"Apa sebenarnya maksudnya ini?" tanyaku pada Arya keesokan harinya di kedai kopi Sakko pilihannya untuk membicarakan detil maksud yang Arya sampaikan pada kedua orangtuaku kemarin.
"Aku melamarmu," jawab Arya singkat.
"Kenapa kamu memilihku?"
"Karena aku mengenalmu."
"Sejak kapan kamu menyukaiku sehingga kamu melamarku?"
"Apa kamu ingin aku jujur?"
"Tentu, kejujuran itu sangat penting bagiku."
"Baik, tapi kamu tidak boleh baper dengan perkataanku, aku tidak menyukaimu, aku hanya ingin menikahimu dan memiliki status sebagai seorang suami agar keluargaku tidak lagi menjodohkanku dengan wanita-wanita yang tidak kukenal dan juga agar aku bisa tinggal bersama lagi dengan Larissa, putriku." Aku terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh mantan kakak kelasku itu, dan aku sedikit kecewa dengan jawabannya.
"Kenapa kamu diam? apa kamu kecewa dengan jawabanku? apa jangan-jangan kamu berpikir aku melamarmu karena menyukaimu? haha, kamu lucu, di usia kita perasaan-perasaan seperti itu tidak terlalu penting lagi, yang kita kejar sekarang adalah status pernikahan, karena hal itulah yang dibutuhkan oleh masyarakat termasuk keluarga kita masing-masing." Lanjut Arya lagi, namun aku masih belum mengatakan sepatah katapun, aku membiarkan Arya mengutarakan pendapat dan tujuannya hendak menikahiku itu.
Aku dikagetkan oleh seorang pelayan kedai kopi yang ternyata aku mengenalnya, Ayas. Dia adalah teman SMAku meski kami berbeda kelas namun kami sama-sama bergabung di ekstrakurikuler Paskibra. Kami mengobrol banyak mengenai aktivitas masing-masing, kulihat Arya hanya diam tak senang ketika kami mengobrol.
"Siapa dia?" tanya Arya setelah Ayas pergi ke meja barista untuk kembali bekerja.
"Teman SMA," jawabku singkat.
"Oh, lalu bagaimana dengan urusan kita berdua? lusa aku akan membawa keluargaku untuk melamarmu secara resmi sekaligus menentukan tanggal pernikahan kita."
"Haha, kamu itu lucu sekali, apa kamu yakin kalau kita akan menikah?"
"Orangtuamu sudah setuju, mau bagaimana lagi?"
"Yang menikah itu aku, bukan orangtuaku."
"Tapi dalam agama kita, anak perempuan itu milik ayahnya."
"Aku tidak bisa menerimamu jika tujuan pernikahan hanya untuk mendapatkan validasi dari masyarakat atau mendapatkan kembali putrimu."
"Gadis, hidup ini tidak harus sesuai dengan apa yang kamu mau, adakalanya sesuatu di luar kontrol itu terjadi, dan aku yakin, kamu juga lelah dengan keadaanmu yang kerap kali gagal membina hubungan. Sekarang apa lagi yang kamu mau? ada seorang laki-laki yang hendak menikahimu, dan setelah itu kamu mendapatkan kebebasan yang kamu mau. Kamu salah jika aku menikahimu untuk menjadi istri dan ibu yang baik, tapi aku menikahimu untuk memberikanmu kebebasan dari belenggu konstruksi sosial, kita gak bisa melawan itu." Aku hanya terdiam dengan penuturannya, memang benar aku sudah lelah dengan hidup monoton yang kujalani ini, dalam hati kecilku, aku sangat mendambakan validasi, status di masyarakat. Aku capek mendengar ketika banyak orang membicarakanku di belakang karena aku belum menikah, dan aku muak dengan semua laki-laki yang menolakku dengan berbagai alasan. Aku benci dengan semua itu, aku ingin hidup normal seperti yang lain, meskipun nantinya aku akan mengalami pasang surut kehidupan, namun itu jauh lebih baik daripada menjalani hidup yang monoton seolah tidak bergerak.
"Baiklah, aku bersedia menjadi istrimu, lalu apa kita akan menjadi pasangan suami istri seperti halnya pasangan normal lainnya?"
"Hahaha, tidak, kita akan menjalani hidup yang berbeda dengan pasangan lain, mungkin di luar kita akan berpura-pura menjadi pasangan ideal, tapi sebenarnya kita menjalani kehidupan kita masing-masing, kamu dengan jalan hidupmu dan aku dengan jalan hidupku."
"Maksudmu? kita akan menjalani kehidupan masing-masing setelah menikah? lalu kita tidak akan melakukan hubungan seksual layaknya pasangan suami istri begitu?"
"Pertanyaanmu terlalu ekstrim, aku sampai tersedak mendengarnya, bagaimana kita akan melakukan hubungan seksual kalau rasa cinta saja tidak ada? tapi sebagai suami di atas kertas yang baik, aku akan tetap menafkahimu, kamu tenang saja."
"Apa kamu yakin kalau kamu tidak akan jatuh cinta padaku? lalu, kehidupan macam apa yang akan aku bangun nanti? bagaimana kalau aku ingin memiliki anak? apa kamu akan membina hubungan dengan wanita lain setelah kita menikah?"
"Aku tidak akan membina hubungan dengan wanita lain selagi kamu masih jadi istriku, jatuh cinta padamu? aku tidak tahu kalau itu, tapi kamu bukan kriteriaku. Seperti yang sudah kukatakan kalau kita akan menjalani kehidupan masing-masing, asal tidak melanggar norma."
"Melanggar norma, aku ingin tertawa mendengarnya, bukankah pembicaraan kita sudah melawan norma?" Kulihat Arya hanya tersenyum mendengarnya, kemudian dia mengambil selembar kertas dan bolpoint, dia menyerahkannya padaku. Saat kubaca, kertas itu berisi beberapa poin seperti layaknya perjanjian pranikah dan harus kami berdua sepakati. Aku membaca poin-poin seperti boleh dan tidak boleh dilakukan baik olehku maupun Arya. Dia sendiri seperti sudah mempersiapkan segalanya, di kertas itu Arya sudah menandatangani surat perjanjian pranikah yang dibuatnya sendiri, aku pun menandatangani kertas itu, aku merasa telah menodai kesakralan sebuah pernikahan, tapi aku tidak bisa melawan pahitnya sebuah sistem di masyarakat.
***
Akhirnya aku menikah dengan Arya Dirgantara, seniorku ketika di SMP, aku sama sekali tiadk menyangka aku dan dia akan menikah, kulihat seorang anak perempuan berusia dua tahun yang digendong oleh ibunya Arya. Akhirnya aku kalah dengan sebuah konstruksi sosial yang membelenggu masyarakat bahwa seorang perempuan berusia kepala tiga tidak memiliki kuasa untuk menolak pinangan laki-laki yang hendak melamarnya, meskipun pilihan itu bertolak belakang dengan keinginanku. Sebagai perempuan tentunya aku ingin menikah dengan seseorang yang tulus mencintai dan menerimaku apa adanya. Aku melihat ayah dan ibuku berulangkali mengusap sudut matanya, mereka menangis? Aku tidak tahu mereka menangis karena sedih atau lega, akhirnya anak perempuannya yang perawan tua menikah juga dengan seorang laki-laki tampan dan mapan meskipun berstatus duda beranak satu. Ingin sekali aku berlari dari situasi ini, namun tidak bisa karena merasa aku dirantai oleh belenggu konstruksi sosial yang sudah melekat di masyar
Keesokkan harinya, aku dan Arya bersiap-siap untuk naik kereta menuju Yogyakarta untuk bulan madu. Aku memilih kursi dekat jendela sedangkan Arya duduk di sebelahku. Sudah lama aku tidak pernah naik kereta, terakhir kali aku naik kereta saat berusia 14 tahun, ketika melakukan perjalanan study tour ketika SMP. Perjalanannya cukup jauh, aku mencoba untuk tidur tapi tidak bisa, kulihat Arya tengah tertidur, kaca mata yang bertengger di matanya membuatnya semakin manis. Aku menatap wajah suamiku itu dengan lekat, tampan. Sebenarnya aku sudah jatuh cinta kepada Arya ketika dia melakukan ijab qobul dengan ayahku. Tapi aku mencoba memendamnya karena takut cintaku tidak berbalas seperti yang sudah-sudah. Kami tinggal di sebuah villa dengan dua kamar yang biasa disewakan, aku dan Arya tidur di kamar terpisah. Sebenarnya hatiku sedih, ternyata Arya tidak main-main, dia menikahiku hanya sebuah status di atas kertas itu benar dan tak dibuat-buat. Sedih sebenarnya namun aku tidak bisa melakukan p
Setelah perjalanan bulan madu yang tidak berkesan itu selesai, aku dan Arya kembali pulang ke kota kami, di sana aku tinggal di rumah Arya, dan putrinya yang bernama Larissa yang masih batita juga kini diasuh oleh ayah kandungnya sekarang, karena kini Arya sudah menikah jadi hak asuh putri semata wayangnya dengan mendiang istrinya itu kembali jatuh ke pelukannya. "Aku sangat berterimakasih padamu Gadis, sekarang putri kecilku ini kembali lagi padaku, aku sangat bahagia. Dan kamu gak usah khawatir, kamu tidak perlu capek-capek mengurus Larissa, aku sudah menyewa baby sitter, jadi kamu tidak perlu khawatir. Kamu bisa melakukan apapun yang kamu sukai, kembali bekerja atau bermain dengan teman-temanmu, terserah, kamu tidak perlu membebani dirimu sendiri dengan kewajiban sebagai istri maupun ibu, semuanya sudah kuatur, ada asisten rumah tangga dan baby sitter yang akan mengurus semuanya, jadi kamu tak perlu khawatir." ujar Arya padaku ketika berada di kamar. Karena aku tidak memiliki wew
Seminggu berlalu sejak percakapan itu, dan tidak ada yang berubah. Arya tetap menjaga jarak, tenggelam dalam kesibukan kantornya dan Larissa. Aku? Aku terus melangkah di lorong kosong hidupku, tanpa tujuan jelas.Hari-hari rasanya melebur menjadi satu, membentuk siklus yang monoton. Pagi-pagi sekali aku bangun, menyiapkan sarapan yang sering kali hanya kubuat untuk diriku sendiri, karena Arya lebih sering makan di luar. Setelah itu, aku menghabiskan waktu dengan hal-hal kecil, seperti membersihkan rumah meskipun sudah ada asisten rumah tangga. Aku merasa butuh sesuatu untuk kulakukan, agar tidak sepenuhnya merasa tak berguna.Siang itu, di tengah heningnya rumah yang terasa begitu asing bagiku, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari seorang teman lama, Shinta. Kami sudah lama tidak bertemu sejak aku pindah ke kota ini."Gadis, kapan kamu ada waktu? Aku kangen ngobrol bareng."Aku menghela napas. Ajakan dari Shinta seharusnya bisa menjadi pelarian, setidaknya untuk sejenak melupak
Hari-hari setelah percakapan dengan Shinta terasa semakin berat. Setiap kali aku melihat Arya dan Larissa, hatiku semakin tenggelam dalam keraguan. Bukan karena aku membenci mereka, tapi lebih karena rasa terasing yang terus tumbuh di dalam diriku. Arya mungkin suami di atas kertas, namun nyatanya kami seperti dua orang asing yang hidup bersama tanpa ikatan emosional yang nyata.Suatu sore, setelah Arya pulang kerja, aku memberanikan diri untuk bicara dengannya. Larissa sudah tidur dan kami duduk di ruang tamu, suasananya hening, hanya suara jam dinding yang berdetak perlahan.“Arya, kita perlu bicara,” kataku, suaraku terdengar lebih gemetar dari yang kuharapkan.Dia mengangkat kepalanya dari ponsel dan menatapku dengan mata datar. “Tentang apa?”Aku menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian. “Tentang kita. Tentang pernikahan ini.”Ekspresi Arya tidak berubah, tetapi aku bisa melihat sedikit kekesalan melintas di matanya. “Gadis, aku sudah bilang, pernikahan ini tidak didasarka
Waktu terus berlalu, hampir tiga bulan sejak aku mulai bekerja. Hidupku mulai terbagi antara pekerjaan dan rutinitas di rumah, meski hati ini masih terus kosong. Arya tetap menjalani hari-harinya seperti biasa, sibuk dengan pekerjaannya dan sesekali menghabiskan waktu dengan Larissa, tapi interaksinya denganku tetap sebatas formalitas. Tidak ada percakapan mendalam, tidak ada kehangatan.Aku sadar bahwa pernikahan kami semakin renggang. Kadang, aku bertanya-tanya apakah Arya sadar atau memang dia tak peduli. Entahlah, mungkin dia merasa nyaman dengan pengaturan ini—aku menjalani hidupku, dia menjalani hidupnya. Tapi di dalam hatiku, aku merasa terjebak dalam pernikahan tanpa arah. Setiap hari rasanya semakin sulit untuk bertahan.Setelah Arya pergi kerja, aku berusaha menenangkan pikiranku yang kacau. Pikiran tentang perceraian, kehilangan Larissa, dan kenyataan pahit bahwa Arya tidak pernah mencintaiku terus menghantuiku. Tapi, ada satu hal yang lebih menyakitkan: perasaan tak berday
Malam beranjak tua, aku masih berjibaku dengan mukena dan sejadah yang semakin hari semakin lusuh. Seperi halnya wajahku yang mulai ‘lusuh’ dengan kerutan-kerutan tipis yang mulai muncul di sudut mata. Tetes demi tetes air mata kembali membasahi mukena lusuhku saat aku merapal doa yang sama setiap detiknya. Teringat kata-kata Ibuku tadi siang yang sangat menohok ulu hatiku. “Mungkin ini adalah syukuran ulang tahun terakhir kamu bersama kami Dis,” kata Ibuku sambil menyendok nasi kuning ke dalam wadah untuk dibagikan ke tetangga dan sanak saudara. “Maksud Ibu apa?” Tanyaku khawatir, aku mulai bisa menerka arah pembicaraan Ibu. “Mungkin saja Ibu dan Ayahmu keburu masuk kubur tanpa sempat melihatmu naik ke pelaminan!” Tegas Ibu sambil melengos ke ruang tamu. Aku hanya terpaku tanpa berbicara apapun saat itu. Ingatanku kembali ke kejadian dua tahun yang lalu sebelum aku memutuskan untuk berjilbab dan tidak pacaran. Laki-laki itu bernama Salman,
Adzan awal berkumandang dari mesjid dekat rumahku, bergetar hatiku mendengarnya. Helai demi helai waktu bergulir tanpa permisi, aku menyesal melewatkan hari kemarin dengan kekhawatiran akan hari esok yang belum pasti datang. Setelah melakukan sholat qiyamul lail, aku tidak merasa khawatir lagi. Seolah perasaan itu hilang bersama debu-debu ketakutan akan masa depan, lalu semuanya berubah menjadi terang benderang. Aku mendapatkan kenikmatan ibadah yang luar biasa, dan itu merupakan rezeki yang amat besar. Detik ini, aku ingin sepenuhnya melakukan apa yang Alloh suka, ingin melakukan apa yang Alloh ridho meskipun ujian yang akan datang nantinya lebih besar. Tapi hidup di dunia bukankah sebenarnya adalah ujian? Aku ikhlas dengan ketentuanNya, termasuk dengan urusan jodoh. Semua sudah ada yang mengatur, aku hanya akan fokus mencari ilmu agama dan memperbaiki diri, bisa saja kematian datang menghampiriku terlebih dahulu sebelum jodoh itu sendiri. Lantas apa yang akan kubawa saat aku pulang
Waktu terus berlalu, hampir tiga bulan sejak aku mulai bekerja. Hidupku mulai terbagi antara pekerjaan dan rutinitas di rumah, meski hati ini masih terus kosong. Arya tetap menjalani hari-harinya seperti biasa, sibuk dengan pekerjaannya dan sesekali menghabiskan waktu dengan Larissa, tapi interaksinya denganku tetap sebatas formalitas. Tidak ada percakapan mendalam, tidak ada kehangatan.Aku sadar bahwa pernikahan kami semakin renggang. Kadang, aku bertanya-tanya apakah Arya sadar atau memang dia tak peduli. Entahlah, mungkin dia merasa nyaman dengan pengaturan ini—aku menjalani hidupku, dia menjalani hidupnya. Tapi di dalam hatiku, aku merasa terjebak dalam pernikahan tanpa arah. Setiap hari rasanya semakin sulit untuk bertahan.Setelah Arya pergi kerja, aku berusaha menenangkan pikiranku yang kacau. Pikiran tentang perceraian, kehilangan Larissa, dan kenyataan pahit bahwa Arya tidak pernah mencintaiku terus menghantuiku. Tapi, ada satu hal yang lebih menyakitkan: perasaan tak berday
Hari-hari setelah percakapan dengan Shinta terasa semakin berat. Setiap kali aku melihat Arya dan Larissa, hatiku semakin tenggelam dalam keraguan. Bukan karena aku membenci mereka, tapi lebih karena rasa terasing yang terus tumbuh di dalam diriku. Arya mungkin suami di atas kertas, namun nyatanya kami seperti dua orang asing yang hidup bersama tanpa ikatan emosional yang nyata.Suatu sore, setelah Arya pulang kerja, aku memberanikan diri untuk bicara dengannya. Larissa sudah tidur dan kami duduk di ruang tamu, suasananya hening, hanya suara jam dinding yang berdetak perlahan.“Arya, kita perlu bicara,” kataku, suaraku terdengar lebih gemetar dari yang kuharapkan.Dia mengangkat kepalanya dari ponsel dan menatapku dengan mata datar. “Tentang apa?”Aku menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian. “Tentang kita. Tentang pernikahan ini.”Ekspresi Arya tidak berubah, tetapi aku bisa melihat sedikit kekesalan melintas di matanya. “Gadis, aku sudah bilang, pernikahan ini tidak didasarka
Seminggu berlalu sejak percakapan itu, dan tidak ada yang berubah. Arya tetap menjaga jarak, tenggelam dalam kesibukan kantornya dan Larissa. Aku? Aku terus melangkah di lorong kosong hidupku, tanpa tujuan jelas.Hari-hari rasanya melebur menjadi satu, membentuk siklus yang monoton. Pagi-pagi sekali aku bangun, menyiapkan sarapan yang sering kali hanya kubuat untuk diriku sendiri, karena Arya lebih sering makan di luar. Setelah itu, aku menghabiskan waktu dengan hal-hal kecil, seperti membersihkan rumah meskipun sudah ada asisten rumah tangga. Aku merasa butuh sesuatu untuk kulakukan, agar tidak sepenuhnya merasa tak berguna.Siang itu, di tengah heningnya rumah yang terasa begitu asing bagiku, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari seorang teman lama, Shinta. Kami sudah lama tidak bertemu sejak aku pindah ke kota ini."Gadis, kapan kamu ada waktu? Aku kangen ngobrol bareng."Aku menghela napas. Ajakan dari Shinta seharusnya bisa menjadi pelarian, setidaknya untuk sejenak melupak
Setelah perjalanan bulan madu yang tidak berkesan itu selesai, aku dan Arya kembali pulang ke kota kami, di sana aku tinggal di rumah Arya, dan putrinya yang bernama Larissa yang masih batita juga kini diasuh oleh ayah kandungnya sekarang, karena kini Arya sudah menikah jadi hak asuh putri semata wayangnya dengan mendiang istrinya itu kembali jatuh ke pelukannya. "Aku sangat berterimakasih padamu Gadis, sekarang putri kecilku ini kembali lagi padaku, aku sangat bahagia. Dan kamu gak usah khawatir, kamu tidak perlu capek-capek mengurus Larissa, aku sudah menyewa baby sitter, jadi kamu tidak perlu khawatir. Kamu bisa melakukan apapun yang kamu sukai, kembali bekerja atau bermain dengan teman-temanmu, terserah, kamu tidak perlu membebani dirimu sendiri dengan kewajiban sebagai istri maupun ibu, semuanya sudah kuatur, ada asisten rumah tangga dan baby sitter yang akan mengurus semuanya, jadi kamu tak perlu khawatir." ujar Arya padaku ketika berada di kamar. Karena aku tidak memiliki wew
Keesokkan harinya, aku dan Arya bersiap-siap untuk naik kereta menuju Yogyakarta untuk bulan madu. Aku memilih kursi dekat jendela sedangkan Arya duduk di sebelahku. Sudah lama aku tidak pernah naik kereta, terakhir kali aku naik kereta saat berusia 14 tahun, ketika melakukan perjalanan study tour ketika SMP. Perjalanannya cukup jauh, aku mencoba untuk tidur tapi tidak bisa, kulihat Arya tengah tertidur, kaca mata yang bertengger di matanya membuatnya semakin manis. Aku menatap wajah suamiku itu dengan lekat, tampan. Sebenarnya aku sudah jatuh cinta kepada Arya ketika dia melakukan ijab qobul dengan ayahku. Tapi aku mencoba memendamnya karena takut cintaku tidak berbalas seperti yang sudah-sudah. Kami tinggal di sebuah villa dengan dua kamar yang biasa disewakan, aku dan Arya tidur di kamar terpisah. Sebenarnya hatiku sedih, ternyata Arya tidak main-main, dia menikahiku hanya sebuah status di atas kertas itu benar dan tak dibuat-buat. Sedih sebenarnya namun aku tidak bisa melakukan p
Akhirnya aku menikah dengan Arya Dirgantara, seniorku ketika di SMP, aku sama sekali tiadk menyangka aku dan dia akan menikah, kulihat seorang anak perempuan berusia dua tahun yang digendong oleh ibunya Arya. Akhirnya aku kalah dengan sebuah konstruksi sosial yang membelenggu masyarakat bahwa seorang perempuan berusia kepala tiga tidak memiliki kuasa untuk menolak pinangan laki-laki yang hendak melamarnya, meskipun pilihan itu bertolak belakang dengan keinginanku. Sebagai perempuan tentunya aku ingin menikah dengan seseorang yang tulus mencintai dan menerimaku apa adanya. Aku melihat ayah dan ibuku berulangkali mengusap sudut matanya, mereka menangis? Aku tidak tahu mereka menangis karena sedih atau lega, akhirnya anak perempuannya yang perawan tua menikah juga dengan seorang laki-laki tampan dan mapan meskipun berstatus duda beranak satu. Ingin sekali aku berlari dari situasi ini, namun tidak bisa karena merasa aku dirantai oleh belenggu konstruksi sosial yang sudah melekat di masyar
"Apa sebenarnya maksudnya ini?" tanyaku pada Arya keesokan harinya di kedai kopi Sakko pilihannya untuk membicarakan detil maksud yang Arya sampaikan pada kedua orangtuaku kemarin."Aku melamarmu," jawab Arya singkat."Kenapa kamu memilihku?" "Karena aku mengenalmu.""Sejak kapan kamu menyukaiku sehingga kamu melamarku?""Apa kamu ingin aku jujur?""Tentu, kejujuran itu sangat penting bagiku.""Baik, tapi kamu tidak boleh baper dengan perkataanku, aku tidak menyukaimu, aku hanya ingin menikahimu dan memiliki status sebagai seorang suami agar keluargaku tidak lagi menjodohkanku dengan wanita-wanita yang tidak kukenal dan juga agar aku bisa tinggal bersama lagi dengan Larissa, putriku." Aku terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh mantan kakak kelasku itu, dan aku sedikit kecewa dengan jawabannya."Kenapa kamu diam? apa kamu kecewa dengan jawabanku? apa jangan-jangan kamu berpikir aku melamarmu karena menyukaimu? haha, kamu lucu, di usia kita perasaan-perasaan seperti itu tidak terlal
Arya datang tepat waktu sesuai yang dia janjikan di pesan chat. Entah kenapa jantungku berdebar dengan sangat cepat ketika melihat teman SMPku itu. Secara fisik Arya memang menarik, dia tinggi, atletis, kulitnya putih kecoklatan dan berkaca mata, fisiknya itu mengingatkanku pada karakter kesukaanku, Akechi Kengo di komik Detektif Kindaichi. Aku yakin tidak akan ada gadis yang menolak menjadi kekasihnya dengan penampilan menarik seperti itu. Aku mencoba untuk tidak memperlihatkan kegugupanku di hadapannya dan berusaha bersikap santai layaknya pada teman lama. Orangtuaku tiba-tiba saja menjadi ramah saat melihat ada tamu laki-laki menemuiku, bahkan ayahku tidak beranjak dari kursi dan hendak menanyakan beberapa pertanyaan pada Arya. Aku semakin tidak nyaman dengan kondisi ini, kenapa jadi begini? Kan dia datang untuk bersilaturahmi saja. Ketika aku mengambil minuman dan beberapa cemilan untuk dihidangkan pada tamu, tiba-tiba ayahku mengucap alhamdulilah dengan suara agak keras, aku dan
Adzan awal berkumandang dari mesjid dekat rumahku, bergetar hatiku mendengarnya. Helai demi helai waktu bergulir tanpa permisi, aku menyesal melewatkan hari kemarin dengan kekhawatiran akan hari esok yang belum pasti datang. Setelah melakukan sholat qiyamul lail, aku tidak merasa khawatir lagi. Seolah perasaan itu hilang bersama debu-debu ketakutan akan masa depan, lalu semuanya berubah menjadi terang benderang. Aku mendapatkan kenikmatan ibadah yang luar biasa, dan itu merupakan rezeki yang amat besar. Detik ini, aku ingin sepenuhnya melakukan apa yang Alloh suka, ingin melakukan apa yang Alloh ridho meskipun ujian yang akan datang nantinya lebih besar. Tapi hidup di dunia bukankah sebenarnya adalah ujian? Aku ikhlas dengan ketentuanNya, termasuk dengan urusan jodoh. Semua sudah ada yang mengatur, aku hanya akan fokus mencari ilmu agama dan memperbaiki diri, bisa saja kematian datang menghampiriku terlebih dahulu sebelum jodoh itu sendiri. Lantas apa yang akan kubawa saat aku pulang