Apa yang paling menyedihkan di dunia ini? Mencintai seseorang yang tidak mencintaimu atau mengetahui kenyataan bahwa orang yang kau cintai mencintai gadis lain? Bagaimana jika aku mengalami keduanya?
*
Suasana haru dan canda tawa meramaikan hampir di setiap penjuru kampus, beberapa mahasiswa tingkat akhir yang telah selesai melaksanakan sidang sibuk berfoto dan saling mengucapkan selamat. Terdapat seorang gadis berkerudung panjang abu-abu yang justru hanya duduk termangu sambil gelisah melihat jam di tangannya. Sekilas matanya melihat langit yang memancarkan cahaya siang yang cukup terik. Air minum di botolnya pun sudah habis. Sudah hampir setengah jam dia hanya duduk dan bergelut dengan pikirannya.
"Di mana Kak Nay, kok belum datang juga?" Ia tampak berbicara sendiri, berpikir mana mungkin kakaknya lupa. Padahal hari ini adalah hari bersejarah baginya, dia lulus sidang, tentu saja mendapat banyak apresiasi dari dosen-dosennya. Dia ingin cepat pulang dan berbagi kebahagiaan dengan keluarga kecilnya.
"Akira, saya ucapkan selamat atas kelulusanmu." Akira Elfaruq, gadis bermanik coklat itu dihampiri seorang pria berkemeja putih, seorang dosen yang sangat dihormati di Jurusan Ilmu Sejarah, jurusan yang Akira ambil semasa kuliah.
"Terima kasih, Pak Mahesh." Akira berdiri dan mengatupkan kedua tangannya sambil mengangguk tak lupa dengan senyum simpul di wajahnya.
"Akira, kamu sendiri saja? Yang lainnya sedang asyik merayakan, kamu duduk saja di sini?"
"Hm. Apa yang harus saya rayakan, Pak, ketika saya berada di gerbang tantangan berikutnya?" Jawab Akira masih dengan senyum tipisnya bersamaan dengan matanya yang tajam.
"Hm yaa tapi kamu pantas merayakannya, kamu menjawab pertanyaan penguji dengan sangat brilliant seperti biasanya."
"Semuanya hanya karena Allah yang Mahamenggerakkan, Dia-lah yang menggerakkan otak saya untuk berpikir, menggerakkan bibir saya untuk berbicara, menggerakkan tangan saya untuk menulis, saya tidak bisa apa-apa dan bukan siapa-siapa tanpa kasih sayang-Nya, Pak."
"Yaa kamu benar. Dari dulu kamu memang selalu membuat saya harus berpikir keras dengan jawaban-jawabanmu." Keduanya tampak tertawa dengan pujian yang dilontarkan dosen bernama lengkap Mahesh Athar itu, "Baiklah, segera pulang banggakan ayahmu."
"Siap, Pak. Terima kasih." Akira sedikit mengerutkan keningnya, dan tersenyum. Mahesh Athar berjalan membelakangi Akira setelah selesai berbicara dengannya. Dari kejauhan terlihat motor matic berwarna hitam, dikendarai seorang perempuan berkerudung biru muda, semakin dekat, dan terlihatlah paras cantiknya yang berkulit putih bersih.
"There you are." Sapa gadis itu sambil membuka helmet-nya dan tersenyum penuh rasa bersalah.
"There you are. Cepat sekali datangnya." Jawab Akira dengan nada sarkasme.
"I'm so sorry, Ra, tadi aku ada sedikit urusan, jadinya telat deh."
"It's ok.. "
"Owh You're the boss." Naisha menghibur dengan mencubit dagu adiknya itu.
Akira menunduk dan mengambil helmet, kemudian langsung saja ia naik motor kakaknya dan mereka bergegas untuk pulang.
Sepanjang perjalanan, gadis bernama Naisha Elfaruq ini hanya diam dan fokus mengendarai motor, sedang adiknya di belakang merasa ada yang aneh, biasanya ketika di perjalanan, kakaknya selalu bercerita tentang banyak hal. Namun kali ini Naisha hanya diam saja, tentu Akira berpikir ada yang salah dengan kakaknya. Akhirnya Akira memulai pembicaraan.
"Kak, kok diam aja? Kak Nay kenapa?"
Sebenarnya Akira bukan tipe orang yang mudah tertarik bertanya langsung tentang keadaan seseorang, karena dia sendiri pun seringkali sudah memahami bagaimana ekspresi yang orang lain tunjukkan. Akira tahu sebelum bertanya dan hal itulah yang terkadang membuatnya terkesan dingin atau sedikit bicara, karena baginya tidak ada salahnya dengan diam, dan dia hanya bicara ketika dia ingin dan dirasa perlu untuk berbicara. Tetapi hal itu tak berlaku jika menyangkut keluarga dan orang-orang yang menyayangi Akira, dia akan mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya dengan penuh rasa cinta nan tulus.
"Nothing, Ra, aku baik-baik aja kok, gimana sidangnya? Lancar?" Naisha menjawab singkat, dan segera mengalihkan topik pembicaraan. Akira paham, dan berpikir bahwa mungkin kakaknya sedang tidak ingin membahasnya, nanti setelah waktunya dia pasti bercerita.
"Aah, itu.. hm. Begitulah."
"Apanya yang begitu?"
"Ya begitu.."
"Akira!"
"Kakak!" Akira menggoda kakaknya. Kedekatan Akira dan Naisha memang tercermin dari tingkah laku mereka ketika sedang bersama. Akira semakin mengeratkan pelukannya dan mereka tertawa, dalam hati Akira berkata, aku rindu Ibu, Kak Nay.
Sekitar 15 menit kemudian, mereka sampai di rumah. Terlihat ada mobil matic putih, yang tak lain adalah mobil kakak mereka yaitu Riza Elfaruq. Setelah memarkirkan motornya, Naisha segera lari masuk ke dalam rumah, berbeda dengan Akira yang berjalan santai saja.
"Abaang... Assalamu'alaikum." Sapa Naisha sambil mencium tangan kakaknya, diikuti Akira.
"W*'alaikumsalaam..." Jawab Riza dan seorang pria paruh baya, Satya Elfaruq namanya, yang tetap fokus dengan sebuah buku di tangannya.
"Akira, bagaimana sidangnya?" Tanya Satya, yang matanya masih tertuju pada buku yang sedang dibacanya.
"Alhamdulillah lancar, Pa, dosen banyak yang bilang skripsiku patut dijadikan contoh, ada juga yang bilang harusnya aku sudah S2, lucu kan, Pa? Masak iya sampe segitunya. Hahaha." Akira tertawa dan tersenyum manis pada ayahnya.
"Syukurlah. Abang mah dulu boro-boro dipuji gitu, yang ada malah diledekin, 'ini skripsimu atau catatan harianmu? Sistematikanya gak bener, bla bla bla' Hahaha." Semuanya tertawa.
"Eh kamu nggak dapet bucket atau apa gitu yang biasanya anak-anak habis sidang kan suka saling ngasih yang kek gituan."
"Iya tuh. Aku juga dulu sama temen-temen saling tuker bunga, makanan,..." Naisha menambahkan.
"I really don't want to." Akira langsung menjawab sambil duduk di sebelah ayahnya.
"Ra, kamu tuh,"
"Kak Nay, karena dalam pikiranku merayakan hal-hal seperti itu tuh gak penting sama sekali."
"Huft.. Againnnn.." Naisha menjawab dengan kesal sambil mengunyah kudapan di tangannya.
"Bayangkan kita menghabiskan uang cuma buat hal-hal kek gitu, that's really wasting money and time."
"Exactly." Riza mendukung pendapat Akira dengan menahan tawanya.
"Yap, karena lebih baik kita gunakan uangnya untuk hal-hal yang lebih berguna, di luar sana banyak orang yang untuk makan saja kesulitan, sedang kita malah hura-hura untuk sesuatu yang.."
"Here we go." Naisha memotong pembicaraan Akira sambil berjalan ke arah dapur serta tak lupa dengan ekspresi eyesrolling-nya. Sudah menjadi kebiasaan, bahwa sering sekali terjadi perdebatan karena perbedaan pendapat antara Akira dan Naisha saat membahas sesuatu, dan itulah yang membuat hubungan mereka justru semakin dekat.
"Cukup dengan bersyukur sebanyak-banyaknya. Am I right, Papa?" Akira memeluk ayahnya dari belakang, dan ayahnya mengangguk setuju dengan pendapat Akira.
Naisha mendapati kakak iparnya sedang menyiapkan makanan di dapur. Sandhya adalah istri Riza, mereka menikah satu tahun yang lalu. Sandhya dan Naisha memang sangat akrab, karena usia mereka yang tidak terpaut jauh, oleh karena itu mereka terlihat seperti layaknya sepasang sahabat. Sandhya juga sangat dekat dengan kedua adik iparnya, bisa dibilang Sandhya bagaikan tempat berkeluh kesah tiga orang anak yang ditinggalkan ibunya saat masih kecil, tepatnya saat melahirkan Akira.
Sebuah meja makan di tengah ruangan bergaya
tahun 1970-annan elegan, sudah tersaji berbagai macam makanan dan dikelilingi oleh lima orang yang tampak saling bercengkrama satu sama lain. Mereka bahagia, terlihat sempurna meskipun tak lengkap."Papa, ada yang ingin aku sampaikan."
"Ya, ada apa, Riz?" Semua yang ada di sana asyik menyantap makanan di piring mereka masing-masing.
"Sepertinya kasih sayangku akan terbagi dua." Riza menatap serius wajah istrinya, Sandhya. Semua orang langsung menghentikan aktivitas makan mereka dan memandang Riza dengan ekspresi penuh kebingungan.
"Maksudmu?" Satya bertanya dengan nada penasaran.
"Ya. Kasih sayangku akan terbagi, kasih sayang kalian semua, karena Sandhya sedang mengandung bayi kami, sudah lima minggu." Semuanya tampak kaget bercampur haru mendengar penjelasan Riza, dan tak lupa mengucap syukur atas kabar baik ini. Hari ini dua kebahagiaan menyelimuti keluarga kecil Satya Elfaruq, yang tak lama lagi akan memiliki cucu, anak dari Riza dan Sandhya.
"Barakallah... Alhamdulillah..." Semuanya mengucap syukur.
"Huft. Lebay banget sih kamu, Bang." Ucap Akira sambil tertawa.
"Waahhh... Asyik. Hehe... Kakak harus banyak istirahat dan melakukan aktivitas yang bagus untuk ibu hamil, nanti bisa konsul lah denganku. Hehe." Naisha menyarankan Sandhya untuk menjaga kandungannya dengan baik. Kebetulan, Naisha adalah seorang konselor khususnya di bidang parenting jadi dia ahli dalam menangani permasalahan-permasalahan parenting, mulai dari pra-kehamilan, ketika proses mengandung, sampai hal-hal penting dalam perkembangan anak serta cara orangtua untuk menyelesaikan berbagai hambatan dalam proses parenting.
"Betul, Sandhya, kamu harus sering-sering konsultasi dengan Naisha, dia sudah expert dalam bidang itu. Kamu juga Riza, jaga istrimu baik-baik. Papa tidak mau terjadi hal yang tak diinginkan." Satya menasihati anak dan menantunya untuk menjaga calon cucunya.
"Iya, Pa.. Terima kasih." Jawab Sandhya.
Naisha menoleh pada kakak iparnya, "Wah. Nanti nama debay*-nya aku cariin ya, Kak. Duh gak sabar pengen cepat-cepat dipanggil tante. Hihi."
"Cepet nikah dong, Nay! Hahaha." Riza ikut menimpali. Naisha menunjukkan ekspresia cemberutnya yang imut sambil tertawa. Tiba-tiba Akira menjawab, "Aku juga pengen dong,"
"Apa? Nikah? Hahaha." Riza menggoda adik bungsunya itu.
"Ih, bukan, ngasih nama buat debay-nya." Akira tak kalah ingin memberikan nama untuk calon keponakannya.
"Iya. Yang penting, ibunya harus sehat biar debay-nya juga sehat. Iya, kan?!" Riza mengelus perut Sandhya dengan penuh cinta. Semuanya tertawa melihat perlakuan Riza yang sangat memanjakan istrinya.
"Pa, Papa, dulu juga pasti memanjakan Mama, kan? Ayo dong, Pa, ceritakan waktu Mama hamil pertama dulu. Apalagi nih pas ngandung Kak Riza, Mama ngidam apaan sih sampe lahirin anak kayak dia?! Hahaha."
"Apa sih, Nay?! Justru aku yang penasaran, Mama dulu pas hamil kedua ngidam apaan sampe lahirin anak aneh kayak kamu! Haha."
"Pa, ayo dong ceritain! Kamu juga ingin tahu kan, Ra?" Naisha menggigit bibir bawahnya tak sengaja memulai pembicaraan mengenai almarhum ibunya. Di samping Naisha, Akira hanya menunduk kebingungan harus bersikap seperti apa. Ketika siapapun membahas tentang ibunya, Akira merasa dialah yang paling bersalah atas kematian ibunya, yang meninggal sesaat setelah melahirkan Akira.
Kejadian seperti ini bukan hanya terjadi sekali dua kali, meskipun tak terlampau sering pula, dan terkadang berakhir dengan pertengkaran kecil antara Naisha dan Akira. Namun pada akhirnya mereka akan akur kembali seperti biasanya.
Setelah keadaan yang kaku ini, Akira menghentikan aktivitas makannya, dan bergegas menuju kamarnya. Melihat hal itu, Satya Elfaruq berdiri dan mengikuti Akira, namun Naisha mencegahnya, seakan berkata bahwa biar Naisha saja yang mengikutinya.
*debay=dede bayi
***
Sesaat kemudian Akira langsung duduk di jendela kamarnya dengan membuka asal sebuah buku yang hanya dilihatnya dengan tatapan kosong. Naisha berdiri di ambang pintu menyaksikan adiknya, dan memberanikan diri untuk mulai bicara."Aku tahu sakitnya kehilangan seorang ibu, bahkan aku belum pernah sekadar memeluknya, merasakan hangat kasih sayangnya, aku tidak pernah merasakannya, Kak..." Akira berbicara seakan tahu betul bahwa Naisha tepat berada di belakangnya. Naisha hanya diam, dan segera memeluk Akira yang mulai tenggelam dalam tangisannya."Aku mohon jangan selalu bersikap seperti ini, Ra.""Bukankah aku sudah bilang berkali-kali sama Kakak, membahas tentang Mama selalu membuatku lebih sensitif. Dan aku selalu merasa kalian menyalahkanku akan hal itu." Akira memelankan suaranya pada kalimat terakhir."What nonsense, Akira?! Bagian mana yang aku menyalahkanmu?" Perlahan Naisha melepaskan pelukannya.
Flashback onNaisha's POV (Point of View)Pagi ini terasa berbeda. Ya, setelah kemarin ada pertengkaran kecil dengan Akira. Aku menjadi serba salah, sekarang saja aku sedang mencuci piring dan Akira sedang membereskan meja makan, kita berdua sama-sama terdiam saja, tanpa bertegur sapa. Di sisi lain dia adikku, di sisi lain aku kadang kesal dengan sikapnya yang seperti itu. Tapi aku tahu Akira bukanlah tipe pedendam, dia tidak begitu, dan bagaimana pun juga dia adalah adikku satu-satunya yang selalu ada untukku dan sifatnya yanghumblemembuatku bangga memiliki adik seperti Akira. Sebagai kakak sudah seharusnya aku bisa memberikan contoh yang baik untuknya, baiklah, kurangi ego-mu, Nay. Aku berencana akan mengajak dia keluar jalan-jalan.
Flashback onTak biasanya Ayah menyuruh kami berkumpul setelah sarapan pagi, karena biasanya kami akan melakukan kegiatan masing-masing setelah selesai sarapan. Saat itu Ayah menyuruh kami semua berkumpul di ruang keluarga."Ada yang ingin aku sampaikan pada kalian semua, khususnya padamu, Nak." Ayah menepuk bahuku. Aku mendengarkannya dengan saksama."Ayah telah memilihkanmu perempuan yang baik untuk kau jadikan seorang istri. Rencananya pagi ini Ayah akan datang ke rumah keluarganya untuk membicarakan pernikahanmu dengannya."Semua yang ada di sana, Ibu, Bibi Maula, Vishal, Aaliya, tampak terkejut sekaligus tersenyum."Kaushalya, kau ikutlah denganku." Aya
Naisha sampai di rumahnya dengan perasaan dan pikiran yang kacau. Berpikir cara untuk mengatakan segalanya pada ayahnya. Sedang di sisi lain, Zaidan masih memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Zaidan akan terima 'tantangan' Naisha.Satya Elfaruq sedang bersama putri bungsunya, Akira, yang terus saja memaksa Satya untuk segera menyampaikan apa yang akan dia katakan, sesuai dengan janjinya sebelum dzuhur tadi."Papa..Tell me now, please.""Nanti saja kita tunggu kakakmu pulang." Satya tetap asyik membaca buku di meja kerjanya, tanpa menghiraukan Akira."Papaa...""Akiraa..."Tak lama kemudian, Naisha datang deng
Pertanyaan yang tak pernah terpikirkan oleh Zaidan dan Naisha, maka dengan sigap mereka berdua menjawab bersamaan namun dengan jawaban yang berbeda.Zaidan: "Tidak!"Naisha: "Ya."Zaidan terlihat santai dan puas mengatakannya, berbeda dengan Naisha. Semua orang tampak heran dan terkhusus Akira merasa ada sesuatu yang aneh, tapi dia tetap berpikir positif.Naisha segera meralat ucapannya, "Maksud saya, nanti ketika Zaidan menikah dengan adik saya, pasti saya akan mengenal Zaidan. Hehe. Lagipula tadi kan Pak Mahesh sudah memperkenalkannya kepada kami." Dalam hati, Naisha merasa kecewa dengan sikap Zaidan yang seakan tidak memedulikan dirinya lagi. Saat ini, yang bisa dia lakukan hanyalah pasrah dengan keadaan. Suasana kembali seperti bi
Zaidan's POVKurang dari lima detik aku menatap Akira yang hanya menunduk."Tadi saya belum mendoakanmu. Bolehkah saya menyentuh kepalamu sekarang?" Dia hanya mengangguk tanpa melihatku. Kuberanikan diri untuk menyentuh ubun-ubunnya dan mengucapkan doa.Allahumma inni as aluka khoiro haa wa khoiro maa jabaltahaa 'alaihi wa a'udzubika min syarri haa wa syarri maa jabaltahaa 'alaih.(Yaa Allah... Sungguh aku meminta kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan yang Engkau ciptakan atasnya dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya dan keburukan yang Engkau ciptakan atasnya.HR Abu Dawud, No. 2160, dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Suna
Akira's POVAku terbangun di sepertiga malam terakhir. Kulihat Zaidan masih tertidur pulas. Ingin rasanya kubangunkan dia dan mengajaknya shalat tahajjud bersama, tetapi kuurungkan niatku. Aku berdoa, berharap agar suatu hari nanti aku bisa merasakan bagaimana menjadi seorang istri yang 'seutuhnya'. Satu hal lagi yang aku sadari bahwa perjodohan tidak semudah yang kupikirkan dan tidak seindah yang Papa katakan.Aku masih duduk di atas sajadah dan air mata tak dapat kubendung lagi, perasaan apakah ini? Apa ini kelemahan atau kekuatan? Harapan atau ke-putusasa-an?Zaidan,why?*Pagi pertama di rumah baruku, suasana baru, keluarga baru, mengharus
Author's POVSuara orang sedang mengaji melaluiloudspeakermembangunkan Akira, kira-kira jam setengah empat kurang. Saat dia akan bangun, dia merasakan ada tangan yang menyentuh badannya tentu saja Akira masih memakai selimut dan pakaian lengkap. Akira kaget dan tak menyangka bahwa tangan itu adalah milik suaminya, Zaidan. Tanpa membangunkannya Akira memindahkan tangan Zaidan dengan pelan-pelan dan segera bangun untuk menunaikan shalat tahajjud. Perasaan aneh mengacaukan pikirannya, entah harus senang atau sebaliknya, tapi yang jelas Zaidan melakukannya karena dalam keadaan tidur bukan sepenuhnya sadar. Kenyataan itu sedikit menyisakan rasa sesak di dada. Akira tersenyum memandangi wajah suaminya yang teduh itu sampai ada gerakan yang menandakan Zaidan terjaga, Akira segera memalingkan wajahnya.
Tiga tahun berlalu, banyak cerita dan peristiwa terlewati mendewasakan diri. Kini anak kecil bernama Zafran Athar telah dibawa Aaliya pergi ke luar kota karena ia telah hidup mapan bersama suaminya, Harry. Mahesh Athar semarah dan sekeras apapun rasa kecewa pada Aaliya, ia tetap sadar bahwa Aaliya adalah putrinya yang dulu sangat dirindukan kehadirannya. Mahesh telah memaafkan dan merestui pernikahan Aaliya dengan Harry.Akira dan Zaidan masih terus berusaha dan ikhtiar agar segera diamanahi malaikat kecil anugrah terindah dalam keluarga kecil mereka. Mereka berdua rutin memeriksakan diri ke dokter spesialis kandungan, dan keduanya tidak ada, masalah apapun. Akira dan Zaidan hanya perlu bersabar biarkan waktu yang menjawab. Akhir tahun ini, Zaidan telah merencanakan liburan berdua selama dua minggu ke Eropa. Seperti impian Akira yang ingin menjelajahi langsung peradaban Eropa yang semasa kuliah menjadi salah satu mata kuliah favoritnya. Studi S2 Akira pun telah selesai. J
Akira sudah dipindahkan ke ruang inap pasien. Selepas shalat dhuha, Zaidan menunggu Vishal membawa beberapa baju untuknya dan sekaligus membawa sarapan. Zaidan memperdengarkan Akira bacaanmurottalAl-Quran. Ia menunggu Akira siuman dari anestesinya.Perawat yang memeriksa Akira menginformasikan bahwa Akira sudah bangun dan sudah boleh diajak berbicara.Zaidan memegang lembut tangan Akira. Dia membisikkan sesuatu padanya."Assalamu'alaikum,Istriku." Diciumnya kening dan tangan Akira. Seketika Akira menangis."Wa'alaikumsalaam...Maafkan aku." Butiran air mata membasahi wajahnya yang pucat."Ssttt... Kita akan lalui semuanya bersama. Kam
Apakah ini ujian atau teguran?Sakit rasanya, menyadari bahwa ia tak bisa kusapa di dunia ini.Dan ia tak bisa menyapaku.Tapi aku sesekali merasakan gerakannya yang aktif di waktu-waktu yang tak menentu.Maaf, karena Bundamu tak mampu menjagamu sebagaimana mestinya.Tunggu Bunda di sana, ya.Allah begitu menyayangimu dan Bunda.~Akira ElfaruqZaidan melaksanakan shalat maghrib dan kembali memeriksa keadaan istrinya. Proses kuretase berjalan dengan lancar, meski sebelu
Naisha telah melahirkan dengan lancar dan selamat. Naisha juga dalam keadaan sehat. Rencananya esok baru bisa pulang ke rumah. Vishal terharu, pria yang selalu terlihat ceria, kini tampak menangis haru tatkala menggendong bayinya untuk pertama kalinya. Ia sendiri langsung mengadzani anaknya. Akan ada seorang tuan putri di rumah Vishal dan Naisha. Tak diragukan bayi Vishal akan sangat disayangi oleh Maula, neneknya, karena ia begitu menantikan kehadiran cucunya ini.Mahesh menyuruh Zaidan untuk pulang duluan bersama Akira, ia begitu perhatian kepada menantunya agar tidak terlalu kelelahan. Zaidan menuruti perkataan ayahnya. Setiap langkah Zaidan akan dengan sigap menggandeng istrinya, memastikan bahwa Akira dan bayinya selalu aman.Zaidan menyadari terdapat mobil Harry Fawaz di sana. Seketika pikiran negatif muncul menghinggapinya. Menga
Akira merekam proses syukur-anaqiqahkeponakannya melalui videocall, sehingga dapat dilihat oleh keluarga besarnya yang tak bisa hadir secara langsung. Sandhya dan Riza mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian dan doa yang diberikan. Semua kiriman hadiah yang dipaketkan pun sudah diterima oleh Riza. Sambil videocallitu berlangsung, Riza dan Sandhya membuka satu per satu hadiahnya. Sedangkan Zaidan menggendong bayi mereka. Mereka semua hangat sekali berbicara satu sama lain.Puas melakukan videocalldua jam lamanya. Akhirnya Riza meminta izin mengakhiri obrolan mereka ini, karena akan membagi-bagikan makanan kepada warga sekitar dan anak yatim, dibantu Zaidan.Sementara Akira membereskan rumah, Sandhya justru melarangnya, karena ia sudah menyewa jasa orang
Akira dan Zaidan sampai di rumah Riza dengan aman dan selamat. Rumah yang cukup sederhana namun nyaman ini diberikan oleh perusahaan tempat Riza bekerja, sebagai tempat tinggal sementara selama kontraknya berlangsung.Cuaca yang tak kalah panasnya dengan Jakarta membuat mereka berdua tak tahan ingin segera membersihkan diri. Sembari menunggu Zaidan selesai mandi, Akira membereskan barang bawaannya, menyiapkan pakaian untuk Zaidan, kini ia sudah tak terlalu marah lagi pada Zaidan, meskipun rasa kesal masih ia rasakan.Akira tak tahan merasakan sakit kepala yang teramat sangat. Ia berpikir sepertinya ini hanyalah efek perjalanan saja, Akira tak terlalu mempedulikan hal itu. Akira berbaring mencoba meredakan rasa sakit."Sayang? Kamu kenapa?"
Naisha menggandeng tangan Akira. Mereka bercerita banyak hal, sampai tak sengaja obrolan tentang masa lalu kembali terbahas."Aku bahagia melihat kamu sama Zaidan harmonis banget." Akira hanya tersenyum."Aku berharap kalian selamanya seperti ini, tak ada lagi halangan apapun yang membuat hubungan kalian terganggu.""Aamiin...Semoga kakak juga dan Kak Vishal selalu harmonis, penuh dengan kebahagiaan dan cinta.""Aamiin...Aku sempat dengar dari Vishal, kalau Yumna pernah datang ke kantor waktu perusahaan Zaid sedang ada masalah saat itu." Akira terlihat mengernyitkan dahi."Aku gak tahu lebih jelasnya bagaimana, tapi Yumna sempat datang dan berbicara berd
Setelah lelah perjalanan mengantar Aaliya, Zaidan dan Akira santai berdua di pekarangan belakang rumah, di situ terdapat sebuah ayunan menghadap kolam ikan kecil yang sekelilingnya banyak tanaman bunga. Zaidan berinisiatif untuk menghubungi kakak iparnya, Riza, melalui videocall.Di sebrang sana nampak keceriaan Riza meskipun baru pulang kerja. Ada Sandhya yang sedang hamil besar duduk di sampingnya.Seperti biasa mereka saling mengucapkan salam, slaing mendoakan kebaikan, menanyakan kabar, dan mengobrolkan topik ringan."Dokter perkirakan akhir April, Ra. Tapi yang pastinya belum tahu kapan." Suara Riza di sebrang sana."Ini juga sudah persiapan kok, semua yang diperlukan ketika aku ke bidan nanti." Disusul Sandhya melengkapi kalimat suaminya.
Dua hari sebelum keberangkatan, Akira menemani Aaliya untuk menyiapkan berbagai keperluan yang dibutuhkan. Berbelanja beberapa kerudung dan gamis, membeli makanan ringan untuk bekal perjalanan, sampai hal kecil lainnya. Dua kopor besar dan satu ransel yang akan menemani Aaliya terbang dari Jakarta menuju Palembang.Tiket sudah berada di tangan. Waktu tempuh menggunakan pesawat tidak lebih dari tujuh puluh menit, kemudian dari Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II menuju kampus yang dituju pun hanya memerlukan waktu sekitar satu jam. Tidak terlalu lama, namun meskipun begitu jarak dari rumahnya menuju Bandara Soekarno-Hatta pun cukup jauh, apalagi keadaan jalanan Jakarta yang sudah tak asing lagi dengan kemacetan. Aaliya harus tetap menjaga kesehatan agar melakukan perjalanan dalam kondisi yangfit.Aaliya memin