Aku sudah tidak tahan sehingga terpaksa melakukan ini. Kalau ayah marah, itu urusan belakang. Tangan kananku mengibas tirai dengan kasar, lalu duduk di kursi yang tidak jauh dari mereka. Semua mata tertuju padaku, tidak terkecuali Mas Ilham yang sok berilmu itu.
"Apa kedudukanmu sampai lupa menjaga adab kepada yang lebih tua, Mas? Jangan gede rasa karena kami minta keluargamu ke sini. Kami tidak berharap lebih, tetapi ingin klarifikasi dari kalian. Jika kamu tidak mau, bukankah ada orangtua yang seharusnya mengawal anak sejak awal?" Aku berucap tegas.
"Begini, Yumna. Kami minta maaf atas nama Ilham." Abinya Ilham sudah mulai membuka suara.
"Maaf, Pak. Kalau mau minta maaf itu harus Mas Ilham sendiri yang melakukannya. Lagi pula aku juga sudah tahu tentang Nurul Hafizah. Kami yang bukan dari keluarga terpandang bukan berarti bisa diperlakukan seenak jidat."
Mas Ilham diam, terlihat tidak ada keinginan untuk meminta maaf. Beruntung sekali aku tidak sampai menikah dengannya, karena lelaki itu tidak punya harga diri. Nyali kecil, tetapi sok ingin jadi pahlawan.
Ayah berdehem, lalu berbicara dengan suara pelan. Beliau menanyakan alasan yang masuk akal juga kesalahan yang kulakukan sehingga lamaran ini dibatalkan sepihak. Abi Ilham diam, aku yakin tidak ada kata yang cocok terlintas dalam pikirannya. Bahkan sampai dua menit berlalu.
"Pada intinya Ilham memutuskan lamaran secara tidak hormat. Bukan kami ingin dihargai, tetapi pikirkan perasaan Yumna dan orangtua kami. Orang yang mengaku berilmu hendaknya memiliki adab." Mas Dika melontarkan sindirian di akhir kalimat.
"Kami meminta maaf dengan sebesar-besarnya, Bu dan Pak. Lamaran ini harus dibatalkan karena Ilham telah memilih jalannya sendiri. Kami sangat malu dan merasa tidak enak, tetapi seharusnya Yumna juga mengerti kalau setiap lelaki bisa memilih sesuai keinginan hatinya." Ummi Ilham yang bicara, tetapi terdengar angkuh.
"Maaf, lebih baik kalian pulang saja. Aku tahu, kata maaf itu tidak tulus diucapkan. Jangan menyalahkanku atas kesalagan anakmu, Bu. Aku tidak pernah memaksa Mas Ilham untuk datang melamar bahkan sebenarnya ragu juga. Ternyata, ini sifat aslinya!" tegasku, lalu berdiri meninggalkan mereka.
Perempuan mana yang tidak sakit hati diperlakukan serendah ini. Aku bahkan tidak pernah mengirim pesan Whats*pp ke Mas Ilham jika untuk basa-basi. Lantas, kenapa? Selama ini aku berusaha menjaga diri, tetapi tetap saja ada yang mempermainkan.
Dalam kamar aku memeluk bantal. Air mata berbaris menyaksikan luka yang terus menganga. Jika boleh memilih, aku ingin kembali pada masa di mana tidak ada Ilham dalam kehidupanku. Cinta yang hanya mendatangkan luka.
Dia berbeda dengan Qabil. Lelaki itu sangat berwibawa, menjaga pandangan serta ta'at kepada Agama. Namun, dia harus menikah dengan anak seorang ustaz yang mondok di pesantrennya. Sakit sekali mengetahui fakta itu, tetapi tidak sesakit sekarang.
"Yumna, mas mau bicara!" Mas Dika berdiri di beranda pintu. Aku hanya mengangguk, lalu dia melangkah mendekat. "Sebenarnya apa alasanmu menerima Ilham kemarin?"
"Maaf, Mas. Aku tidak mau bahas itu lagi. Sekarang tidak ada nama Mas Ilham dalam kamusku. Biar saja dia menikah dengan Nurul, aku tidak apa-apa!" jawabku dengan suara serak menahan perih dalam dada.
Mas Dika duduk di depanku. "Jangan larut dalam kesedihan, Yum. Mas gak mau kamu sakit. Perlahan tetangga akan tahu tentang batalnya lamaran kamu, telinga ditutup saja supaya tidak pusing."
***
"Yumna, ke warung Mpok Asih beli garam!" panggil ibu. Aku yang baru saja selesai muraja'ah hafalan sontak beranjak menemui ibu dan mengambil uang.
Setelah itu, kaki melangkah cepat meski jarak yang ditempuh hanya sepuluh meter dari rumah. Sebenarnya ada warung di samping rumah, cuma lagi tutup saja karena Mbak Sari pulang kampung. Orangnya baik dan pantang menerima cerita miring tetangga.
Sesampainya di warung, aku bertemu Bu Wenda yang langsung melihat sinis padaku. Salah satu dari mereka berlima menatap dari ujung kaki sampai kepala. Sungguh, aku risih ditatap seperti itu. Dua ibu lainnya saling berbisik seraya menatap penuh ejekan.
"Ada apa, ya, Bu?" tanyaku yang sudah sangat terusik. Akan tetapi, tidak ada yang menjawab.
"Bu Wenda bilang, kemarin lelaki yang meminangmu datang bersama keluarganya untuk memutuskan lamaran." Mpok Asih yang menjawab.
"Pagi-pagi sudah gibah aja!" sindirku dengan suara pelan, tetapi pasti mereka mampu mendengar karena jarak kami yang dekat.
Bu Wenda mendekat. Ia menatap penuh keangkuhan. Tidak lama setelah itu mengakui bahwa ketika melihat mobil terparkir di depan rumah, ia dengan gerak cepat mendekat dan menguping pembicaraan kami bahkan dia tidak segan menyebut nama Nurul Hafizah.
Ibu-ibu lainnya langsung kepo tentang nama yang baru saja disebut Bu Wenda. Aku benar-benar pusing dibuatnya. Lagian kenapa harus mengurusi kehidupan orang lain. Lamaran batal tidak apa-apa asal tidak sedang hamil saja. Bahkan aku saja pura-pura tuli ketika anak Bu Wenda hamil di luar nikah padahal masih sekolah.
"Apa jangan-jangan kamu kalah glowing, Yum?" tanya Bu Wenda dengan suara penuh ejekan. Hati perih, aku hanya diam.
"Makanya jilbab gak usah panjang, gak usah pakai gamis. Kalau pakaian modis kan bisa membuat lelaki lain tertarik. Lagian ya kamu sudah putus kuliah, lantas apa yang perlu dibanggakan karena tidak ada gelar sarjana?!" tekan salah satu dari mereka yang aku tidak tahu namanya.
"Astagfirullah, Ibu-ibu! Jangan mengejek Yumna seperti itu. Ingat, kalian itu punya anak gadis, jangan sampai dapat karma!" tegur Mpok Asih, lalu menatapku, "jangan dengar ucapan mereka. Mau beli apa?"
"Iya, Bu. Namanya juga bukan jodoh, mau gimana lagi. Mohon doanya. Mau beli garam."
Bu Wenda tertawa diikuti ibu-ibu lainnya. Salah satu dari mereka yang paling gemuk mengejek kalau anak gadis beli garam terus masakannya asin itu tanda kebelet menikah. Aku diam semakin larut dalam kesedihan. Mpok Asih memberi kembalian, aku gegas melangkah meninggalkan mereka.
"Beli garam karena semua makanan terasa hambar. Memang begitu kalau sudah sakit hati, makan apa pun gak akan kerasa nikmat. Kasihan sekali si Yumna harus menelan pil pahit di usia yang masih muda. Semoga saja ada lelaki lain yang mau meliriknya," celoteh Bu Wenda.
Memang yang paling tajam adalah lidah. Bu Wenda tidak tahu kalau hati ini bak tersayat belati. Tangan kananku menghapus jejak di pipi. Semoga saja Tuhan memberi yang terbaik sekalipun aku tidak lulus sarjana. "Terimakasih hinaannya, Bu," balasku dengan suara sedikit keras.
"Tidak usah menangis, Yum. Baperan banget jadi orang. Lain kali cari pacar, bukan langsung nyosor maksa dinikahin. Apa jangan-jangan bunting?"
'Astagfirullahalazim,' batinku terus mempercepat langkah.
.
Bersambung...
Begitu sampai di rumah, aku meletakkan garam dan uang kembalian di meja makan. Tanpa sepatah kata, aku langsung masuk ke kamar untuk menenangkan pikiran. Bisa-bisanya Bu Wenda berpikir aku ini hamil. Astagfirullah, jangankan hamil, dekat dengan lelaki lain saja aku sampai gemetaran. Memang memakai jilbab tidak menjamin perempuan itu salihah, tetapi sungguh aku sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan yang bukan mahram. Saling bertegur sapa dengan teman sekolah saja malu. Ini fitnah! Telepon berdering, itu dari Amel. Segera aku angkat dan menjawab salam. Sekarang sudah jam delapan pagi, tidak biasanya dia menelepon. "Kamu gak berangkat ngaji? Ini aku sudah di rumah Ustaz Hasan." "Astagfirullahalazim!" pekikku, "maaf, aku sampai lupa, Mel. Bisa jemput gak? Kalau jalan kaki takutnya telat." "Kebiasaan. Oke, aku ke sana sekarang." Setelah mematikan ponsel, aku buru-buru mengganti pakaian. Beruntung sehabis salat subuh tadi langsung mandi biar tidak mengantuk ketika murajaah hafala
"Mau apa kamu ke sini, Mas?" tanyaku setelah mendengkus kesal. Di rumah hanya ada ibu karena Mas Dika dan ayah sudah pergi bekerja. Lelaki yang baru kemarin memutus lamaran datang bertamu ke rumah seorang diri setelah salat dzuhur, katanya kebetulan lewat dan ada niat untuk singgah. "Hayolah, Yumna, jangan terlalu sensitif. Aku sudah menganggapmu teman dan tentu tidak ada salahnya menemuimu. Di rumah juga ada ibumu, 'kan?" Mas Ilham menjawab santai. Aku memalingkan wajah sekilas tanda tidak suka. Dada bergemuruh hebat. Entah karena masih ada rasa atau faktor bawaan yang tidak terbiasa dikunjungi tamu lelaki. Wajah mungkin sudah seperti udang rebus akibat menahan amarah. Ya, aku masih marah pada Mas Ilham yang tindakannya melampaui batas. Usaha untuk melupakan belum berhasil, dia malah sengaja datang ke rumah. Aku jadi curiga, ada motif tersembunyi di balik semua ini. Mungkinkah Mas Ilham itu sedang mencari tumbal? Huh, astagfirullah. Sebenarnya Amel juga ada di sini karena ingin m
Saat makan malam, aku hanya diam. Tidak ada obrolan hangat seperti yang biasa kami lakukan. Misalnya saja candaan ayah atau tingkah konyol Mas Dika yang bahkan bukan lagi anak kecil. Dulu sebelum lamaran dibatalkan, rumah ini berhias senyum dan kebahagiaan. "Jadi, apa yang akan kamu lakukan sekarang, Yum? Kuliah sudah berhenti, keahlian untuk bekerja juga tidak ada." Mas Dika bertanya seraya menyendokkan nasi ke dalam mulut. "Di rumah menunggu takdir baik sambil fokus ziyadah juga, Mas. Lagi pula aku malu kalau melanjutkan kuliah, teman-teman bisa saja mengejekku." Tetap saja ada rasa menyesal karena meninggalkan bangku kuliah. Padahal ayah dan ibu berharap kedua anaknya bisa meraih gelar sarjana. Minimal Strata 1 dan aku memupuskan harapan itu. Beruntung selama kuliah ada beasiswa, jadi tidak terlalu merugikan pihak keluarga. Aku hanya bisa mengembus napas kasar sambil menatap nanar nasi yang belum tersentuh sama sekali. Sendok hanya berputar mengeliringi nasi putih yang tidak lagi
Kuejakan sebaris asa dalam lantunan doaDari relung jiwa menggambarkan keinginanMencairkan napas yang tertahan di bening hatiMenepiskan kegamangan dalam perjalanan fanakuSekian waktu kumengembara dalam alam-MuMeniti langkah mencari kisah indah yang hakikiMenanti tanpa letih sebentuk karunia-MuYang akan membawaku pada kesempurnaan diriBerderet kisah indah yang telah kutemuiBerjuta kata bermakna puitis telah kusimakPenggalan bait-bait merujuk dan merayukuLelah dan jemu atas pengagungan sebuah lahiriahBila kelak datang sebentuk cinta atas karunia-MuJauhkanlah dari cinta yang mengagumi lahiriah semataTetapkanlah sebentuk cinta pada jalan rida IlahiYang terbungkus rapi dalam balutan fitrah IlahiMerenyuhkan hati pada sebening asa yang tersiratMerengkuh memeluk sebentuk berkah dari kisah indahMendampingiku dalam menyempurnakan akhlakBerjamaah mendekatkan diri pada rengku
"Yumna?" Panggilan ibu diiringi ketukan di pintu membuatku terperanjat. Mungkin beliau ingin memanggil makan lagi karena memang seharian belum mengisi perut seperti yang dikatakan Amel tadi. "Iya, Bu, ada apa?" sahutku tanpa membuka pintu kamar. "Buka pintunya, ibu mau masuk!" Dengan langkah gontai aku terpaksa membuka pintu kamar. Ibu sudah berdiri dengan membawa makanan. Aku sama sekali tidak berselera sekalipun cacing sudah meronta sejak siang tadi. Perempuan tua yang teramat penyayang itu masuk kamarku dan meletakkan makanan di nakas. Aku hanya bisa menghela napas panjang karena jika sudah begini, beliau pasti marah kalau makanan itu tidak habis. "Makanannya jangan ada yang disisain, oke?" "Iya, Bu. Aku usahain." Aku menjawab malas. Tepatnya karena keadaan lemah gemetaran. Setelah mendengar itu, ibu melangkah ke luar. Mau tidak mau aku meraih piring itu dan menghabiskan isinya dengan lahap. Ketika sedang meneguk air,
"Nurul?" sapaku. Perempuan anggun yang memakai jilbab baby pink itu menoleh lantas tersenyum. "Maaf, kalian siapa, ya?" "Bukan siapa-siapa. Lagian kita salah orang, kirain Nurul Madinah tadi makanya nyapa." Amel yang menjawab dengan nada tidak suka. Aku jadi merasa tidak enak. "Tidak usah pura-pura." Mas Ilham tiba-tiba mengagetkan kami. Dia berdiri di sisi Nurul dengan gagahnya. "Kalian ngapain ke sini? Ngikutin kami?" "Maaf, ya. Kita ke sini itu gak ada niat ngikutin kalian. Emang kalian siapa, artis juga buka apalagi ulama." Amel menjawab ketus, kemudian memutar bola mata malas. Aku yang tidak ingin memperkeruh keadaan—karena tahu wataknya—langsung meninggalkan mereka berdua. Ternyata sefrekuensi, pantas saja Allah jodohkan. Aku menarik senyum sinis sekalipun hati tetap terbakar api cemburu. Amel terus mengomel dengan suara pelan takut pemilik toko mengusir kami. Dengan kejadian mengesalkan ini, aku jadi berpikir dua kalo untuk memberi mereka kado, mungkin diuangkan lebih baik
Waktu bergulir begitu cepat seakan ada yang meminta agar pernikahannya segera dilangsungkan. Sekarang hari sabtu dan besok Mas Ilham yang pernah melamarku akan mengucapkan ijab qabul menyebut nama Nurul Hafizah. Masya Allah, beruntungnya perempuan itu hendak menjadi istri Mas Ilham. Aku sampai iri dan terus bertanya-tanya kenapa bukan diri ini yang ditakdirkan bersanding dengannya? Notifikasi W******p mengusik sejak tadi, aku pun meraih ponsel yang sedang di-charger. Amel : Aku sudah menemukan kado yang pas untuk mereka. Insya Allah, memilihnya bukan karena benci atau dendam. Aku : Alhamdulillah, terimakasih, Sahabatku. Besok jangan lupa dibawa, ya sekalian aku pinjam jilbab abu silvermu. Amel : Boleh. Sama-sama. "Yumna, ke sini sebentar!" titah Mas Dika yang berdirindi beranda pintu. Aku pun beranjak dan menghampirinya. "Ada apa, Mas?" Mas Dika tersenyum dan menyeretku keluar kamar katanya minta ditemani makan di luar.
Pelaminan yang sangat megah berdiri di halaman rumah Mas Ilham. Aku baru tahu kalau ternyata di sinilah tepatnya tempat aku akan menjadi menantu dulu. Dekorasi warna merah muda berpadu silver glamour pasti sesuai pilihan Nurul. Aku begitu takjub. Banyak tamu undangan yang hadir. Sayang sekali kami melewatkan acara inti karena Amel harus mengantar tantenya tadi. Mas Dika? Tentu saja dia ikut dan kini berdiri di sampingku dengan jas ala-ala Korea yang warnanya senada dengan pakaianku. Aku jadi penasaran kapan jas itu dibelinya. Tampan. "Masuk, yuk!" ajak Amel membuyarkan lamunanku. "Malu, kalian aja, deh. Aku nunggu di sini," responku kaku yang langsung ditarik Mas Dika. Dia bahkan menggenggam tanganku hingga masuk pelaminan. Aku sampai lupa menjelaskan kalau Amel juga membawa adiknya yang hampir setinggi Mas Dika karena tidak ingin terlihat seperti obat nyamuk. Beberapa pasang mata memandang ke arah kami. Mas Dika yang usil malah memaksaku melingkarkan tangan di lengannya. Memalukan
"Ibu, apa lamaran Gus Hanan ditolak saja?" tanyaku ragu-ragu.Selama ini sibuk menimbang hingga sekarang masih belum menemukan jawaban padahal ba'da dzuhur mereka akan datang sesuai janji Gus Qabil malam tadi. Jejak kenangan terus tereja dalam memori sejak waktu terasa tak berdetak begitu Mas Dika menyampaikan unek-uneknya."Apa alasanmu menolak lamaran Gus Hanan? Dia baik agama dan akhlaknya. Lantas tidak takut jika kelak musibah menimpa kamu? Beliau akan datang bersama Kyai Sholeh, apa berani menolak?"Aku diam, semua yang dikatakan ibu ada benarnya. Namun, bagaimana dengan Mas Dika yang kehilangan cahayanya? Apakah ditakdirkan hidup sebagai mentari redup?"Bu, aku belum mencintai Gus Hanan dan malu pada keluarganya yang semua orang berilmu. Coba Ibu bayangkan dilamar putra kyai yang sangat disegani. Semua orang akan mengira aku bodoh, tetapi memang sulit menjalaninya," lirihku."Apa maksudmu menolak lamaran Gus Hanan?" Pertanyaan Mas Dika berhasil meluruhkan air mata yang sejak tadi
"Maaf, Mas. Haram melamar pinangan orang lain," gumamku berhasil membuat Mas Ilham membisu.Selama ini aku tidak pernah menduga akan dilamar untuk kali ketiga. Padahal sudah banyak waktu terlewat menuai luka yang begitu dalam.Aku menunduk, tidak sanggup menatap wajah yang penuh kedukaan apalagi jika melihat mata Mas Ilham. Pasti ada perih yang seketika membelenggunya. Aku memejamkan mata berusaha menenangkan diri."Carilah perempuan lain, Ham. Yumna sudah dilamar Gus Hanan. Jawabannya sudah ada hanya belum menyampaikan.""Tapi aku cinta ....""Cinta saja tidak cukup. Takdir yang menentukan sementara kita menjalani. Tiada cinta tanpa pengorbanan. Mungkin memang ini yang sudah menjadi takdirmu. Terima saja walau perih merajai hati." Penjelasan Mas Dika cukup bisa membungkam lelaki itu.Masalah kesungguhan hati, aku bjsa merasakannya. Dia memeriksakan diri, kemudian kembali dengan sejuta harapan berujung nestapa. Kejujuran memang a
"Diamlah! Cinta adalah sebutir permata yang tak bisa kaulemparkan sembarangan umpama sebutir batu." –Jalaluddin Rumi.***"Mas, janji loh ya temani ke toko jilbab. Aku tuh mau pakai jilbab baru saat menerima lamaran!" teriakku sambil mengetuk pintu kamar Mas Dika.Tidak ada sahutan padahal sudah puku sepuluh siang. Kalau terus-terusan begini lebih baik pergi sendiri. Aku meminai sekliling rumah mencoba menemukan kunci motor. Nihil."Mas, kunci motor ada di kamu?" teriakku kesal.Bukannya menjawab, Mas Dika malah tertawa jahat. Aku semakin kesal sampai menendang daun pintu tersebut. Rengekanku tidak berarti lagi, Mas Dika kekeuh menutup pintu.Sialnya karena ayah ibu tidak ada di sini, jadi dia bebas berulah. Berulang kali aku memutar otak agar bisa menemukan cara, tetap gagal. Memang ada satu lagi, tetapi tidak meyakinkan.'Coba saja! Kalau gagal, gak apa!', bisik hati nuraniku.Pintu kamar kembali kuketuk. "Ya udah, engg
Ada pesan What$app dari Nurul yang izin bertamu jam dua siang. Sebenarnya it's okay, hanya saja nanti Mas Dika marah. Permintaannya ditolak, tetapi tetap juga datang.Sekarang dia ada di depanku. Mas Dika yang mendengar kabar kedatangan Nurul buru-buru masuk kamar dengan membanting pintu kasar. Aku sampai terperanjat dan mengelus dada."Aku mau ke Amerika minggu depan, Yum. Sebelum ke sana, tolong maafkan aku. Sampaikan pada Mas Dika juga ibu dan ayahmu." Nurul memulai percakapan dengan mimik datar."Serius?" tanyaku kaget.Dia mengangguk. "Sebelum ke Amerika, aku sudah harus selesai mengunjungi semua orang yang pernah kubuat sakit hati. Aku ingin memulai lembaran baru, maka harus meninggalkan Indonesia.""Mas Ilham sudah tahu?" Walau mereka sudah cerai, aku tidak tahu kenapa menanyakan itu. Nurul menggeleng lemah."Di sana nanti sama siapa?""Saudaranya mendiang ibu." Setelah itu Nurul menyodorkan sebuah surat. Katanya buat Mas Dika.
Sepulang dari belanja, aku kaget melihat banyak ibu-ibu kumpul di depan rumah seperti acara bagi sembako. Kali ini masih dipimpin Bu Wenda dan Bu Arin. Mereka selalu berulah seperti akan sekarat jika sehari belum menggibah atau fitnah orang lain. Andin ikut singgah dengan beberapa belanjaan dan itu mengundang perhatian mereka sambil berbisik-bisik. Aku hanya bisa diam karena belum tahu duduk masalahnya. "Mas Dika mana, Bu?" tanyaku setelah menyadari ibu menghadapi mereka semua sendirian. "Masmu lagi ke luar beli ... ibu lupa." "Jawab dong, Bu kenapa sampai cerai sama ayah Dika?" Mataku membulat sempurna mendengar mereka. Pantas saja kumpul seperti orang unjuk rasa, ternyata kepo tingkat dewa. "Wah, Yumna langsung belanja banyak setelah menerima uang dari ayah Dika. Baru pertama seumur hidup ya?" Aku tidak tahu siapa yang melempar pertanyaan itu. Hati mendadak panas, aku meremas gamis sendiri agar bisa menguasai diri. Mereka semua sudah kelewat batas. Semua belanjaan kuserahkan
"Mas, kamu mau ngerebut ayah, kan?" tuduh Nurul yang sengaja bertamu ke rumah kami"Apa katamu? Aku ngerebut ayah?" Mas Dika terkekeh pelan dengan tatapan nyalang. "Ayahku cuma satu dan sedang bekerja. Mentang Pak Fajar itu orang kaya lantas aku akan merebutnya? Sorry, aku gak matre kayak kamu!"Tetangga ada yang melihat kami dari kejauhan, mungkin penasaran apa yang sedang terjadi. Ya, kabar Nurul sebagai adik Mas Dika belum menyebar, aku suka itu.Katanya Mas Dika ingin merebut ayahnya? Ambil saja Pak Fajar-mu itu! batinku kesal."Lalu, kenapa kamu menerima uang sepuluh juta dan ATM itu. Aku saja gak dikasih!" protes Nurul. Aku pikir dia benar berubah kemarin atau karena uang, makanya marah?Mas Dika hendak masuk rumah, mungkin mau mengembalikan apa yang diterimanya kemarin, tetapi aku mencekal sekuat tenaga. Setelah itu, melirik pada Nurul. "Mas Dika punya hak, bahkan lebih daripada kamu!" tegasku."Ibumu dicerai hidup, tetapi ibuku dicer
Tiga puluh lima menit berlalu, sebuah alphard hitam terparkir di halaman depan. Untuk rumah sesederhana ini, aku merasa tidak cocok jika ada mobil mewah di depan. Terlalu mencolok. Seorang lelaki paruh baya dengan perut sedikit besar ke luar dari mobil. Dia memakai kacamata minus. Jas warna abu muda dengan sepatu hitam. Penampilannya jauh berbeda waktu datang sama Nurul. Dia mengetuk pintu, mengucap salam tanpa tahu kami mengintip di balik jendela. Mas Dika membuka, aku bisa melihat tangannya yang gemetaran. Ketika daun pintu terbuka lebar, Pak Fajar terpaku sesaat memindai Mas Dika dari bawah ke atas. Detik selanjutnya, hanya tangisan yang sedikit menggema di rumah sederhana ini. Dia memeluk penuh kerinduan. Aku tidak tahu kenapa dulu beliau mengaku bujang padahal ibu penyayang. "Silakan duduk!" Mas Dika menyilakan Pak Fajar. Beliau duduk di depan kami. Bisa kulihat binar kebahagiaan di matanya, senyum pun merekah menciptakan keriput kecil di
22 08 22Aku suka tanggal itu karena angka di depan dan belakangnya sama persis, kemudian di antarai angka nol dan delapan yang tidak berujung. Jika diumpamakan ; 22 adalah sepasang kekasih, cinta pun sayangnya tiada ujung.Di tanggal itu pula Pak Fajar ditemani Nurul datang bertamu ke rumah mencari Mas Dika, sementara hanya ada aku dan ibu yang bibirnya terkatup rapat. Lelaki paruh baya ini sangat mirip dengan masku, Nurul mungkin tidak memikirkan itu sebelumnya."Sekali saja, Dahlia. Sekali saja aku ingin melihat Dika!" mohonnya."Maaf, Pak Fajar. Namun, Dika selama ini mengira ayahnya telah meninggal." Ibu menyahut setelah lima menit diam. Itu pun karena aku memegang tangannya.Pak Fajar mendesah berat, aku bisa melihat bagaimana dia tidak mudah putus asa atau menyerah jika butuh sesuatu. Nurul sejak tadi tidak pernah membuka suara, aku tidak tahu bagaimana caranya menyampaikan tentang Mas Dika pada ayah mereka.'Ayah mereka', aku tidak s
Mas Dika pulang ke rumah pukul tiga sore, sementara ayah katanya menyusul karena singgah dulu di rumah teman lama yang sefrekuensi. "Mas, tadi Nurul ada di sini loh nungguin kamu!" aduku ragu-ragu. "Ngapain nunggu mas? Gak ada urusan!" ketusnya. "Mas, dia kan adik kamu juga. Apa nanti Mas Dika berubah dan melupakanku apalagi kalau sudah menikah dengan Gus Hanan?" "Yumna, kamu itu ngomong apa sih?! Cuma kamu adik mas gak ada yang lain!" Suara Mas Dika meninggi, aku sedikit takut mendengarnya. Ibu memanggil Mas Dika, sementara aku melangkah cepat masuk kamar. Mungkin sekarang lebih baik mengabari Amel tentang fakta mengejutkan ini. Ketika sibuk dengan ponsel, aku teringat pada Mas Ilham. Sejak lamaran aku tolak, nomornya tidak pernah aktif lagi. Apalagi sekadar lewat atau menyapaku. Tidak ada kabar, Nurul pun seperti enggan memberitahu. "Halo, Amel. Apa aku mengganggu?" sapaku ketika panggilan tersambung. "Tidak, lagi san