Sesaat kemudian Akira langsung duduk di jendela kamarnya dengan membuka asal sebuah buku yang hanya dilihatnya dengan tatapan kosong. Naisha berdiri di ambang pintu menyaksikan adiknya, dan memberanikan diri untuk mulai bicara.
"Aku tahu sakitnya kehilangan seorang ibu, bahkan aku belum pernah sekadar memeluknya, merasakan hangat kasih sayangnya, aku tidak pernah merasakannya, Kak..." Akira berbicara seakan tahu betul bahwa Naisha tepat berada di belakangnya. Naisha hanya diam, dan segera memeluk Akira yang mulai tenggelam dalam tangisannya.
"Aku mohon jangan selalu bersikap seperti ini, Ra."
"Bukankah aku sudah bilang berkali-kali sama Kakak, membahas tentang Mama selalu membuatku lebih sensitif. Dan aku selalu merasa kalian menyalahkanku akan hal itu." Akira memelankan suaranya pada kalimat terakhir.
"What nonsense, Akira?! Bagian mana yang aku menyalahkanmu?" Perlahan Naisha melepaskan pelukannya.
"Jawab. Bagian mana yang Kakak menyalahkanmu tentang Mama? Aku hanya ingin kita selalu mengenang Mama, mengingatnya, mendoakannya, bukan menjadi begini. Singkirkan pikiran-pikiran burukmu dalam memandang sesuatu. Tak selamanya apa yang kau pikirkan selalu benar." Naisha semakin meninggikan suaranya, sedang Akira tetap memalingkan wajahnya. Riza dan Sandhya datang menghampiri, namun Sandhya berisyarat biar dia saja yang menenangkan.
"Beginikah caramu berbicara pada Kakakmu?" Akira masih tetap terdiam dan mereka berdua saling menatap tanpa berbicara sedikitpun.
"Enough!" Naisha bergegas keluar dan Sandhya ikut duduk di hadapan Akira, dengan sifat keibuannya Sandhya memegang tangan Akira dan berkata dengan lembut, "Akira, tenangkan dirimu, istighfarlah... Itu syaitan yang menguasai ego-mu, Akira yang kita kenal tidak seperti ini. Dia kuat. Bahkan lebih kuat dari kakak-kakaknya. Iya, kan?" Sandhya tersenyum.
Akira menghela napas dan menganggukkan kepalanya, "Iya, Kak, maafkan aku. Astaghfirullah..." Akira mengusap wajahnya.
"Ck, tidak apa-apa, itu wajar, sekarang berwudhulah, kami tunggu di ruang makan, ya." Sandhya pun keluar dari kamar Akira dan mengatakan kepada yang lainnya bahwa Akira baik-baik saja. Lalu bagaimana dengan Naisha?
Tak disangka ternyata Naisha sudah duduk di meja makan bersama dengan ayahnya, dan bersikap seperti tak terjadi apa-apa. Sesaat kemudian Akira datang, dan di sana ekspresinya terlihat kikuk.
"Maafkan aku, tadi aku hanya... hanya sedikit terbawa emosi, dan Kak Nay malah jadi sasarannya, seharusnya aku tidak boleh begitu. Kak Nay, maafkan aku, maafkan ya?" Akira memegang tangan kiri Naisha.
"Hmm... Ya, baiklah, it's ok." Naisha membalas dengan memegang tangan Akira dan tersenyum manis padanya.
"Wow... It's so sweet.... Nah gitu dong. Haha..." Riza mencoba mencairkan suasana dan semuanya tertawa penuh dengan kebahagiaan. Makan bersama pun kembali dilanjutkan dengan obrolan keluarga kecil yang hangat ini.
*
Keesokan harinya, untuk menghangatkan kembali hubungan Naisha dengan Akira, Naisha pun berpikir untuk mengajak Akira jalan-jalan sambil mencari baju untuk dipakainya nanti saat wisuda. Meskipun Naisha tahu bahwa Akira bukanlah tipe perempuan yang antusias dengan sebuah acara atau semacamnya, karena dalam pandangan Akira bukanlah suatu keharusan menyiapkan sebegitu sibuknya hanya untuk sebuah acara yang hanya diselenggarakan sehari pun tidak. Sekitar jam 9 pagi, Naisha memaksa Akira agar mau pergi dengannya, dan Akira pun setuju untuk keluar hari ini.
Mereka berdua pergi ke beberapa toko untuk membeli beberapa keperluan. Sudah hampir dua jam kurang, namun kakak beradik ini masih asyik memilih baju yang akan mereka pakai saat Akira wisuda nanti.
"Ra, kamu nyari dulu aja ya, ini aku ada telepon dulu." Naisha berlalu dengan handphone-nya yang masih berdering, dan Akira hanya mengangguk saja.
Dari kejauhan Naisha terlihat sibuk menerima panggilan telepon dari seseorang.
"Hallo, ada ap.."
"Ada yang ingin aku bicarakan. Apa aku bisa menjemputmu sekarang?" Suara seorang pria dari seberang sana.
"Ah gak usah, aku lagi sama adikku, dia kan gak tahu aku punya pacar. Emang ada hal apa?"
"Hmm.. aku gak bisa ngomong di telepon. Aku ingin langsung. It's not problem, dia kan gak tau aku pacar kamu. I'm on my way right now, share your loc, ok?"
"Huft. Ok, take care."
Naisha tahu bahwa Zaidan, laki-laki yang barusan menelponnya adalah pacarnya yang sangat keras kepala, tapi justru sifat itulah yang membuat Naisha sangat mencintainya. Dan saat ini dia bingung harus bagaimana kalau sampai Akira tahu Naisha akan dijemput oleh Zaidan. Akhirnya Naisha berpikir untuk menyuruh Akira pulang lebih dulu, baru kemudian Naisha bersama Zaidan. Sebenarnya dia tidak mau berbohong seperti ini, tapi ini belum saatnya hubungan dengan Zaidan diketahui keluarganya, apalagi masih berpacaran.
"Ra, gimana bajunya ada yang kamu suka?"
"Duh, kayaknya gak ada yang cocok deh, kita nyari di toko lain, yuk?!" Naisha terlihat berpikir. "Hm, begini, Ra, barusan aku dapet telpon, ada urusan mendadak di kantor, nah mungkin besok aja ya kita lanjut nyarinya, atau bisa nanti lewat online aja." Naisha mencoba mencari alasan yang pas agar Akira tidak mencurigainya.
"Yaaah... Urusan apa sih? Aku temenin?"
"Aah, gak usah, ini cuma urusan biasa, gak lama kok." Naisha semakin tak tahan harus melanjutkan kebohongannya. Mereka berdua berjalan ke tempat parkir.
"Yaudah, kalau sebentar bisa aku temenin." Akira tetap bersikeras untuk menemani kakaknya.
"Udah, gini deh, kamu bawa motornya," Naisha menyerahkan kunci motor pada adiknya, "Dan aku nanti naik taxi aja, beneran deh gak papa, kamu pulang duluan aja, ya, lagian jam segini Papa pasti udah pulang dari sekolah." Naisha meyakinkan Akira agar dia pulang duluan. Sedang handphone-nya terus berdering. Tentu saja dari Zaidan.
"Iyalah, Papa kan hari ini cuma jadwal pagi doang, pasti udah pulang dari tadi juga. Itu siapa sih, angkat dulu napa, Kak?"
"Hm, iya ini temen Kakak..."
"Yaudah jawab dulu."
"Udah deh, Sayangku, sekarang kamu naik motor, pakai helmetnya." Naisha melihat ke arah belakang adiknya dan sekitar enam meter di sana sudah ada mobil Zaidan, tentu saja Zaidan melihat Naisha dengan mengisyaratkan untuk segera naik ke mobilnya.
'Kenapa sih dia mesti sampe ke parkiran segala.' Kesal batin Naisha melihat Zaidan.
"Kak? Kakakkk....! Yaudah aku duluan nih."
"Eh iya, hehe... Kamu hati-hati, ya!"
"Beneran gak mau aku temenin?" Akira masih belum yakin dengan tindakan kakaknya.
"Ishh.. beneran."
"Yaudah, aku lihat kakak naik taxi dulu." Naisha semakin bingung dengan desakan dari adiknya.
"Ini aku mau jawab telepon dulu, kamu duluan aja deh."
"It's weird, you know. Hm.. Oke, oke, aku jalan sekarang ya. Kak Nay juga hati-hati. Assalamu'alaikum.." Akira mencium pipi kakaknya.
"Iya, sippp. W*'alaikumsalaam..." Naisha melambaikan tangannya, setelah motornya sudah keluar dari parkiran, ia langsung menghampiri mobil yang sudah menunggunya dari tadi.
"Ayo, masuk!"
"Hampir saja." Naisha menghembuskan napasnya dengan lega. Zaidan akan membawa Naisha ke tempat biasa mereka bertemu untuk membicarakan hal yang sangat penting, yang tak lain adalah untuk membahas kelanjutan dari hubungan mereka.
"Sebentar lagi adzan dzuhur, kita berhenti dulu di masjid, ya." Naisha mengingatkan Zaidan yang sedari tadi hanya diam dengan ekspresinya yang dingin. Naisha bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi, apa yang ingin Zaidan bicarakan.
"Iya aku tahu." Zaidan menjawab singkat. Naisha semakin penasaran apa yang sebenarnya terjadi.
∞
Akira sudah sampai di rumah, dan ayahnya sedang bersiap untuk ke masjid.
"Assalamu'alaikum, Papa."
"W*'alaikumsalaam... Eh kamu udah pulang, mana kakakmu?"
"Tadi katanya ada urusan mendadak. Papa, udah makan?" Akira menyiapkan air putih untuk ayahnya.
"Hm... Belum, nanti saja setelah shalat. Akira, hari ini Papa ada kabar baik untuk kamu dan Naisha."
"Alhamdulillah... Ada apa, Pa?" Akira bertanya dan penasaran kabar baik apa yang membuat ayahnya tersenyum dengan manisnya. "Sebentar lagi adzan. Papa ke masjid dulu, nanti kita bicarakan sambil makan. Assalamu'alaikum." Satya sangat bersyukur memiliki putri yang sangat menyayanginya, meski tanpa seorang istri.
"Hmm. Iya, Pa, w*'alaikumsalaam..."
Akira membereskan beberapa buku yang belum sempat dirapikan tadi pagi, dan menerka-nerka ada kabar baik apa? Apakah Papa akan menikah lagi? Akira pun segera menepis pikiran itu dan bersiap untuk menunaikan shalat dzuhur.
***
Flashback onNaisha's POV (Point of View)Pagi ini terasa berbeda. Ya, setelah kemarin ada pertengkaran kecil dengan Akira. Aku menjadi serba salah, sekarang saja aku sedang mencuci piring dan Akira sedang membereskan meja makan, kita berdua sama-sama terdiam saja, tanpa bertegur sapa. Di sisi lain dia adikku, di sisi lain aku kadang kesal dengan sikapnya yang seperti itu. Tapi aku tahu Akira bukanlah tipe pedendam, dia tidak begitu, dan bagaimana pun juga dia adalah adikku satu-satunya yang selalu ada untukku dan sifatnya yanghumblemembuatku bangga memiliki adik seperti Akira. Sebagai kakak sudah seharusnya aku bisa memberikan contoh yang baik untuknya, baiklah, kurangi ego-mu, Nay. Aku berencana akan mengajak dia keluar jalan-jalan.
Flashback onTak biasanya Ayah menyuruh kami berkumpul setelah sarapan pagi, karena biasanya kami akan melakukan kegiatan masing-masing setelah selesai sarapan. Saat itu Ayah menyuruh kami semua berkumpul di ruang keluarga."Ada yang ingin aku sampaikan pada kalian semua, khususnya padamu, Nak." Ayah menepuk bahuku. Aku mendengarkannya dengan saksama."Ayah telah memilihkanmu perempuan yang baik untuk kau jadikan seorang istri. Rencananya pagi ini Ayah akan datang ke rumah keluarganya untuk membicarakan pernikahanmu dengannya."Semua yang ada di sana, Ibu, Bibi Maula, Vishal, Aaliya, tampak terkejut sekaligus tersenyum."Kaushalya, kau ikutlah denganku." Aya
Naisha sampai di rumahnya dengan perasaan dan pikiran yang kacau. Berpikir cara untuk mengatakan segalanya pada ayahnya. Sedang di sisi lain, Zaidan masih memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Zaidan akan terima 'tantangan' Naisha.Satya Elfaruq sedang bersama putri bungsunya, Akira, yang terus saja memaksa Satya untuk segera menyampaikan apa yang akan dia katakan, sesuai dengan janjinya sebelum dzuhur tadi."Papa..Tell me now, please.""Nanti saja kita tunggu kakakmu pulang." Satya tetap asyik membaca buku di meja kerjanya, tanpa menghiraukan Akira."Papaa...""Akiraa..."Tak lama kemudian, Naisha datang deng
Pertanyaan yang tak pernah terpikirkan oleh Zaidan dan Naisha, maka dengan sigap mereka berdua menjawab bersamaan namun dengan jawaban yang berbeda.Zaidan: "Tidak!"Naisha: "Ya."Zaidan terlihat santai dan puas mengatakannya, berbeda dengan Naisha. Semua orang tampak heran dan terkhusus Akira merasa ada sesuatu yang aneh, tapi dia tetap berpikir positif.Naisha segera meralat ucapannya, "Maksud saya, nanti ketika Zaidan menikah dengan adik saya, pasti saya akan mengenal Zaidan. Hehe. Lagipula tadi kan Pak Mahesh sudah memperkenalkannya kepada kami." Dalam hati, Naisha merasa kecewa dengan sikap Zaidan yang seakan tidak memedulikan dirinya lagi. Saat ini, yang bisa dia lakukan hanyalah pasrah dengan keadaan. Suasana kembali seperti bi
Zaidan's POVKurang dari lima detik aku menatap Akira yang hanya menunduk."Tadi saya belum mendoakanmu. Bolehkah saya menyentuh kepalamu sekarang?" Dia hanya mengangguk tanpa melihatku. Kuberanikan diri untuk menyentuh ubun-ubunnya dan mengucapkan doa.Allahumma inni as aluka khoiro haa wa khoiro maa jabaltahaa 'alaihi wa a'udzubika min syarri haa wa syarri maa jabaltahaa 'alaih.(Yaa Allah... Sungguh aku meminta kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan yang Engkau ciptakan atasnya dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya dan keburukan yang Engkau ciptakan atasnya.HR Abu Dawud, No. 2160, dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Suna
Akira's POVAku terbangun di sepertiga malam terakhir. Kulihat Zaidan masih tertidur pulas. Ingin rasanya kubangunkan dia dan mengajaknya shalat tahajjud bersama, tetapi kuurungkan niatku. Aku berdoa, berharap agar suatu hari nanti aku bisa merasakan bagaimana menjadi seorang istri yang 'seutuhnya'. Satu hal lagi yang aku sadari bahwa perjodohan tidak semudah yang kupikirkan dan tidak seindah yang Papa katakan.Aku masih duduk di atas sajadah dan air mata tak dapat kubendung lagi, perasaan apakah ini? Apa ini kelemahan atau kekuatan? Harapan atau ke-putusasa-an?Zaidan,why?*Pagi pertama di rumah baruku, suasana baru, keluarga baru, mengharus
Author's POVSuara orang sedang mengaji melaluiloudspeakermembangunkan Akira, kira-kira jam setengah empat kurang. Saat dia akan bangun, dia merasakan ada tangan yang menyentuh badannya tentu saja Akira masih memakai selimut dan pakaian lengkap. Akira kaget dan tak menyangka bahwa tangan itu adalah milik suaminya, Zaidan. Tanpa membangunkannya Akira memindahkan tangan Zaidan dengan pelan-pelan dan segera bangun untuk menunaikan shalat tahajjud. Perasaan aneh mengacaukan pikirannya, entah harus senang atau sebaliknya, tapi yang jelas Zaidan melakukannya karena dalam keadaan tidur bukan sepenuhnya sadar. Kenyataan itu sedikit menyisakan rasa sesak di dada. Akira tersenyum memandangi wajah suaminya yang teduh itu sampai ada gerakan yang menandakan Zaidan terjaga, Akira segera memalingkan wajahnya.
Akira memandang indahnya pagi dari jendela kamar setelah semalaman hujan, dia berpikir, sebenarnya kehidupan apa yang sedang dia jalani? Menikah bersama orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Dipersatukan dengan laki-laki yang sebenarnya mencintai perempuan lain. Sikap Zaidan yang tidak terbuka dan tidak hangat padanya. Akira hanya berharap dan berdoa semoga Allah menyimpan hikmah indah di balik semua ini.Zaidan tidak menyapa Akira sama sekali. Akira yang tak berminat untuk berbicara pun sama-sama terdiam. Tidak, dia tidak marah pada Zaidan, dia hanya tidak ingin memperkeruh suasana, maka diam adalah pilihan terbaik baginya. Mahesh dan keluarga berangkat bersama menggunakan dua mobil, salah satu mobil dikemudikan Zaidan. Mahesh yang ikut di mobil yang sama dengan Akira, memerhatikan tingkah Zaidan yang begitu dingin. Mahesh paham dengan keadaan ini, dan dia yakin seiring berjalannya w
Tiga tahun berlalu, banyak cerita dan peristiwa terlewati mendewasakan diri. Kini anak kecil bernama Zafran Athar telah dibawa Aaliya pergi ke luar kota karena ia telah hidup mapan bersama suaminya, Harry. Mahesh Athar semarah dan sekeras apapun rasa kecewa pada Aaliya, ia tetap sadar bahwa Aaliya adalah putrinya yang dulu sangat dirindukan kehadirannya. Mahesh telah memaafkan dan merestui pernikahan Aaliya dengan Harry.Akira dan Zaidan masih terus berusaha dan ikhtiar agar segera diamanahi malaikat kecil anugrah terindah dalam keluarga kecil mereka. Mereka berdua rutin memeriksakan diri ke dokter spesialis kandungan, dan keduanya tidak ada, masalah apapun. Akira dan Zaidan hanya perlu bersabar biarkan waktu yang menjawab. Akhir tahun ini, Zaidan telah merencanakan liburan berdua selama dua minggu ke Eropa. Seperti impian Akira yang ingin menjelajahi langsung peradaban Eropa yang semasa kuliah menjadi salah satu mata kuliah favoritnya. Studi S2 Akira pun telah selesai. J
Akira sudah dipindahkan ke ruang inap pasien. Selepas shalat dhuha, Zaidan menunggu Vishal membawa beberapa baju untuknya dan sekaligus membawa sarapan. Zaidan memperdengarkan Akira bacaanmurottalAl-Quran. Ia menunggu Akira siuman dari anestesinya.Perawat yang memeriksa Akira menginformasikan bahwa Akira sudah bangun dan sudah boleh diajak berbicara.Zaidan memegang lembut tangan Akira. Dia membisikkan sesuatu padanya."Assalamu'alaikum,Istriku." Diciumnya kening dan tangan Akira. Seketika Akira menangis."Wa'alaikumsalaam...Maafkan aku." Butiran air mata membasahi wajahnya yang pucat."Ssttt... Kita akan lalui semuanya bersama. Kam
Apakah ini ujian atau teguran?Sakit rasanya, menyadari bahwa ia tak bisa kusapa di dunia ini.Dan ia tak bisa menyapaku.Tapi aku sesekali merasakan gerakannya yang aktif di waktu-waktu yang tak menentu.Maaf, karena Bundamu tak mampu menjagamu sebagaimana mestinya.Tunggu Bunda di sana, ya.Allah begitu menyayangimu dan Bunda.~Akira ElfaruqZaidan melaksanakan shalat maghrib dan kembali memeriksa keadaan istrinya. Proses kuretase berjalan dengan lancar, meski sebelu
Naisha telah melahirkan dengan lancar dan selamat. Naisha juga dalam keadaan sehat. Rencananya esok baru bisa pulang ke rumah. Vishal terharu, pria yang selalu terlihat ceria, kini tampak menangis haru tatkala menggendong bayinya untuk pertama kalinya. Ia sendiri langsung mengadzani anaknya. Akan ada seorang tuan putri di rumah Vishal dan Naisha. Tak diragukan bayi Vishal akan sangat disayangi oleh Maula, neneknya, karena ia begitu menantikan kehadiran cucunya ini.Mahesh menyuruh Zaidan untuk pulang duluan bersama Akira, ia begitu perhatian kepada menantunya agar tidak terlalu kelelahan. Zaidan menuruti perkataan ayahnya. Setiap langkah Zaidan akan dengan sigap menggandeng istrinya, memastikan bahwa Akira dan bayinya selalu aman.Zaidan menyadari terdapat mobil Harry Fawaz di sana. Seketika pikiran negatif muncul menghinggapinya. Menga
Akira merekam proses syukur-anaqiqahkeponakannya melalui videocall, sehingga dapat dilihat oleh keluarga besarnya yang tak bisa hadir secara langsung. Sandhya dan Riza mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian dan doa yang diberikan. Semua kiriman hadiah yang dipaketkan pun sudah diterima oleh Riza. Sambil videocallitu berlangsung, Riza dan Sandhya membuka satu per satu hadiahnya. Sedangkan Zaidan menggendong bayi mereka. Mereka semua hangat sekali berbicara satu sama lain.Puas melakukan videocalldua jam lamanya. Akhirnya Riza meminta izin mengakhiri obrolan mereka ini, karena akan membagi-bagikan makanan kepada warga sekitar dan anak yatim, dibantu Zaidan.Sementara Akira membereskan rumah, Sandhya justru melarangnya, karena ia sudah menyewa jasa orang
Akira dan Zaidan sampai di rumah Riza dengan aman dan selamat. Rumah yang cukup sederhana namun nyaman ini diberikan oleh perusahaan tempat Riza bekerja, sebagai tempat tinggal sementara selama kontraknya berlangsung.Cuaca yang tak kalah panasnya dengan Jakarta membuat mereka berdua tak tahan ingin segera membersihkan diri. Sembari menunggu Zaidan selesai mandi, Akira membereskan barang bawaannya, menyiapkan pakaian untuk Zaidan, kini ia sudah tak terlalu marah lagi pada Zaidan, meskipun rasa kesal masih ia rasakan.Akira tak tahan merasakan sakit kepala yang teramat sangat. Ia berpikir sepertinya ini hanyalah efek perjalanan saja, Akira tak terlalu mempedulikan hal itu. Akira berbaring mencoba meredakan rasa sakit."Sayang? Kamu kenapa?"
Naisha menggandeng tangan Akira. Mereka bercerita banyak hal, sampai tak sengaja obrolan tentang masa lalu kembali terbahas."Aku bahagia melihat kamu sama Zaidan harmonis banget." Akira hanya tersenyum."Aku berharap kalian selamanya seperti ini, tak ada lagi halangan apapun yang membuat hubungan kalian terganggu.""Aamiin...Semoga kakak juga dan Kak Vishal selalu harmonis, penuh dengan kebahagiaan dan cinta.""Aamiin...Aku sempat dengar dari Vishal, kalau Yumna pernah datang ke kantor waktu perusahaan Zaid sedang ada masalah saat itu." Akira terlihat mengernyitkan dahi."Aku gak tahu lebih jelasnya bagaimana, tapi Yumna sempat datang dan berbicara berd
Setelah lelah perjalanan mengantar Aaliya, Zaidan dan Akira santai berdua di pekarangan belakang rumah, di situ terdapat sebuah ayunan menghadap kolam ikan kecil yang sekelilingnya banyak tanaman bunga. Zaidan berinisiatif untuk menghubungi kakak iparnya, Riza, melalui videocall.Di sebrang sana nampak keceriaan Riza meskipun baru pulang kerja. Ada Sandhya yang sedang hamil besar duduk di sampingnya.Seperti biasa mereka saling mengucapkan salam, slaing mendoakan kebaikan, menanyakan kabar, dan mengobrolkan topik ringan."Dokter perkirakan akhir April, Ra. Tapi yang pastinya belum tahu kapan." Suara Riza di sebrang sana."Ini juga sudah persiapan kok, semua yang diperlukan ketika aku ke bidan nanti." Disusul Sandhya melengkapi kalimat suaminya.
Dua hari sebelum keberangkatan, Akira menemani Aaliya untuk menyiapkan berbagai keperluan yang dibutuhkan. Berbelanja beberapa kerudung dan gamis, membeli makanan ringan untuk bekal perjalanan, sampai hal kecil lainnya. Dua kopor besar dan satu ransel yang akan menemani Aaliya terbang dari Jakarta menuju Palembang.Tiket sudah berada di tangan. Waktu tempuh menggunakan pesawat tidak lebih dari tujuh puluh menit, kemudian dari Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II menuju kampus yang dituju pun hanya memerlukan waktu sekitar satu jam. Tidak terlalu lama, namun meskipun begitu jarak dari rumahnya menuju Bandara Soekarno-Hatta pun cukup jauh, apalagi keadaan jalanan Jakarta yang sudah tak asing lagi dengan kemacetan. Aaliya harus tetap menjaga kesehatan agar melakukan perjalanan dalam kondisi yangfit.Aaliya memin