Flashback on
Naisha's POV (Point of View)
Pagi ini terasa berbeda. Ya, setelah kemarin ada pertengkaran kecil dengan Akira. Aku menjadi serba salah, sekarang saja aku sedang mencuci piring dan Akira sedang membereskan meja makan, kita berdua sama-sama terdiam saja, tanpa bertegur sapa. Di sisi lain dia adikku, di sisi lain aku kadang kesal dengan sikapnya yang seperti itu. Tapi aku tahu Akira bukanlah tipe pedendam, dia tidak begitu, dan bagaimana pun juga dia adalah adikku satu-satunya yang selalu ada untukku dan sifatnya yang humble membuatku bangga memiliki adik seperti Akira. Sebagai kakak sudah seharusnya aku bisa memberikan contoh yang baik untuknya, baiklah, kurangi ego-mu, Nay. Aku berencana akan mengajak dia keluar jalan-jalan.
"Ra, tolong siapkan air minum untuk Papa."
"Iya, Kak." Akira langsung gerak cepat melakukan apa yang kuperintahkan. Dan kupikir dia baik-baik saja. Ternyata hanya perasaanku saja yang 'berbeda', sikap Akira memang biasa saja.
Kulihat handphone-ku dan tak ada notifikasi sama sekali dari Zaidan. Kemana dia, biasanya habis sarapan dia langsung chat dan pamitan berangkat kerja. Huft, pria ini memang sulit ditebak dia sedang apa saat ini.
"Papa berangkat sekarang." Itu suara Papa dari ruangan depan, jam 6.45 sudah menjadi kebiasaannya berangkat ke sekolah dan dijemput Kak Riza. Aku berlari ke depan dan mencium tangan Papa, begitupun Akira.
"Hati-hati di rumah. Assalamu'alaikum."
"Yes, Sir, w*'alaikumsalaam." Jawab kami berdua serentak, diiringi tawa.
"Hati-hati, Kak Riza." Kami berdua melambaikan tangan dan perlahan mobil putih Kak Riza semakin pergi menjauh.
"Ra, nanti siang jam 9-an kita jalan-jalan keluar, yuk, nyari baju buat kamu wisuda nanti."
"Hm. Baju yang kemarin habis acara wisuda Kakak-pun masih ada kan?" Tak kusangka Akira malah menanyakan baju yang kemarin waktu aku wisuda S2.
"Ra, itu kan waktu wisuda Kakak, sekarang kamu yang wisuda."
"Sama aja, ah. Sayang uangnya. Mending buat keperluan lain. Aku ke dalam dulu." Akira melenggang masuk ke rumah.
Huft, dia memang bukan orang yang antusias pada hal semacam ini, padahal kan tiap perempuan biasanya senang sekali kalau sudah diajak shopping. Ah, yasudahlah. Nanti saja pas mau berangkat aku paksa dia buat ikut.
Matahari mulai keluar malu-malu dengan menyemburkan cahaya hangat di pagi hari. Aku duduk di ayunan kursi depan rumah sambil menikmati cahaya pagi. Sekali lagi, kulihat handphone dan Zaid masih belum ada kabar. Aku iseng saja membuka galeri HP dan kulihat foto-fotoku bersama Zaid. Hm, dia memang pria yang tampan. Zaid has a nice-looking beard. I love it.
Tiap aku ingat Zaid, aku pun selalu ingat dengan apa yang Papa nasihatkan pada anak-anaknya, Papa bilang jangan pernah berpacaran, dan aku justru malah melakukannya. Aku berkali-kali meminta Zaid untuk segera datang ke rumah dan meminangku, tapi alasannya tetap sama dia ingin istikharah dan sampai sekarang belum ada jawabannya, lebih tepatnya belum merasa ada jawabannya. Padahal, menurutku kalau Zaid mau sedikit berusaha dan yakin serta benar-benar mencintaiku dia pasti berani datang dan bilang pada Papa, dan mungkin Allah akan menjawab istikharah-nya.
Perempuan seusiaku sudah banyak yang menikah bahkan memiliki anak, sedangkan aku masih saja terjebak dalam pacaran. Aku tahu ini salah, tapi aku mencintai Zaidan. Tidak, hubunganku bukan hubungan pacaran yang 'liar', aku dengannya tetap berkomitmen untuk saling menjaga, tapi tetap saja, aku ingin segera menikah, dengannya tentu saja. Memikirkan hal itu memang tak akan ada ujungnya. Sudahlah, lebih baik aku beres-beres rumah.
∞
Semua pekerjaan rumah sudah selesai, aku sudah mandi, dan hari ini aku gak ke kantor hanya untuk bisa mengajak adikku keluar.
"Ra, kamu lagi ngapain?" Aku menghampiri dia yang sedang duduk di jendela, as usual, di kamarnya.
"Kakak gak ke kantor? Yaa... Apa lagi? Baca buku."
"Nggak. Ra, ayolah, ikut Kakak keluar, kita jalan-jalan. Kakak memaksa. Please... Mau ya? Anggap ini permintaan maaf Kakak setelah kemarin 'itu'." Aku memelas dan lebih tepatnya
memaksa Akira untuk mau keluar dan beli baju buat wisuda-nya nanti."Ishh... Kakak jangan begitu, aku gak papa kok. Yaudah, Baiklah. Ayo."
"Yeay, you're my bestie." Aku memeluknya dengan girang.
"You're the boss. Hehe. Eh Kak, tapi Papa sebentar lagi pulang." Akira mengingatkanku bahwa Papa memang hanya jadwal pagi saja hari ini.
"Kakak udah minta izin kok."
"Oh... Oke."
Aku dan Akira berangkat dengan sepeda motor kesayanganku.
Flashback off
*
Zaidan's POV
Saat ini aku masih bertanya-tanya dan tak percaya dengan apa yang sudah Ayah lakukan, apa dia sadar telah mengambil keputusan yang besar untuk masa depanku? Aku tak bisa berkonsentrasi di kantor, bahkan sebelumnya tak terpikir untuk menghubungi Naisha. Kulihat HP-ku dan ternyata dia mengirimkan pesan, bahwa dia tidak masuk kerja hari ini, dia sedang keluar bersama adiknya. Tapi tetap kuputuskan aku harus bertemu dengannya. Hari ini juga. Kucoba meneleponnya dan suara panggilan tersambung masih terus berbunyi.
"Hallo. Ada ap.." Akhirnya dia mengangkat teleponku.
"Ada yang ingin aku bicarakan. Apa aku bisa menjemputmu sekarang?'
"Ah gak usah, aku lagi sama adikku, dia kan gak tahu aku punya pacar. Emang ada hal apa?"
"Aku gak bisa ngomong di telepon. Aku ingin langsung. It's not problem, dia kan gak tau aku pacar kamu. I'm on my way right now, share your loc, ok?" Aku tak bisa basa-basi lagi, yang kupikirkan adalah bagaimana caranya hari ini aku bisa bertemu dengannya.
"Huft. Ok, take care."
Notifikasi pesan masuk berbunyi dan dia mengirimkan lokasinya, ternyata dia sedang di mall, cukup dekat dari kantorku. Aku putuskan untuk pergi dan menyuruh Vishal mengawasi kantor selama aku keluar. Dalam keadaan seperti ini pun, aku berusaha untuk tetap tenang.
Kenangan-kenangan bersama Naisha terus saja berkelebat dalam benakku. Terus terang saja, aku sudah lebih dari empat tahun berpacaran dengan Naisha. Meskipun aku sudah kenal dirinya sejak tingkat dua di perkuliahan, saat itu kami mengikuti komunitas yang sama. Berawal dari sana, aku mulai mengaguminya. Cara dia berbicara dan bersikap itu yang kukagumi.
Sebagai anak Teknik Sipil, aku cukup popular di kampusku dulu, maklum lah jurusanku penghuninya memang sedikit. Bukan, bukan karena tidak diminati, tapi karena memang sangat sulit untuk memasukinya, sehingga kami yang lolos di jurusan ini ya terbilang memiliki nilai plus tersendiri, selain memang pembawaan dari masing-masing pribadi, termasuk diriku. Sudahlah itu tentang jurusanku. Lalu apa hubungannya dengan Naisha? Ya, ada hubungannya, yaitu aku cukup pantas mendapatkan perempuan seperti Naisha. Baiklah itu terdengar berlebihan. Tentang Naisha, meskipun aku tak pernah berpacaran dengan perempuan manapun, tapi entahlah saat mengenal Naisha dan kami sering terlibat dalam kegiatan yang sama, aku semakin menyukainya. Perempuan cantik dari jurusan Psikologi, sangat mengagumkan.
Setiap minggu komunitas kami selalu mengadakan rapat internal, tentu saja itulah kesempatanku dapat bersua dengannya. Dia sering sekali mengenakan kerudung merah muda, dan itu membuatnya terlihat sangat cantik, sampai sekarang dia masih menjadi Naisha-ku yang cantik, yang kucintai.
Setelah sekitar lima menit di perjalanan, kumasuki ruangan parkir mall itu, dan kulihat di depanku ada motor Naisha dengan seorang perempuan yang sudah naik di atas motornya, mungkin itu adiknya. Jujur, aku belum pernah bertemu dengan keluarganya. Sama sekali belum pernah, begitu pun Naisha dengan keluargaku. Aku bukan tidak gentle. Tapi ada banyak alasan mengapa kami tidak saling mengenalkan keluarga kami masing-masing, salah satunya adalah karena keluarga kami sangat menentang hubungan yang tidak halal, istilah lainnya pacaran. Berpacaran tidak ada dalam kamus keluarga kami. Itulah salah satu alasannya mengapa selama empat tahun ini kami belum saling mengenalkan keluarga masing-masing, dan saat ini aku sadar, komitmen yang dibangun atas dasar kebohongan memang akan menimbulkan masalah, seperti yang sedang terjadi padaku kali ini, lebih tepatnya pada hubunganku dengan Naisha.
Aku sudah tidak sabar menunggu adiknya pergi, mereka sedang apa? Masihkah mengobrol dalam keadaan seperti ini. Women.
Akhirnya gadis itu sudah pergi dengan sepeda motornya, dan Naisha segera menghampiriku.
"Ayo masuk!" sambil kubukakan pintu mobil dari dalam untuknya. Naisha masuk dan menghela napas sembari berkata, "Hampir saja."
Dan entah kenapa dalam perjalanan aku sama sekali tak ingin berbasa-basi dengannya, atau maksudku untuk sekadar bertanya apa kabarnya, entahlah yang kupikirkan adalah masalah yang akan kami hadapi mulai saat ini.
"Sebentar lagi adzan dzuhur, kita berhenti dulu di masjid, ya." Naisha mengingatkanku dan aku hanya diam sampai aku berpikir untuk menjawab saja. "Iya aku tahu". Aku mencari sebuah masjid, dan kami berdua istirahat sekaligus shalat berjamaah di sana.
Kami selesai menunaikan shalat dan melanjutkan perjalanan ke tempat di mana biasanya kami bertemu.
Aku pesan dua minuman saja tanpa bertanya pada Naisha. Aku sadar, kenapa aku bersikap menjadi begitu dingin padanya. Tapi aku tak tahu. Saat ini perempuan yang sangat kucintai memberikan tatapannya yang seakan-akan berkata, bicaralah apa yang terjadi. Dan aku benar.
"Zaid, ada apa? Bicaralah. Apa yang terjadi? Kenapa kamu berbeda hari ini? Kenapa..."
"Bisakah kamu bertanya satu-satu padaku?!"
"Ohaha. Oke, sorry." Apa yang lucu? Kenapa dia tertawa, aku sendiri bahkan tak bisa tersenyum saat ini.
"Oke, baiklah. Katakan, apa yang terjadi?" Sepertinya Naisha tampak serius kali ini.
"Hmm..." aku menghela napasku dengan kasar sebelum mulai berbicara.
"Tadi pagi aku bertengkar hebat dengan ayahku. Jadi aku tak bisa mengabarimu."
"It's ok. Tapi apa yang menjadi masalahnya?"
Aku bingung harus memulai dari mana, tapi harus secepatnya aku katakan.
"Jadi tadi pagi...." Aku akan ceritakan semuanya.
***
Flashback onTak biasanya Ayah menyuruh kami berkumpul setelah sarapan pagi, karena biasanya kami akan melakukan kegiatan masing-masing setelah selesai sarapan. Saat itu Ayah menyuruh kami semua berkumpul di ruang keluarga."Ada yang ingin aku sampaikan pada kalian semua, khususnya padamu, Nak." Ayah menepuk bahuku. Aku mendengarkannya dengan saksama."Ayah telah memilihkanmu perempuan yang baik untuk kau jadikan seorang istri. Rencananya pagi ini Ayah akan datang ke rumah keluarganya untuk membicarakan pernikahanmu dengannya."Semua yang ada di sana, Ibu, Bibi Maula, Vishal, Aaliya, tampak terkejut sekaligus tersenyum."Kaushalya, kau ikutlah denganku." Aya
Naisha sampai di rumahnya dengan perasaan dan pikiran yang kacau. Berpikir cara untuk mengatakan segalanya pada ayahnya. Sedang di sisi lain, Zaidan masih memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Zaidan akan terima 'tantangan' Naisha.Satya Elfaruq sedang bersama putri bungsunya, Akira, yang terus saja memaksa Satya untuk segera menyampaikan apa yang akan dia katakan, sesuai dengan janjinya sebelum dzuhur tadi."Papa..Tell me now, please.""Nanti saja kita tunggu kakakmu pulang." Satya tetap asyik membaca buku di meja kerjanya, tanpa menghiraukan Akira."Papaa...""Akiraa..."Tak lama kemudian, Naisha datang deng
Pertanyaan yang tak pernah terpikirkan oleh Zaidan dan Naisha, maka dengan sigap mereka berdua menjawab bersamaan namun dengan jawaban yang berbeda.Zaidan: "Tidak!"Naisha: "Ya."Zaidan terlihat santai dan puas mengatakannya, berbeda dengan Naisha. Semua orang tampak heran dan terkhusus Akira merasa ada sesuatu yang aneh, tapi dia tetap berpikir positif.Naisha segera meralat ucapannya, "Maksud saya, nanti ketika Zaidan menikah dengan adik saya, pasti saya akan mengenal Zaidan. Hehe. Lagipula tadi kan Pak Mahesh sudah memperkenalkannya kepada kami." Dalam hati, Naisha merasa kecewa dengan sikap Zaidan yang seakan tidak memedulikan dirinya lagi. Saat ini, yang bisa dia lakukan hanyalah pasrah dengan keadaan. Suasana kembali seperti bi
Zaidan's POVKurang dari lima detik aku menatap Akira yang hanya menunduk."Tadi saya belum mendoakanmu. Bolehkah saya menyentuh kepalamu sekarang?" Dia hanya mengangguk tanpa melihatku. Kuberanikan diri untuk menyentuh ubun-ubunnya dan mengucapkan doa.Allahumma inni as aluka khoiro haa wa khoiro maa jabaltahaa 'alaihi wa a'udzubika min syarri haa wa syarri maa jabaltahaa 'alaih.(Yaa Allah... Sungguh aku meminta kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan yang Engkau ciptakan atasnya dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya dan keburukan yang Engkau ciptakan atasnya.HR Abu Dawud, No. 2160, dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Suna
Akira's POVAku terbangun di sepertiga malam terakhir. Kulihat Zaidan masih tertidur pulas. Ingin rasanya kubangunkan dia dan mengajaknya shalat tahajjud bersama, tetapi kuurungkan niatku. Aku berdoa, berharap agar suatu hari nanti aku bisa merasakan bagaimana menjadi seorang istri yang 'seutuhnya'. Satu hal lagi yang aku sadari bahwa perjodohan tidak semudah yang kupikirkan dan tidak seindah yang Papa katakan.Aku masih duduk di atas sajadah dan air mata tak dapat kubendung lagi, perasaan apakah ini? Apa ini kelemahan atau kekuatan? Harapan atau ke-putusasa-an?Zaidan,why?*Pagi pertama di rumah baruku, suasana baru, keluarga baru, mengharus
Author's POVSuara orang sedang mengaji melaluiloudspeakermembangunkan Akira, kira-kira jam setengah empat kurang. Saat dia akan bangun, dia merasakan ada tangan yang menyentuh badannya tentu saja Akira masih memakai selimut dan pakaian lengkap. Akira kaget dan tak menyangka bahwa tangan itu adalah milik suaminya, Zaidan. Tanpa membangunkannya Akira memindahkan tangan Zaidan dengan pelan-pelan dan segera bangun untuk menunaikan shalat tahajjud. Perasaan aneh mengacaukan pikirannya, entah harus senang atau sebaliknya, tapi yang jelas Zaidan melakukannya karena dalam keadaan tidur bukan sepenuhnya sadar. Kenyataan itu sedikit menyisakan rasa sesak di dada. Akira tersenyum memandangi wajah suaminya yang teduh itu sampai ada gerakan yang menandakan Zaidan terjaga, Akira segera memalingkan wajahnya.
Akira memandang indahnya pagi dari jendela kamar setelah semalaman hujan, dia berpikir, sebenarnya kehidupan apa yang sedang dia jalani? Menikah bersama orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Dipersatukan dengan laki-laki yang sebenarnya mencintai perempuan lain. Sikap Zaidan yang tidak terbuka dan tidak hangat padanya. Akira hanya berharap dan berdoa semoga Allah menyimpan hikmah indah di balik semua ini.Zaidan tidak menyapa Akira sama sekali. Akira yang tak berminat untuk berbicara pun sama-sama terdiam. Tidak, dia tidak marah pada Zaidan, dia hanya tidak ingin memperkeruh suasana, maka diam adalah pilihan terbaik baginya. Mahesh dan keluarga berangkat bersama menggunakan dua mobil, salah satu mobil dikemudikan Zaidan. Mahesh yang ikut di mobil yang sama dengan Akira, memerhatikan tingkah Zaidan yang begitu dingin. Mahesh paham dengan keadaan ini, dan dia yakin seiring berjalannya w
Hari demi hari, minggu demi minggu, Akira jalani kehidupan palsunya ini, palsu bukan dalam arti sebenarnya, yang Akira maksudkan adalah apa yang dia tampilkan dan apa yang dia rasakan sangat jauh berbeda. Demi menyenangkan keluarganya maka Akira selalu mencoba untuk bersikap seakan semuanya baik-baik saja. Sejauh ini tak pernah ada pertengkaran apapun antara mereka, karena jangankan untuk bertengkar, untuk saling mencurahkan perhatian pun hanya sebatas apa yang telah mereka sepakati seperti saat hari pertama setelah menikah.Seperti salah satu contohnya, saat Akira bertanya pada Zaidan mengenai diizinkan atau tidaknya Akira untuk kuliah lagi, Zaidan justru mendukung agar Akira memiliki kesibukan lain yang secara tidak langsung sebagai salah satu cara yang Zaidan harapkan agar bisa mengobati rasa sakit apapun yang Akira rasakan setelah menikah. Zaidan tak ingin menyakiti Akira semakin lam
Tiga tahun berlalu, banyak cerita dan peristiwa terlewati mendewasakan diri. Kini anak kecil bernama Zafran Athar telah dibawa Aaliya pergi ke luar kota karena ia telah hidup mapan bersama suaminya, Harry. Mahesh Athar semarah dan sekeras apapun rasa kecewa pada Aaliya, ia tetap sadar bahwa Aaliya adalah putrinya yang dulu sangat dirindukan kehadirannya. Mahesh telah memaafkan dan merestui pernikahan Aaliya dengan Harry.Akira dan Zaidan masih terus berusaha dan ikhtiar agar segera diamanahi malaikat kecil anugrah terindah dalam keluarga kecil mereka. Mereka berdua rutin memeriksakan diri ke dokter spesialis kandungan, dan keduanya tidak ada, masalah apapun. Akira dan Zaidan hanya perlu bersabar biarkan waktu yang menjawab. Akhir tahun ini, Zaidan telah merencanakan liburan berdua selama dua minggu ke Eropa. Seperti impian Akira yang ingin menjelajahi langsung peradaban Eropa yang semasa kuliah menjadi salah satu mata kuliah favoritnya. Studi S2 Akira pun telah selesai. J
Akira sudah dipindahkan ke ruang inap pasien. Selepas shalat dhuha, Zaidan menunggu Vishal membawa beberapa baju untuknya dan sekaligus membawa sarapan. Zaidan memperdengarkan Akira bacaanmurottalAl-Quran. Ia menunggu Akira siuman dari anestesinya.Perawat yang memeriksa Akira menginformasikan bahwa Akira sudah bangun dan sudah boleh diajak berbicara.Zaidan memegang lembut tangan Akira. Dia membisikkan sesuatu padanya."Assalamu'alaikum,Istriku." Diciumnya kening dan tangan Akira. Seketika Akira menangis."Wa'alaikumsalaam...Maafkan aku." Butiran air mata membasahi wajahnya yang pucat."Ssttt... Kita akan lalui semuanya bersama. Kam
Apakah ini ujian atau teguran?Sakit rasanya, menyadari bahwa ia tak bisa kusapa di dunia ini.Dan ia tak bisa menyapaku.Tapi aku sesekali merasakan gerakannya yang aktif di waktu-waktu yang tak menentu.Maaf, karena Bundamu tak mampu menjagamu sebagaimana mestinya.Tunggu Bunda di sana, ya.Allah begitu menyayangimu dan Bunda.~Akira ElfaruqZaidan melaksanakan shalat maghrib dan kembali memeriksa keadaan istrinya. Proses kuretase berjalan dengan lancar, meski sebelu
Naisha telah melahirkan dengan lancar dan selamat. Naisha juga dalam keadaan sehat. Rencananya esok baru bisa pulang ke rumah. Vishal terharu, pria yang selalu terlihat ceria, kini tampak menangis haru tatkala menggendong bayinya untuk pertama kalinya. Ia sendiri langsung mengadzani anaknya. Akan ada seorang tuan putri di rumah Vishal dan Naisha. Tak diragukan bayi Vishal akan sangat disayangi oleh Maula, neneknya, karena ia begitu menantikan kehadiran cucunya ini.Mahesh menyuruh Zaidan untuk pulang duluan bersama Akira, ia begitu perhatian kepada menantunya agar tidak terlalu kelelahan. Zaidan menuruti perkataan ayahnya. Setiap langkah Zaidan akan dengan sigap menggandeng istrinya, memastikan bahwa Akira dan bayinya selalu aman.Zaidan menyadari terdapat mobil Harry Fawaz di sana. Seketika pikiran negatif muncul menghinggapinya. Menga
Akira merekam proses syukur-anaqiqahkeponakannya melalui videocall, sehingga dapat dilihat oleh keluarga besarnya yang tak bisa hadir secara langsung. Sandhya dan Riza mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian dan doa yang diberikan. Semua kiriman hadiah yang dipaketkan pun sudah diterima oleh Riza. Sambil videocallitu berlangsung, Riza dan Sandhya membuka satu per satu hadiahnya. Sedangkan Zaidan menggendong bayi mereka. Mereka semua hangat sekali berbicara satu sama lain.Puas melakukan videocalldua jam lamanya. Akhirnya Riza meminta izin mengakhiri obrolan mereka ini, karena akan membagi-bagikan makanan kepada warga sekitar dan anak yatim, dibantu Zaidan.Sementara Akira membereskan rumah, Sandhya justru melarangnya, karena ia sudah menyewa jasa orang
Akira dan Zaidan sampai di rumah Riza dengan aman dan selamat. Rumah yang cukup sederhana namun nyaman ini diberikan oleh perusahaan tempat Riza bekerja, sebagai tempat tinggal sementara selama kontraknya berlangsung.Cuaca yang tak kalah panasnya dengan Jakarta membuat mereka berdua tak tahan ingin segera membersihkan diri. Sembari menunggu Zaidan selesai mandi, Akira membereskan barang bawaannya, menyiapkan pakaian untuk Zaidan, kini ia sudah tak terlalu marah lagi pada Zaidan, meskipun rasa kesal masih ia rasakan.Akira tak tahan merasakan sakit kepala yang teramat sangat. Ia berpikir sepertinya ini hanyalah efek perjalanan saja, Akira tak terlalu mempedulikan hal itu. Akira berbaring mencoba meredakan rasa sakit."Sayang? Kamu kenapa?"
Naisha menggandeng tangan Akira. Mereka bercerita banyak hal, sampai tak sengaja obrolan tentang masa lalu kembali terbahas."Aku bahagia melihat kamu sama Zaidan harmonis banget." Akira hanya tersenyum."Aku berharap kalian selamanya seperti ini, tak ada lagi halangan apapun yang membuat hubungan kalian terganggu.""Aamiin...Semoga kakak juga dan Kak Vishal selalu harmonis, penuh dengan kebahagiaan dan cinta.""Aamiin...Aku sempat dengar dari Vishal, kalau Yumna pernah datang ke kantor waktu perusahaan Zaid sedang ada masalah saat itu." Akira terlihat mengernyitkan dahi."Aku gak tahu lebih jelasnya bagaimana, tapi Yumna sempat datang dan berbicara berd
Setelah lelah perjalanan mengantar Aaliya, Zaidan dan Akira santai berdua di pekarangan belakang rumah, di situ terdapat sebuah ayunan menghadap kolam ikan kecil yang sekelilingnya banyak tanaman bunga. Zaidan berinisiatif untuk menghubungi kakak iparnya, Riza, melalui videocall.Di sebrang sana nampak keceriaan Riza meskipun baru pulang kerja. Ada Sandhya yang sedang hamil besar duduk di sampingnya.Seperti biasa mereka saling mengucapkan salam, slaing mendoakan kebaikan, menanyakan kabar, dan mengobrolkan topik ringan."Dokter perkirakan akhir April, Ra. Tapi yang pastinya belum tahu kapan." Suara Riza di sebrang sana."Ini juga sudah persiapan kok, semua yang diperlukan ketika aku ke bidan nanti." Disusul Sandhya melengkapi kalimat suaminya.
Dua hari sebelum keberangkatan, Akira menemani Aaliya untuk menyiapkan berbagai keperluan yang dibutuhkan. Berbelanja beberapa kerudung dan gamis, membeli makanan ringan untuk bekal perjalanan, sampai hal kecil lainnya. Dua kopor besar dan satu ransel yang akan menemani Aaliya terbang dari Jakarta menuju Palembang.Tiket sudah berada di tangan. Waktu tempuh menggunakan pesawat tidak lebih dari tujuh puluh menit, kemudian dari Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II menuju kampus yang dituju pun hanya memerlukan waktu sekitar satu jam. Tidak terlalu lama, namun meskipun begitu jarak dari rumahnya menuju Bandara Soekarno-Hatta pun cukup jauh, apalagi keadaan jalanan Jakarta yang sudah tak asing lagi dengan kemacetan. Aaliya harus tetap menjaga kesehatan agar melakukan perjalanan dalam kondisi yangfit.Aaliya memin