Waktu bergulir begitu cepat seakan ada yang meminta agar pernikahannya segera dilangsungkan. Sekarang hari sabtu dan besok Mas Ilham yang pernah melamarku akan mengucapkan ijab qabul menyebut nama Nurul Hafizah. Masya Allah, beruntungnya perempuan itu hendak menjadi istri Mas Ilham. Aku sampai iri dan terus bertanya-tanya kenapa bukan diri ini yang ditakdirkan bersanding dengannya? Notifikasi W******p mengusik sejak tadi, aku pun meraih ponsel yang sedang di-charger. Amel : Aku sudah menemukan kado yang pas untuk mereka. Insya Allah, memilihnya bukan karena benci atau dendam. Aku : Alhamdulillah, terimakasih, Sahabatku. Besok jangan lupa dibawa, ya sekalian aku pinjam jilbab abu silvermu. Amel : Boleh. Sama-sama. "Yumna, ke sini sebentar!" titah Mas Dika yang berdirindi beranda pintu. Aku pun beranjak dan menghampirinya. "Ada apa, Mas?" Mas Dika tersenyum dan menyeretku keluar kamar katanya minta ditemani makan di luar.
Pelaminan yang sangat megah berdiri di halaman rumah Mas Ilham. Aku baru tahu kalau ternyata di sinilah tepatnya tempat aku akan menjadi menantu dulu. Dekorasi warna merah muda berpadu silver glamour pasti sesuai pilihan Nurul. Aku begitu takjub. Banyak tamu undangan yang hadir. Sayang sekali kami melewatkan acara inti karena Amel harus mengantar tantenya tadi. Mas Dika? Tentu saja dia ikut dan kini berdiri di sampingku dengan jas ala-ala Korea yang warnanya senada dengan pakaianku. Aku jadi penasaran kapan jas itu dibelinya. Tampan. "Masuk, yuk!" ajak Amel membuyarkan lamunanku. "Malu, kalian aja, deh. Aku nunggu di sini," responku kaku yang langsung ditarik Mas Dika. Dia bahkan menggenggam tanganku hingga masuk pelaminan. Aku sampai lupa menjelaskan kalau Amel juga membawa adiknya yang hampir setinggi Mas Dika karena tidak ingin terlihat seperti obat nyamuk. Beberapa pasang mata memandang ke arah kami. Mas Dika yang usil malah memaksaku melingkarkan tangan di lengannya. Memalukan
"Mau ke mana?" tanya Mas Dika ketika aku berjalan buru-buru sambil memasang peniti di jilbab rabbani hitam."Mau ke warung Mpok Asih, Mas. Disuruh ibu beli telur.""O," jawabnya sangat singkat. Aku sampai memanyunkan bibir.Cuaca sedikit mendung walau tetap saja merasa panas. Aku melangkah dengan jurus kaki seribu dan hanya beberapa menit sudah sampai. Parahnya komplotan ibu-ibu ada di sana padahal siang gini harusnya mereka tidur di rumah atau mengajari anak PR lah.Terutama perempuan yang memakai daster mustard itu. Namanya Bu Wenda, ibu-ibu yang menfitnahku hamil bahkan tidak segan menguping pembicaraan. Dia memang seperti itu, suka menyebar berita bohong. Semoga saja anaknya tidak mendapat balasan setimpal."Eh, ada Yumna. Mau beli apa, nih?" sapa Mpok Asih begitu melihatku."Telur 20 ribu, Mpok." Aku tersenyum."Pasti senyumnya palsu," sindir Bu Hany."Iyalah, orang tadi Ilham sudah menikah. Belum jadi istri saja sudah did
"Bu Wenda?""Tapi, jangan kamu kira aku bicara tanpa bukti. Beberapa kali aku memergokimu berduaan dengan seorang lelaki bahkan kadang empat orang di rumah kosong dekat sekolah."Bagai disambar petir, kalimat tuduhan Bu Wenda begitu menyayat hati."Kasihan sekali ibumu, Yum. Dia mengira kamu salihah karena selalu ke rumah Ustaz Hasan, padahal sepulang dari sana malah berzina!" Suara Bu Wenda begitu lantang."Mana buktinya?!" Ibu yang sejak tadi diam sudah kembali bersuara, tetapi kali ini matanya menatap tajam. Aku yakin beliau pasti tidak percaya.Bu Wenda terlihat mengotak-atik ponselnya, lalu menunjukkan foto seorang perempuan membelakang dengan empat lelaki hidung belang di hadapannya. Tentu saja itu bukan aku dan tidak ada bukti jelas. Mereka mungkin ingin menjebak, tetapi untuk apa?Aku merasa tidak punya saingan bahkan jika anak Bu Wenda ingin menikah dengan konglomerat pun terserah atau orang dari kerajaan juga boleh."Itu buk
"Jelaskan foto itu sekarang!" titah Mas Dika dengan suara tinggi.Aku gemetaran. Benar, masku telah termakan omongan Bu Wenda. Perempuan tua yang pandai bersilat lidah. Seandainya dia tahu bahwa dosa fitnah itu lebih besar daripada pembunuhan, mungkin dia tidak akan melakukan. Aku penasaran apa motif sebenarnya dari tindakan Bu Wenda."Yumna!" bentak Mas Dika membuatku kaget dan mengelus dada."Dik, jangan kasar sama adik kamu. Itu semua fitnah!" Beruntung ibu tiba-tiba hadir. Namun, nahasnya ayah juga berdiri di ambang pintu. Aku menelan saliva tidak tahu harus menjelaskan bagaimana lagi."Bu, aku cuma tidak mau Yumna melakukan kesalahan, tetapi tidak mengakui atau dia benar, tetapi hanya diam dan ketakutan seperti itu," jelas Mas Dika mengacak rambutnya dan berlalu pergi. Aku menangis di tempat tidur, sementara ayah dan ibu menghampiri.Keluarga kami semakin kacau balau. Apakah pantas aku menyalahkan Mas Ilham? Gara-hara dia yang datang melamar,
Aku tidak bisa tidur malam ini gara-gara kepikiran tentang fitnah itu. Omongan manusia jika sudah dari mulut ke mulut itu semakin bertambah. Aku khawatir dan yang mengira aku ini sudah lebih dari sekadar murah*n. Telepon berdering dan tertera nama Amel di sana. Aku gegas mengangkat karena penasaran padahal sudah pukul sebelas malam. "Assalamu'alaikum, Amel. Ada apa malam-malam telepon? Biasanya abis ziyadah atau muraja'ah kamu langsung tidur." "Waalaikumussalam, Yum!" Suara Amel nampak memburu, dia terdengar mengambil napas berulang kali, kemudian melanjutkan, "Viral, Yum!" "Apa yang viral?" Aku ikut panik. "Buka Faceb*ok, klik link yang aku kirim di inbox!" Aku gegas mematikan sambungan telepon, mengaktifkan data seluler dengan tangan gemetar. Setelah berhasil membaca pesan dari aku Amel aku langsung mengklik link yang di-share-nya. Jaringan yang 4G tidak perlu membuatku menunggu lama. Namun, sayang sekali karena mata harus me
Amel menyetor hafalan al-qur'annya sementara aku duduk dengan debar tak menentu. Kaki dan tangan semakin dingin saja karena gugup. Ustaz Hasan yang terlihat enggan melihat padaku seperti menjadi bukti bahwa beliau percaya kepada Marry. Pun istrinya yang biasa menyapa malah diam saja. Melirik ke kami pun tidak. Aku tahu kalau sebagian prasangka adalah dosa, bisa jadi mereka ada masalah pribadi. Akan tetapi, kebetulan sekali tadi malam beliau di-inbox Marry. Itu yang membuat khawatir. Amel terus menyambung ayat demi ayat yang dihafalnya. Hanya sepuluh menit, lalu dia menutup dengan shodaqallāhul adzīm. Aku semakin deg-degan menanti hal apa yang akan terjadi di detik selanjutnya. Namun, sampai kini Ustaz Hasan tidak memintaku menyetor hafalan seolah aku tidak terlihat di matanya. Bahkan untuk membahas postingan Marry pun tidak. Aku semakin bingung memikirkan apa yang ada dalam pikiran beliau sebagai seorang guru. "Maaf, Ustadz," ucapku ketika beliau hend
"Kamu viral di Facebo*k, kan?" Pertanyaan Mas Dika yang baru pulang dari tempat kerja membuatku bungkam. Pasalnya dia jarang sekali menggunakan aplikasi itu. "Anu, Mas ... itu–" "Mas sudah tahu semuanya. Kevin teman mas bekerja yang cerita. Dia melihat foto kamu terpampang di sana dengan caption dan ratusan komentar yang tidak enak didengar." Aku menunduk, tidak tahu harus bilang apa karena nama pemilik postingan itu tidak aku kenal. "Marry, kamu mengenalnya?" Aku menggeleng. "Dia Bu Wenda," lanjut Mas Dika. Aku seketika mengangkat wajah. "Kenapa Mas tahu Marry itu Bu Wenda?" Mas Dika menjelaskan bahwa Kevin sengaja mengirim inbox pada Marry. Dia mengeluarkan jurus jitu menggombal sehingga ketahuanlah siapa di balik akun itu. Bu Wenda ternyata memberi alamat rumah asli, mungkin akan meminta anak gadisnya pura-pura sebagai Marry secara Kevin ganteng karena blasteran. Aku menelan saliva tidak percaya dengan semua kejadian yang te
"Ibu, apa lamaran Gus Hanan ditolak saja?" tanyaku ragu-ragu.Selama ini sibuk menimbang hingga sekarang masih belum menemukan jawaban padahal ba'da dzuhur mereka akan datang sesuai janji Gus Qabil malam tadi. Jejak kenangan terus tereja dalam memori sejak waktu terasa tak berdetak begitu Mas Dika menyampaikan unek-uneknya."Apa alasanmu menolak lamaran Gus Hanan? Dia baik agama dan akhlaknya. Lantas tidak takut jika kelak musibah menimpa kamu? Beliau akan datang bersama Kyai Sholeh, apa berani menolak?"Aku diam, semua yang dikatakan ibu ada benarnya. Namun, bagaimana dengan Mas Dika yang kehilangan cahayanya? Apakah ditakdirkan hidup sebagai mentari redup?"Bu, aku belum mencintai Gus Hanan dan malu pada keluarganya yang semua orang berilmu. Coba Ibu bayangkan dilamar putra kyai yang sangat disegani. Semua orang akan mengira aku bodoh, tetapi memang sulit menjalaninya," lirihku."Apa maksudmu menolak lamaran Gus Hanan?" Pertanyaan Mas Dika berhasil meluruhkan air mata yang sejak tadi
"Maaf, Mas. Haram melamar pinangan orang lain," gumamku berhasil membuat Mas Ilham membisu.Selama ini aku tidak pernah menduga akan dilamar untuk kali ketiga. Padahal sudah banyak waktu terlewat menuai luka yang begitu dalam.Aku menunduk, tidak sanggup menatap wajah yang penuh kedukaan apalagi jika melihat mata Mas Ilham. Pasti ada perih yang seketika membelenggunya. Aku memejamkan mata berusaha menenangkan diri."Carilah perempuan lain, Ham. Yumna sudah dilamar Gus Hanan. Jawabannya sudah ada hanya belum menyampaikan.""Tapi aku cinta ....""Cinta saja tidak cukup. Takdir yang menentukan sementara kita menjalani. Tiada cinta tanpa pengorbanan. Mungkin memang ini yang sudah menjadi takdirmu. Terima saja walau perih merajai hati." Penjelasan Mas Dika cukup bisa membungkam lelaki itu.Masalah kesungguhan hati, aku bjsa merasakannya. Dia memeriksakan diri, kemudian kembali dengan sejuta harapan berujung nestapa. Kejujuran memang a
"Diamlah! Cinta adalah sebutir permata yang tak bisa kaulemparkan sembarangan umpama sebutir batu." –Jalaluddin Rumi.***"Mas, janji loh ya temani ke toko jilbab. Aku tuh mau pakai jilbab baru saat menerima lamaran!" teriakku sambil mengetuk pintu kamar Mas Dika.Tidak ada sahutan padahal sudah puku sepuluh siang. Kalau terus-terusan begini lebih baik pergi sendiri. Aku meminai sekliling rumah mencoba menemukan kunci motor. Nihil."Mas, kunci motor ada di kamu?" teriakku kesal.Bukannya menjawab, Mas Dika malah tertawa jahat. Aku semakin kesal sampai menendang daun pintu tersebut. Rengekanku tidak berarti lagi, Mas Dika kekeuh menutup pintu.Sialnya karena ayah ibu tidak ada di sini, jadi dia bebas berulah. Berulang kali aku memutar otak agar bisa menemukan cara, tetap gagal. Memang ada satu lagi, tetapi tidak meyakinkan.'Coba saja! Kalau gagal, gak apa!', bisik hati nuraniku.Pintu kamar kembali kuketuk. "Ya udah, engg
Ada pesan What$app dari Nurul yang izin bertamu jam dua siang. Sebenarnya it's okay, hanya saja nanti Mas Dika marah. Permintaannya ditolak, tetapi tetap juga datang.Sekarang dia ada di depanku. Mas Dika yang mendengar kabar kedatangan Nurul buru-buru masuk kamar dengan membanting pintu kasar. Aku sampai terperanjat dan mengelus dada."Aku mau ke Amerika minggu depan, Yum. Sebelum ke sana, tolong maafkan aku. Sampaikan pada Mas Dika juga ibu dan ayahmu." Nurul memulai percakapan dengan mimik datar."Serius?" tanyaku kaget.Dia mengangguk. "Sebelum ke Amerika, aku sudah harus selesai mengunjungi semua orang yang pernah kubuat sakit hati. Aku ingin memulai lembaran baru, maka harus meninggalkan Indonesia.""Mas Ilham sudah tahu?" Walau mereka sudah cerai, aku tidak tahu kenapa menanyakan itu. Nurul menggeleng lemah."Di sana nanti sama siapa?""Saudaranya mendiang ibu." Setelah itu Nurul menyodorkan sebuah surat. Katanya buat Mas Dika.
Sepulang dari belanja, aku kaget melihat banyak ibu-ibu kumpul di depan rumah seperti acara bagi sembako. Kali ini masih dipimpin Bu Wenda dan Bu Arin. Mereka selalu berulah seperti akan sekarat jika sehari belum menggibah atau fitnah orang lain. Andin ikut singgah dengan beberapa belanjaan dan itu mengundang perhatian mereka sambil berbisik-bisik. Aku hanya bisa diam karena belum tahu duduk masalahnya. "Mas Dika mana, Bu?" tanyaku setelah menyadari ibu menghadapi mereka semua sendirian. "Masmu lagi ke luar beli ... ibu lupa." "Jawab dong, Bu kenapa sampai cerai sama ayah Dika?" Mataku membulat sempurna mendengar mereka. Pantas saja kumpul seperti orang unjuk rasa, ternyata kepo tingkat dewa. "Wah, Yumna langsung belanja banyak setelah menerima uang dari ayah Dika. Baru pertama seumur hidup ya?" Aku tidak tahu siapa yang melempar pertanyaan itu. Hati mendadak panas, aku meremas gamis sendiri agar bisa menguasai diri. Mereka semua sudah kelewat batas. Semua belanjaan kuserahkan
"Mas, kamu mau ngerebut ayah, kan?" tuduh Nurul yang sengaja bertamu ke rumah kami"Apa katamu? Aku ngerebut ayah?" Mas Dika terkekeh pelan dengan tatapan nyalang. "Ayahku cuma satu dan sedang bekerja. Mentang Pak Fajar itu orang kaya lantas aku akan merebutnya? Sorry, aku gak matre kayak kamu!"Tetangga ada yang melihat kami dari kejauhan, mungkin penasaran apa yang sedang terjadi. Ya, kabar Nurul sebagai adik Mas Dika belum menyebar, aku suka itu.Katanya Mas Dika ingin merebut ayahnya? Ambil saja Pak Fajar-mu itu! batinku kesal."Lalu, kenapa kamu menerima uang sepuluh juta dan ATM itu. Aku saja gak dikasih!" protes Nurul. Aku pikir dia benar berubah kemarin atau karena uang, makanya marah?Mas Dika hendak masuk rumah, mungkin mau mengembalikan apa yang diterimanya kemarin, tetapi aku mencekal sekuat tenaga. Setelah itu, melirik pada Nurul. "Mas Dika punya hak, bahkan lebih daripada kamu!" tegasku."Ibumu dicerai hidup, tetapi ibuku dicer
Tiga puluh lima menit berlalu, sebuah alphard hitam terparkir di halaman depan. Untuk rumah sesederhana ini, aku merasa tidak cocok jika ada mobil mewah di depan. Terlalu mencolok. Seorang lelaki paruh baya dengan perut sedikit besar ke luar dari mobil. Dia memakai kacamata minus. Jas warna abu muda dengan sepatu hitam. Penampilannya jauh berbeda waktu datang sama Nurul. Dia mengetuk pintu, mengucap salam tanpa tahu kami mengintip di balik jendela. Mas Dika membuka, aku bisa melihat tangannya yang gemetaran. Ketika daun pintu terbuka lebar, Pak Fajar terpaku sesaat memindai Mas Dika dari bawah ke atas. Detik selanjutnya, hanya tangisan yang sedikit menggema di rumah sederhana ini. Dia memeluk penuh kerinduan. Aku tidak tahu kenapa dulu beliau mengaku bujang padahal ibu penyayang. "Silakan duduk!" Mas Dika menyilakan Pak Fajar. Beliau duduk di depan kami. Bisa kulihat binar kebahagiaan di matanya, senyum pun merekah menciptakan keriput kecil di
22 08 22Aku suka tanggal itu karena angka di depan dan belakangnya sama persis, kemudian di antarai angka nol dan delapan yang tidak berujung. Jika diumpamakan ; 22 adalah sepasang kekasih, cinta pun sayangnya tiada ujung.Di tanggal itu pula Pak Fajar ditemani Nurul datang bertamu ke rumah mencari Mas Dika, sementara hanya ada aku dan ibu yang bibirnya terkatup rapat. Lelaki paruh baya ini sangat mirip dengan masku, Nurul mungkin tidak memikirkan itu sebelumnya."Sekali saja, Dahlia. Sekali saja aku ingin melihat Dika!" mohonnya."Maaf, Pak Fajar. Namun, Dika selama ini mengira ayahnya telah meninggal." Ibu menyahut setelah lima menit diam. Itu pun karena aku memegang tangannya.Pak Fajar mendesah berat, aku bisa melihat bagaimana dia tidak mudah putus asa atau menyerah jika butuh sesuatu. Nurul sejak tadi tidak pernah membuka suara, aku tidak tahu bagaimana caranya menyampaikan tentang Mas Dika pada ayah mereka.'Ayah mereka', aku tidak s
Mas Dika pulang ke rumah pukul tiga sore, sementara ayah katanya menyusul karena singgah dulu di rumah teman lama yang sefrekuensi. "Mas, tadi Nurul ada di sini loh nungguin kamu!" aduku ragu-ragu. "Ngapain nunggu mas? Gak ada urusan!" ketusnya. "Mas, dia kan adik kamu juga. Apa nanti Mas Dika berubah dan melupakanku apalagi kalau sudah menikah dengan Gus Hanan?" "Yumna, kamu itu ngomong apa sih?! Cuma kamu adik mas gak ada yang lain!" Suara Mas Dika meninggi, aku sedikit takut mendengarnya. Ibu memanggil Mas Dika, sementara aku melangkah cepat masuk kamar. Mungkin sekarang lebih baik mengabari Amel tentang fakta mengejutkan ini. Ketika sibuk dengan ponsel, aku teringat pada Mas Ilham. Sejak lamaran aku tolak, nomornya tidak pernah aktif lagi. Apalagi sekadar lewat atau menyapaku. Tidak ada kabar, Nurul pun seperti enggan memberitahu. "Halo, Amel. Apa aku mengganggu?" sapaku ketika panggilan tersambung. "Tidak, lagi san