Adzan awal berkumandang dari mesjid dekat rumahku, bergetar hatiku mendengarnya. Helai demi helai waktu bergulir tanpa permisi, aku menyesal melewatkan hari kemarin dengan kekhawatiran akan hari esok yang belum pasti datang. Setelah melakukan sholat qiyamul lail, aku tidak merasa khawatir lagi. Seolah perasaan itu hilang bersama debu-debu ketakutan akan masa depan, lalu semuanya berubah menjadi terang benderang. Aku mendapatkan kenikmatan ibadah yang luar biasa, dan itu merupakan rezeki yang amat besar. Detik ini, aku ingin sepenuhnya melakukan apa yang Alloh suka, ingin melakukan apa yang Alloh ridho meskipun ujian yang akan datang nantinya lebih besar. Tapi hidup di dunia bukankah sebenarnya adalah ujian? Aku ikhlas dengan ketentuanNya, termasuk dengan urusan jodoh. Semua sudah ada yang mengatur, aku hanya akan fokus mencari ilmu agama dan memperbaiki diri, bisa saja kematian datang menghampiriku terlebih dahulu sebelum jodoh itu sendiri. Lantas apa yang akan kubawa saat aku pulang nanti?
Aku berjanji, aku akan memulai hari ini dengan hati gembira, tidak akan ada lagi wajah cemberut dengan senyum hanya semili. Aku akan melebarkan senyumku menjadi dua mili misalnya bahkan lebih dari itu.
“Gadis, ada surat undangan dari temanmu, Ibu simpan di atas televisi.” Kata Ibuku pagi harinya, ketika aku habis mencuci. Sebenarnya aku masih agak trauma dengan kata undangan, melihat bulan september adalah bulannya orang menikah. Tapi aku menegarkan hatiku, bahwa aku harus terbebas dari rasa takut dan khawatir yang menjadi belenggu di alam bawah sadarku dengan cara menghadapinya. Surat undangan itu berbeda dengan undangan pernikahan pada umumnya, tidak ada nama kedua mempelai disitu. Setelah kubaca, aku lega, ternyata itu bukan undangan pernikahan melainkan undangan reuni akbar SMP. Apa? Reuni?
Kembali rasa takut dan khawatir merajai alam bawah sadarku. Reuni, sebuah kata yang asing bagi orang introvert sepertiku. Yang kutahu, reuni adalah sebuah ajang pertukaran pertanyaan. Pertanyaan tentang gaji dan pekerjaan, tentang anak dan pernikahan, tentang kesuksesan dan kegagalan, tentang segalanya. Dan reuni adalah hal yang paling menakutkan untuk seseorang yang bukan apa-apa sepertiku. Reuni itu menyeramkan seperti Picolo, musuh bebuyutan Shun Go Ku di film kartun kesukaanku semasa kecil, Dragon Ball. Dan jelas, undangan reuni yang kuterima pagi itu lebih menakutkan daripada menghadiri seratus acara pernikahan.
“Bu, ada undangan reuni, aku datang tidak ya?” Tanyaku pada Ibu yang saat itu tengah membakar terasi.
“Datang saja, lagian diundang kok gak datang sih!” jawab Ibuku ketus, sudah beberapa hari ini Ibuku judes, setelah penolakanku berkali-kali tentang perjodohanku seminggu sebelumnya. Bahkan Ayahku, Pamanku, Bibiku, dan saudara-saudaraku yang lain secara terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya padaku yang mungkin tidak tahu diri karena masih melajang sampai saat ini. Kalau tidak ada iman di hati mungkin aku sudah lari ke rel kereta api.
**
Kuputuskan untuk datang saja ke acara reuni, daripada aku menjadi bulan-bulanan keluargaku di rumah. Toh, ini acara reuni akbar, semua angkatan ada disitu, dari mulai angkatan 70an sampai angkatan sekarang. Aku yakin, teman-teman seangkatanku tidak akan menemukanku, lagipula aku bukan anggota osis, bukan pula pasukan cheerleaders dengan tarian khasnya. Aku hanya murid kutu buku yang sebagian waktu istirahatnya dihabiskan di perpustakaan.
Tak kutemukan wajah-wajah yang kukenal, selain teman sebangkuku Nuri yang kini sudah memiliki dua orang putra yang lucu-lucu. Aku bersyukur. Setidaknya aku bisa bernostalgia dengan Nuri mengenang masa-masa ABG kami tanpa dicecar dengan beragam pertanyaan yang menusuk hati. Saat sedang asyik-asyiknya bernostalgia kami berpapasan dengan beberapa teman yang ternyata satu angkatan dengan kami. Meskipun sebenarnya aku lupa. Hal yang kutakutkan tidak terjadi, mereka ternyata hanya bertanya sekedarnya saja, bahkan beberapa dari mereka senasib denganku. Aku juga bertemu dengan kakak kelasku yang dulu sama-sama aktif di ekskul mading sekolah, Arya Dirgantara. Dia adalah pemimpin redaksi sedangkan aku adalah editornya, dulu kami begitu dekat, dan aku juga sempat menyukainya karena kami memiliki banyak kesamaan. Kudengar bahwa dia kini sudah berstatus duda beranak satu, istrinya meninggal ketika melahirkan anaknya. Aku melihat bahwa Arya yang dulu dan sekarang sangat berbeda, dulu dia ramah dan mudah tersenyum tapi sekarang dia terlihat dingin dan menusuk. Aku tahu sepertinya dia telah menjalani hidup yang tidak mudah. Tapi semua itu adalah masa lalu dan aku tidak berpikir untuk memiliki perasaan seperti dulu padanya. Lagi pula aku juga memiliki kriteriaku sendiri. Aku bercengkrama lagi dengan Nuri dan beberapa teman perempuan yang lain, sedangkan Arya yang tak sengaja melihatku itu tak kupedulikan, toh dia berbeda angkatan denganku.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Nuri padaku ketika dia memberikan selembar foto laki-laki padaku.
"Kelihatannya dia orang baik, boleh kok, aku akan mencoba berkenalan dengannya." jawabku pada Nuri, sebelumnya Nuri mencoba untuk mencomblangkanku dengan salah satu sepupu suaminya yang masih lajang. Aku sih mau-mau saja tapi apakah dia juga padaku? Terkadang aku takut mengalami penolakan lagi seperti yang dulu-dulu, tapi berulang kali Nuri mengatakan kalau Andri adalah yang baik, dia meyakiniku bahwa Nuri sudah menceritakan latar belakangku padanya dan dia menerimanya. Aku pun bersemangat kembali dan mencoba untuk membuka hatiku pada orang baru setelah beberapa bulan menjeda hati.
**
Beberapa hari setelah Nuri mengenalkanku pada Andri, aku pun intens chating dan telepon dengannya, ternyata dia orangnya seru dan senang bercanda, kami pun janjian untuk ketemuan di sebuah cafe di daerah tempat tinggalku. Selepas subuh aku sudah mandi dan mematut-matutkan diriku di depan cermin, karena hari ini aku akan bertemu dengan Andri. Jadi penampilanku harus bagus untuk menarik di kesan pertama kami nanti, semoga Andri tidak kecewa dengan penampilanku.
Sudah hampir pukul dua belas siang aku menunggu di cafe, tempat aku dan Andri melakukan janji temu, namun Andri tak menampakkan diri, aku pun sudah berulangkali mengirim pesan chat tapi hanya ceklis satu, ditelepon pun tidak tersambung. Aku semakin gelisah, apakah janji temu kami gagal? Padahal kami berdua sudah sepakat akan bertemu pukul sepuluh di cafe ini. Adzan dhuhur berkumandang dan aku pun memutuskan untuk pulang karena sudah dua jam menunggu.
Setibanya di rumah, Nuri tiba-tiba mengirim pesan chat padaku, dan mengatakan permohonan maafnya karena Andri tidak bisa menemui janji temunya denganku, tanpa alasan. Aku sudah menduganya, meskipun aku tidak berharap banyak tentang hubungan jangka panjang dengan Andri, namun aku tetaplah perempuan biasa yang lemah, aku tak kuasa menahan tangis karena kegagalanku, lagi. Ternyata usut punya usut, Nuri bilang kalau Andri sebenarnya datang ke cafe, namun begitu melihatku dia mengurungkan niatnya untuk bertemu. Meskipun Nuri tidak mengatakan alasannya, namun aku berasumsi bahwa Andri mungkin kecewa dengan penampilan fisikku yang kurang good looking di matanya. Aku hanya tersenyum mencoba menegarkan diri sekuat tenaga.
Terkadang aku merasa kenapa nasibku bisa sampai seperti ini, dan bertanya-tanya adakah yang mau denganku? Aku merasa insecure gara-gara kejadian ini. Semalaman aku menangis di kamar sampai akhirnya tertidur.
**
Aku mendapatkan notifikasi di aplikasi W******p milikku, aku ditambahkan ke dalam grup alumni SMP angkatan 2006 kelas 3F, di sana sudah ada sekitar 20 orang, Allyssa sebagai admin grup kembali memasuk-masukkan lagi teman-teman sekelas yang lain. Aku tidak terlalu antusias karena merasa malas jika nanti teman-teman SMPku mengadakan acara di luar. Aku segera menutup ponselku namun terdengar bunyi pesan chat, kulihat di profil tertera nama Arya Dirgantara! aku bingung kenapa Arya mengirim pesan chat padaku, dan tahu dari mana dia nomor teleponku? aku hanya adik kelasnya yang tidak terlalu populer. Tapi segera kubaca dan isinya yang ternyata hanya menyapa saja, ah, aku terlalu hiperbolis. Karena risih, jadi aku membalas singkat saja dan segera pergi dari kamar menuju dapur.
Beberapa hari ini, Arya begitu intens mengirim pesan chat padaku, awalnya hanya menyapa tapi lama kelamaan menjadi pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya privasi, seperti 'aku dengar dari Irwan, kamu belum menikah, kenapa belum menikah?' Irwan itu adalah teman sekelasku yang sama-sama anggota mading, atau 'apa kegiatanmu sekarang?' 'berapa gajimu menjadi komikus?', tentunya pertanyaan-pertanyaan itu membuatku merasa jengah, aku sudah muak menjawab semua pertanyaan kurang kerjaan itu sebenarnya, apalagi ini ditanyakan oleh Arya, yang notabene dia adalah laki-laki yang berubah menjadi dingin ditambah lagi seorang single parent, tentunya hal itu membuatku menjadi tidak nyaman. Karena ingin segera menyelesaikan obrolan di chat, aku tidak membalas pesan chatnya dan mengubah pengaturan dengan menonaktifkan tombol centang biru agar dia tidak tahu pesannya sudah dibaca atau belum. Huh, ada-ada saja!
Aku kaget ketika keesokan harinya, aku menerima pesan chat dari Arya, yang isinya adalah dia akan main ke rumahku. Sontak aku menjadi gugup dan juga cemas, untuk apa dia datang ke rumahku? Katanya, dia sudah tahu alamat rumahku dari Nuri dan hari ini dia akan datang ke rumahku. Aku menanyakan alasan dia datang ke rumahku, namun dia menjawab hanya ingin bersilaturahmi saja. Karena aku tidak memiliki alasan untuk menolak, ya sudah kubiarkan saja dia datang, toh hanya silaturahmi sajakan, tidak masalah.
***
Arya datang tepat waktu sesuai yang dia janjikan di pesan chat. Entah kenapa jantungku berdebar dengan sangat cepat ketika melihat teman SMPku itu. Secara fisik Arya memang menarik, dia tinggi, atletis, kulitnya putih kecoklatan dan berkaca mata, fisiknya itu mengingatkanku pada karakter kesukaanku, Akechi Kengo di komik Detektif Kindaichi. Aku yakin tidak akan ada gadis yang menolak menjadi kekasihnya dengan penampilan menarik seperti itu. Aku mencoba untuk tidak memperlihatkan kegugupanku di hadapannya dan berusaha bersikap santai layaknya pada teman lama. Orangtuaku tiba-tiba saja menjadi ramah saat melihat ada tamu laki-laki menemuiku, bahkan ayahku tidak beranjak dari kursi dan hendak menanyakan beberapa pertanyaan pada Arya. Aku semakin tidak nyaman dengan kondisi ini, kenapa jadi begini? Kan dia datang untuk bersilaturahmi saja. Ketika aku mengambil minuman dan beberapa cemilan untuk dihidangkan pada tamu, tiba-tiba ayahku mengucap alhamdulilah dengan suara agak keras, aku dan
"Apa sebenarnya maksudnya ini?" tanyaku pada Arya keesokan harinya di kedai kopi Sakko pilihannya untuk membicarakan detil maksud yang Arya sampaikan pada kedua orangtuaku kemarin."Aku melamarmu," jawab Arya singkat."Kenapa kamu memilihku?" "Karena aku mengenalmu.""Sejak kapan kamu menyukaiku sehingga kamu melamarku?""Apa kamu ingin aku jujur?""Tentu, kejujuran itu sangat penting bagiku.""Baik, tapi kamu tidak boleh baper dengan perkataanku, aku tidak menyukaimu, aku hanya ingin menikahimu dan memiliki status sebagai seorang suami agar keluargaku tidak lagi menjodohkanku dengan wanita-wanita yang tidak kukenal dan juga agar aku bisa tinggal bersama lagi dengan Larissa, putriku." Aku terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh mantan kakak kelasku itu, dan aku sedikit kecewa dengan jawabannya."Kenapa kamu diam? apa kamu kecewa dengan jawabanku? apa jangan-jangan kamu berpikir aku melamarmu karena menyukaimu? haha, kamu lucu, di usia kita perasaan-perasaan seperti itu tidak terlal
Akhirnya aku menikah dengan Arya Dirgantara, seniorku ketika di SMP, aku sama sekali tiadk menyangka aku dan dia akan menikah, kulihat seorang anak perempuan berusia dua tahun yang digendong oleh ibunya Arya. Akhirnya aku kalah dengan sebuah konstruksi sosial yang membelenggu masyarakat bahwa seorang perempuan berusia kepala tiga tidak memiliki kuasa untuk menolak pinangan laki-laki yang hendak melamarnya, meskipun pilihan itu bertolak belakang dengan keinginanku. Sebagai perempuan tentunya aku ingin menikah dengan seseorang yang tulus mencintai dan menerimaku apa adanya. Aku melihat ayah dan ibuku berulangkali mengusap sudut matanya, mereka menangis? Aku tidak tahu mereka menangis karena sedih atau lega, akhirnya anak perempuannya yang perawan tua menikah juga dengan seorang laki-laki tampan dan mapan meskipun berstatus duda beranak satu. Ingin sekali aku berlari dari situasi ini, namun tidak bisa karena merasa aku dirantai oleh belenggu konstruksi sosial yang sudah melekat di masyar
Keesokkan harinya, aku dan Arya bersiap-siap untuk naik kereta menuju Yogyakarta untuk bulan madu. Aku memilih kursi dekat jendela sedangkan Arya duduk di sebelahku. Sudah lama aku tidak pernah naik kereta, terakhir kali aku naik kereta saat berusia 14 tahun, ketika melakukan perjalanan study tour ketika SMP. Perjalanannya cukup jauh, aku mencoba untuk tidur tapi tidak bisa, kulihat Arya tengah tertidur, kaca mata yang bertengger di matanya membuatnya semakin manis. Aku menatap wajah suamiku itu dengan lekat, tampan. Sebenarnya aku sudah jatuh cinta kepada Arya ketika dia melakukan ijab qobul dengan ayahku. Tapi aku mencoba memendamnya karena takut cintaku tidak berbalas seperti yang sudah-sudah. Kami tinggal di sebuah villa dengan dua kamar yang biasa disewakan, aku dan Arya tidur di kamar terpisah. Sebenarnya hatiku sedih, ternyata Arya tidak main-main, dia menikahiku hanya sebuah status di atas kertas itu benar dan tak dibuat-buat. Sedih sebenarnya namun aku tidak bisa melakukan p
Setelah perjalanan bulan madu yang tidak berkesan itu selesai, aku dan Arya kembali pulang ke kota kami, di sana aku tinggal di rumah Arya, dan putrinya yang bernama Larissa yang masih batita juga kini diasuh oleh ayah kandungnya sekarang, karena kini Arya sudah menikah jadi hak asuh putri semata wayangnya dengan mendiang istrinya itu kembali jatuh ke pelukannya. "Aku sangat berterimakasih padamu Gadis, sekarang putri kecilku ini kembali lagi padaku, aku sangat bahagia. Dan kamu gak usah khawatir, kamu tidak perlu capek-capek mengurus Larissa, aku sudah menyewa baby sitter, jadi kamu tidak perlu khawatir. Kamu bisa melakukan apapun yang kamu sukai, kembali bekerja atau bermain dengan teman-temanmu, terserah, kamu tidak perlu membebani dirimu sendiri dengan kewajiban sebagai istri maupun ibu, semuanya sudah kuatur, ada asisten rumah tangga dan baby sitter yang akan mengurus semuanya, jadi kamu tak perlu khawatir." ujar Arya padaku ketika berada di kamar. Karena aku tidak memiliki wew
Seminggu berlalu sejak percakapan itu, dan tidak ada yang berubah. Arya tetap menjaga jarak, tenggelam dalam kesibukan kantornya dan Larissa. Aku? Aku terus melangkah di lorong kosong hidupku, tanpa tujuan jelas.Hari-hari rasanya melebur menjadi satu, membentuk siklus yang monoton. Pagi-pagi sekali aku bangun, menyiapkan sarapan yang sering kali hanya kubuat untuk diriku sendiri, karena Arya lebih sering makan di luar. Setelah itu, aku menghabiskan waktu dengan hal-hal kecil, seperti membersihkan rumah meskipun sudah ada asisten rumah tangga. Aku merasa butuh sesuatu untuk kulakukan, agar tidak sepenuhnya merasa tak berguna.Siang itu, di tengah heningnya rumah yang terasa begitu asing bagiku, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari seorang teman lama, Shinta. Kami sudah lama tidak bertemu sejak aku pindah ke kota ini."Gadis, kapan kamu ada waktu? Aku kangen ngobrol bareng."Aku menghela napas. Ajakan dari Shinta seharusnya bisa menjadi pelarian, setidaknya untuk sejenak melupak
Hari-hari setelah percakapan dengan Shinta terasa semakin berat. Setiap kali aku melihat Arya dan Larissa, hatiku semakin tenggelam dalam keraguan. Bukan karena aku membenci mereka, tapi lebih karena rasa terasing yang terus tumbuh di dalam diriku. Arya mungkin suami di atas kertas, namun nyatanya kami seperti dua orang asing yang hidup bersama tanpa ikatan emosional yang nyata.Suatu sore, setelah Arya pulang kerja, aku memberanikan diri untuk bicara dengannya. Larissa sudah tidur dan kami duduk di ruang tamu, suasananya hening, hanya suara jam dinding yang berdetak perlahan.“Arya, kita perlu bicara,” kataku, suaraku terdengar lebih gemetar dari yang kuharapkan.Dia mengangkat kepalanya dari ponsel dan menatapku dengan mata datar. “Tentang apa?”Aku menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian. “Tentang kita. Tentang pernikahan ini.”Ekspresi Arya tidak berubah, tetapi aku bisa melihat sedikit kekesalan melintas di matanya. “Gadis, aku sudah bilang, pernikahan ini tidak didasarka
Waktu terus berlalu, hampir tiga bulan sejak aku mulai bekerja. Hidupku mulai terbagi antara pekerjaan dan rutinitas di rumah, meski hati ini masih terus kosong. Arya tetap menjalani hari-harinya seperti biasa, sibuk dengan pekerjaannya dan sesekali menghabiskan waktu dengan Larissa, tapi interaksinya denganku tetap sebatas formalitas. Tidak ada percakapan mendalam, tidak ada kehangatan.Aku sadar bahwa pernikahan kami semakin renggang. Kadang, aku bertanya-tanya apakah Arya sadar atau memang dia tak peduli. Entahlah, mungkin dia merasa nyaman dengan pengaturan ini—aku menjalani hidupku, dia menjalani hidupnya. Tapi di dalam hatiku, aku merasa terjebak dalam pernikahan tanpa arah. Setiap hari rasanya semakin sulit untuk bertahan.Setelah Arya pergi kerja, aku berusaha menenangkan pikiranku yang kacau. Pikiran tentang perceraian, kehilangan Larissa, dan kenyataan pahit bahwa Arya tidak pernah mencintaiku terus menghantuiku. Tapi, ada satu hal yang lebih menyakitkan: perasaan tak berday
Waktu terus berlalu, hampir tiga bulan sejak aku mulai bekerja. Hidupku mulai terbagi antara pekerjaan dan rutinitas di rumah, meski hati ini masih terus kosong. Arya tetap menjalani hari-harinya seperti biasa, sibuk dengan pekerjaannya dan sesekali menghabiskan waktu dengan Larissa, tapi interaksinya denganku tetap sebatas formalitas. Tidak ada percakapan mendalam, tidak ada kehangatan.Aku sadar bahwa pernikahan kami semakin renggang. Kadang, aku bertanya-tanya apakah Arya sadar atau memang dia tak peduli. Entahlah, mungkin dia merasa nyaman dengan pengaturan ini—aku menjalani hidupku, dia menjalani hidupnya. Tapi di dalam hatiku, aku merasa terjebak dalam pernikahan tanpa arah. Setiap hari rasanya semakin sulit untuk bertahan.Setelah Arya pergi kerja, aku berusaha menenangkan pikiranku yang kacau. Pikiran tentang perceraian, kehilangan Larissa, dan kenyataan pahit bahwa Arya tidak pernah mencintaiku terus menghantuiku. Tapi, ada satu hal yang lebih menyakitkan: perasaan tak berday
Hari-hari setelah percakapan dengan Shinta terasa semakin berat. Setiap kali aku melihat Arya dan Larissa, hatiku semakin tenggelam dalam keraguan. Bukan karena aku membenci mereka, tapi lebih karena rasa terasing yang terus tumbuh di dalam diriku. Arya mungkin suami di atas kertas, namun nyatanya kami seperti dua orang asing yang hidup bersama tanpa ikatan emosional yang nyata.Suatu sore, setelah Arya pulang kerja, aku memberanikan diri untuk bicara dengannya. Larissa sudah tidur dan kami duduk di ruang tamu, suasananya hening, hanya suara jam dinding yang berdetak perlahan.“Arya, kita perlu bicara,” kataku, suaraku terdengar lebih gemetar dari yang kuharapkan.Dia mengangkat kepalanya dari ponsel dan menatapku dengan mata datar. “Tentang apa?”Aku menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian. “Tentang kita. Tentang pernikahan ini.”Ekspresi Arya tidak berubah, tetapi aku bisa melihat sedikit kekesalan melintas di matanya. “Gadis, aku sudah bilang, pernikahan ini tidak didasarka
Seminggu berlalu sejak percakapan itu, dan tidak ada yang berubah. Arya tetap menjaga jarak, tenggelam dalam kesibukan kantornya dan Larissa. Aku? Aku terus melangkah di lorong kosong hidupku, tanpa tujuan jelas.Hari-hari rasanya melebur menjadi satu, membentuk siklus yang monoton. Pagi-pagi sekali aku bangun, menyiapkan sarapan yang sering kali hanya kubuat untuk diriku sendiri, karena Arya lebih sering makan di luar. Setelah itu, aku menghabiskan waktu dengan hal-hal kecil, seperti membersihkan rumah meskipun sudah ada asisten rumah tangga. Aku merasa butuh sesuatu untuk kulakukan, agar tidak sepenuhnya merasa tak berguna.Siang itu, di tengah heningnya rumah yang terasa begitu asing bagiku, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari seorang teman lama, Shinta. Kami sudah lama tidak bertemu sejak aku pindah ke kota ini."Gadis, kapan kamu ada waktu? Aku kangen ngobrol bareng."Aku menghela napas. Ajakan dari Shinta seharusnya bisa menjadi pelarian, setidaknya untuk sejenak melupak
Setelah perjalanan bulan madu yang tidak berkesan itu selesai, aku dan Arya kembali pulang ke kota kami, di sana aku tinggal di rumah Arya, dan putrinya yang bernama Larissa yang masih batita juga kini diasuh oleh ayah kandungnya sekarang, karena kini Arya sudah menikah jadi hak asuh putri semata wayangnya dengan mendiang istrinya itu kembali jatuh ke pelukannya. "Aku sangat berterimakasih padamu Gadis, sekarang putri kecilku ini kembali lagi padaku, aku sangat bahagia. Dan kamu gak usah khawatir, kamu tidak perlu capek-capek mengurus Larissa, aku sudah menyewa baby sitter, jadi kamu tidak perlu khawatir. Kamu bisa melakukan apapun yang kamu sukai, kembali bekerja atau bermain dengan teman-temanmu, terserah, kamu tidak perlu membebani dirimu sendiri dengan kewajiban sebagai istri maupun ibu, semuanya sudah kuatur, ada asisten rumah tangga dan baby sitter yang akan mengurus semuanya, jadi kamu tak perlu khawatir." ujar Arya padaku ketika berada di kamar. Karena aku tidak memiliki wew
Keesokkan harinya, aku dan Arya bersiap-siap untuk naik kereta menuju Yogyakarta untuk bulan madu. Aku memilih kursi dekat jendela sedangkan Arya duduk di sebelahku. Sudah lama aku tidak pernah naik kereta, terakhir kali aku naik kereta saat berusia 14 tahun, ketika melakukan perjalanan study tour ketika SMP. Perjalanannya cukup jauh, aku mencoba untuk tidur tapi tidak bisa, kulihat Arya tengah tertidur, kaca mata yang bertengger di matanya membuatnya semakin manis. Aku menatap wajah suamiku itu dengan lekat, tampan. Sebenarnya aku sudah jatuh cinta kepada Arya ketika dia melakukan ijab qobul dengan ayahku. Tapi aku mencoba memendamnya karena takut cintaku tidak berbalas seperti yang sudah-sudah. Kami tinggal di sebuah villa dengan dua kamar yang biasa disewakan, aku dan Arya tidur di kamar terpisah. Sebenarnya hatiku sedih, ternyata Arya tidak main-main, dia menikahiku hanya sebuah status di atas kertas itu benar dan tak dibuat-buat. Sedih sebenarnya namun aku tidak bisa melakukan p
Akhirnya aku menikah dengan Arya Dirgantara, seniorku ketika di SMP, aku sama sekali tiadk menyangka aku dan dia akan menikah, kulihat seorang anak perempuan berusia dua tahun yang digendong oleh ibunya Arya. Akhirnya aku kalah dengan sebuah konstruksi sosial yang membelenggu masyarakat bahwa seorang perempuan berusia kepala tiga tidak memiliki kuasa untuk menolak pinangan laki-laki yang hendak melamarnya, meskipun pilihan itu bertolak belakang dengan keinginanku. Sebagai perempuan tentunya aku ingin menikah dengan seseorang yang tulus mencintai dan menerimaku apa adanya. Aku melihat ayah dan ibuku berulangkali mengusap sudut matanya, mereka menangis? Aku tidak tahu mereka menangis karena sedih atau lega, akhirnya anak perempuannya yang perawan tua menikah juga dengan seorang laki-laki tampan dan mapan meskipun berstatus duda beranak satu. Ingin sekali aku berlari dari situasi ini, namun tidak bisa karena merasa aku dirantai oleh belenggu konstruksi sosial yang sudah melekat di masyar
"Apa sebenarnya maksudnya ini?" tanyaku pada Arya keesokan harinya di kedai kopi Sakko pilihannya untuk membicarakan detil maksud yang Arya sampaikan pada kedua orangtuaku kemarin."Aku melamarmu," jawab Arya singkat."Kenapa kamu memilihku?" "Karena aku mengenalmu.""Sejak kapan kamu menyukaiku sehingga kamu melamarku?""Apa kamu ingin aku jujur?""Tentu, kejujuran itu sangat penting bagiku.""Baik, tapi kamu tidak boleh baper dengan perkataanku, aku tidak menyukaimu, aku hanya ingin menikahimu dan memiliki status sebagai seorang suami agar keluargaku tidak lagi menjodohkanku dengan wanita-wanita yang tidak kukenal dan juga agar aku bisa tinggal bersama lagi dengan Larissa, putriku." Aku terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh mantan kakak kelasku itu, dan aku sedikit kecewa dengan jawabannya."Kenapa kamu diam? apa kamu kecewa dengan jawabanku? apa jangan-jangan kamu berpikir aku melamarmu karena menyukaimu? haha, kamu lucu, di usia kita perasaan-perasaan seperti itu tidak terlal
Arya datang tepat waktu sesuai yang dia janjikan di pesan chat. Entah kenapa jantungku berdebar dengan sangat cepat ketika melihat teman SMPku itu. Secara fisik Arya memang menarik, dia tinggi, atletis, kulitnya putih kecoklatan dan berkaca mata, fisiknya itu mengingatkanku pada karakter kesukaanku, Akechi Kengo di komik Detektif Kindaichi. Aku yakin tidak akan ada gadis yang menolak menjadi kekasihnya dengan penampilan menarik seperti itu. Aku mencoba untuk tidak memperlihatkan kegugupanku di hadapannya dan berusaha bersikap santai layaknya pada teman lama. Orangtuaku tiba-tiba saja menjadi ramah saat melihat ada tamu laki-laki menemuiku, bahkan ayahku tidak beranjak dari kursi dan hendak menanyakan beberapa pertanyaan pada Arya. Aku semakin tidak nyaman dengan kondisi ini, kenapa jadi begini? Kan dia datang untuk bersilaturahmi saja. Ketika aku mengambil minuman dan beberapa cemilan untuk dihidangkan pada tamu, tiba-tiba ayahku mengucap alhamdulilah dengan suara agak keras, aku dan
Adzan awal berkumandang dari mesjid dekat rumahku, bergetar hatiku mendengarnya. Helai demi helai waktu bergulir tanpa permisi, aku menyesal melewatkan hari kemarin dengan kekhawatiran akan hari esok yang belum pasti datang. Setelah melakukan sholat qiyamul lail, aku tidak merasa khawatir lagi. Seolah perasaan itu hilang bersama debu-debu ketakutan akan masa depan, lalu semuanya berubah menjadi terang benderang. Aku mendapatkan kenikmatan ibadah yang luar biasa, dan itu merupakan rezeki yang amat besar. Detik ini, aku ingin sepenuhnya melakukan apa yang Alloh suka, ingin melakukan apa yang Alloh ridho meskipun ujian yang akan datang nantinya lebih besar. Tapi hidup di dunia bukankah sebenarnya adalah ujian? Aku ikhlas dengan ketentuanNya, termasuk dengan urusan jodoh. Semua sudah ada yang mengatur, aku hanya akan fokus mencari ilmu agama dan memperbaiki diri, bisa saja kematian datang menghampiriku terlebih dahulu sebelum jodoh itu sendiri. Lantas apa yang akan kubawa saat aku pulang