
Aku sudah tidak tahan sehingga terpaksa melakukan ini. Kalau ayah marah, itu urusan belakang. Tangan kananku mengibas tirai dengan kasar, lalu duduk di kursi yang tidak jauh dari mereka. Semua mata tertuju padaku, tidak terkecuali Mas Ilham yang sok berilmu itu. "Apa kedudukanmu sampai lupa menjaga adab kepada yang lebih tua, Mas? Jangan gede rasa karena kami minta keluargamu ke sini. Kami tidak berharap lebih, tetapi ingin klarifikasi dari kalian. Jika kamu tidak mau, bukankah ada orangtua yang seharusnya mengawal anak sejak awal?" Aku berucap tegas. "Begini, Yumna. Kami minta maaf atas nama Ilham." Abinya Ilham sudah mulai membuka suara. "Maaf, Pak. Kalau mau minta maaf itu harus Mas Ilham sendiri yang melakukannya. Lagi pula aku juga sudah tahu tentang Nurul Hafizah. Kami yang bukan dari keluarga terpandang bukan berarti bisa diperlakukan seenak jidat." Mas Ilham diam, terlihat tidak ada keinginan untuk meminta maaf. Beruntung sekali aku tidak sampai menikah dengannya, karena le
Begitu sampai di rumah, aku meletakkan garam dan uang kembalian di meja makan. Tanpa sepatah kata, aku langsung masuk ke kamar untuk menenangkan pikiran. Bisa-bisanya Bu Wenda berpikir aku ini hamil. Astagfirullah, jangankan hamil, dekat dengan lelaki lain saja aku sampai gemetaran. Memang memakai jilbab tidak menjamin perempuan itu salihah, tetapi sungguh aku sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan yang bukan mahram. Saling bertegur sapa dengan teman sekolah saja malu. Ini fitnah! Telepon berdering, itu dari Amel. Segera aku angkat dan menjawab salam. Sekarang sudah jam delapan pagi, tidak biasanya dia menelepon. "Kamu gak berangkat ngaji? Ini aku sudah di rumah Ustaz Hasan." "Astagfirullahalazim!" pekikku, "maaf, aku sampai lupa, Mel. Bisa jemput gak? Kalau jalan kaki takutnya telat." "Kebiasaan. Oke, aku ke sana sekarang." Setelah mematikan ponsel, aku buru-buru mengganti pakaian. Beruntung sehabis salat subuh tadi langsung mandi biar tidak mengantuk ketika murajaah hafala
"Mau apa kamu ke sini, Mas?" tanyaku setelah mendengkus kesal. Di rumah hanya ada ibu karena Mas Dika dan ayah sudah pergi bekerja. Lelaki yang baru kemarin memutus lamaran datang bertamu ke rumah seorang diri setelah salat dzuhur, katanya kebetulan lewat dan ada niat untuk singgah. "Hayolah, Yumna, jangan terlalu sensitif. Aku sudah menganggapmu teman dan tentu tidak ada salahnya menemuimu. Di rumah juga ada ibumu, 'kan?" Mas Ilham menjawab santai. Aku memalingkan wajah sekilas tanda tidak suka. Dada bergemuruh hebat. Entah karena masih ada rasa atau faktor bawaan yang tidak terbiasa dikunjungi tamu lelaki. Wajah mungkin sudah seperti udang rebus akibat menahan amarah. Ya, aku masih marah pada Mas Ilham yang tindakannya melampaui batas. Usaha untuk melupakan belum berhasil, dia malah sengaja datang ke rumah. Aku jadi curiga, ada motif tersembunyi di balik semua ini. Mungkinkah Mas Ilham itu sedang mencari tumbal? Huh, astagfirullah. Sebenarnya Amel juga ada di sini karena ingin m
Saat makan malam, aku hanya diam. Tidak ada obrolan hangat seperti yang biasa kami lakukan. Misalnya saja candaan ayah atau tingkah konyol Mas Dika yang bahkan bukan lagi anak kecil. Dulu sebelum lamaran dibatalkan, rumah ini berhias senyum dan kebahagiaan. "Jadi, apa yang akan kamu lakukan sekarang, Yum? Kuliah sudah berhenti, keahlian untuk bekerja juga tidak ada." Mas Dika bertanya seraya menyendokkan nasi ke dalam mulut. "Di rumah menunggu takdir baik sambil fokus ziyadah juga, Mas. Lagi pula aku malu kalau melanjutkan kuliah, teman-teman bisa saja mengejekku." Tetap saja ada rasa menyesal karena meninggalkan bangku kuliah. Padahal ayah dan ibu berharap kedua anaknya bisa meraih gelar sarjana. Minimal Strata 1 dan aku memupuskan harapan itu. Beruntung selama kuliah ada beasiswa, jadi tidak terlalu merugikan pihak keluarga. Aku hanya bisa mengembus napas kasar sambil menatap nanar nasi yang belum tersentuh sama sekali. Sendok hanya berputar mengeliringi nasi putih yang tidak lagi
Kuejakan sebaris asa dalam lantunan doaDari relung jiwa menggambarkan keinginanMencairkan napas yang tertahan di bening hatiMenepiskan kegamangan dalam perjalanan fanakuSekian waktu kumengembara dalam alam-MuMeniti langkah mencari kisah indah yang hakikiMenanti tanpa letih sebentuk karunia-MuYang akan membawaku pada kesempurnaan diriBerderet kisah indah yang telah kutemuiBerjuta kata bermakna puitis telah kusimakPenggalan bait-bait merujuk dan merayukuLelah dan jemu atas pengagungan sebuah lahiriahBila kelak datang sebentuk cinta atas karunia-MuJauhkanlah dari cinta yang mengagumi lahiriah semataTetapkanlah sebentuk cinta pada jalan rida IlahiYang terbungkus rapi dalam balutan fitrah IlahiMerenyuhkan hati pada sebening asa yang tersiratMerengkuh memeluk sebentuk berkah dari kisah indahMendampingiku dalam menyempurnakan akhlakBerjamaah mendekatkan diri pada rengku
"Yumna?" Panggilan ibu diiringi ketukan di pintu membuatku terperanjat. Mungkin beliau ingin memanggil makan lagi karena memang seharian belum mengisi perut seperti yang dikatakan Amel tadi. "Iya, Bu, ada apa?" sahutku tanpa membuka pintu kamar. "Buka pintunya, ibu mau masuk!" Dengan langkah gontai aku terpaksa membuka pintu kamar. Ibu sudah berdiri dengan membawa makanan. Aku sama sekali tidak berselera sekalipun cacing sudah meronta sejak siang tadi. Perempuan tua yang teramat penyayang itu masuk kamarku dan meletakkan makanan di nakas. Aku hanya bisa menghela napas panjang karena jika sudah begini, beliau pasti marah kalau makanan itu tidak habis. "Makanannya jangan ada yang disisain, oke?" "Iya, Bu. Aku usahain." Aku menjawab malas. Tepatnya karena keadaan lemah gemetaran. Setelah mendengar itu, ibu melangkah ke luar. Mau tidak mau aku meraih piring itu dan menghabiskan isinya dengan lahap. Ketika sedang meneguk air,
"Nurul?" sapaku. Perempuan anggun yang memakai jilbab baby pink itu menoleh lantas tersenyum. "Maaf, kalian siapa, ya?" "Bukan siapa-siapa. Lagian kita salah orang, kirain Nurul Madinah tadi makanya nyapa." Amel yang menjawab dengan nada tidak suka. Aku jadi merasa tidak enak. "Tidak usah pura-pura." Mas Ilham tiba-tiba mengagetkan kami. Dia berdiri di sisi Nurul dengan gagahnya. "Kalian ngapain ke sini? Ngikutin kami?" "Maaf, ya. Kita ke sini itu gak ada niat ngikutin kalian. Emang kalian siapa, artis juga buka apalagi ulama." Amel menjawab ketus, kemudian memutar bola mata malas. Aku yang tidak ingin memperkeruh keadaan—karena tahu wataknya—langsung meninggalkan mereka berdua. Ternyata sefrekuensi, pantas saja Allah jodohkan. Aku menarik senyum sinis sekalipun hati tetap terbakar api cemburu. Amel terus mengomel dengan suara pelan takut pemilik toko mengusir kami. Dengan kejadian mengesalkan ini, aku jadi berpikir dua kalo untuk memberi mereka kado, mungkin diuangkan lebih baik
"Ibu, apa lamaran Gus Hanan ditolak saja?" tanyaku ragu-ragu.Selama ini sibuk menimbang hingga sekarang masih belum menemukan jawaban padahal ba'da dzuhur mereka akan datang sesuai janji Gus Qabil malam tadi. Jejak kenangan terus tereja dalam memori sejak waktu terasa tak berdetak begitu Mas Dika menyampaikan unek-uneknya."Apa alasanmu menolak lamaran Gus Hanan? Dia baik agama dan akhlaknya. Lantas tidak takut jika kelak musibah menimpa kamu? Beliau akan datang bersama Kyai Sholeh, apa berani menolak?"Aku diam, semua yang dikatakan ibu ada benarnya. Namun, bagaimana dengan Mas Dika yang kehilangan cahayanya? Apakah ditakdirkan hidup sebagai mentari redup?"Bu, aku belum mencintai Gus Hanan dan malu pada keluarganya yang semua orang berilmu. Coba Ibu bayangkan dilamar putra kyai yang sangat disegani. Semua orang akan mengira aku bodoh, tetapi memang sulit menjalaninya," lirihku."Apa maksudmu menolak lamaran Gus Hanan?" Pertanyaan Mas Dika berhasil meluruhkan air mata yang sejak tadi
"Maaf, Mas. Haram melamar pinangan orang lain," gumamku berhasil membuat Mas Ilham membisu.Selama ini aku tidak pernah menduga akan dilamar untuk kali ketiga. Padahal sudah banyak waktu terlewat menuai luka yang begitu dalam.Aku menunduk, tidak sanggup menatap wajah yang penuh kedukaan apalagi jika melihat mata Mas Ilham. Pasti ada perih yang seketika membelenggunya. Aku memejamkan mata berusaha menenangkan diri."Carilah perempuan lain, Ham. Yumna sudah dilamar Gus Hanan. Jawabannya sudah ada hanya belum menyampaikan.""Tapi aku cinta ....""Cinta saja tidak cukup. Takdir yang menentukan sementara kita menjalani. Tiada cinta tanpa pengorbanan. Mungkin memang ini yang sudah menjadi takdirmu. Terima saja walau perih merajai hati." Penjelasan Mas Dika cukup bisa membungkam lelaki itu.Masalah kesungguhan hati, aku bjsa merasakannya. Dia memeriksakan diri, kemudian kembali dengan sejuta harapan berujung nestapa. Kejujuran memang a
"Diamlah! Cinta adalah sebutir permata yang tak bisa kaulemparkan sembarangan umpama sebutir batu." –Jalaluddin Rumi.***"Mas, janji loh ya temani ke toko jilbab. Aku tuh mau pakai jilbab baru saat menerima lamaran!" teriakku sambil mengetuk pintu kamar Mas Dika.Tidak ada sahutan padahal sudah puku sepuluh siang. Kalau terus-terusan begini lebih baik pergi sendiri. Aku meminai sekliling rumah mencoba menemukan kunci motor. Nihil."Mas, kunci motor ada di kamu?" teriakku kesal.Bukannya menjawab, Mas Dika malah tertawa jahat. Aku semakin kesal sampai menendang daun pintu tersebut. Rengekanku tidak berarti lagi, Mas Dika kekeuh menutup pintu.Sialnya karena ayah ibu tidak ada di sini, jadi dia bebas berulah. Berulang kali aku memutar otak agar bisa menemukan cara, tetap gagal. Memang ada satu lagi, tetapi tidak meyakinkan.'Coba saja! Kalau gagal, gak apa!', bisik hati nuraniku.Pintu kamar kembali kuketuk. "Ya udah, engg
Ada pesan What$app dari Nurul yang izin bertamu jam dua siang. Sebenarnya it's okay, hanya saja nanti Mas Dika marah. Permintaannya ditolak, tetapi tetap juga datang.Sekarang dia ada di depanku. Mas Dika yang mendengar kabar kedatangan Nurul buru-buru masuk kamar dengan membanting pintu kasar. Aku sampai terperanjat dan mengelus dada."Aku mau ke Amerika minggu depan, Yum. Sebelum ke sana, tolong maafkan aku. Sampaikan pada Mas Dika juga ibu dan ayahmu." Nurul memulai percakapan dengan mimik datar."Serius?" tanyaku kaget.Dia mengangguk. "Sebelum ke Amerika, aku sudah harus selesai mengunjungi semua orang yang pernah kubuat sakit hati. Aku ingin memulai lembaran baru, maka harus meninggalkan Indonesia.""Mas Ilham sudah tahu?" Walau mereka sudah cerai, aku tidak tahu kenapa menanyakan itu. Nurul menggeleng lemah."Di sana nanti sama siapa?""Saudaranya mendiang ibu." Setelah itu Nurul menyodorkan sebuah surat. Katanya buat Mas Dika.
Sepulang dari belanja, aku kaget melihat banyak ibu-ibu kumpul di depan rumah seperti acara bagi sembako. Kali ini masih dipimpin Bu Wenda dan Bu Arin. Mereka selalu berulah seperti akan sekarat jika sehari belum menggibah atau fitnah orang lain. Andin ikut singgah dengan beberapa belanjaan dan itu mengundang perhatian mereka sambil berbisik-bisik. Aku hanya bisa diam karena belum tahu duduk masalahnya. "Mas Dika mana, Bu?" tanyaku setelah menyadari ibu menghadapi mereka semua sendirian. "Masmu lagi ke luar beli ... ibu lupa." "Jawab dong, Bu kenapa sampai cerai sama ayah Dika?" Mataku membulat sempurna mendengar mereka. Pantas saja kumpul seperti orang unjuk rasa, ternyata kepo tingkat dewa. "Wah, Yumna langsung belanja banyak setelah menerima uang dari ayah Dika. Baru pertama seumur hidup ya?" Aku tidak tahu siapa yang melempar pertanyaan itu. Hati mendadak panas, aku meremas gamis sendiri agar bisa menguasai diri. Mereka semua sudah kelewat batas. Semua belanjaan kuserahkan
"Mas, kamu mau ngerebut ayah, kan?" tuduh Nurul yang sengaja bertamu ke rumah kami"Apa katamu? Aku ngerebut ayah?" Mas Dika terkekeh pelan dengan tatapan nyalang. "Ayahku cuma satu dan sedang bekerja. Mentang Pak Fajar itu orang kaya lantas aku akan merebutnya? Sorry, aku gak matre kayak kamu!"Tetangga ada yang melihat kami dari kejauhan, mungkin penasaran apa yang sedang terjadi. Ya, kabar Nurul sebagai adik Mas Dika belum menyebar, aku suka itu.Katanya Mas Dika ingin merebut ayahnya? Ambil saja Pak Fajar-mu itu! batinku kesal."Lalu, kenapa kamu menerima uang sepuluh juta dan ATM itu. Aku saja gak dikasih!" protes Nurul. Aku pikir dia benar berubah kemarin atau karena uang, makanya marah?Mas Dika hendak masuk rumah, mungkin mau mengembalikan apa yang diterimanya kemarin, tetapi aku mencekal sekuat tenaga. Setelah itu, melirik pada Nurul. "Mas Dika punya hak, bahkan lebih daripada kamu!" tegasku."Ibumu dicerai hidup, tetapi ibuku dicer
Tiga puluh lima menit berlalu, sebuah alphard hitam terparkir di halaman depan. Untuk rumah sesederhana ini, aku merasa tidak cocok jika ada mobil mewah di depan. Terlalu mencolok. Seorang lelaki paruh baya dengan perut sedikit besar ke luar dari mobil. Dia memakai kacamata minus. Jas warna abu muda dengan sepatu hitam. Penampilannya jauh berbeda waktu datang sama Nurul. Dia mengetuk pintu, mengucap salam tanpa tahu kami mengintip di balik jendela. Mas Dika membuka, aku bisa melihat tangannya yang gemetaran. Ketika daun pintu terbuka lebar, Pak Fajar terpaku sesaat memindai Mas Dika dari bawah ke atas. Detik selanjutnya, hanya tangisan yang sedikit menggema di rumah sederhana ini. Dia memeluk penuh kerinduan. Aku tidak tahu kenapa dulu beliau mengaku bujang padahal ibu penyayang. "Silakan duduk!" Mas Dika menyilakan Pak Fajar. Beliau duduk di depan kami. Bisa kulihat binar kebahagiaan di matanya, senyum pun merekah menciptakan keriput kecil di
22 08 22Aku suka tanggal itu karena angka di depan dan belakangnya sama persis, kemudian di antarai angka nol dan delapan yang tidak berujung. Jika diumpamakan ; 22 adalah sepasang kekasih, cinta pun sayangnya tiada ujung.Di tanggal itu pula Pak Fajar ditemani Nurul datang bertamu ke rumah mencari Mas Dika, sementara hanya ada aku dan ibu yang bibirnya terkatup rapat. Lelaki paruh baya ini sangat mirip dengan masku, Nurul mungkin tidak memikirkan itu sebelumnya."Sekali saja, Dahlia. Sekali saja aku ingin melihat Dika!" mohonnya."Maaf, Pak Fajar. Namun, Dika selama ini mengira ayahnya telah meninggal." Ibu menyahut setelah lima menit diam. Itu pun karena aku memegang tangannya.Pak Fajar mendesah berat, aku bisa melihat bagaimana dia tidak mudah putus asa atau menyerah jika butuh sesuatu. Nurul sejak tadi tidak pernah membuka suara, aku tidak tahu bagaimana caranya menyampaikan tentang Mas Dika pada ayah mereka.'Ayah mereka', aku tidak s
Mas Dika pulang ke rumah pukul tiga sore, sementara ayah katanya menyusul karena singgah dulu di rumah teman lama yang sefrekuensi. "Mas, tadi Nurul ada di sini loh nungguin kamu!" aduku ragu-ragu. "Ngapain nunggu mas? Gak ada urusan!" ketusnya. "Mas, dia kan adik kamu juga. Apa nanti Mas Dika berubah dan melupakanku apalagi kalau sudah menikah dengan Gus Hanan?" "Yumna, kamu itu ngomong apa sih?! Cuma kamu adik mas gak ada yang lain!" Suara Mas Dika meninggi, aku sedikit takut mendengarnya. Ibu memanggil Mas Dika, sementara aku melangkah cepat masuk kamar. Mungkin sekarang lebih baik mengabari Amel tentang fakta mengejutkan ini. Ketika sibuk dengan ponsel, aku teringat pada Mas Ilham. Sejak lamaran aku tolak, nomornya tidak pernah aktif lagi. Apalagi sekadar lewat atau menyapaku. Tidak ada kabar, Nurul pun seperti enggan memberitahu. "Halo, Amel. Apa aku mengganggu?" sapaku ketika panggilan tersambung. "Tidak, lagi san