Amel menyetor hafalan al-qur'annya sementara aku duduk dengan debar tak menentu. Kaki dan tangan semakin dingin saja karena gugup. Ustaz Hasan yang terlihat enggan melihat padaku seperti menjadi bukti bahwa beliau percaya kepada Marry.
Pun istrinya yang biasa menyapa malah diam saja. Melirik ke kami pun tidak. Aku tahu kalau sebagian prasangka adalah dosa, bisa jadi mereka ada masalah pribadi. Akan tetapi, kebetulan sekali tadi malam beliau di-inbox Marry. Itu yang membuat khawatir.
Amel terus menyambung ayat demi ayat yang dihafalnya. Hanya sepuluh menit, lalu dia menutup dengan shodaqallāhul adzīm. Aku semakin deg-degan menanti hal apa yang akan terjadi di detik selanjutnya.
Namun, sampai kini Ustaz Hasan tidak memintaku menyetor hafalan seolah aku tidak terlihat di matanya. Bahkan untuk membahas postingan Marry pun tidak. Aku semakin bingung memikirkan apa yang ada dalam pikiran beliau sebagai seorang guru.
"Maaf, Ustadz," ucapku ketika beliau hend
"Kamu viral di Facebo*k, kan?" Pertanyaan Mas Dika yang baru pulang dari tempat kerja membuatku bungkam. Pasalnya dia jarang sekali menggunakan aplikasi itu. "Anu, Mas ... itu–" "Mas sudah tahu semuanya. Kevin teman mas bekerja yang cerita. Dia melihat foto kamu terpampang di sana dengan caption dan ratusan komentar yang tidak enak didengar." Aku menunduk, tidak tahu harus bilang apa karena nama pemilik postingan itu tidak aku kenal. "Marry, kamu mengenalnya?" Aku menggeleng. "Dia Bu Wenda," lanjut Mas Dika. Aku seketika mengangkat wajah. "Kenapa Mas tahu Marry itu Bu Wenda?" Mas Dika menjelaskan bahwa Kevin sengaja mengirim inbox pada Marry. Dia mengeluarkan jurus jitu menggombal sehingga ketahuanlah siapa di balik akun itu. Bu Wenda ternyata memberi alamat rumah asli, mungkin akan meminta anak gadisnya pura-pura sebagai Marry secara Kevin ganteng karena blasteran. Aku menelan saliva tidak percaya dengan semua kejadian yang te
Sesampainya di rumah, kami langsung pergi dengan menggunakan sepeda motor. Bukan, bukan ke rumah Ustaz Hasan karena hari ini masih diliburkan. Amel yang dikabari istrinya tadi malam via telepon. "Kita mau ke mana, Mel?" tanyaku penasaran. "Ke mana saja, tepatnya mengembara tanpa tujuan." Amel menambah kecepatan motornya. Kami diam tanpa kata, tetapi di kilometer ke empat netraku melihat seorang perempuan yang memakai kaos lengan pendek juga celana di atas lutut. Dia sangat mirip dengan Nurul. Kuminta Amel untuk berhenti, beruntung dia mendengar. "Kenapa, Yum?" "Itu Nurul, kan?" tunjukku pada perempuan itu. Jarak kami tidak terlalu jauh. "Iya, benar. Dia sama siapa itu? Tidak pakai jilbab lagi." Amel memasukkan ponsel ke saku gamisnya tepat di dada sebelah kiri. Jilbab segitiganya diikat bagian bawah sehingga siapa pun akan melihatnya ponsel itu. "Kita samperin, yuk!" ajak Amel langsung menarik tanganku. Nurul tidak menyadari kehadiran kami, dia benar-benar asik mengobrol dengan
"Waalaikumussalam, Gus Qabil?" Lelaki itu tersenyum dan sangat manis aku sampai resah dan gelisah karena hampir meleleh dibuatnya. Bagaimana mungkin hati tidak luluh jika berhadapan dengannya. Aku menunduk dengan cepat untuk mengalihkan pikiran. "Dengar-dengar kamu sudah ada yang lamar, Na?" tanyanya sopan. "Eum, iya cuman–" "Ouh," potong Gus Qabil cepat seolah tidak ingin mendengar kalimat selanjutnya. Namun, karena tidak ingin menyesal seperti di film-film siapa tahu ingin dijadikan istri kedua, maka aku langsung melanjutkan, "dia sudah menikah dengan Nurul, Gus." "Apa?!" Wajah Gus Qabil sedikit terkejut, tetapi aku bisa melihat binar di matanya. "Maaf, aku cuma kaget saja tadi kenapa sampai bisa seperti itu. Akan tetapi, karena itu hal pribadi pastinya jadi aku gak akan nanya." "Em." Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku. "Aku pamit, assalamu'alaikum." "Waalaikumussalam, Gus," lirihku menatap punggung
"Ayah? Kok ayah bakal tahu? Maksudnya gimana, Mas?" Tidak ada sahutan dari luar. Aku mengulangi kalimat tadi hingga empat kali. Huh, Mas Dika memang kebiasaan meninggalkan teman bicaranya. Sangat tidak sopan, makanya hingga sekarang belum menikah juga. Pertama, aku mencari akun Facebo*k Amel, cukup sulit karena banyak yang namanya mirip. Namun, itu semua tidak membuatku jenuh sehingga jari tetap mencari. Ini bukan hal tabu, kenapa harus merasa malas? "Ketemu!" seruku kegirangan. Dengan cepat jariku meminta pertemanan padanya, lalu men-scrool beranda siapa tahu ada petunjuk kalau selama ini dia membantu diam-diam demi menjaga perasaanku. Ibu jariku tidak lagi bergerak ke atas untuk men-scrool ke bawah. Bagaimana mugkin ini terjadi sedangkan Amel adalah sahabatku. Ya, dia foto berdua dengan Nurul Hafizah di cafe tadi malam dengan menyertakan caption yang menyayat hati. Amel bilang bahwa pertemanan bisa renggang karena salah satu dari mereka tidak terbuka atau telah menjelma menjad
"Apa, sih, Mas?!" tanyaku tak sabar."Tumben foto kamu cantik banget di sini," jawab Mas Dika tanpa rasa bersalah. Dia menunjukkan fotoku waktu di majelis bersama Amel."Kirain apa. Jangan-jangan berdebar karena Amel," sindirku."Guyonan kamu gak lucu. Makan sana!"Mas Dika kembali mengotak-atik ponselku. Entahlah, yang penting saat ini aku bisa makan sampai kenyang. Pikiran tiba-tiba terusik oleh sesuatu. Ya, perkara tadi sore itu. Memangnya Gus Qabil mau ke mana sampai bisa lewat di depan rumah?Hati selalu resah kala mengingatnya padahal selama ini sudah perlahan melupakan, takdir malah kembali mempertemukan kami walau sekejab. Namun, sekejab itulah yang menjadikan rindu semakin meronta ingin diberikan penawarnya."Parah-parah!" seru Mas Dika lagi. Namun, aku tidak peduli melainkan langsung mengangkat piring dan mencucinya sekalian."Sini hpku, Mas. Kamu juga cuma buka galeri kayak gak niat bantu.""Siapa ini, Yum?" Mas Dika
Amel benar-benar tega memutuskan persahabatan yang sudah terjalin lama. Suka-duka telah kita lalui bersama. Sayang seribu kali sayang karena ingatan Amel mungkin sudah dihapuskan semua tentang masa lalu.Aku duduk termangu di ruang tamu sambil mengenang masa-masa indah kami. Sejak sekolah di MTs hingga sekarang kita selalu bersama. Ah, semua hancur sejak kehadiran Nurul yang diawali lamaran palsu Mas Ilham.Dua manusia yang tega menusuk belati dalam hatiku. Memang fitnah bukan berasal dari Mas Ilham, tetapi Bu Wenda bersikap demikian karena sikap tak beretikanya. Aku sampai malu sekeluarga dan menjadi buah bibir hingga kini."Siapa yang datang, Yum?""Ibu. Itu tadi Amel datang cuma sebentar, disuruh masuk gak mau karena ada Nurul yang menunggu. Sekarang benar-benar sudah hancur, Bu seolah jatuh ke jurang, muka hancur eh ketiban batu lagi." Aku memaksa senyum."Tidak apa-apa, Yum. Kalau memang Allah sudah membukakan hati mereka semua, pasti Amel aka
Amel : Kita ketemu di depan masjid Al-Hamid. Ada hal yang harus kamu tahu, ini penting! Pesan Amel membuatku terkejut, kemarin diblokir dan cuek bebek sekarang minta ketemuan. Jarak memang tidak jauh, tetapi dalam rangka apa? Aku masih tidak mengerti dengan sahabatku ini. Apakah dia berpihak padaku atau pada Nurul? Semua berubah seperti sudah diprovokasi oleh Marry. Tentu ini membuat kepalaku jadi pusing, belum lagi soal Mas Dika. Aku : Baiklah. Kapan? Amel : Sekarang. Aku sudah ada di sini, menunggumu. Cepatlah! Tanpa membalas lagi, aku gegas menyambar jilbab dan berlari kecil ke luar. Motor Mas Dika masih terparkir di depan rumah. Sejak kejadian tiga hari lalu, dia tidak pernah ke percetakan. Lima menit aku mengendarai motor, kini tiba di semuah masjid besar bernuansa hijau muda, menyejukkan mata siapa saja yang memandangnya. Di depan pintu berdiri seorang perempuan yang selama ini selalu berhasil menenangkan hati. Kini tidak, karena aku tidak tahu apa tujuannya ke sini. Bisa
POV AUTHORAmel menambah kecepatan motor karena seseorang yang akan ditemuinya hendak ke Makassar. Dia tidak habis pikir kalau sesuatu ini menjadi tidak jelas dan terus menimbulkan banyak prasangka. Takdir baik berpihak karena kendaraan tidak terlalu banyak jadi mudah menyalip.Di depan rumah Ustaz Hasan dia berdiri. Fortuner hitam sudah terparkir di halaman depan. Tanpa menunggu waktu lagi, Amel langsung turun dari motor dan mengetuk pintu rumah yang setengah terbuka. "Assalamualaikum!""Waalaikumussalam!" jawab Ustaz Hasan, lalu meminta Amel masuk. Istrinya juga ikut duduk bersama mereka."Ustaz sudah mau berangkat? Mohon waktunya sebentar, Ustaz.""Ke Makassar? Iya, insya Allah berangkat satu jam lagi ke bandara. Ada apa?"Amel tidak ingin basa-basi dan membuang kesempatan. Dia pun mulai menceritakan semua kejadian awal dan meyakinkan gurunya bahwa semua yang dialami Yumna itu berat. Dia difitnah oleh seseorang yang masih Amel rahasiakan
"Ibu, apa lamaran Gus Hanan ditolak saja?" tanyaku ragu-ragu.Selama ini sibuk menimbang hingga sekarang masih belum menemukan jawaban padahal ba'da dzuhur mereka akan datang sesuai janji Gus Qabil malam tadi. Jejak kenangan terus tereja dalam memori sejak waktu terasa tak berdetak begitu Mas Dika menyampaikan unek-uneknya."Apa alasanmu menolak lamaran Gus Hanan? Dia baik agama dan akhlaknya. Lantas tidak takut jika kelak musibah menimpa kamu? Beliau akan datang bersama Kyai Sholeh, apa berani menolak?"Aku diam, semua yang dikatakan ibu ada benarnya. Namun, bagaimana dengan Mas Dika yang kehilangan cahayanya? Apakah ditakdirkan hidup sebagai mentari redup?"Bu, aku belum mencintai Gus Hanan dan malu pada keluarganya yang semua orang berilmu. Coba Ibu bayangkan dilamar putra kyai yang sangat disegani. Semua orang akan mengira aku bodoh, tetapi memang sulit menjalaninya," lirihku."Apa maksudmu menolak lamaran Gus Hanan?" Pertanyaan Mas Dika berhasil meluruhkan air mata yang sejak tadi
"Maaf, Mas. Haram melamar pinangan orang lain," gumamku berhasil membuat Mas Ilham membisu.Selama ini aku tidak pernah menduga akan dilamar untuk kali ketiga. Padahal sudah banyak waktu terlewat menuai luka yang begitu dalam.Aku menunduk, tidak sanggup menatap wajah yang penuh kedukaan apalagi jika melihat mata Mas Ilham. Pasti ada perih yang seketika membelenggunya. Aku memejamkan mata berusaha menenangkan diri."Carilah perempuan lain, Ham. Yumna sudah dilamar Gus Hanan. Jawabannya sudah ada hanya belum menyampaikan.""Tapi aku cinta ....""Cinta saja tidak cukup. Takdir yang menentukan sementara kita menjalani. Tiada cinta tanpa pengorbanan. Mungkin memang ini yang sudah menjadi takdirmu. Terima saja walau perih merajai hati." Penjelasan Mas Dika cukup bisa membungkam lelaki itu.Masalah kesungguhan hati, aku bjsa merasakannya. Dia memeriksakan diri, kemudian kembali dengan sejuta harapan berujung nestapa. Kejujuran memang a
"Diamlah! Cinta adalah sebutir permata yang tak bisa kaulemparkan sembarangan umpama sebutir batu." –Jalaluddin Rumi.***"Mas, janji loh ya temani ke toko jilbab. Aku tuh mau pakai jilbab baru saat menerima lamaran!" teriakku sambil mengetuk pintu kamar Mas Dika.Tidak ada sahutan padahal sudah puku sepuluh siang. Kalau terus-terusan begini lebih baik pergi sendiri. Aku meminai sekliling rumah mencoba menemukan kunci motor. Nihil."Mas, kunci motor ada di kamu?" teriakku kesal.Bukannya menjawab, Mas Dika malah tertawa jahat. Aku semakin kesal sampai menendang daun pintu tersebut. Rengekanku tidak berarti lagi, Mas Dika kekeuh menutup pintu.Sialnya karena ayah ibu tidak ada di sini, jadi dia bebas berulah. Berulang kali aku memutar otak agar bisa menemukan cara, tetap gagal. Memang ada satu lagi, tetapi tidak meyakinkan.'Coba saja! Kalau gagal, gak apa!', bisik hati nuraniku.Pintu kamar kembali kuketuk. "Ya udah, engg
Ada pesan What$app dari Nurul yang izin bertamu jam dua siang. Sebenarnya it's okay, hanya saja nanti Mas Dika marah. Permintaannya ditolak, tetapi tetap juga datang.Sekarang dia ada di depanku. Mas Dika yang mendengar kabar kedatangan Nurul buru-buru masuk kamar dengan membanting pintu kasar. Aku sampai terperanjat dan mengelus dada."Aku mau ke Amerika minggu depan, Yum. Sebelum ke sana, tolong maafkan aku. Sampaikan pada Mas Dika juga ibu dan ayahmu." Nurul memulai percakapan dengan mimik datar."Serius?" tanyaku kaget.Dia mengangguk. "Sebelum ke Amerika, aku sudah harus selesai mengunjungi semua orang yang pernah kubuat sakit hati. Aku ingin memulai lembaran baru, maka harus meninggalkan Indonesia.""Mas Ilham sudah tahu?" Walau mereka sudah cerai, aku tidak tahu kenapa menanyakan itu. Nurul menggeleng lemah."Di sana nanti sama siapa?""Saudaranya mendiang ibu." Setelah itu Nurul menyodorkan sebuah surat. Katanya buat Mas Dika.
Sepulang dari belanja, aku kaget melihat banyak ibu-ibu kumpul di depan rumah seperti acara bagi sembako. Kali ini masih dipimpin Bu Wenda dan Bu Arin. Mereka selalu berulah seperti akan sekarat jika sehari belum menggibah atau fitnah orang lain. Andin ikut singgah dengan beberapa belanjaan dan itu mengundang perhatian mereka sambil berbisik-bisik. Aku hanya bisa diam karena belum tahu duduk masalahnya. "Mas Dika mana, Bu?" tanyaku setelah menyadari ibu menghadapi mereka semua sendirian. "Masmu lagi ke luar beli ... ibu lupa." "Jawab dong, Bu kenapa sampai cerai sama ayah Dika?" Mataku membulat sempurna mendengar mereka. Pantas saja kumpul seperti orang unjuk rasa, ternyata kepo tingkat dewa. "Wah, Yumna langsung belanja banyak setelah menerima uang dari ayah Dika. Baru pertama seumur hidup ya?" Aku tidak tahu siapa yang melempar pertanyaan itu. Hati mendadak panas, aku meremas gamis sendiri agar bisa menguasai diri. Mereka semua sudah kelewat batas. Semua belanjaan kuserahkan
"Mas, kamu mau ngerebut ayah, kan?" tuduh Nurul yang sengaja bertamu ke rumah kami"Apa katamu? Aku ngerebut ayah?" Mas Dika terkekeh pelan dengan tatapan nyalang. "Ayahku cuma satu dan sedang bekerja. Mentang Pak Fajar itu orang kaya lantas aku akan merebutnya? Sorry, aku gak matre kayak kamu!"Tetangga ada yang melihat kami dari kejauhan, mungkin penasaran apa yang sedang terjadi. Ya, kabar Nurul sebagai adik Mas Dika belum menyebar, aku suka itu.Katanya Mas Dika ingin merebut ayahnya? Ambil saja Pak Fajar-mu itu! batinku kesal."Lalu, kenapa kamu menerima uang sepuluh juta dan ATM itu. Aku saja gak dikasih!" protes Nurul. Aku pikir dia benar berubah kemarin atau karena uang, makanya marah?Mas Dika hendak masuk rumah, mungkin mau mengembalikan apa yang diterimanya kemarin, tetapi aku mencekal sekuat tenaga. Setelah itu, melirik pada Nurul. "Mas Dika punya hak, bahkan lebih daripada kamu!" tegasku."Ibumu dicerai hidup, tetapi ibuku dicer
Tiga puluh lima menit berlalu, sebuah alphard hitam terparkir di halaman depan. Untuk rumah sesederhana ini, aku merasa tidak cocok jika ada mobil mewah di depan. Terlalu mencolok. Seorang lelaki paruh baya dengan perut sedikit besar ke luar dari mobil. Dia memakai kacamata minus. Jas warna abu muda dengan sepatu hitam. Penampilannya jauh berbeda waktu datang sama Nurul. Dia mengetuk pintu, mengucap salam tanpa tahu kami mengintip di balik jendela. Mas Dika membuka, aku bisa melihat tangannya yang gemetaran. Ketika daun pintu terbuka lebar, Pak Fajar terpaku sesaat memindai Mas Dika dari bawah ke atas. Detik selanjutnya, hanya tangisan yang sedikit menggema di rumah sederhana ini. Dia memeluk penuh kerinduan. Aku tidak tahu kenapa dulu beliau mengaku bujang padahal ibu penyayang. "Silakan duduk!" Mas Dika menyilakan Pak Fajar. Beliau duduk di depan kami. Bisa kulihat binar kebahagiaan di matanya, senyum pun merekah menciptakan keriput kecil di
22 08 22Aku suka tanggal itu karena angka di depan dan belakangnya sama persis, kemudian di antarai angka nol dan delapan yang tidak berujung. Jika diumpamakan ; 22 adalah sepasang kekasih, cinta pun sayangnya tiada ujung.Di tanggal itu pula Pak Fajar ditemani Nurul datang bertamu ke rumah mencari Mas Dika, sementara hanya ada aku dan ibu yang bibirnya terkatup rapat. Lelaki paruh baya ini sangat mirip dengan masku, Nurul mungkin tidak memikirkan itu sebelumnya."Sekali saja, Dahlia. Sekali saja aku ingin melihat Dika!" mohonnya."Maaf, Pak Fajar. Namun, Dika selama ini mengira ayahnya telah meninggal." Ibu menyahut setelah lima menit diam. Itu pun karena aku memegang tangannya.Pak Fajar mendesah berat, aku bisa melihat bagaimana dia tidak mudah putus asa atau menyerah jika butuh sesuatu. Nurul sejak tadi tidak pernah membuka suara, aku tidak tahu bagaimana caranya menyampaikan tentang Mas Dika pada ayah mereka.'Ayah mereka', aku tidak s
Mas Dika pulang ke rumah pukul tiga sore, sementara ayah katanya menyusul karena singgah dulu di rumah teman lama yang sefrekuensi. "Mas, tadi Nurul ada di sini loh nungguin kamu!" aduku ragu-ragu. "Ngapain nunggu mas? Gak ada urusan!" ketusnya. "Mas, dia kan adik kamu juga. Apa nanti Mas Dika berubah dan melupakanku apalagi kalau sudah menikah dengan Gus Hanan?" "Yumna, kamu itu ngomong apa sih?! Cuma kamu adik mas gak ada yang lain!" Suara Mas Dika meninggi, aku sedikit takut mendengarnya. Ibu memanggil Mas Dika, sementara aku melangkah cepat masuk kamar. Mungkin sekarang lebih baik mengabari Amel tentang fakta mengejutkan ini. Ketika sibuk dengan ponsel, aku teringat pada Mas Ilham. Sejak lamaran aku tolak, nomornya tidak pernah aktif lagi. Apalagi sekadar lewat atau menyapaku. Tidak ada kabar, Nurul pun seperti enggan memberitahu. "Halo, Amel. Apa aku mengganggu?" sapaku ketika panggilan tersambung. "Tidak, lagi san