Muhammad Ilham Thalib. Seorang lelaki yang senyumnya mampu menciptakan debaran dalam dada. Dia lelaki kedua yang singgah di hati setelah Qabil yang merupakan putra tunggal Kyai Sholeh, pengasuh salah satu pondok pesantren salafy di kampungku.
Aku mengenal Mas Ilham dari teman kuliah yang merupakan saudara sepersusuannya—Aisyah. Dia bilang Mas Ilham sedang mencari teman hidup dan ingin melakukan ta'aruf dengan perempuan mana saja yang siap menikah. Kala itu aku tidak begitu tertarik karena tahu kalau Mas Ilham selain tampan juga mapan. Akan tetapi, Aisyah terus meyakinkanku bahwa jodoh itu harus diusahakan bukan hanya dinanti tanpa usaha.
Dalam masalah ini aku sama sekali tidak menyalahkan Aisyah karena memang bukan inginnya sehingga lamaran ini batal. Bahkan ada kemungkinan dia tidak tahu karena perempuan itu sudah berangkat ke Mesir bulan desember kemarin.
"Sudah minta Ilham ke sini?" tanya Mas Dika menepuk pundakku yang sedang memandang ke luar jendela.
"Belum, Mas. Masih trauma ketemu sama Mas Ilham. Bisa-bisa luka kembali terkuak." Aku tersenyum getir. Langit pun sedikit mendung.
Mas Dika beralih duduk ke tepi ranjang. Angin sepoi menembus masuk kamar melalui celah ventilasi dan jendela yang sedikit terbuka. Aku mengembus napas pelan, luka itu masih terpatri dalam hati. Enggan menepi padahal sudah berusaha kutepis.
"Kalau begitu mas saja yang telepon Ilham, kamu di kamar dan tidak usah keluar kalau masih trauma. Walau bagaimana pun, ayah yang meminta," tutur Mas Dika lembut.
Sekarang hari minggu, percetakan tempat Mas Dika bekerja tutup jadi bisa leluasa berada di rumah padahal biasanya akan menghabiskan waktu di luar bersama temannya. Bukan sekadar nongkrong, tetapi diskusi atau tepatnya saling mengeluarkan pendapat pada masalah yang dialami salah satu temannya.
Aku diam tanda setuju seraya menyerahkan ponsel yang tertera nomor Mas Ilham di sana. Tanpa ragu, Mas Dika langsung menelepon dan menyampaikan tujuan tanpa basa-basi. Kedengarannya ada penolakan sehingga pembicaraan mereka lumayan panjang.
"Masalah harus selesai hari ini. Kalau kamu mengaku orang berilmu, maka harus punya adab. Kami tidak memintamu datang melamar, jadi sudah menjadi tanggungjawab kalian untuk datang meminta maaf secara langsung," desak Mas Dika.
Beberapa menit kemudian, dia kembali membuka suara. Kali ini dengan penuh penekanan. "Jika kalian tidak datang, berarti aku harus mencari ustaz yang ikut hadir waktu itu. Ustaz Rasyid, bukan? Aku mengenalnya."
Mas Dika memutus sambungan telepon. Aku bertanya, "bagaimana, Mas? Apa mereka mau datang ke sini?"
"Awalnya Ilham menolak, katanya masalah sudah selesai dan lagi pula kita sudah tahu kalau yang kini menjadi calon istrinya itu Nurul Hafizah yang dia bawa ke sini kemarin. Mungkin mereka sengaja agar kamu berhenti berharap. Namun, mas tentu tidak membiarkan itu terjadi. Orangtua Ilham akan datang ke sini, sekarang."
"Oh, baiklah kalau begitu. Tentu masalah tidak akan serumit ini jika mereka datang mengklarifikasi atau meminta maaf. Para tetangga juga tidak akan terlalu menggunjing, daripada ditinggal tanpa jejak," gumamku, tetapi masih mampu didengar Mas Dika.
"Lelaki itu harus tegas dan punya tanggung jawab. Gimana, Yum? Mas bertanggung jawab, 'kan?" Aku mengangguk, lalu Mas Dika melanjutkan, "kira-kira Amel mau ndak ya sama mas?"
Aku mendelik kesal. Dalam situasi seperti ini bisa-bisanya Mas Dika melempar guyonan. Sebelum mendengar amukan, dia sudah lebih dulu keluar kamar dengan langkah seribu. Aku tertawa kecil, ada rasa bahagia karena dihibur walau tetap saja luka lebih berkuasa.
***
Pukul sebelas siang, sebuah mobil agya merah terparkir di depan rumah. Dari warnanya sudah bisa ditebak itu milik orangtua Mas Ilham. Aku yang sejak tadi berdiri di jendela langsung masuk ke ruang tengah dan mendapati ibu sedang mengupas bawang di depan televisi.
"Bu, orangtua Mas Ilham sudah datang."
Ibu gegas berdiri; melangkah menuju dapur, sementara aku masuk kamar berusaha menguasai diri. Jika hati sudah lebih baik, aku akan menguping pembicaraan mereka. Hari ini lebih dibuat deg-degan dibanding ketika lamaran. Dulu ada senyum yang terukir indah, sedangkan kini ada luka yang merebak cepat.
Lima menit berlalu, ibu mengetuk pintu memintaku ke luar membawa minuman. Dengan berat hati aku melangkah, membuka daun pintu dan meraih baki yang berisi kopi hitam pekat. Namun, kenapa ada lima gelas?
"Ilham juga datang, tapi kamu harus bersikap santai. Dia saja santai," cerocos ibu seakan bisa membaca pikiranku.
Aku menelan saliva, lalu menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan hingga tujuh kali. Setelah debar di dada sudah normal, aku mulai melangkah ke luar. Perlahan, luka kembali terbuka sehingga hati merasakan perih yang luar biasa.
Langkahku terhenti ketika tidak sengaja beradu pandang dengan Mas Ilham. Tidak ada lagi bunga-bunga cinta. Sekarang saja aku ingin menangis dan bercerita pada dunia bahwa ada hati yang berdarah-darah. Namun, raut wajah lelaki itu terlihat biasa saja.
"Kenapa berhenti di situ, Yum?" tegur Mas Dika.
Aku sedikit terperanjat dan hampir menumpahkan kopi. Tanpa menjawab, aku langsung meletakkan gelas itu di depan mereka. Gelas-gelas kaca yang terluka, tanpa mampu dia ungkap. Ah, aku mulai tidak waras.
"Yumna ke dalam dulu, Bu," pamitku dengan suara parau sambil memeluk baki bergambar bunga mawar yang juga aku pakai ketika acara lamaran. Sakit sekali.
Akan tetapi, sebenarnya bukan niat masuk ke dapur. Ya, aku berdiri di balik tirai untuk menguping pembicaraan mereka. Rasa penasaran yang begitu mengusik. Perempuan memang seperti itu, terus mencari tahu walau sudah pasti hanya akan menoreh luka.
Namun, sampai detik ini belum terdengar suara dari siapa pun. Aku jadi semakin penasaran bahkan berharap ini hanya bercanda karena tahu hari kelahiranku. Bosan menunggu, baki aku bawa ke dapur, lalu minum air putih untuk menenangkan diri yang mulai merasakan sesak.
Setelah itu, dengan langkah seribu aku kembali ke tempat semula untuk menguping. Rupanya pembicaraan mereka sudah dimulai. Aku menajamkan pendengaran dan ternyata itu suara ummi.
"Kami tidak bisa berbuat banyak karena Ilham sudah dewasa. Jadi, keputusan ada di tangannya. Apa pun itu, kami harus setuju karena dia yang menjalani pernikahannya. Benar, bukan?"
"Ilham memang usia sudah bisa dikata dewasa, tetapi melamar anak orang dan meninggalkan hanya dengan pesan aksara itu tidak dibenarkan. Kalian sebagai orangtua harusnya bisa mendidik anak untuk tidak memperlakukan perempuan seperti itu. Bagaimana jika adik Ilham merasakan hal yang sama? Apa kalian akan diam dan membiarkan lelaki itu–"
"Cukup, Dik. Biar kami yang bicara dulu!" tegur ayah pada Mas Dika.
"Tidak perlu memperpanjang masalah." Mas Ilham ikut membuka suara. "20 Maret nanti aku akan menikah dengan Nurul Hafizah. Jadi, tidak akan ada solusi. Intinya kami meminta maaf. Masalah selesai."
Aku terkejut bukan main. Bisa-bisanya Mas Ilham bicara seperti itu di depan ayah. Jika saja boleh, aku ingin ke luar dan menghajarnya langsung. Sudah buaya, tidak punya adab pula. Aku geram. "Jaga bicaramu, Mas!" teriakku masih berdiri di balik tirai.
Aku sudah tidak tahan sehingga terpaksa melakukan ini. Kalau ayah marah, itu urusan belakang. Tangan kananku mengibas tirai dengan kasar, lalu duduk di kursi yang tidak jauh dari mereka. Semua mata tertuju padaku, tidak terkecuali Mas Ilham yang sok berilmu itu. "Apa kedudukanmu sampai lupa menjaga adab kepada yang lebih tua, Mas? Jangan gede rasa karena kami minta keluargamu ke sini. Kami tidak berharap lebih, tetapi ingin klarifikasi dari kalian. Jika kamu tidak mau, bukankah ada orangtua yang seharusnya mengawal anak sejak awal?" Aku berucap tegas. "Begini, Yumna. Kami minta maaf atas nama Ilham." Abinya Ilham sudah mulai membuka suara. "Maaf, Pak. Kalau mau minta maaf itu harus Mas Ilham sendiri yang melakukannya. Lagi pula aku juga sudah tahu tentang Nurul Hafizah. Kami yang bukan dari keluarga terpandang bukan berarti bisa diperlakukan seenak jidat." Mas Ilham diam, terlihat tidak ada keinginan untuk meminta maaf. Beruntung sekali aku tidak sampai menikah dengannya, karena le
Begitu sampai di rumah, aku meletakkan garam dan uang kembalian di meja makan. Tanpa sepatah kata, aku langsung masuk ke kamar untuk menenangkan pikiran. Bisa-bisanya Bu Wenda berpikir aku ini hamil. Astagfirullah, jangankan hamil, dekat dengan lelaki lain saja aku sampai gemetaran. Memang memakai jilbab tidak menjamin perempuan itu salihah, tetapi sungguh aku sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan yang bukan mahram. Saling bertegur sapa dengan teman sekolah saja malu. Ini fitnah! Telepon berdering, itu dari Amel. Segera aku angkat dan menjawab salam. Sekarang sudah jam delapan pagi, tidak biasanya dia menelepon. "Kamu gak berangkat ngaji? Ini aku sudah di rumah Ustaz Hasan." "Astagfirullahalazim!" pekikku, "maaf, aku sampai lupa, Mel. Bisa jemput gak? Kalau jalan kaki takutnya telat." "Kebiasaan. Oke, aku ke sana sekarang." Setelah mematikan ponsel, aku buru-buru mengganti pakaian. Beruntung sehabis salat subuh tadi langsung mandi biar tidak mengantuk ketika murajaah hafala
"Mau apa kamu ke sini, Mas?" tanyaku setelah mendengkus kesal. Di rumah hanya ada ibu karena Mas Dika dan ayah sudah pergi bekerja. Lelaki yang baru kemarin memutus lamaran datang bertamu ke rumah seorang diri setelah salat dzuhur, katanya kebetulan lewat dan ada niat untuk singgah. "Hayolah, Yumna, jangan terlalu sensitif. Aku sudah menganggapmu teman dan tentu tidak ada salahnya menemuimu. Di rumah juga ada ibumu, 'kan?" Mas Ilham menjawab santai. Aku memalingkan wajah sekilas tanda tidak suka. Dada bergemuruh hebat. Entah karena masih ada rasa atau faktor bawaan yang tidak terbiasa dikunjungi tamu lelaki. Wajah mungkin sudah seperti udang rebus akibat menahan amarah. Ya, aku masih marah pada Mas Ilham yang tindakannya melampaui batas. Usaha untuk melupakan belum berhasil, dia malah sengaja datang ke rumah. Aku jadi curiga, ada motif tersembunyi di balik semua ini. Mungkinkah Mas Ilham itu sedang mencari tumbal? Huh, astagfirullah. Sebenarnya Amel juga ada di sini karena ingin m
Saat makan malam, aku hanya diam. Tidak ada obrolan hangat seperti yang biasa kami lakukan. Misalnya saja candaan ayah atau tingkah konyol Mas Dika yang bahkan bukan lagi anak kecil. Dulu sebelum lamaran dibatalkan, rumah ini berhias senyum dan kebahagiaan. "Jadi, apa yang akan kamu lakukan sekarang, Yum? Kuliah sudah berhenti, keahlian untuk bekerja juga tidak ada." Mas Dika bertanya seraya menyendokkan nasi ke dalam mulut. "Di rumah menunggu takdir baik sambil fokus ziyadah juga, Mas. Lagi pula aku malu kalau melanjutkan kuliah, teman-teman bisa saja mengejekku." Tetap saja ada rasa menyesal karena meninggalkan bangku kuliah. Padahal ayah dan ibu berharap kedua anaknya bisa meraih gelar sarjana. Minimal Strata 1 dan aku memupuskan harapan itu. Beruntung selama kuliah ada beasiswa, jadi tidak terlalu merugikan pihak keluarga. Aku hanya bisa mengembus napas kasar sambil menatap nanar nasi yang belum tersentuh sama sekali. Sendok hanya berputar mengeliringi nasi putih yang tidak lagi
Kuejakan sebaris asa dalam lantunan doaDari relung jiwa menggambarkan keinginanMencairkan napas yang tertahan di bening hatiMenepiskan kegamangan dalam perjalanan fanakuSekian waktu kumengembara dalam alam-MuMeniti langkah mencari kisah indah yang hakikiMenanti tanpa letih sebentuk karunia-MuYang akan membawaku pada kesempurnaan diriBerderet kisah indah yang telah kutemuiBerjuta kata bermakna puitis telah kusimakPenggalan bait-bait merujuk dan merayukuLelah dan jemu atas pengagungan sebuah lahiriahBila kelak datang sebentuk cinta atas karunia-MuJauhkanlah dari cinta yang mengagumi lahiriah semataTetapkanlah sebentuk cinta pada jalan rida IlahiYang terbungkus rapi dalam balutan fitrah IlahiMerenyuhkan hati pada sebening asa yang tersiratMerengkuh memeluk sebentuk berkah dari kisah indahMendampingiku dalam menyempurnakan akhlakBerjamaah mendekatkan diri pada rengku
"Yumna?" Panggilan ibu diiringi ketukan di pintu membuatku terperanjat. Mungkin beliau ingin memanggil makan lagi karena memang seharian belum mengisi perut seperti yang dikatakan Amel tadi. "Iya, Bu, ada apa?" sahutku tanpa membuka pintu kamar. "Buka pintunya, ibu mau masuk!" Dengan langkah gontai aku terpaksa membuka pintu kamar. Ibu sudah berdiri dengan membawa makanan. Aku sama sekali tidak berselera sekalipun cacing sudah meronta sejak siang tadi. Perempuan tua yang teramat penyayang itu masuk kamarku dan meletakkan makanan di nakas. Aku hanya bisa menghela napas panjang karena jika sudah begini, beliau pasti marah kalau makanan itu tidak habis. "Makanannya jangan ada yang disisain, oke?" "Iya, Bu. Aku usahain." Aku menjawab malas. Tepatnya karena keadaan lemah gemetaran. Setelah mendengar itu, ibu melangkah ke luar. Mau tidak mau aku meraih piring itu dan menghabiskan isinya dengan lahap. Ketika sedang meneguk air,
"Nurul?" sapaku. Perempuan anggun yang memakai jilbab baby pink itu menoleh lantas tersenyum. "Maaf, kalian siapa, ya?" "Bukan siapa-siapa. Lagian kita salah orang, kirain Nurul Madinah tadi makanya nyapa." Amel yang menjawab dengan nada tidak suka. Aku jadi merasa tidak enak. "Tidak usah pura-pura." Mas Ilham tiba-tiba mengagetkan kami. Dia berdiri di sisi Nurul dengan gagahnya. "Kalian ngapain ke sini? Ngikutin kami?" "Maaf, ya. Kita ke sini itu gak ada niat ngikutin kalian. Emang kalian siapa, artis juga buka apalagi ulama." Amel menjawab ketus, kemudian memutar bola mata malas. Aku yang tidak ingin memperkeruh keadaan—karena tahu wataknya—langsung meninggalkan mereka berdua. Ternyata sefrekuensi, pantas saja Allah jodohkan. Aku menarik senyum sinis sekalipun hati tetap terbakar api cemburu. Amel terus mengomel dengan suara pelan takut pemilik toko mengusir kami. Dengan kejadian mengesalkan ini, aku jadi berpikir dua kalo untuk memberi mereka kado, mungkin diuangkan lebih baik
Waktu bergulir begitu cepat seakan ada yang meminta agar pernikahannya segera dilangsungkan. Sekarang hari sabtu dan besok Mas Ilham yang pernah melamarku akan mengucapkan ijab qabul menyebut nama Nurul Hafizah. Masya Allah, beruntungnya perempuan itu hendak menjadi istri Mas Ilham. Aku sampai iri dan terus bertanya-tanya kenapa bukan diri ini yang ditakdirkan bersanding dengannya? Notifikasi W******p mengusik sejak tadi, aku pun meraih ponsel yang sedang di-charger. Amel : Aku sudah menemukan kado yang pas untuk mereka. Insya Allah, memilihnya bukan karena benci atau dendam. Aku : Alhamdulillah, terimakasih, Sahabatku. Besok jangan lupa dibawa, ya sekalian aku pinjam jilbab abu silvermu. Amel : Boleh. Sama-sama. "Yumna, ke sini sebentar!" titah Mas Dika yang berdirindi beranda pintu. Aku pun beranjak dan menghampirinya. "Ada apa, Mas?" Mas Dika tersenyum dan menyeretku keluar kamar katanya minta ditemani makan di luar.
"Ibu, apa lamaran Gus Hanan ditolak saja?" tanyaku ragu-ragu.Selama ini sibuk menimbang hingga sekarang masih belum menemukan jawaban padahal ba'da dzuhur mereka akan datang sesuai janji Gus Qabil malam tadi. Jejak kenangan terus tereja dalam memori sejak waktu terasa tak berdetak begitu Mas Dika menyampaikan unek-uneknya."Apa alasanmu menolak lamaran Gus Hanan? Dia baik agama dan akhlaknya. Lantas tidak takut jika kelak musibah menimpa kamu? Beliau akan datang bersama Kyai Sholeh, apa berani menolak?"Aku diam, semua yang dikatakan ibu ada benarnya. Namun, bagaimana dengan Mas Dika yang kehilangan cahayanya? Apakah ditakdirkan hidup sebagai mentari redup?"Bu, aku belum mencintai Gus Hanan dan malu pada keluarganya yang semua orang berilmu. Coba Ibu bayangkan dilamar putra kyai yang sangat disegani. Semua orang akan mengira aku bodoh, tetapi memang sulit menjalaninya," lirihku."Apa maksudmu menolak lamaran Gus Hanan?" Pertanyaan Mas Dika berhasil meluruhkan air mata yang sejak tadi
"Maaf, Mas. Haram melamar pinangan orang lain," gumamku berhasil membuat Mas Ilham membisu.Selama ini aku tidak pernah menduga akan dilamar untuk kali ketiga. Padahal sudah banyak waktu terlewat menuai luka yang begitu dalam.Aku menunduk, tidak sanggup menatap wajah yang penuh kedukaan apalagi jika melihat mata Mas Ilham. Pasti ada perih yang seketika membelenggunya. Aku memejamkan mata berusaha menenangkan diri."Carilah perempuan lain, Ham. Yumna sudah dilamar Gus Hanan. Jawabannya sudah ada hanya belum menyampaikan.""Tapi aku cinta ....""Cinta saja tidak cukup. Takdir yang menentukan sementara kita menjalani. Tiada cinta tanpa pengorbanan. Mungkin memang ini yang sudah menjadi takdirmu. Terima saja walau perih merajai hati." Penjelasan Mas Dika cukup bisa membungkam lelaki itu.Masalah kesungguhan hati, aku bjsa merasakannya. Dia memeriksakan diri, kemudian kembali dengan sejuta harapan berujung nestapa. Kejujuran memang a
"Diamlah! Cinta adalah sebutir permata yang tak bisa kaulemparkan sembarangan umpama sebutir batu." –Jalaluddin Rumi.***"Mas, janji loh ya temani ke toko jilbab. Aku tuh mau pakai jilbab baru saat menerima lamaran!" teriakku sambil mengetuk pintu kamar Mas Dika.Tidak ada sahutan padahal sudah puku sepuluh siang. Kalau terus-terusan begini lebih baik pergi sendiri. Aku meminai sekliling rumah mencoba menemukan kunci motor. Nihil."Mas, kunci motor ada di kamu?" teriakku kesal.Bukannya menjawab, Mas Dika malah tertawa jahat. Aku semakin kesal sampai menendang daun pintu tersebut. Rengekanku tidak berarti lagi, Mas Dika kekeuh menutup pintu.Sialnya karena ayah ibu tidak ada di sini, jadi dia bebas berulah. Berulang kali aku memutar otak agar bisa menemukan cara, tetap gagal. Memang ada satu lagi, tetapi tidak meyakinkan.'Coba saja! Kalau gagal, gak apa!', bisik hati nuraniku.Pintu kamar kembali kuketuk. "Ya udah, engg
Ada pesan What$app dari Nurul yang izin bertamu jam dua siang. Sebenarnya it's okay, hanya saja nanti Mas Dika marah. Permintaannya ditolak, tetapi tetap juga datang.Sekarang dia ada di depanku. Mas Dika yang mendengar kabar kedatangan Nurul buru-buru masuk kamar dengan membanting pintu kasar. Aku sampai terperanjat dan mengelus dada."Aku mau ke Amerika minggu depan, Yum. Sebelum ke sana, tolong maafkan aku. Sampaikan pada Mas Dika juga ibu dan ayahmu." Nurul memulai percakapan dengan mimik datar."Serius?" tanyaku kaget.Dia mengangguk. "Sebelum ke Amerika, aku sudah harus selesai mengunjungi semua orang yang pernah kubuat sakit hati. Aku ingin memulai lembaran baru, maka harus meninggalkan Indonesia.""Mas Ilham sudah tahu?" Walau mereka sudah cerai, aku tidak tahu kenapa menanyakan itu. Nurul menggeleng lemah."Di sana nanti sama siapa?""Saudaranya mendiang ibu." Setelah itu Nurul menyodorkan sebuah surat. Katanya buat Mas Dika.
Sepulang dari belanja, aku kaget melihat banyak ibu-ibu kumpul di depan rumah seperti acara bagi sembako. Kali ini masih dipimpin Bu Wenda dan Bu Arin. Mereka selalu berulah seperti akan sekarat jika sehari belum menggibah atau fitnah orang lain. Andin ikut singgah dengan beberapa belanjaan dan itu mengundang perhatian mereka sambil berbisik-bisik. Aku hanya bisa diam karena belum tahu duduk masalahnya. "Mas Dika mana, Bu?" tanyaku setelah menyadari ibu menghadapi mereka semua sendirian. "Masmu lagi ke luar beli ... ibu lupa." "Jawab dong, Bu kenapa sampai cerai sama ayah Dika?" Mataku membulat sempurna mendengar mereka. Pantas saja kumpul seperti orang unjuk rasa, ternyata kepo tingkat dewa. "Wah, Yumna langsung belanja banyak setelah menerima uang dari ayah Dika. Baru pertama seumur hidup ya?" Aku tidak tahu siapa yang melempar pertanyaan itu. Hati mendadak panas, aku meremas gamis sendiri agar bisa menguasai diri. Mereka semua sudah kelewat batas. Semua belanjaan kuserahkan
"Mas, kamu mau ngerebut ayah, kan?" tuduh Nurul yang sengaja bertamu ke rumah kami"Apa katamu? Aku ngerebut ayah?" Mas Dika terkekeh pelan dengan tatapan nyalang. "Ayahku cuma satu dan sedang bekerja. Mentang Pak Fajar itu orang kaya lantas aku akan merebutnya? Sorry, aku gak matre kayak kamu!"Tetangga ada yang melihat kami dari kejauhan, mungkin penasaran apa yang sedang terjadi. Ya, kabar Nurul sebagai adik Mas Dika belum menyebar, aku suka itu.Katanya Mas Dika ingin merebut ayahnya? Ambil saja Pak Fajar-mu itu! batinku kesal."Lalu, kenapa kamu menerima uang sepuluh juta dan ATM itu. Aku saja gak dikasih!" protes Nurul. Aku pikir dia benar berubah kemarin atau karena uang, makanya marah?Mas Dika hendak masuk rumah, mungkin mau mengembalikan apa yang diterimanya kemarin, tetapi aku mencekal sekuat tenaga. Setelah itu, melirik pada Nurul. "Mas Dika punya hak, bahkan lebih daripada kamu!" tegasku."Ibumu dicerai hidup, tetapi ibuku dicer
Tiga puluh lima menit berlalu, sebuah alphard hitam terparkir di halaman depan. Untuk rumah sesederhana ini, aku merasa tidak cocok jika ada mobil mewah di depan. Terlalu mencolok. Seorang lelaki paruh baya dengan perut sedikit besar ke luar dari mobil. Dia memakai kacamata minus. Jas warna abu muda dengan sepatu hitam. Penampilannya jauh berbeda waktu datang sama Nurul. Dia mengetuk pintu, mengucap salam tanpa tahu kami mengintip di balik jendela. Mas Dika membuka, aku bisa melihat tangannya yang gemetaran. Ketika daun pintu terbuka lebar, Pak Fajar terpaku sesaat memindai Mas Dika dari bawah ke atas. Detik selanjutnya, hanya tangisan yang sedikit menggema di rumah sederhana ini. Dia memeluk penuh kerinduan. Aku tidak tahu kenapa dulu beliau mengaku bujang padahal ibu penyayang. "Silakan duduk!" Mas Dika menyilakan Pak Fajar. Beliau duduk di depan kami. Bisa kulihat binar kebahagiaan di matanya, senyum pun merekah menciptakan keriput kecil di
22 08 22Aku suka tanggal itu karena angka di depan dan belakangnya sama persis, kemudian di antarai angka nol dan delapan yang tidak berujung. Jika diumpamakan ; 22 adalah sepasang kekasih, cinta pun sayangnya tiada ujung.Di tanggal itu pula Pak Fajar ditemani Nurul datang bertamu ke rumah mencari Mas Dika, sementara hanya ada aku dan ibu yang bibirnya terkatup rapat. Lelaki paruh baya ini sangat mirip dengan masku, Nurul mungkin tidak memikirkan itu sebelumnya."Sekali saja, Dahlia. Sekali saja aku ingin melihat Dika!" mohonnya."Maaf, Pak Fajar. Namun, Dika selama ini mengira ayahnya telah meninggal." Ibu menyahut setelah lima menit diam. Itu pun karena aku memegang tangannya.Pak Fajar mendesah berat, aku bisa melihat bagaimana dia tidak mudah putus asa atau menyerah jika butuh sesuatu. Nurul sejak tadi tidak pernah membuka suara, aku tidak tahu bagaimana caranya menyampaikan tentang Mas Dika pada ayah mereka.'Ayah mereka', aku tidak s
Mas Dika pulang ke rumah pukul tiga sore, sementara ayah katanya menyusul karena singgah dulu di rumah teman lama yang sefrekuensi. "Mas, tadi Nurul ada di sini loh nungguin kamu!" aduku ragu-ragu. "Ngapain nunggu mas? Gak ada urusan!" ketusnya. "Mas, dia kan adik kamu juga. Apa nanti Mas Dika berubah dan melupakanku apalagi kalau sudah menikah dengan Gus Hanan?" "Yumna, kamu itu ngomong apa sih?! Cuma kamu adik mas gak ada yang lain!" Suara Mas Dika meninggi, aku sedikit takut mendengarnya. Ibu memanggil Mas Dika, sementara aku melangkah cepat masuk kamar. Mungkin sekarang lebih baik mengabari Amel tentang fakta mengejutkan ini. Ketika sibuk dengan ponsel, aku teringat pada Mas Ilham. Sejak lamaran aku tolak, nomornya tidak pernah aktif lagi. Apalagi sekadar lewat atau menyapaku. Tidak ada kabar, Nurul pun seperti enggan memberitahu. "Halo, Amel. Apa aku mengganggu?" sapaku ketika panggilan tersambung. "Tidak, lagi san