Setelah perjalanan bulan madu yang tidak berkesan itu selesai, aku dan Arya kembali pulang ke kota kami, di sana aku tinggal di rumah Arya, dan putrinya yang bernama Larissa yang masih batita juga kini diasuh oleh ayah kandungnya sekarang, karena kini Arya sudah menikah jadi hak asuh putri semata wayangnya dengan mendiang istrinya itu kembali jatuh ke pelukannya.
"Aku sangat berterimakasih padamu Gadis, sekarang putri kecilku ini kembali lagi padaku, aku sangat bahagia. Dan kamu gak usah khawatir, kamu tidak perlu capek-capek mengurus Larissa, aku sudah menyewa baby sitter, jadi kamu tidak perlu khawatir. Kamu bisa melakukan apapun yang kamu sukai, kembali bekerja atau bermain dengan teman-temanmu, terserah, kamu tidak perlu membebani dirimu sendiri dengan kewajiban sebagai istri maupun ibu, semuanya sudah kuatur, ada asisten rumah tangga dan baby sitter yang akan mengurus semuanya, jadi kamu tak perlu khawatir." ujar Arya padaku ketika berada di kamar. Karena aku tidak memiliki wewenang meskipun aku adalah istri sahnya, aku hanya mengangguk bagai kerbau dicocok hidungnya. Kali ini aku hanya ingin hidup dengan tenang, tekanan yang kudapatkan dari masyarakat tentangku dari semenjak aku belum menikah, membuat pikiran dan jiwaku lelah, sekarang aku tidak ingin menambah beban lagi dengan terus-terusan berteriak pada suamiku, 'HEI, AKU SEKARANG ADALAH ISTRIMU! AKU JUGA BERHAK MENGURUSMU DAN JUGA ANAKMU!' namun aku tak kuasa, aku terlampau lelah, biarlah, semua yang terjadi adalah bagian dari takdirku, dan aku berusaha untuk menerimanya. Kali ini aku takkan protes, aku hanya akan diam tak bersuara, meskipun aku bersuara pun, Arya ataupun orang-orang di dunia ini takkan peduli. Aku kembali ke kamar, aku ingin merebahkan tubuhku di kasur empuk yang kini menjadi milikku itu. Memang, aku dan Arya tidak tidur satu kamar, namun kami masih satu rumah, baby sitter yang mengurus Larissa pun tidak menginap, begitupun dengan asisten rumah tangga. Jadi selepas jam lima sore, begitu Arya pulang dari kantor, hanya ada kami bertiga. sebenarnya aku kesepian, karena tidak ada yang bisa aku ajak mengobrol, jika aku mencoba bergaul dengan pekerja di rumah, aku takut jadi bahan gosip, disamping itu mereka sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Untuk melepas rasa bosan, aku sering pergi jalan-jalan sendiri menggunakan ojek online, kadang menonton film sendirian, atau sekedar pergi ke perpustakaan. Di tempat tinggal ku yang baru aku belum memiliki teman, lagipula aku takut jika sampai mengakrabkan diri dengan orang lain, takut jika mereka mengorek-ngorek latar belakangku. Jadi terpaksa aku bersikap anti sosial. Dan hal itu membuatku tidak tahu apa-apa, kurang gaul dan sebagainya, namun aku mencoba untuk hadir di berbagai majelis pengajian ibu-ibu di komplek rumah agar tidak dicap sombong tentunya dengan batas privasi tertentu. Selama hampir satu bulan menikah dan tinggal bersama, aku tak pernah disentuh oleh suami, atau sekedar diperhatikan, apakah aku sakit, butuh sesuatu atau bentuk perhatian lainnya. Suamiku hanya mentransfer uang setiap minggunya, meski saldo rekeningku menggendut, tapi wajah dan tubuhku kuyu. Entah kenapa. Setiap hari aku selalu overthingking, bagaimana dengan masa depanku? bagaimana dengan nasib pernikahanku? Jika mengingat itu, aku selalu menangis setiap malam, bahkan aku mendadak menderita insomnia. Ya Alloh, aku memang ingin menikah, tapi bukan pernikahan seperti ini yang aku mau. Lalu, aku harus bagaimana? Apa yang harus kulakukan? "Arya," aku mencoba lagi, sedikit lebih tegas kali ini. "Kita perlu bicara." Dia menoleh, mengangkat alis sedikit, ekspresinya masih tenang dan datar. “Tentang apa?” Hatiku berdebar-debar, pertanyaan itu terdengar seperti tantangan. Seolah-olah ia sudah tahu arah pembicaraan ini dan tidak ingin melanjutkannya. Aku menguatkan diri, duduk di hadapannya, mencoba menahan pandangan dinginnya. Suasana di antara kami begitu kaku, terasa seperti dua orang asing yang kebetulan tinggal di atap yang sama. “Aku merasa...,” aku berhenti, menimbang kata-kata yang tepat. "Aku merasa seperti kita tidak benar-benar menikah. Kita tinggal satu rumah, tapi kita tidak pernah benar-benar bersama. Kamu sibuk dengan pekerjaanmu, dan aku... aku di sini, di rumah, tapi aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku merasa kosong.” Arya mendengarkan, tapi sorot matanya tidak berubah. Ia hanya diam, menunggu aku melanjutkan, tanpa memberikan reaksi yang jelas. Aku berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mataku. “Arya, aku tahu kamu menikahiku bukan karena cinta, dan aku tidak menuntut hal itu. Tapi pernikahan ini... pernikahan ini seharusnya lebih dari sekadar formalitas. Kita seharusnya berusaha untuk mengenal satu sama lain, mencoba memahami apa yang kita rasakan. Aku merasa kita seperti dua orang asing yang kebetulan tinggal di rumah yang sama.” Arya menghela napas, menyandarkan punggungnya ke sofa, dan menutup matanya sejenak. “Gadis, aku tahu ini sulit untukmu,” akhirnya ia berkata dengan nada yang nyaris mekanis. “Tapi kita sudah sepakat. Aku menikahimu karena aku membutuhkan istri, seseorang yang bisa membantuku merawat Larissa. Aku tidak meminta lebih dari itu. Kamu tidak perlu khawatir tentang hal-hal lain. Kamu bisa hidup dengan tenang di sini, dengan segala fasilitas yang ada.” “Tapi aku bukan boneka, Arya.” Nada suaraku mulai meninggi, meski aku tidak ingin bertengkar. “Aku butuh lebih dari sekadar fasilitas. Aku butuh perhatian, aku butuh perasaan bahwa aku berarti untukmu, setidaknya sebagai pasangan hidup.” “Aku tahu,” Arya berkata pelan. “Tapi aku tidak bisa memberimu itu, Gadis. Aku tidak bisa berpura-pura bahwa aku punya perasaan yang lebih dari yang sekarang. Aku... aku tidak siap untuk itu.” Aku terdiam, tenggelam dalam keheningan yang dingin. Jawaban Arya, meski sudah kuduga, tetap menyakitkan. Ia tidak bisa, atau lebih tepatnya, tidak mau, membuka dirinya untukku. Pernikahan ini benar-benar hanya sebatas formalitas di matanya, dan aku adalah bagian dari kesepakatan yang sudah dia buat dengan dirinya sendiri. “Kamu tidak siap?” ulangku, mencoba mencari kejelasan. “Atau kamu memang tidak mau mencoba?” Arya bangkit dari duduknya, menghela napas panjang sebelum menatapku dengan pandangan yang lebih lembut dari biasanya. "Aku tidak ingin membuatmu berharap lebih, Gadis. Dari awal, aku sudah memberitahumu bahwa aku tidak bisa memberikan apa yang kamu inginkan. Aku menikah karena aku membutuhkan stabilitas untuk Larissa, bukan karena aku ingin memulai hubungan yang baru." Aku merasakan sesuatu di dadaku runtuh. Kata-katanya tajam, langsung menusuk ke pusat kerapuhanku. Tidak ada cinta, tidak ada harapan. Aku hanyalah pilihan praktis bagi Arya, sebuah keputusan yang diambil demi kenyamanan, bukan karena perasaan. “Jadi, apa yang kamu inginkan dariku?” tanyaku akhirnya, suaraku serak. “Aku di sini, mencoba berperan sebagai istrimu, tapi kamu tidak pernah memberiku ruang untuk itu.” Arya menatapku dalam diam, seolah-olah ia tidak memiliki jawaban atas pertanyaan itu. Setelah beberapa saat, ia kembali duduk, tatapannya beralih ke jendela, menatap keluar ke arah halaman rumah yang kosong. “Aku tidak tahu, Gadis,” jawabnya akhirnya, nadanya terdengar jauh. “Aku hanya... aku hanya tidak tahu bagaimana caranya untuk menjadi suami yang baik. Aku tidak siap untuk hal ini. Dan aku tahu, aku mungkin tidak akan pernah siap.” Kata-katanya menggantung di udara, menyisakan keheningan yang semakin menyesakkan. Aku merasakan air mata yang kutahan sejak tadi akhirnya jatuh, mengalir perlahan di pipiku. Aku mencoba menghapusnya cepat-cepat, tidak ingin terlihat lemah di hadapan Arya. Tapi di dalam hati, aku tahu bahwa tidak ada lagi yang bisa kulakukan. Pernikahan ini memang tidak akan pernah seperti yang kuharapkan. Aku bangkit dari tempat duduk, menatap Arya untuk terakhir kali sebelum berbalik menuju kamar. “Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ingin mencoba,” kataku pelan, suaraku hampir bergetar. “Tapi aku tidak bisa melakukannya sendirian.” Aku berjalan keluar, meninggalkan Arya yang masih duduk di ruang tamu, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Langkah-langkahku terdengar begitu berat, seolah-olah setiap langkah membawa beban baru ke pundakku. Di kamar, aku duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah cermin di dinding. Refleksi diriku terlihat begitu asing, seolah-olah wanita di cermin itu bukanlah diriku. Aku merasa terperangkap, tidak tahu ke mana harus melangkah, tidak tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya. Hidupku kini adalah teka-teki tanpa jawaban. Aku ingin merasakan cinta, perhatian, kehangatan dalam pernikahan ini. Tapi aku hanya mendapatkan kesendirian. Arya terlalu jauh, terlalu dingin. Dan aku, aku merasa seperti hanyut dalam ketidakpastian. Malam itu, untuk pertama kalinya dalam pernikahan ini, aku berdoa dengan air mata yang tidak bisa kutahan lagi. Aku memohon petunjuk, memohon kekuatan. Jika pernikahan ini adalah takdirku, aku memohon agar diberi kekuatan untuk bertahan. Tapi jika ini bukan jalanku, aku berharap agar diberi keberanian untuk mengambil langkah yang benar, meskipun itu mungkin berarti meninggalkan segalanya. Aku tidak tahu apakah aku siap untuk keputusan besar itu. Tapi yang pasti, aku tidak bisa terus hidup seperti ini, terjebak dalam kebisuan, dalam pernikahan yang terasa lebih seperti kurungan daripada tempat berlindung. ***Seminggu berlalu sejak percakapan itu, dan tidak ada yang berubah. Arya tetap menjaga jarak, tenggelam dalam kesibukan kantornya dan Larissa. Aku? Aku terus melangkah di lorong kosong hidupku, tanpa tujuan jelas.Hari-hari rasanya melebur menjadi satu, membentuk siklus yang monoton. Pagi-pagi sekali aku bangun, menyiapkan sarapan yang sering kali hanya kubuat untuk diriku sendiri, karena Arya lebih sering makan di luar. Setelah itu, aku menghabiskan waktu dengan hal-hal kecil, seperti membersihkan rumah meskipun sudah ada asisten rumah tangga. Aku merasa butuh sesuatu untuk kulakukan, agar tidak sepenuhnya merasa tak berguna.Siang itu, di tengah heningnya rumah yang terasa begitu asing bagiku, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari seorang teman lama, Shinta. Kami sudah lama tidak bertemu sejak aku pindah ke kota ini."Gadis, kapan kamu ada waktu? Aku kangen ngobrol bareng."Aku menghela napas. Ajakan dari Shinta seharusnya bisa menjadi pelarian, setidaknya untuk sejenak melupak
Hari-hari setelah percakapan dengan Shinta terasa semakin berat. Setiap kali aku melihat Arya dan Larissa, hatiku semakin tenggelam dalam keraguan. Bukan karena aku membenci mereka, tapi lebih karena rasa terasing yang terus tumbuh di dalam diriku. Arya mungkin suami di atas kertas, namun nyatanya kami seperti dua orang asing yang hidup bersama tanpa ikatan emosional yang nyata.Suatu sore, setelah Arya pulang kerja, aku memberanikan diri untuk bicara dengannya. Larissa sudah tidur dan kami duduk di ruang tamu, suasananya hening, hanya suara jam dinding yang berdetak perlahan.“Arya, kita perlu bicara,” kataku, suaraku terdengar lebih gemetar dari yang kuharapkan.Dia mengangkat kepalanya dari ponsel dan menatapku dengan mata datar. “Tentang apa?”Aku menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian. “Tentang kita. Tentang pernikahan ini.”Ekspresi Arya tidak berubah, tetapi aku bisa melihat sedikit kekesalan melintas di matanya. “Gadis, aku sudah bilang, pernikahan ini tidak didasarka
Waktu terus berlalu, hampir tiga bulan sejak aku mulai bekerja. Hidupku mulai terbagi antara pekerjaan dan rutinitas di rumah, meski hati ini masih terus kosong. Arya tetap menjalani hari-harinya seperti biasa, sibuk dengan pekerjaannya dan sesekali menghabiskan waktu dengan Larissa, tapi interaksinya denganku tetap sebatas formalitas. Tidak ada percakapan mendalam, tidak ada kehangatan.Aku sadar bahwa pernikahan kami semakin renggang. Kadang, aku bertanya-tanya apakah Arya sadar atau memang dia tak peduli. Entahlah, mungkin dia merasa nyaman dengan pengaturan ini—aku menjalani hidupku, dia menjalani hidupnya. Tapi di dalam hatiku, aku merasa terjebak dalam pernikahan tanpa arah. Setiap hari rasanya semakin sulit untuk bertahan.Setelah Arya pergi kerja, aku berusaha menenangkan pikiranku yang kacau. Pikiran tentang perceraian, kehilangan Larissa, dan kenyataan pahit bahwa Arya tidak pernah mencintaiku terus menghantuiku. Tapi, ada satu hal yang lebih menyakitkan: perasaan tak berday
Malam beranjak tua, aku masih berjibaku dengan mukena dan sejadah yang semakin hari semakin lusuh. Seperi halnya wajahku yang mulai ‘lusuh’ dengan kerutan-kerutan tipis yang mulai muncul di sudut mata. Tetes demi tetes air mata kembali membasahi mukena lusuhku saat aku merapal doa yang sama setiap detiknya. Teringat kata-kata Ibuku tadi siang yang sangat menohok ulu hatiku. “Mungkin ini adalah syukuran ulang tahun terakhir kamu bersama kami Dis,” kata Ibuku sambil menyendok nasi kuning ke dalam wadah untuk dibagikan ke tetangga dan sanak saudara. “Maksud Ibu apa?” Tanyaku khawatir, aku mulai bisa menerka arah pembicaraan Ibu. “Mungkin saja Ibu dan Ayahmu keburu masuk kubur tanpa sempat melihatmu naik ke pelaminan!” Tegas Ibu sambil melengos ke ruang tamu. Aku hanya terpaku tanpa berbicara apapun saat itu. Ingatanku kembali ke kejadian dua tahun yang lalu sebelum aku memutuskan untuk berjilbab dan tidak pacaran. Laki-laki itu bernama Salman,
Adzan awal berkumandang dari mesjid dekat rumahku, bergetar hatiku mendengarnya. Helai demi helai waktu bergulir tanpa permisi, aku menyesal melewatkan hari kemarin dengan kekhawatiran akan hari esok yang belum pasti datang. Setelah melakukan sholat qiyamul lail, aku tidak merasa khawatir lagi. Seolah perasaan itu hilang bersama debu-debu ketakutan akan masa depan, lalu semuanya berubah menjadi terang benderang. Aku mendapatkan kenikmatan ibadah yang luar biasa, dan itu merupakan rezeki yang amat besar. Detik ini, aku ingin sepenuhnya melakukan apa yang Alloh suka, ingin melakukan apa yang Alloh ridho meskipun ujian yang akan datang nantinya lebih besar. Tapi hidup di dunia bukankah sebenarnya adalah ujian? Aku ikhlas dengan ketentuanNya, termasuk dengan urusan jodoh. Semua sudah ada yang mengatur, aku hanya akan fokus mencari ilmu agama dan memperbaiki diri, bisa saja kematian datang menghampiriku terlebih dahulu sebelum jodoh itu sendiri. Lantas apa yang akan kubawa saat aku pulang
Arya datang tepat waktu sesuai yang dia janjikan di pesan chat. Entah kenapa jantungku berdebar dengan sangat cepat ketika melihat teman SMPku itu. Secara fisik Arya memang menarik, dia tinggi, atletis, kulitnya putih kecoklatan dan berkaca mata, fisiknya itu mengingatkanku pada karakter kesukaanku, Akechi Kengo di komik Detektif Kindaichi. Aku yakin tidak akan ada gadis yang menolak menjadi kekasihnya dengan penampilan menarik seperti itu. Aku mencoba untuk tidak memperlihatkan kegugupanku di hadapannya dan berusaha bersikap santai layaknya pada teman lama. Orangtuaku tiba-tiba saja menjadi ramah saat melihat ada tamu laki-laki menemuiku, bahkan ayahku tidak beranjak dari kursi dan hendak menanyakan beberapa pertanyaan pada Arya. Aku semakin tidak nyaman dengan kondisi ini, kenapa jadi begini? Kan dia datang untuk bersilaturahmi saja. Ketika aku mengambil minuman dan beberapa cemilan untuk dihidangkan pada tamu, tiba-tiba ayahku mengucap alhamdulilah dengan suara agak keras, aku dan
"Apa sebenarnya maksudnya ini?" tanyaku pada Arya keesokan harinya di kedai kopi Sakko pilihannya untuk membicarakan detil maksud yang Arya sampaikan pada kedua orangtuaku kemarin."Aku melamarmu," jawab Arya singkat."Kenapa kamu memilihku?" "Karena aku mengenalmu.""Sejak kapan kamu menyukaiku sehingga kamu melamarku?""Apa kamu ingin aku jujur?""Tentu, kejujuran itu sangat penting bagiku.""Baik, tapi kamu tidak boleh baper dengan perkataanku, aku tidak menyukaimu, aku hanya ingin menikahimu dan memiliki status sebagai seorang suami agar keluargaku tidak lagi menjodohkanku dengan wanita-wanita yang tidak kukenal dan juga agar aku bisa tinggal bersama lagi dengan Larissa, putriku." Aku terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh mantan kakak kelasku itu, dan aku sedikit kecewa dengan jawabannya."Kenapa kamu diam? apa kamu kecewa dengan jawabanku? apa jangan-jangan kamu berpikir aku melamarmu karena menyukaimu? haha, kamu lucu, di usia kita perasaan-perasaan seperti itu tidak terlal
Akhirnya aku menikah dengan Arya Dirgantara, seniorku ketika di SMP, aku sama sekali tiadk menyangka aku dan dia akan menikah, kulihat seorang anak perempuan berusia dua tahun yang digendong oleh ibunya Arya. Akhirnya aku kalah dengan sebuah konstruksi sosial yang membelenggu masyarakat bahwa seorang perempuan berusia kepala tiga tidak memiliki kuasa untuk menolak pinangan laki-laki yang hendak melamarnya, meskipun pilihan itu bertolak belakang dengan keinginanku. Sebagai perempuan tentunya aku ingin menikah dengan seseorang yang tulus mencintai dan menerimaku apa adanya. Aku melihat ayah dan ibuku berulangkali mengusap sudut matanya, mereka menangis? Aku tidak tahu mereka menangis karena sedih atau lega, akhirnya anak perempuannya yang perawan tua menikah juga dengan seorang laki-laki tampan dan mapan meskipun berstatus duda beranak satu. Ingin sekali aku berlari dari situasi ini, namun tidak bisa karena merasa aku dirantai oleh belenggu konstruksi sosial yang sudah melekat di masyar
Waktu terus berlalu, hampir tiga bulan sejak aku mulai bekerja. Hidupku mulai terbagi antara pekerjaan dan rutinitas di rumah, meski hati ini masih terus kosong. Arya tetap menjalani hari-harinya seperti biasa, sibuk dengan pekerjaannya dan sesekali menghabiskan waktu dengan Larissa, tapi interaksinya denganku tetap sebatas formalitas. Tidak ada percakapan mendalam, tidak ada kehangatan.Aku sadar bahwa pernikahan kami semakin renggang. Kadang, aku bertanya-tanya apakah Arya sadar atau memang dia tak peduli. Entahlah, mungkin dia merasa nyaman dengan pengaturan ini—aku menjalani hidupku, dia menjalani hidupnya. Tapi di dalam hatiku, aku merasa terjebak dalam pernikahan tanpa arah. Setiap hari rasanya semakin sulit untuk bertahan.Setelah Arya pergi kerja, aku berusaha menenangkan pikiranku yang kacau. Pikiran tentang perceraian, kehilangan Larissa, dan kenyataan pahit bahwa Arya tidak pernah mencintaiku terus menghantuiku. Tapi, ada satu hal yang lebih menyakitkan: perasaan tak berday
Hari-hari setelah percakapan dengan Shinta terasa semakin berat. Setiap kali aku melihat Arya dan Larissa, hatiku semakin tenggelam dalam keraguan. Bukan karena aku membenci mereka, tapi lebih karena rasa terasing yang terus tumbuh di dalam diriku. Arya mungkin suami di atas kertas, namun nyatanya kami seperti dua orang asing yang hidup bersama tanpa ikatan emosional yang nyata.Suatu sore, setelah Arya pulang kerja, aku memberanikan diri untuk bicara dengannya. Larissa sudah tidur dan kami duduk di ruang tamu, suasananya hening, hanya suara jam dinding yang berdetak perlahan.“Arya, kita perlu bicara,” kataku, suaraku terdengar lebih gemetar dari yang kuharapkan.Dia mengangkat kepalanya dari ponsel dan menatapku dengan mata datar. “Tentang apa?”Aku menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian. “Tentang kita. Tentang pernikahan ini.”Ekspresi Arya tidak berubah, tetapi aku bisa melihat sedikit kekesalan melintas di matanya. “Gadis, aku sudah bilang, pernikahan ini tidak didasarka
Seminggu berlalu sejak percakapan itu, dan tidak ada yang berubah. Arya tetap menjaga jarak, tenggelam dalam kesibukan kantornya dan Larissa. Aku? Aku terus melangkah di lorong kosong hidupku, tanpa tujuan jelas.Hari-hari rasanya melebur menjadi satu, membentuk siklus yang monoton. Pagi-pagi sekali aku bangun, menyiapkan sarapan yang sering kali hanya kubuat untuk diriku sendiri, karena Arya lebih sering makan di luar. Setelah itu, aku menghabiskan waktu dengan hal-hal kecil, seperti membersihkan rumah meskipun sudah ada asisten rumah tangga. Aku merasa butuh sesuatu untuk kulakukan, agar tidak sepenuhnya merasa tak berguna.Siang itu, di tengah heningnya rumah yang terasa begitu asing bagiku, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari seorang teman lama, Shinta. Kami sudah lama tidak bertemu sejak aku pindah ke kota ini."Gadis, kapan kamu ada waktu? Aku kangen ngobrol bareng."Aku menghela napas. Ajakan dari Shinta seharusnya bisa menjadi pelarian, setidaknya untuk sejenak melupak
Setelah perjalanan bulan madu yang tidak berkesan itu selesai, aku dan Arya kembali pulang ke kota kami, di sana aku tinggal di rumah Arya, dan putrinya yang bernama Larissa yang masih batita juga kini diasuh oleh ayah kandungnya sekarang, karena kini Arya sudah menikah jadi hak asuh putri semata wayangnya dengan mendiang istrinya itu kembali jatuh ke pelukannya. "Aku sangat berterimakasih padamu Gadis, sekarang putri kecilku ini kembali lagi padaku, aku sangat bahagia. Dan kamu gak usah khawatir, kamu tidak perlu capek-capek mengurus Larissa, aku sudah menyewa baby sitter, jadi kamu tidak perlu khawatir. Kamu bisa melakukan apapun yang kamu sukai, kembali bekerja atau bermain dengan teman-temanmu, terserah, kamu tidak perlu membebani dirimu sendiri dengan kewajiban sebagai istri maupun ibu, semuanya sudah kuatur, ada asisten rumah tangga dan baby sitter yang akan mengurus semuanya, jadi kamu tak perlu khawatir." ujar Arya padaku ketika berada di kamar. Karena aku tidak memiliki wew
Keesokkan harinya, aku dan Arya bersiap-siap untuk naik kereta menuju Yogyakarta untuk bulan madu. Aku memilih kursi dekat jendela sedangkan Arya duduk di sebelahku. Sudah lama aku tidak pernah naik kereta, terakhir kali aku naik kereta saat berusia 14 tahun, ketika melakukan perjalanan study tour ketika SMP. Perjalanannya cukup jauh, aku mencoba untuk tidur tapi tidak bisa, kulihat Arya tengah tertidur, kaca mata yang bertengger di matanya membuatnya semakin manis. Aku menatap wajah suamiku itu dengan lekat, tampan. Sebenarnya aku sudah jatuh cinta kepada Arya ketika dia melakukan ijab qobul dengan ayahku. Tapi aku mencoba memendamnya karena takut cintaku tidak berbalas seperti yang sudah-sudah. Kami tinggal di sebuah villa dengan dua kamar yang biasa disewakan, aku dan Arya tidur di kamar terpisah. Sebenarnya hatiku sedih, ternyata Arya tidak main-main, dia menikahiku hanya sebuah status di atas kertas itu benar dan tak dibuat-buat. Sedih sebenarnya namun aku tidak bisa melakukan p
Akhirnya aku menikah dengan Arya Dirgantara, seniorku ketika di SMP, aku sama sekali tiadk menyangka aku dan dia akan menikah, kulihat seorang anak perempuan berusia dua tahun yang digendong oleh ibunya Arya. Akhirnya aku kalah dengan sebuah konstruksi sosial yang membelenggu masyarakat bahwa seorang perempuan berusia kepala tiga tidak memiliki kuasa untuk menolak pinangan laki-laki yang hendak melamarnya, meskipun pilihan itu bertolak belakang dengan keinginanku. Sebagai perempuan tentunya aku ingin menikah dengan seseorang yang tulus mencintai dan menerimaku apa adanya. Aku melihat ayah dan ibuku berulangkali mengusap sudut matanya, mereka menangis? Aku tidak tahu mereka menangis karena sedih atau lega, akhirnya anak perempuannya yang perawan tua menikah juga dengan seorang laki-laki tampan dan mapan meskipun berstatus duda beranak satu. Ingin sekali aku berlari dari situasi ini, namun tidak bisa karena merasa aku dirantai oleh belenggu konstruksi sosial yang sudah melekat di masyar
"Apa sebenarnya maksudnya ini?" tanyaku pada Arya keesokan harinya di kedai kopi Sakko pilihannya untuk membicarakan detil maksud yang Arya sampaikan pada kedua orangtuaku kemarin."Aku melamarmu," jawab Arya singkat."Kenapa kamu memilihku?" "Karena aku mengenalmu.""Sejak kapan kamu menyukaiku sehingga kamu melamarku?""Apa kamu ingin aku jujur?""Tentu, kejujuran itu sangat penting bagiku.""Baik, tapi kamu tidak boleh baper dengan perkataanku, aku tidak menyukaimu, aku hanya ingin menikahimu dan memiliki status sebagai seorang suami agar keluargaku tidak lagi menjodohkanku dengan wanita-wanita yang tidak kukenal dan juga agar aku bisa tinggal bersama lagi dengan Larissa, putriku." Aku terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh mantan kakak kelasku itu, dan aku sedikit kecewa dengan jawabannya."Kenapa kamu diam? apa kamu kecewa dengan jawabanku? apa jangan-jangan kamu berpikir aku melamarmu karena menyukaimu? haha, kamu lucu, di usia kita perasaan-perasaan seperti itu tidak terlal
Arya datang tepat waktu sesuai yang dia janjikan di pesan chat. Entah kenapa jantungku berdebar dengan sangat cepat ketika melihat teman SMPku itu. Secara fisik Arya memang menarik, dia tinggi, atletis, kulitnya putih kecoklatan dan berkaca mata, fisiknya itu mengingatkanku pada karakter kesukaanku, Akechi Kengo di komik Detektif Kindaichi. Aku yakin tidak akan ada gadis yang menolak menjadi kekasihnya dengan penampilan menarik seperti itu. Aku mencoba untuk tidak memperlihatkan kegugupanku di hadapannya dan berusaha bersikap santai layaknya pada teman lama. Orangtuaku tiba-tiba saja menjadi ramah saat melihat ada tamu laki-laki menemuiku, bahkan ayahku tidak beranjak dari kursi dan hendak menanyakan beberapa pertanyaan pada Arya. Aku semakin tidak nyaman dengan kondisi ini, kenapa jadi begini? Kan dia datang untuk bersilaturahmi saja. Ketika aku mengambil minuman dan beberapa cemilan untuk dihidangkan pada tamu, tiba-tiba ayahku mengucap alhamdulilah dengan suara agak keras, aku dan
Adzan awal berkumandang dari mesjid dekat rumahku, bergetar hatiku mendengarnya. Helai demi helai waktu bergulir tanpa permisi, aku menyesal melewatkan hari kemarin dengan kekhawatiran akan hari esok yang belum pasti datang. Setelah melakukan sholat qiyamul lail, aku tidak merasa khawatir lagi. Seolah perasaan itu hilang bersama debu-debu ketakutan akan masa depan, lalu semuanya berubah menjadi terang benderang. Aku mendapatkan kenikmatan ibadah yang luar biasa, dan itu merupakan rezeki yang amat besar. Detik ini, aku ingin sepenuhnya melakukan apa yang Alloh suka, ingin melakukan apa yang Alloh ridho meskipun ujian yang akan datang nantinya lebih besar. Tapi hidup di dunia bukankah sebenarnya adalah ujian? Aku ikhlas dengan ketentuanNya, termasuk dengan urusan jodoh. Semua sudah ada yang mengatur, aku hanya akan fokus mencari ilmu agama dan memperbaiki diri, bisa saja kematian datang menghampiriku terlebih dahulu sebelum jodoh itu sendiri. Lantas apa yang akan kubawa saat aku pulang