Akhirnya aku menikah dengan Arya Dirgantara, seniorku ketika di SMP, aku sama sekali tiadk menyangka aku dan dia akan menikah, kulihat seorang anak perempuan berusia dua tahun yang digendong oleh ibunya Arya. Akhirnya aku kalah dengan sebuah konstruksi sosial yang membelenggu masyarakat bahwa seorang perempuan berusia kepala tiga tidak memiliki kuasa untuk menolak pinangan laki-laki yang hendak melamarnya, meskipun pilihan itu bertolak belakang dengan keinginanku. Sebagai perempuan tentunya aku ingin menikah dengan seseorang yang tulus mencintai dan menerimaku apa adanya. Aku melihat ayah dan ibuku berulangkali mengusap sudut matanya, mereka menangis? Aku tidak tahu mereka menangis karena sedih atau lega, akhirnya anak perempuannya yang perawan tua menikah juga dengan seorang laki-laki tampan dan mapan meskipun berstatus duda beranak satu. Ingin sekali aku berlari dari situasi ini, namun tidak bisa karena merasa aku dirantai oleh belenggu konstruksi sosial yang sudah melekat di masyarakat. Usia segini harus punya ini itu, usia segitu harus sudah menikah, usia sekian harus punya anak dan tekanan-tekanan lain yang membuatku bahkan orang-orang diluaran sana juga rasakan. Aku menyerah pada status sosial yang dalam beberapa detik ini akan berubah menjadi seorang istri.
"SAH!" orang-orang berteriak, banyak orang yang menyaksikan akad nikahku itu berdoa, aku menutup mata merasakan sakit di dalam hati, kini aku tidak bisa lari lagi, selamat tinggal masa lajang, selamat datang kehidupan baru yang entah seperti apa, aku tidak tahu bagaimana nasibku ke depannya. Aku merasa lelah, hatiku serasa terbakar, aku pasrah.
**
Setelah akad nikah dan resepsi, aku dibawa ke rumah Arya, sebuah rumah yang cukup besar untuk pengantin baru. Ah, pengantin baru, mungkin sebutan pengantin baru hanya akan menjadi sebuah status di masyarakat, aku tidak benar-benar menyandang gelar pengantin baru. Larissa, putri Arya masih tinggal di rumah mantan mertuanya. Apakah aku yang akan mengasuh Larissa? Apakah aku sanggup menjadi ibu tiri untuk putrinya Arya? Memikirkannya saja kepalaku sudah pusing.
"Istirahatlah di kamar utama, nanti barang-barangmu akan aku bawa ke sana." Ujar Arya setelah melihatku memegang kepala, mungkin dia pikir aku beneran sakit kepala. Aku hanya mengangguk dan segera menuju ke kamar utama untuk sekedar merebahkan diri di atas tempat tidur. Kulihat kamar bercat abu-abu itu dengan dekorasi modern dan kebarat-baratan dengan seksama. Aku berpikir kenapa Arya menyuruhku untuk menempati kamar utama? lalu kamarnya di mana? apakah kami tidur saru kamar? pikiranku sudah melanglangbuana ke mana-mana, aku segera mengenayahkan pikiran kotor itu. Tidak mungkin Arya mau tidur sekamar denganku, bukankah dalam perjanjian pranikah itu tertulis kalau kami tidur di kamar yang terpisah? ah, aku tidak tahu, toh tidak masalah buatku jika Arya menginginkan tidur sekamar denganku, bukannya aku sudah menjadi istri sahnya?
Sebenarnya dalam lubuk hatiku, aku merasa senang sekaligus sedih, senang karena telah menjadi pengantin, dan sedih karena pernikahanku hanya sekedar di atas kertas, aku tidak benar-benar melakoni peran sebagai seorang istri. Mungkin ini adalah jalan takdirku, aku tidak tahu apakah pernikahanku akan menjadi pernikahan tanpa cinta selamanya? atau cinta akan benar-benar hadir di dalam pernikahan kami? Aku berbaring di atas kasur sambil menatap langit-langit. TIba-tiba Arya datang membawakan dua koper berisi pakaian dan barang-barangku ke kamar. Aku tidak mengindahkan Arya dan tetap berbaring sambil menatap langit-langit.
"Kalau kamu lapar ada beberapa cemilan di kulkas, aku akan pergi ke luar dulu membeli makanan, tidak akan lama kok." ujar Arya padaku, mendengar Arya akan keluar, aku refleks bangkit dari kasur.
"Aku ikut, aku tidak mau ditinggalkan sendirian di rumah ini." sergahku.
"Kenapa harus ikut? aku hanya akan pergi membeli nasi goreng ke depan, tidak akan lama kok."
"Enggak, pokoknya aku ikut, aku juga butuh udara segar."
"Oke, kalau begitu ayo!" aku segera memakai jaket, karena hari sudah petang dan mengikuti Arya ke luar, kami pergi menggunakan motor vespa maticnya yang unik dan catchy.
Hari sudah malam ketika kami sampai di tempat nasi goreng lesehan, setelah memesan nasi goreng, aku dan Arya segera pergi ke mesjid yang tak jauh dari tempat nasi goreng berada untuk melaksanakan sholat maghrib.
"Bagaimana menurutmu? enak?" tanya Arya setelah kami kembali dari mesjid dan nasi gorengnya sudah ada.
"Enak," jawabku singkat.
"Oke, kita akan membicarakan lagi tentang apa yang akan kita lakukan pasca menikah." uajr Arya, aku hanya mengangguk untuk yang kedua kalinya tanpa banyak bicara dan hanya menyantap nasi goreng.
"Agar pernikahan kita terasa seperti nyata, aku akan mengajakmu untuk pergi bulan madu ke Yogyakarta." Mendengar kata bulan madu, aku langsung tersedak, Arya dengan sigap segera mengambil air minum untukku.
"Bulan madu? sebelumnya kita tidak pernah membicarakannya,"
"Iya, ini mendadak, orangtuaku diam-diam memesankan tiket bulan madu ke gudeg itu, aku tidak bisa menolak, lagipula cuti kerjaku masih dua minggu lagi."
"Lalu, kita ngapain di sana?" giliran Arya yang tersedak, aku mengambil gelas air minum padanya.
"Di sana kita bisa melakukan apapun, jalan-jalan, melihat pantai, melihat candi, banyak. Kenapa kamu berpikir sempit? apa yang kamu pikirkan?"
"Aku tidak memikirkan apa-apa, hanya saja aku merasa canggung, pikiranku masih belum konek sampai detik ini, maaf."
"Oke, kita di sana hanya satu minggu kok, kita bisa pergi ke manapun yang kamu mau, atau mau belanja, terserah."
"Oke, aku setuju," mendengar kata belanja membuatku bersemangat lagi, aku segera menyantap nasi goreng spesial yang kupesan sampai habis.
***
Keesokkan harinya, aku dan Arya bersiap-siap untuk naik kereta menuju Yogyakarta untuk bulan madu. Aku memilih kursi dekat jendela sedangkan Arya duduk di sebelahku. Sudah lama aku tidak pernah naik kereta, terakhir kali aku naik kereta saat berusia 14 tahun, ketika melakukan perjalanan study tour ketika SMP. Perjalanannya cukup jauh, aku mencoba untuk tidur tapi tidak bisa, kulihat Arya tengah tertidur, kaca mata yang bertengger di matanya membuatnya semakin manis. Aku menatap wajah suamiku itu dengan lekat, tampan. Sebenarnya aku sudah jatuh cinta kepada Arya ketika dia melakukan ijab qobul dengan ayahku. Tapi aku mencoba memendamnya karena takut cintaku tidak berbalas seperti yang sudah-sudah. Kami tinggal di sebuah villa dengan dua kamar yang biasa disewakan, aku dan Arya tidur di kamar terpisah. Sebenarnya hatiku sedih, ternyata Arya tidak main-main, dia menikahiku hanya sebuah status di atas kertas itu benar dan tak dibuat-buat. Sedih sebenarnya namun aku tidak bisa melakukan p
Setelah perjalanan bulan madu yang tidak berkesan itu selesai, aku dan Arya kembali pulang ke kota kami, di sana aku tinggal di rumah Arya, dan putrinya yang bernama Larissa yang masih batita juga kini diasuh oleh ayah kandungnya sekarang, karena kini Arya sudah menikah jadi hak asuh putri semata wayangnya dengan mendiang istrinya itu kembali jatuh ke pelukannya. "Aku sangat berterimakasih padamu Gadis, sekarang putri kecilku ini kembali lagi padaku, aku sangat bahagia. Dan kamu gak usah khawatir, kamu tidak perlu capek-capek mengurus Larissa, aku sudah menyewa baby sitter, jadi kamu tidak perlu khawatir. Kamu bisa melakukan apapun yang kamu sukai, kembali bekerja atau bermain dengan teman-temanmu, terserah, kamu tidak perlu membebani dirimu sendiri dengan kewajiban sebagai istri maupun ibu, semuanya sudah kuatur, ada asisten rumah tangga dan baby sitter yang akan mengurus semuanya, jadi kamu tak perlu khawatir." ujar Arya padaku ketika berada di kamar. Karena aku tidak memiliki wew
Seminggu berlalu sejak percakapan itu, dan tidak ada yang berubah. Arya tetap menjaga jarak, tenggelam dalam kesibukan kantornya dan Larissa. Aku? Aku terus melangkah di lorong kosong hidupku, tanpa tujuan jelas.Hari-hari rasanya melebur menjadi satu, membentuk siklus yang monoton. Pagi-pagi sekali aku bangun, menyiapkan sarapan yang sering kali hanya kubuat untuk diriku sendiri, karena Arya lebih sering makan di luar. Setelah itu, aku menghabiskan waktu dengan hal-hal kecil, seperti membersihkan rumah meskipun sudah ada asisten rumah tangga. Aku merasa butuh sesuatu untuk kulakukan, agar tidak sepenuhnya merasa tak berguna.Siang itu, di tengah heningnya rumah yang terasa begitu asing bagiku, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari seorang teman lama, Shinta. Kami sudah lama tidak bertemu sejak aku pindah ke kota ini."Gadis, kapan kamu ada waktu? Aku kangen ngobrol bareng."Aku menghela napas. Ajakan dari Shinta seharusnya bisa menjadi pelarian, setidaknya untuk sejenak melupak
Hari-hari setelah percakapan dengan Shinta terasa semakin berat. Setiap kali aku melihat Arya dan Larissa, hatiku semakin tenggelam dalam keraguan. Bukan karena aku membenci mereka, tapi lebih karena rasa terasing yang terus tumbuh di dalam diriku. Arya mungkin suami di atas kertas, namun nyatanya kami seperti dua orang asing yang hidup bersama tanpa ikatan emosional yang nyata.Suatu sore, setelah Arya pulang kerja, aku memberanikan diri untuk bicara dengannya. Larissa sudah tidur dan kami duduk di ruang tamu, suasananya hening, hanya suara jam dinding yang berdetak perlahan.“Arya, kita perlu bicara,” kataku, suaraku terdengar lebih gemetar dari yang kuharapkan.Dia mengangkat kepalanya dari ponsel dan menatapku dengan mata datar. “Tentang apa?”Aku menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian. “Tentang kita. Tentang pernikahan ini.”Ekspresi Arya tidak berubah, tetapi aku bisa melihat sedikit kekesalan melintas di matanya. “Gadis, aku sudah bilang, pernikahan ini tidak didasarka
Waktu terus berlalu, hampir tiga bulan sejak aku mulai bekerja. Hidupku mulai terbagi antara pekerjaan dan rutinitas di rumah, meski hati ini masih terus kosong. Arya tetap menjalani hari-harinya seperti biasa, sibuk dengan pekerjaannya dan sesekali menghabiskan waktu dengan Larissa, tapi interaksinya denganku tetap sebatas formalitas. Tidak ada percakapan mendalam, tidak ada kehangatan.Aku sadar bahwa pernikahan kami semakin renggang. Kadang, aku bertanya-tanya apakah Arya sadar atau memang dia tak peduli. Entahlah, mungkin dia merasa nyaman dengan pengaturan ini—aku menjalani hidupku, dia menjalani hidupnya. Tapi di dalam hatiku, aku merasa terjebak dalam pernikahan tanpa arah. Setiap hari rasanya semakin sulit untuk bertahan.Setelah Arya pergi kerja, aku berusaha menenangkan pikiranku yang kacau. Pikiran tentang perceraian, kehilangan Larissa, dan kenyataan pahit bahwa Arya tidak pernah mencintaiku terus menghantuiku. Tapi, ada satu hal yang lebih menyakitkan: perasaan tak berday
Malam beranjak tua, aku masih berjibaku dengan mukena dan sejadah yang semakin hari semakin lusuh. Seperi halnya wajahku yang mulai ‘lusuh’ dengan kerutan-kerutan tipis yang mulai muncul di sudut mata. Tetes demi tetes air mata kembali membasahi mukena lusuhku saat aku merapal doa yang sama setiap detiknya. Teringat kata-kata Ibuku tadi siang yang sangat menohok ulu hatiku. “Mungkin ini adalah syukuran ulang tahun terakhir kamu bersama kami Dis,” kata Ibuku sambil menyendok nasi kuning ke dalam wadah untuk dibagikan ke tetangga dan sanak saudara. “Maksud Ibu apa?” Tanyaku khawatir, aku mulai bisa menerka arah pembicaraan Ibu. “Mungkin saja Ibu dan Ayahmu keburu masuk kubur tanpa sempat melihatmu naik ke pelaminan!” Tegas Ibu sambil melengos ke ruang tamu. Aku hanya terpaku tanpa berbicara apapun saat itu. Ingatanku kembali ke kejadian dua tahun yang lalu sebelum aku memutuskan untuk berjilbab dan tidak pacaran. Laki-laki itu bernama Salman,
Adzan awal berkumandang dari mesjid dekat rumahku, bergetar hatiku mendengarnya. Helai demi helai waktu bergulir tanpa permisi, aku menyesal melewatkan hari kemarin dengan kekhawatiran akan hari esok yang belum pasti datang. Setelah melakukan sholat qiyamul lail, aku tidak merasa khawatir lagi. Seolah perasaan itu hilang bersama debu-debu ketakutan akan masa depan, lalu semuanya berubah menjadi terang benderang. Aku mendapatkan kenikmatan ibadah yang luar biasa, dan itu merupakan rezeki yang amat besar. Detik ini, aku ingin sepenuhnya melakukan apa yang Alloh suka, ingin melakukan apa yang Alloh ridho meskipun ujian yang akan datang nantinya lebih besar. Tapi hidup di dunia bukankah sebenarnya adalah ujian? Aku ikhlas dengan ketentuanNya, termasuk dengan urusan jodoh. Semua sudah ada yang mengatur, aku hanya akan fokus mencari ilmu agama dan memperbaiki diri, bisa saja kematian datang menghampiriku terlebih dahulu sebelum jodoh itu sendiri. Lantas apa yang akan kubawa saat aku pulang
Arya datang tepat waktu sesuai yang dia janjikan di pesan chat. Entah kenapa jantungku berdebar dengan sangat cepat ketika melihat teman SMPku itu. Secara fisik Arya memang menarik, dia tinggi, atletis, kulitnya putih kecoklatan dan berkaca mata, fisiknya itu mengingatkanku pada karakter kesukaanku, Akechi Kengo di komik Detektif Kindaichi. Aku yakin tidak akan ada gadis yang menolak menjadi kekasihnya dengan penampilan menarik seperti itu. Aku mencoba untuk tidak memperlihatkan kegugupanku di hadapannya dan berusaha bersikap santai layaknya pada teman lama. Orangtuaku tiba-tiba saja menjadi ramah saat melihat ada tamu laki-laki menemuiku, bahkan ayahku tidak beranjak dari kursi dan hendak menanyakan beberapa pertanyaan pada Arya. Aku semakin tidak nyaman dengan kondisi ini, kenapa jadi begini? Kan dia datang untuk bersilaturahmi saja. Ketika aku mengambil minuman dan beberapa cemilan untuk dihidangkan pada tamu, tiba-tiba ayahku mengucap alhamdulilah dengan suara agak keras, aku dan
Waktu terus berlalu, hampir tiga bulan sejak aku mulai bekerja. Hidupku mulai terbagi antara pekerjaan dan rutinitas di rumah, meski hati ini masih terus kosong. Arya tetap menjalani hari-harinya seperti biasa, sibuk dengan pekerjaannya dan sesekali menghabiskan waktu dengan Larissa, tapi interaksinya denganku tetap sebatas formalitas. Tidak ada percakapan mendalam, tidak ada kehangatan.Aku sadar bahwa pernikahan kami semakin renggang. Kadang, aku bertanya-tanya apakah Arya sadar atau memang dia tak peduli. Entahlah, mungkin dia merasa nyaman dengan pengaturan ini—aku menjalani hidupku, dia menjalani hidupnya. Tapi di dalam hatiku, aku merasa terjebak dalam pernikahan tanpa arah. Setiap hari rasanya semakin sulit untuk bertahan.Setelah Arya pergi kerja, aku berusaha menenangkan pikiranku yang kacau. Pikiran tentang perceraian, kehilangan Larissa, dan kenyataan pahit bahwa Arya tidak pernah mencintaiku terus menghantuiku. Tapi, ada satu hal yang lebih menyakitkan: perasaan tak berday
Hari-hari setelah percakapan dengan Shinta terasa semakin berat. Setiap kali aku melihat Arya dan Larissa, hatiku semakin tenggelam dalam keraguan. Bukan karena aku membenci mereka, tapi lebih karena rasa terasing yang terus tumbuh di dalam diriku. Arya mungkin suami di atas kertas, namun nyatanya kami seperti dua orang asing yang hidup bersama tanpa ikatan emosional yang nyata.Suatu sore, setelah Arya pulang kerja, aku memberanikan diri untuk bicara dengannya. Larissa sudah tidur dan kami duduk di ruang tamu, suasananya hening, hanya suara jam dinding yang berdetak perlahan.“Arya, kita perlu bicara,” kataku, suaraku terdengar lebih gemetar dari yang kuharapkan.Dia mengangkat kepalanya dari ponsel dan menatapku dengan mata datar. “Tentang apa?”Aku menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian. “Tentang kita. Tentang pernikahan ini.”Ekspresi Arya tidak berubah, tetapi aku bisa melihat sedikit kekesalan melintas di matanya. “Gadis, aku sudah bilang, pernikahan ini tidak didasarka
Seminggu berlalu sejak percakapan itu, dan tidak ada yang berubah. Arya tetap menjaga jarak, tenggelam dalam kesibukan kantornya dan Larissa. Aku? Aku terus melangkah di lorong kosong hidupku, tanpa tujuan jelas.Hari-hari rasanya melebur menjadi satu, membentuk siklus yang monoton. Pagi-pagi sekali aku bangun, menyiapkan sarapan yang sering kali hanya kubuat untuk diriku sendiri, karena Arya lebih sering makan di luar. Setelah itu, aku menghabiskan waktu dengan hal-hal kecil, seperti membersihkan rumah meskipun sudah ada asisten rumah tangga. Aku merasa butuh sesuatu untuk kulakukan, agar tidak sepenuhnya merasa tak berguna.Siang itu, di tengah heningnya rumah yang terasa begitu asing bagiku, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari seorang teman lama, Shinta. Kami sudah lama tidak bertemu sejak aku pindah ke kota ini."Gadis, kapan kamu ada waktu? Aku kangen ngobrol bareng."Aku menghela napas. Ajakan dari Shinta seharusnya bisa menjadi pelarian, setidaknya untuk sejenak melupak
Setelah perjalanan bulan madu yang tidak berkesan itu selesai, aku dan Arya kembali pulang ke kota kami, di sana aku tinggal di rumah Arya, dan putrinya yang bernama Larissa yang masih batita juga kini diasuh oleh ayah kandungnya sekarang, karena kini Arya sudah menikah jadi hak asuh putri semata wayangnya dengan mendiang istrinya itu kembali jatuh ke pelukannya. "Aku sangat berterimakasih padamu Gadis, sekarang putri kecilku ini kembali lagi padaku, aku sangat bahagia. Dan kamu gak usah khawatir, kamu tidak perlu capek-capek mengurus Larissa, aku sudah menyewa baby sitter, jadi kamu tidak perlu khawatir. Kamu bisa melakukan apapun yang kamu sukai, kembali bekerja atau bermain dengan teman-temanmu, terserah, kamu tidak perlu membebani dirimu sendiri dengan kewajiban sebagai istri maupun ibu, semuanya sudah kuatur, ada asisten rumah tangga dan baby sitter yang akan mengurus semuanya, jadi kamu tak perlu khawatir." ujar Arya padaku ketika berada di kamar. Karena aku tidak memiliki wew
Keesokkan harinya, aku dan Arya bersiap-siap untuk naik kereta menuju Yogyakarta untuk bulan madu. Aku memilih kursi dekat jendela sedangkan Arya duduk di sebelahku. Sudah lama aku tidak pernah naik kereta, terakhir kali aku naik kereta saat berusia 14 tahun, ketika melakukan perjalanan study tour ketika SMP. Perjalanannya cukup jauh, aku mencoba untuk tidur tapi tidak bisa, kulihat Arya tengah tertidur, kaca mata yang bertengger di matanya membuatnya semakin manis. Aku menatap wajah suamiku itu dengan lekat, tampan. Sebenarnya aku sudah jatuh cinta kepada Arya ketika dia melakukan ijab qobul dengan ayahku. Tapi aku mencoba memendamnya karena takut cintaku tidak berbalas seperti yang sudah-sudah. Kami tinggal di sebuah villa dengan dua kamar yang biasa disewakan, aku dan Arya tidur di kamar terpisah. Sebenarnya hatiku sedih, ternyata Arya tidak main-main, dia menikahiku hanya sebuah status di atas kertas itu benar dan tak dibuat-buat. Sedih sebenarnya namun aku tidak bisa melakukan p
Akhirnya aku menikah dengan Arya Dirgantara, seniorku ketika di SMP, aku sama sekali tiadk menyangka aku dan dia akan menikah, kulihat seorang anak perempuan berusia dua tahun yang digendong oleh ibunya Arya. Akhirnya aku kalah dengan sebuah konstruksi sosial yang membelenggu masyarakat bahwa seorang perempuan berusia kepala tiga tidak memiliki kuasa untuk menolak pinangan laki-laki yang hendak melamarnya, meskipun pilihan itu bertolak belakang dengan keinginanku. Sebagai perempuan tentunya aku ingin menikah dengan seseorang yang tulus mencintai dan menerimaku apa adanya. Aku melihat ayah dan ibuku berulangkali mengusap sudut matanya, mereka menangis? Aku tidak tahu mereka menangis karena sedih atau lega, akhirnya anak perempuannya yang perawan tua menikah juga dengan seorang laki-laki tampan dan mapan meskipun berstatus duda beranak satu. Ingin sekali aku berlari dari situasi ini, namun tidak bisa karena merasa aku dirantai oleh belenggu konstruksi sosial yang sudah melekat di masyar
"Apa sebenarnya maksudnya ini?" tanyaku pada Arya keesokan harinya di kedai kopi Sakko pilihannya untuk membicarakan detil maksud yang Arya sampaikan pada kedua orangtuaku kemarin."Aku melamarmu," jawab Arya singkat."Kenapa kamu memilihku?" "Karena aku mengenalmu.""Sejak kapan kamu menyukaiku sehingga kamu melamarku?""Apa kamu ingin aku jujur?""Tentu, kejujuran itu sangat penting bagiku.""Baik, tapi kamu tidak boleh baper dengan perkataanku, aku tidak menyukaimu, aku hanya ingin menikahimu dan memiliki status sebagai seorang suami agar keluargaku tidak lagi menjodohkanku dengan wanita-wanita yang tidak kukenal dan juga agar aku bisa tinggal bersama lagi dengan Larissa, putriku." Aku terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh mantan kakak kelasku itu, dan aku sedikit kecewa dengan jawabannya."Kenapa kamu diam? apa kamu kecewa dengan jawabanku? apa jangan-jangan kamu berpikir aku melamarmu karena menyukaimu? haha, kamu lucu, di usia kita perasaan-perasaan seperti itu tidak terlal
Arya datang tepat waktu sesuai yang dia janjikan di pesan chat. Entah kenapa jantungku berdebar dengan sangat cepat ketika melihat teman SMPku itu. Secara fisik Arya memang menarik, dia tinggi, atletis, kulitnya putih kecoklatan dan berkaca mata, fisiknya itu mengingatkanku pada karakter kesukaanku, Akechi Kengo di komik Detektif Kindaichi. Aku yakin tidak akan ada gadis yang menolak menjadi kekasihnya dengan penampilan menarik seperti itu. Aku mencoba untuk tidak memperlihatkan kegugupanku di hadapannya dan berusaha bersikap santai layaknya pada teman lama. Orangtuaku tiba-tiba saja menjadi ramah saat melihat ada tamu laki-laki menemuiku, bahkan ayahku tidak beranjak dari kursi dan hendak menanyakan beberapa pertanyaan pada Arya. Aku semakin tidak nyaman dengan kondisi ini, kenapa jadi begini? Kan dia datang untuk bersilaturahmi saja. Ketika aku mengambil minuman dan beberapa cemilan untuk dihidangkan pada tamu, tiba-tiba ayahku mengucap alhamdulilah dengan suara agak keras, aku dan
Adzan awal berkumandang dari mesjid dekat rumahku, bergetar hatiku mendengarnya. Helai demi helai waktu bergulir tanpa permisi, aku menyesal melewatkan hari kemarin dengan kekhawatiran akan hari esok yang belum pasti datang. Setelah melakukan sholat qiyamul lail, aku tidak merasa khawatir lagi. Seolah perasaan itu hilang bersama debu-debu ketakutan akan masa depan, lalu semuanya berubah menjadi terang benderang. Aku mendapatkan kenikmatan ibadah yang luar biasa, dan itu merupakan rezeki yang amat besar. Detik ini, aku ingin sepenuhnya melakukan apa yang Alloh suka, ingin melakukan apa yang Alloh ridho meskipun ujian yang akan datang nantinya lebih besar. Tapi hidup di dunia bukankah sebenarnya adalah ujian? Aku ikhlas dengan ketentuanNya, termasuk dengan urusan jodoh. Semua sudah ada yang mengatur, aku hanya akan fokus mencari ilmu agama dan memperbaiki diri, bisa saja kematian datang menghampiriku terlebih dahulu sebelum jodoh itu sendiri. Lantas apa yang akan kubawa saat aku pulang