Ayah langsung duduk di samping Mas Dika. Wajah lelahnya masih terlihat jelas, peluh membasahi tubuh lelaki yang sangat mencintaiku itu. Untuk menghindari amarah, ibu meminta ayah mandi lebih dulu untuk melepas penat.
Aku bernapas lega ketika ayah tersenyum, lalu melangkah ke kamar mandi. Sekarang harus mencari tahu cara menyampaikan berita ini ke ayah. Lelaki paruh baya yang menjadi pahlawan untuk istri dan anaknya itu pasti sangat terluka ketika anak gadis satu-satunya harus ditinggal lelaki yang telah melamar dua minggu lalu.
"Telepon Ilham!" titah Mas Dika membuatku membelalakkan mata.
"T-tapi, Mas?"
Mas Ilham mengembus napas kasar. "Telepon atau mas datangi langsung!" geramnya.
Ibu memegang tanganku dengan tatapan seakan meminta segera menelepon Mas Ilham. Aku takut Mas Dika melakukan kekerasan karena mereka seumuran, yaitu tiga tahun di atasku. Dengan ragu aku merogoh ponsel dan menelepon lelaki yang saat ini masih bersemayam dalam hati.
Panggilan ke tiga baru diangkat. Tanpa diduga, Mas Dika merampas ponsel itu dari genggamanku. Tangan kekarnya menekan ikon loudspeaker, lalu mengusap wajah kasar. Aku yakin, dia tersulut emosi.
"Maaf, Mas Ilham tadi ke luar–"
"Ini siapa?" potong Mas Dika cepat. Dia terlihat tidak sabaran.
"Nurul Hafizah."
Mas Dika menatapku penuh tanya, aku mengangkat kedua bahu sebagai tanda tidak tahu. Baru saja Mas Dika ingin menutup telepon, tiba-tiba terdengar suara Mas Ilham. Mereka mengobrol ringan yang kemudian harus berhenti karena Nurul memberitahu ada telepon untuknya.
"Halo?" sapa Mas Ilham dari balik telepon.
"Ilham, kalau kamu benar lelaki, datang ke rumah sekarang!" gertak Mas Dika.
"Sekarang tidak bisa karena ada urusan dengan ca ... maksudku dengan Nurul."
"Urusanmu dengan adikku belum selesai, aku tunggu sekarang atau aku yang datang langsung ke rumahmu!"
Mas Ilham setuju dengan permintaan itu, suaranya gagap. Terdengar pula rengekan Nurul yang tidak terima hari ini batal jalan-jalan. Aku jadi curiga perempuan itulah yang menjadi alasan Mas Ilham memutuskan lamaran. Entah apa status mereka, tidak ada yang tahu.
Sepuluh menit kemudian, ayah keluar dari kamar dengan wajah berseri-seri. Aku merasa tidak enak jika saja senyum itu akan sirna dalam hitungan detik. Beliau duduk di samping ibu sekarang, lalu bertanya tentang apa yang membuat kami kumpul di ruang tengah padahal seharusnya melakukan kesibukan masing-masing.
"Ibu mau bicara, tapi tolong jangan marah." Ibu berusaha santai walau wajahnya terlihat tegang. "Tentang Ilham dan Yumna," lanjutnya.
"Kenapa? Ada masalah? Tanggal pernikahan tidak cocok atau apa? Ditunda?" kejar ayah.
"Ilham mem–"
"Ibu!" potongku seraya memegang bahu ibu. "Mungkin sebaiknya aku saja yang bicara pada ayah, Bu."
Setelah mendapat anggukan dari ibu, aku menarik napas panjang berulang kali. Tidak lama setelah itu, aku mulai menceritakan dari awal sampai akhir dengan suara gemetar dan air mata yang berbaris membasahi pipi. Ayah tercengang, kedua matanya membelalak sempurna.
Senyum itu benar sirna. Aku sangat terluka pun menyesal tidak mendengarkan Mas Dika. Kalau saja waktu itu aku menolak lamarannya, pasti tidak akan ada kejadian seperti ini. Keluarga kami hanya akan merasakan bahagia. Ataukah ini bagian dari ujian?
"Lalu, apa orangtuanya Ilham tidak ada tindakan apa-apa selain menelepon?" tanya ayah dengan suara lemah.
"Tidak, Yah, katanya terlalu malu untuk bertatap muka." Mas Dika yang menjawab.
Tatapan ayah kosong, aku jadi ingat kejadian dua hari sebelum lamaran. Orangtua Mas Ilham menelepon dan memberi kabar kalau beliau akan datang membawa rombongan keluarga dan seorang ustaz untuk meminang. Saat itu mata ayah berbinar sampai menangis haru, lalu beliau dengan gerak cepat menelepon saudaranya yang ada di kota untuk datang ke rumah menghadiri acara lamaranku.
"Ayah kenapa?" tanya Mas Dika saat itu.
"Adik kamu, Dik. Adik kamu mau dilamar laki-laki yang agamanya baik!" jawab ayah antusias.
Mas Dika tersenyum, langsung memelukku sejenak. Bahkan dia tidak merasa sedih jika aku menikah lebih dulu. Sebegitu sayangnya Mas Dika pada adik sendiri. Sementara ibu, beliau terus berucap syukur dan tidak sabar menunggu hari berikutnya.
"Ilham telah mencoreng nama baik keluarga kita. Lamaran yang dibatalkan ini akan menjadi buah bibir tetangga bahkan sampai satu kampung," lirih ayah masih dengan tatapan kosongnya memecah lamunanku.
***
Setelah salat asar, Mas Ilham sudah tiba di rumah. Dia sendirian padahal tadi saat menelepon sedang bersama perempuan yang entah siapa. Aku menggigit bibir dengan rasa was-was takut Mas Dika tidak bisa menahan emosi.
"Apa alasanmu memutus lamaran ini sepihak, Ilham? Juga kenapa tidak bicara langsung, melainkan hanya mengirim pesan." Ayah membuka percakapan. Mas Ilham terlihat biasa saja tanpa rasa bersalah.
"Tidak ada salahnya menyampaikan lewat pesan Whats*pp karena belum menikah, Pak. Orang yang sudah menikah saja bisa menalak istrinya dengan mengirim sms."
"Ilham!" bentak Mas Dika, dia berdiri dengan tangan terkepal. Beruntung ibu langsung memaksanya duduk kembali.
"Kalian datang ke sini dengan cara baik-baik, melamar dengan melibatkan ustaz pula. Kami terima dengan baik bahkan tanggal pernikahan sudah ditentukan. Lalu, kenapa sekarang tiba-tiba memutus lamaran tanpa diskusi atau memberi alasan yang masuk akal?" Ayah masih berusaha meredam amarah.
Mas Ilham menunduk, bibirnya terkatup rapat. Entah kenapa aku merasa kasihan juga pada lelaki itu. Walau bagaimana pun akhirnya dia datang juga ke sini meski tanpa orangtua atau keluarga lainnya yang menemani. Namun, tidak bisa disangkal bahwa luka yang berusaha aku balut kembali menganga.
Lelaki itu masih diam, tiba-tiba dari luar rumah muncul seorang perempuan yang memakai jilbab sepinggang. Dia cantik dan sangat manis. "Maaf, semuanya. Aku mau minta antar pulang sama Mas Ilham karena ibuku menelepon."
Semua pandangan mengarah pada perempuan itu. Mungkin dia yang bernama Nurul Hafizah karena suaranya persis saat di telepon tadi. Dada bergemuruh hebat karena terbakar api cemburu. Aku memang kalah cantik darinya.
"Maaf, Pak, Bu. Aku harus pamit mengantar Nurul pulang dulu." Suara Mas Ilham masih terdengar santai. Aku jengkel dibuatnya.
"Kamu lelaki tidak bertanggung jawab, Ilham!" geram Mas Dika mengarahkan telunjuk di depan wajah Mas Ilham.
"Aku tidak peduli kamu bilang apa, Dik. Satu hal yang pasti adalah aku bukan lagi calon suami adikmu, tetapi Nurul. Ya, ini perempuan yang berhasil memikat hatiku sehari setelah melamar Yumna."
Ayah berdiri hendak memukul Ilham, tetapi ditahan ibu. Aku tahu beliau naik pitam mendengar anaknya diperlakukan buruk seperti itu. Akan tetapi, aku tidak bisa berbuat banyak karena sekarang kami bukan siapa-siapa.
"Semoga Mas Ilham bahagia bersama Nurul," lirihku, lalu melangkah masuk kamar dengan hati hancur tanpa kepingan.
Gemericik hujan membasahi bumi. Aku yakin langit sedang berduka atas seorang perempuan yang ditinggal setelah diberi harapan. Tentang seorang perempuan yang melambungkan harapan dan mimpi terlalu tinggi sehingga ketika jatuh teramat sakit. Pun karena seorang perempuan yang harus menjahit lukanya seorang diri. Perempuan itu adalah aku. Luka sebenarnya sudah sering aku rasakan, tetapi ini berbeda. Aku bisa saja tersenyum walau perih, tetapi ayah dan ibu sampai menangis setelah kepergian Mas Ilham dua hari yang lalu. Lelaki itu sungguh tidak memikirkan berapa banyak hati yang terluka karena sikapnya. "Bagaimana kalau kamu kejar beasiswa buat ke Mesir, Yum?" tanya Mas Dika ketika mendapatiku memeluk lutut di sudut kamar. Aku mengembus napas kasar. "Gak bisa, Mas. Aku gak ada sesuatu yang bisa diandalkan buat ke sana. Ngejar beasiswa itu tidak mudah." "Tidak usah disembunyikan, Yum. Mas tahu kamu sudah hafal 27 juz al-qur'an dan bisa baca kitab. Itu aktivitas rutin kamu setiap pulang ku
Muhammad Ilham Thalib. Seorang lelaki yang senyumnya mampu menciptakan debaran dalam dada. Dia lelaki kedua yang singgah di hati setelah Qabil yang merupakan putra tunggal Kyai Sholeh, pengasuh salah satu pondok pesantren salafy di kampungku. Aku mengenal Mas Ilham dari teman kuliah yang merupakan saudara sepersusuannya—Aisyah. Dia bilang Mas Ilham sedang mencari teman hidup dan ingin melakukan ta'aruf dengan perempuan mana saja yang siap menikah. Kala itu aku tidak begitu tertarik karena tahu kalau Mas Ilham selain tampan juga mapan. Akan tetapi, Aisyah terus meyakinkanku bahwa jodoh itu harus diusahakan bukan hanya dinanti tanpa usaha. Dalam masalah ini aku sama sekali tidak menyalahkan Aisyah karena memang bukan inginnya sehingga lamaran ini batal. Bahkan ada kemungkinan dia tidak tahu karena perempuan itu sudah berangkat ke Mesir bulan desember kemarin. "Sudah minta Ilham ke sini?" tanya Mas Dika menepuk pundakku yang sedang memandang ke luar jendela. "Belum, Mas. Masih trauma
Aku sudah tidak tahan sehingga terpaksa melakukan ini. Kalau ayah marah, itu urusan belakang. Tangan kananku mengibas tirai dengan kasar, lalu duduk di kursi yang tidak jauh dari mereka. Semua mata tertuju padaku, tidak terkecuali Mas Ilham yang sok berilmu itu. "Apa kedudukanmu sampai lupa menjaga adab kepada yang lebih tua, Mas? Jangan gede rasa karena kami minta keluargamu ke sini. Kami tidak berharap lebih, tetapi ingin klarifikasi dari kalian. Jika kamu tidak mau, bukankah ada orangtua yang seharusnya mengawal anak sejak awal?" Aku berucap tegas. "Begini, Yumna. Kami minta maaf atas nama Ilham." Abinya Ilham sudah mulai membuka suara. "Maaf, Pak. Kalau mau minta maaf itu harus Mas Ilham sendiri yang melakukannya. Lagi pula aku juga sudah tahu tentang Nurul Hafizah. Kami yang bukan dari keluarga terpandang bukan berarti bisa diperlakukan seenak jidat." Mas Ilham diam, terlihat tidak ada keinginan untuk meminta maaf. Beruntung sekali aku tidak sampai menikah dengannya, karena le
Begitu sampai di rumah, aku meletakkan garam dan uang kembalian di meja makan. Tanpa sepatah kata, aku langsung masuk ke kamar untuk menenangkan pikiran. Bisa-bisanya Bu Wenda berpikir aku ini hamil. Astagfirullah, jangankan hamil, dekat dengan lelaki lain saja aku sampai gemetaran. Memang memakai jilbab tidak menjamin perempuan itu salihah, tetapi sungguh aku sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan yang bukan mahram. Saling bertegur sapa dengan teman sekolah saja malu. Ini fitnah! Telepon berdering, itu dari Amel. Segera aku angkat dan menjawab salam. Sekarang sudah jam delapan pagi, tidak biasanya dia menelepon. "Kamu gak berangkat ngaji? Ini aku sudah di rumah Ustaz Hasan." "Astagfirullahalazim!" pekikku, "maaf, aku sampai lupa, Mel. Bisa jemput gak? Kalau jalan kaki takutnya telat." "Kebiasaan. Oke, aku ke sana sekarang." Setelah mematikan ponsel, aku buru-buru mengganti pakaian. Beruntung sehabis salat subuh tadi langsung mandi biar tidak mengantuk ketika murajaah hafala
"Mau apa kamu ke sini, Mas?" tanyaku setelah mendengkus kesal. Di rumah hanya ada ibu karena Mas Dika dan ayah sudah pergi bekerja. Lelaki yang baru kemarin memutus lamaran datang bertamu ke rumah seorang diri setelah salat dzuhur, katanya kebetulan lewat dan ada niat untuk singgah. "Hayolah, Yumna, jangan terlalu sensitif. Aku sudah menganggapmu teman dan tentu tidak ada salahnya menemuimu. Di rumah juga ada ibumu, 'kan?" Mas Ilham menjawab santai. Aku memalingkan wajah sekilas tanda tidak suka. Dada bergemuruh hebat. Entah karena masih ada rasa atau faktor bawaan yang tidak terbiasa dikunjungi tamu lelaki. Wajah mungkin sudah seperti udang rebus akibat menahan amarah. Ya, aku masih marah pada Mas Ilham yang tindakannya melampaui batas. Usaha untuk melupakan belum berhasil, dia malah sengaja datang ke rumah. Aku jadi curiga, ada motif tersembunyi di balik semua ini. Mungkinkah Mas Ilham itu sedang mencari tumbal? Huh, astagfirullah. Sebenarnya Amel juga ada di sini karena ingin m
Saat makan malam, aku hanya diam. Tidak ada obrolan hangat seperti yang biasa kami lakukan. Misalnya saja candaan ayah atau tingkah konyol Mas Dika yang bahkan bukan lagi anak kecil. Dulu sebelum lamaran dibatalkan, rumah ini berhias senyum dan kebahagiaan. "Jadi, apa yang akan kamu lakukan sekarang, Yum? Kuliah sudah berhenti, keahlian untuk bekerja juga tidak ada." Mas Dika bertanya seraya menyendokkan nasi ke dalam mulut. "Di rumah menunggu takdir baik sambil fokus ziyadah juga, Mas. Lagi pula aku malu kalau melanjutkan kuliah, teman-teman bisa saja mengejekku." Tetap saja ada rasa menyesal karena meninggalkan bangku kuliah. Padahal ayah dan ibu berharap kedua anaknya bisa meraih gelar sarjana. Minimal Strata 1 dan aku memupuskan harapan itu. Beruntung selama kuliah ada beasiswa, jadi tidak terlalu merugikan pihak keluarga. Aku hanya bisa mengembus napas kasar sambil menatap nanar nasi yang belum tersentuh sama sekali. Sendok hanya berputar mengeliringi nasi putih yang tidak lagi
Kuejakan sebaris asa dalam lantunan doaDari relung jiwa menggambarkan keinginanMencairkan napas yang tertahan di bening hatiMenepiskan kegamangan dalam perjalanan fanakuSekian waktu kumengembara dalam alam-MuMeniti langkah mencari kisah indah yang hakikiMenanti tanpa letih sebentuk karunia-MuYang akan membawaku pada kesempurnaan diriBerderet kisah indah yang telah kutemuiBerjuta kata bermakna puitis telah kusimakPenggalan bait-bait merujuk dan merayukuLelah dan jemu atas pengagungan sebuah lahiriahBila kelak datang sebentuk cinta atas karunia-MuJauhkanlah dari cinta yang mengagumi lahiriah semataTetapkanlah sebentuk cinta pada jalan rida IlahiYang terbungkus rapi dalam balutan fitrah IlahiMerenyuhkan hati pada sebening asa yang tersiratMerengkuh memeluk sebentuk berkah dari kisah indahMendampingiku dalam menyempurnakan akhlakBerjamaah mendekatkan diri pada rengku
"Yumna?" Panggilan ibu diiringi ketukan di pintu membuatku terperanjat. Mungkin beliau ingin memanggil makan lagi karena memang seharian belum mengisi perut seperti yang dikatakan Amel tadi. "Iya, Bu, ada apa?" sahutku tanpa membuka pintu kamar. "Buka pintunya, ibu mau masuk!" Dengan langkah gontai aku terpaksa membuka pintu kamar. Ibu sudah berdiri dengan membawa makanan. Aku sama sekali tidak berselera sekalipun cacing sudah meronta sejak siang tadi. Perempuan tua yang teramat penyayang itu masuk kamarku dan meletakkan makanan di nakas. Aku hanya bisa menghela napas panjang karena jika sudah begini, beliau pasti marah kalau makanan itu tidak habis. "Makanannya jangan ada yang disisain, oke?" "Iya, Bu. Aku usahain." Aku menjawab malas. Tepatnya karena keadaan lemah gemetaran. Setelah mendengar itu, ibu melangkah ke luar. Mau tidak mau aku meraih piring itu dan menghabiskan isinya dengan lahap. Ketika sedang meneguk air,
"Ibu, apa lamaran Gus Hanan ditolak saja?" tanyaku ragu-ragu.Selama ini sibuk menimbang hingga sekarang masih belum menemukan jawaban padahal ba'da dzuhur mereka akan datang sesuai janji Gus Qabil malam tadi. Jejak kenangan terus tereja dalam memori sejak waktu terasa tak berdetak begitu Mas Dika menyampaikan unek-uneknya."Apa alasanmu menolak lamaran Gus Hanan? Dia baik agama dan akhlaknya. Lantas tidak takut jika kelak musibah menimpa kamu? Beliau akan datang bersama Kyai Sholeh, apa berani menolak?"Aku diam, semua yang dikatakan ibu ada benarnya. Namun, bagaimana dengan Mas Dika yang kehilangan cahayanya? Apakah ditakdirkan hidup sebagai mentari redup?"Bu, aku belum mencintai Gus Hanan dan malu pada keluarganya yang semua orang berilmu. Coba Ibu bayangkan dilamar putra kyai yang sangat disegani. Semua orang akan mengira aku bodoh, tetapi memang sulit menjalaninya," lirihku."Apa maksudmu menolak lamaran Gus Hanan?" Pertanyaan Mas Dika berhasil meluruhkan air mata yang sejak tadi
"Maaf, Mas. Haram melamar pinangan orang lain," gumamku berhasil membuat Mas Ilham membisu.Selama ini aku tidak pernah menduga akan dilamar untuk kali ketiga. Padahal sudah banyak waktu terlewat menuai luka yang begitu dalam.Aku menunduk, tidak sanggup menatap wajah yang penuh kedukaan apalagi jika melihat mata Mas Ilham. Pasti ada perih yang seketika membelenggunya. Aku memejamkan mata berusaha menenangkan diri."Carilah perempuan lain, Ham. Yumna sudah dilamar Gus Hanan. Jawabannya sudah ada hanya belum menyampaikan.""Tapi aku cinta ....""Cinta saja tidak cukup. Takdir yang menentukan sementara kita menjalani. Tiada cinta tanpa pengorbanan. Mungkin memang ini yang sudah menjadi takdirmu. Terima saja walau perih merajai hati." Penjelasan Mas Dika cukup bisa membungkam lelaki itu.Masalah kesungguhan hati, aku bjsa merasakannya. Dia memeriksakan diri, kemudian kembali dengan sejuta harapan berujung nestapa. Kejujuran memang a
"Diamlah! Cinta adalah sebutir permata yang tak bisa kaulemparkan sembarangan umpama sebutir batu." –Jalaluddin Rumi.***"Mas, janji loh ya temani ke toko jilbab. Aku tuh mau pakai jilbab baru saat menerima lamaran!" teriakku sambil mengetuk pintu kamar Mas Dika.Tidak ada sahutan padahal sudah puku sepuluh siang. Kalau terus-terusan begini lebih baik pergi sendiri. Aku meminai sekliling rumah mencoba menemukan kunci motor. Nihil."Mas, kunci motor ada di kamu?" teriakku kesal.Bukannya menjawab, Mas Dika malah tertawa jahat. Aku semakin kesal sampai menendang daun pintu tersebut. Rengekanku tidak berarti lagi, Mas Dika kekeuh menutup pintu.Sialnya karena ayah ibu tidak ada di sini, jadi dia bebas berulah. Berulang kali aku memutar otak agar bisa menemukan cara, tetap gagal. Memang ada satu lagi, tetapi tidak meyakinkan.'Coba saja! Kalau gagal, gak apa!', bisik hati nuraniku.Pintu kamar kembali kuketuk. "Ya udah, engg
Ada pesan What$app dari Nurul yang izin bertamu jam dua siang. Sebenarnya it's okay, hanya saja nanti Mas Dika marah. Permintaannya ditolak, tetapi tetap juga datang.Sekarang dia ada di depanku. Mas Dika yang mendengar kabar kedatangan Nurul buru-buru masuk kamar dengan membanting pintu kasar. Aku sampai terperanjat dan mengelus dada."Aku mau ke Amerika minggu depan, Yum. Sebelum ke sana, tolong maafkan aku. Sampaikan pada Mas Dika juga ibu dan ayahmu." Nurul memulai percakapan dengan mimik datar."Serius?" tanyaku kaget.Dia mengangguk. "Sebelum ke Amerika, aku sudah harus selesai mengunjungi semua orang yang pernah kubuat sakit hati. Aku ingin memulai lembaran baru, maka harus meninggalkan Indonesia.""Mas Ilham sudah tahu?" Walau mereka sudah cerai, aku tidak tahu kenapa menanyakan itu. Nurul menggeleng lemah."Di sana nanti sama siapa?""Saudaranya mendiang ibu." Setelah itu Nurul menyodorkan sebuah surat. Katanya buat Mas Dika.
Sepulang dari belanja, aku kaget melihat banyak ibu-ibu kumpul di depan rumah seperti acara bagi sembako. Kali ini masih dipimpin Bu Wenda dan Bu Arin. Mereka selalu berulah seperti akan sekarat jika sehari belum menggibah atau fitnah orang lain. Andin ikut singgah dengan beberapa belanjaan dan itu mengundang perhatian mereka sambil berbisik-bisik. Aku hanya bisa diam karena belum tahu duduk masalahnya. "Mas Dika mana, Bu?" tanyaku setelah menyadari ibu menghadapi mereka semua sendirian. "Masmu lagi ke luar beli ... ibu lupa." "Jawab dong, Bu kenapa sampai cerai sama ayah Dika?" Mataku membulat sempurna mendengar mereka. Pantas saja kumpul seperti orang unjuk rasa, ternyata kepo tingkat dewa. "Wah, Yumna langsung belanja banyak setelah menerima uang dari ayah Dika. Baru pertama seumur hidup ya?" Aku tidak tahu siapa yang melempar pertanyaan itu. Hati mendadak panas, aku meremas gamis sendiri agar bisa menguasai diri. Mereka semua sudah kelewat batas. Semua belanjaan kuserahkan
"Mas, kamu mau ngerebut ayah, kan?" tuduh Nurul yang sengaja bertamu ke rumah kami"Apa katamu? Aku ngerebut ayah?" Mas Dika terkekeh pelan dengan tatapan nyalang. "Ayahku cuma satu dan sedang bekerja. Mentang Pak Fajar itu orang kaya lantas aku akan merebutnya? Sorry, aku gak matre kayak kamu!"Tetangga ada yang melihat kami dari kejauhan, mungkin penasaran apa yang sedang terjadi. Ya, kabar Nurul sebagai adik Mas Dika belum menyebar, aku suka itu.Katanya Mas Dika ingin merebut ayahnya? Ambil saja Pak Fajar-mu itu! batinku kesal."Lalu, kenapa kamu menerima uang sepuluh juta dan ATM itu. Aku saja gak dikasih!" protes Nurul. Aku pikir dia benar berubah kemarin atau karena uang, makanya marah?Mas Dika hendak masuk rumah, mungkin mau mengembalikan apa yang diterimanya kemarin, tetapi aku mencekal sekuat tenaga. Setelah itu, melirik pada Nurul. "Mas Dika punya hak, bahkan lebih daripada kamu!" tegasku."Ibumu dicerai hidup, tetapi ibuku dicer
Tiga puluh lima menit berlalu, sebuah alphard hitam terparkir di halaman depan. Untuk rumah sesederhana ini, aku merasa tidak cocok jika ada mobil mewah di depan. Terlalu mencolok. Seorang lelaki paruh baya dengan perut sedikit besar ke luar dari mobil. Dia memakai kacamata minus. Jas warna abu muda dengan sepatu hitam. Penampilannya jauh berbeda waktu datang sama Nurul. Dia mengetuk pintu, mengucap salam tanpa tahu kami mengintip di balik jendela. Mas Dika membuka, aku bisa melihat tangannya yang gemetaran. Ketika daun pintu terbuka lebar, Pak Fajar terpaku sesaat memindai Mas Dika dari bawah ke atas. Detik selanjutnya, hanya tangisan yang sedikit menggema di rumah sederhana ini. Dia memeluk penuh kerinduan. Aku tidak tahu kenapa dulu beliau mengaku bujang padahal ibu penyayang. "Silakan duduk!" Mas Dika menyilakan Pak Fajar. Beliau duduk di depan kami. Bisa kulihat binar kebahagiaan di matanya, senyum pun merekah menciptakan keriput kecil di
22 08 22Aku suka tanggal itu karena angka di depan dan belakangnya sama persis, kemudian di antarai angka nol dan delapan yang tidak berujung. Jika diumpamakan ; 22 adalah sepasang kekasih, cinta pun sayangnya tiada ujung.Di tanggal itu pula Pak Fajar ditemani Nurul datang bertamu ke rumah mencari Mas Dika, sementara hanya ada aku dan ibu yang bibirnya terkatup rapat. Lelaki paruh baya ini sangat mirip dengan masku, Nurul mungkin tidak memikirkan itu sebelumnya."Sekali saja, Dahlia. Sekali saja aku ingin melihat Dika!" mohonnya."Maaf, Pak Fajar. Namun, Dika selama ini mengira ayahnya telah meninggal." Ibu menyahut setelah lima menit diam. Itu pun karena aku memegang tangannya.Pak Fajar mendesah berat, aku bisa melihat bagaimana dia tidak mudah putus asa atau menyerah jika butuh sesuatu. Nurul sejak tadi tidak pernah membuka suara, aku tidak tahu bagaimana caranya menyampaikan tentang Mas Dika pada ayah mereka.'Ayah mereka', aku tidak s
Mas Dika pulang ke rumah pukul tiga sore, sementara ayah katanya menyusul karena singgah dulu di rumah teman lama yang sefrekuensi. "Mas, tadi Nurul ada di sini loh nungguin kamu!" aduku ragu-ragu. "Ngapain nunggu mas? Gak ada urusan!" ketusnya. "Mas, dia kan adik kamu juga. Apa nanti Mas Dika berubah dan melupakanku apalagi kalau sudah menikah dengan Gus Hanan?" "Yumna, kamu itu ngomong apa sih?! Cuma kamu adik mas gak ada yang lain!" Suara Mas Dika meninggi, aku sedikit takut mendengarnya. Ibu memanggil Mas Dika, sementara aku melangkah cepat masuk kamar. Mungkin sekarang lebih baik mengabari Amel tentang fakta mengejutkan ini. Ketika sibuk dengan ponsel, aku teringat pada Mas Ilham. Sejak lamaran aku tolak, nomornya tidak pernah aktif lagi. Apalagi sekadar lewat atau menyapaku. Tidak ada kabar, Nurul pun seperti enggan memberitahu. "Halo, Amel. Apa aku mengganggu?" sapaku ketika panggilan tersambung. "Tidak, lagi san