Flashback on
Tak biasanya Ayah menyuruh kami berkumpul setelah sarapan pagi, karena biasanya kami akan melakukan kegiatan masing-masing setelah selesai sarapan. Saat itu Ayah menyuruh kami semua berkumpul di ruang keluarga.
"Ada yang ingin aku sampaikan pada kalian semua, khususnya padamu, Nak." Ayah menepuk bahuku. Aku mendengarkannya dengan saksama.
"Ayah telah memilihkanmu perempuan yang baik untuk kau jadikan seorang istri. Rencananya pagi ini Ayah akan datang ke rumah keluarganya untuk membicarakan pernikahanmu dengannya."
Semua yang ada di sana, Ibu, Bibi Maula, Vishal, Aaliya, tampak terkejut sekaligus tersenyum.
"Kaushalya, kau ikutlah denganku." Ayah mengajak Ibu, dan Ibu mengangguk.
"Kakak akan menikah? How is she?" Aaliya, adikku, dia menyenggol lenganku dengan kegenitannya. Sedang aku masih terpaku mencerna kalimat yang baru saja Ayah katakan.
"Perempuan yang Ayah pilih adalah yang terbaik untukmu. Percayalah. Ayah yakin..."
"Bagaimana bisa? Bagaimana bisa Ayah dengan sangat mudah melakukan ini? Tiba-tiba bilang akan menikahkanku dengan seorang perempuan yang bahkan aku tidak tahu dia siapa, bagaimana sifatnya, dari keluarga siapa? Aku tidak bisa menerima ini. Tidak bisa!"
"Pelankan suaramu!" Suasana berubah menjadi lebih menegangkan.
"Apa yang sudah menjadi keputusanku. Itulah yang akan dilakukan. Kau akan menikah dengan gadis yang Ayah pilih. Ayah sudah mengenal baik dirinya."
"Ayah, aku tidak bisa dan aku tidak ingin!"
"Usiamu sudah sepantasnya menikah. Sudah Ayah putuskan, kau hanya akan menikah dengan gadis pilihan Ayah. Sudahlah, Kaushalya, ambilkan tas-ku." Ibu segera membawakan tas Ayah. Dan aku masih berdiri di tempat yang sama dengan tatapan marah di mataku.
"Ayah! Aku sudah memiliki perempuan yang ingin aku nikahi!" Ayah menoleh dan berjalan mendekatiku sehingga jarak kami hanya beberapa senti saja.
"Katakan lagi!"
Aku tidak bisa mengontrol kekesalanku dan aku mengucapkan sesuatu yang seharusnya tidak kuucapkan.
"Aku punya pacar dan aku ingin menikahinya." Ayah terdiam dengan wajahnya yang sulit kujelaskan.
"Camkan satu hal. Tinggalkan gadis itu, dia tidak baik untukmu! Dia mau menjadi pacarmu. Dan... aku tidak ingin memiliki menantu yang sama sekali aku tidak ketahui."
"Aku pun tidak ingin memiliki istri yang sama sekali tidak aku kenali! Aku belum tentu mencintainya."
"Lupakan tentang cinta. Itu akan datang kemudian. Keputusanku satu. Kamu akan menikah dengan pilihan Ayah, dan tinggalkan gadis itu bagaimana pun caranya. Sudah. Aku tidak ingin berdebat lagi. Hari ini kau harus ke kantor dan jangan bawa emosi ini dalam pekerjaan!"
Aku masih berdiri dan menatap Ayah dengan kemarahan yang tak bisa kubendung. Kecewa, sakit hati, dan kesal menjadi satu. Semua yang di sana bubar dan bersikap seperti melupakan apa yang sudah terjadi.
Flashback off
"Begitulah ceritanya. Saat itu, aku mengambil kunci mobilku dan keluar tanpa pamitan terlebih dahulu. Aku tahu sikapku itu tak baik, tapi aku kesal dengan semuanya, mengapa tak satu pun yang membelaku? Mengapa..." Kulihat Naisha perlahan-lahan meneteskan air matanya yang sejak tadi dia tahan.
"Aku.... Aku...." Naisha tidak melanjutkan perkataannya dia hanya menunduk dan menangis pelan. Aku bingung harus bagaimana dan harus berkata apa lagi.
"Nay, aku pun tak ingin pernikahan ini terjadi, aku hanya mencintaimu. Akan aku katakan pada ayah bahwa aku hanya akan menikah denganmu bagaimana pun caranya."
"Tidak."
"What?"
"Tidak! Jangan kau batalkan pernikahanmu, apa yang sudah orangtua kita putuskan itu yang terbaik. Ayahmu melakukan ini demi kebaikanmu. Kamu... pasti bahagia." Naisha semakin menahan tangisannya, dan aku tak percaya dengan jawabannya yang seperti itu.
"Kau menyerah? Kau menyerah begitu saja? Membiarkanku menikahi gadis lain? Nay, aku mencintaimu, dan kau mencintaiku, kita bisa berusaha untuk meyakinkan Ayahku. Aku yakin Ayahku akan mempertimbangkan..."
"Apanya yang harus dipertimbangkan? Ayahmu sudah memutuskan dengan pasti, bahkan tadi kau bilang, hari ini, pagi tadi ayahmu akan menemui keluarga calon istrimu. Apalagi yang harus dipertimbangkan?"
"Hah. Naisha yang kukenal dia tidak pernah menyerah, dia selalu..."
"Aku pun akan menikah. Aku juga akan menikah dengan pria lain, jadi kita sudah imbang, kau menikah dengan gadis itu dan aku menikah dengan pria lain." Tiba-tiba Naisha dengan enteng mengatakan itu di hadapanku.
"Are you kidding me? No! Kamu berbohong! Kamu berbohong agar aku setuju menikah dengan gadis itu. Ayolah, Nay, kita perjuangkan cinta kita yang sudah kita bangun selama ini. Kita tidak akan menyerah kan?" Aku masih bersikeras meyakinkannya.
"Itu benar. Aku akan menikah dengan pria lain. Sudah tak ada yang perlu kita perjuangkan dengan hubungan ini."
"Nay..."
"Zaidan!"
Aku terperanjat mendengar kata terakhir yang dia ucapkan, dia menyebut namaku dengan suara yang lantang. Aku semakin tak bisa menahan kemarahanku.
"Oke. Baiklah. Jadi kau menantangku, hah? Baik. Akan kuterima tantanganmu."
"Zaid...."
"Sstt!! Dengarkan baik-baik. Aku hanya akan menikah pada hari di mana kau pun akan menikah!"
Aku muak dengan semuanya, termasuk Naisha. Kuambil kunci mobilku dan kutinggalkan Naisha yang masih berdiri kaku tanpa kukatakan apapun lagi.
*
Author's POV
Naisha berdiri membisu menyaksikan Zaidan yang pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun, selain kalimat terakhirnya yang begitu menyakitkan.
Bagaimana mungkin dia akan menikah di hari yang sama dengan pernikahan Zaidan? Itu yang dipikirkan Naisha kemudian. Bahkan apa yang Naisha katakan tentang rencananya menikahi pria lain, itu bohong. Dia berkata seperti itu agar Zaidan berhenti memaksakan hubungan ini. Naisha sebenarnya tak ingin menyerah, tapi semua tanda-tanda ini seakan menyadarkannya bahwa Zaidan bukanlah laki-laki yang terbaik untuknya, bukan jodohnya. Meski dalam hati kecil Naisha masih mengharapkan Zaidan kembali dan bilang bahwa ayahnya telah menyetujuinya menikah dengan Naisha. Tetapi harapan itu bagaikan pulau sudah lenyap daratan sudah tenggelam, sudah tidak ada harapan sama sekali. Naisha menyerahkan semuanya pada takdir Allah dan berdoa agar permasalahan ini akan mendatangkan hikmah dan semakin mendekatkan dirinya pada Allah.
Sejenak Naisha berpikir, mungkin ini yang Allah tunjukkan, bahwa hubungan yang sudah dia jalin dengan Zaidan tanpa ikatan yang halal adalah kesalahan yang sangat besar. Selama apapun hubungan, sebesar apapun cinta, sekuat apapun komitmen, jika dalam hal yang Allah larang, maka tentu saja tidak Allah ridhoi. Dan memang benar bahwa pacaran tidak menjamin kau akan berjodoh dengannya. Naisha menyesalinya, dia ingin meminta maaf dan berterus terang pada ayahnya yang selama ini ia bohongi.
Naisha berjalan keluar dari tempat yang akan memberikan kenangan manis dan buruk sekaligus kala dia melihatnya. Tempat di mana Naisha dan Zaidan saling berbagi kesenangan, kesedihan, dan segalanya, serta menjadi tempat di mana Naisha dan Zaidan sudah bukan siapa-siapa lagi.
*
Zaidan mengendarai mobilnya dengan perasaan marah yang menggebu, dia tak habis pikir dengan apa yang telah dia dengar dari Naisha. Dia sendiri yang mengatakan bahwa dia akan menikah dengan pria lain. Zaidan berpikir dia bukan pria bodoh yang mudah dibohongi begitu saja. Dia yakin bahwa dirinya masih menjadi pria satu-satunya yang Naisha harapkan.
***
Naisha sampai di rumahnya dengan perasaan dan pikiran yang kacau. Berpikir cara untuk mengatakan segalanya pada ayahnya. Sedang di sisi lain, Zaidan masih memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Zaidan akan terima 'tantangan' Naisha.Satya Elfaruq sedang bersama putri bungsunya, Akira, yang terus saja memaksa Satya untuk segera menyampaikan apa yang akan dia katakan, sesuai dengan janjinya sebelum dzuhur tadi."Papa..Tell me now, please.""Nanti saja kita tunggu kakakmu pulang." Satya tetap asyik membaca buku di meja kerjanya, tanpa menghiraukan Akira."Papaa...""Akiraa..."Tak lama kemudian, Naisha datang deng
Pertanyaan yang tak pernah terpikirkan oleh Zaidan dan Naisha, maka dengan sigap mereka berdua menjawab bersamaan namun dengan jawaban yang berbeda.Zaidan: "Tidak!"Naisha: "Ya."Zaidan terlihat santai dan puas mengatakannya, berbeda dengan Naisha. Semua orang tampak heran dan terkhusus Akira merasa ada sesuatu yang aneh, tapi dia tetap berpikir positif.Naisha segera meralat ucapannya, "Maksud saya, nanti ketika Zaidan menikah dengan adik saya, pasti saya akan mengenal Zaidan. Hehe. Lagipula tadi kan Pak Mahesh sudah memperkenalkannya kepada kami." Dalam hati, Naisha merasa kecewa dengan sikap Zaidan yang seakan tidak memedulikan dirinya lagi. Saat ini, yang bisa dia lakukan hanyalah pasrah dengan keadaan. Suasana kembali seperti bi
Zaidan's POVKurang dari lima detik aku menatap Akira yang hanya menunduk."Tadi saya belum mendoakanmu. Bolehkah saya menyentuh kepalamu sekarang?" Dia hanya mengangguk tanpa melihatku. Kuberanikan diri untuk menyentuh ubun-ubunnya dan mengucapkan doa.Allahumma inni as aluka khoiro haa wa khoiro maa jabaltahaa 'alaihi wa a'udzubika min syarri haa wa syarri maa jabaltahaa 'alaih.(Yaa Allah... Sungguh aku meminta kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan yang Engkau ciptakan atasnya dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya dan keburukan yang Engkau ciptakan atasnya.HR Abu Dawud, No. 2160, dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Suna
Akira's POVAku terbangun di sepertiga malam terakhir. Kulihat Zaidan masih tertidur pulas. Ingin rasanya kubangunkan dia dan mengajaknya shalat tahajjud bersama, tetapi kuurungkan niatku. Aku berdoa, berharap agar suatu hari nanti aku bisa merasakan bagaimana menjadi seorang istri yang 'seutuhnya'. Satu hal lagi yang aku sadari bahwa perjodohan tidak semudah yang kupikirkan dan tidak seindah yang Papa katakan.Aku masih duduk di atas sajadah dan air mata tak dapat kubendung lagi, perasaan apakah ini? Apa ini kelemahan atau kekuatan? Harapan atau ke-putusasa-an?Zaidan,why?*Pagi pertama di rumah baruku, suasana baru, keluarga baru, mengharus
Author's POVSuara orang sedang mengaji melaluiloudspeakermembangunkan Akira, kira-kira jam setengah empat kurang. Saat dia akan bangun, dia merasakan ada tangan yang menyentuh badannya tentu saja Akira masih memakai selimut dan pakaian lengkap. Akira kaget dan tak menyangka bahwa tangan itu adalah milik suaminya, Zaidan. Tanpa membangunkannya Akira memindahkan tangan Zaidan dengan pelan-pelan dan segera bangun untuk menunaikan shalat tahajjud. Perasaan aneh mengacaukan pikirannya, entah harus senang atau sebaliknya, tapi yang jelas Zaidan melakukannya karena dalam keadaan tidur bukan sepenuhnya sadar. Kenyataan itu sedikit menyisakan rasa sesak di dada. Akira tersenyum memandangi wajah suaminya yang teduh itu sampai ada gerakan yang menandakan Zaidan terjaga, Akira segera memalingkan wajahnya.
Akira memandang indahnya pagi dari jendela kamar setelah semalaman hujan, dia berpikir, sebenarnya kehidupan apa yang sedang dia jalani? Menikah bersama orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Dipersatukan dengan laki-laki yang sebenarnya mencintai perempuan lain. Sikap Zaidan yang tidak terbuka dan tidak hangat padanya. Akira hanya berharap dan berdoa semoga Allah menyimpan hikmah indah di balik semua ini.Zaidan tidak menyapa Akira sama sekali. Akira yang tak berminat untuk berbicara pun sama-sama terdiam. Tidak, dia tidak marah pada Zaidan, dia hanya tidak ingin memperkeruh suasana, maka diam adalah pilihan terbaik baginya. Mahesh dan keluarga berangkat bersama menggunakan dua mobil, salah satu mobil dikemudikan Zaidan. Mahesh yang ikut di mobil yang sama dengan Akira, memerhatikan tingkah Zaidan yang begitu dingin. Mahesh paham dengan keadaan ini, dan dia yakin seiring berjalannya w
Hari demi hari, minggu demi minggu, Akira jalani kehidupan palsunya ini, palsu bukan dalam arti sebenarnya, yang Akira maksudkan adalah apa yang dia tampilkan dan apa yang dia rasakan sangat jauh berbeda. Demi menyenangkan keluarganya maka Akira selalu mencoba untuk bersikap seakan semuanya baik-baik saja. Sejauh ini tak pernah ada pertengkaran apapun antara mereka, karena jangankan untuk bertengkar, untuk saling mencurahkan perhatian pun hanya sebatas apa yang telah mereka sepakati seperti saat hari pertama setelah menikah.Seperti salah satu contohnya, saat Akira bertanya pada Zaidan mengenai diizinkan atau tidaknya Akira untuk kuliah lagi, Zaidan justru mendukung agar Akira memiliki kesibukan lain yang secara tidak langsung sebagai salah satu cara yang Zaidan harapkan agar bisa mengobati rasa sakit apapun yang Akira rasakan setelah menikah. Zaidan tak ingin menyakiti Akira semakin lam
Zaidan pulang dari kantornya lebih awal, yaitu setelah menunaikan shalat ashar. Dia parkirkan mobilnya seperti biasa dan masuk ke dalam rumah. Akira mengenakan pakaian yang dulu Zaidan berikan lengkap dengan kerudungnya. Akira tersenyum dengan manis meski rasa kecewa masih ada, dia yakin pasti bisa. Membawa segelas air dan mengambil tas Zaidan."Zaid, bagaimana urusan kantornya, lancar?" Zaidan tak yakin dengan apa yang Akira tanyakan. Zaidan berpikir ada apa dengan Akira hingga menanyakan urusan kantornya, sebelumnya tidak pernah begitu."Semuanya baik-baik saja." Jawaban yang tidak Akira harapkan. Bukan Akira tak ingin pekerjaan Zaidan baik-baik saja, namun Akira berharap Zaidan akan sedikit lebih terbuka dan menceritakan apapun. Akira cukup sabar menghadapi Zaidan."Hm...A
Tiga tahun berlalu, banyak cerita dan peristiwa terlewati mendewasakan diri. Kini anak kecil bernama Zafran Athar telah dibawa Aaliya pergi ke luar kota karena ia telah hidup mapan bersama suaminya, Harry. Mahesh Athar semarah dan sekeras apapun rasa kecewa pada Aaliya, ia tetap sadar bahwa Aaliya adalah putrinya yang dulu sangat dirindukan kehadirannya. Mahesh telah memaafkan dan merestui pernikahan Aaliya dengan Harry.Akira dan Zaidan masih terus berusaha dan ikhtiar agar segera diamanahi malaikat kecil anugrah terindah dalam keluarga kecil mereka. Mereka berdua rutin memeriksakan diri ke dokter spesialis kandungan, dan keduanya tidak ada, masalah apapun. Akira dan Zaidan hanya perlu bersabar biarkan waktu yang menjawab. Akhir tahun ini, Zaidan telah merencanakan liburan berdua selama dua minggu ke Eropa. Seperti impian Akira yang ingin menjelajahi langsung peradaban Eropa yang semasa kuliah menjadi salah satu mata kuliah favoritnya. Studi S2 Akira pun telah selesai. J
Akira sudah dipindahkan ke ruang inap pasien. Selepas shalat dhuha, Zaidan menunggu Vishal membawa beberapa baju untuknya dan sekaligus membawa sarapan. Zaidan memperdengarkan Akira bacaanmurottalAl-Quran. Ia menunggu Akira siuman dari anestesinya.Perawat yang memeriksa Akira menginformasikan bahwa Akira sudah bangun dan sudah boleh diajak berbicara.Zaidan memegang lembut tangan Akira. Dia membisikkan sesuatu padanya."Assalamu'alaikum,Istriku." Diciumnya kening dan tangan Akira. Seketika Akira menangis."Wa'alaikumsalaam...Maafkan aku." Butiran air mata membasahi wajahnya yang pucat."Ssttt... Kita akan lalui semuanya bersama. Kam
Apakah ini ujian atau teguran?Sakit rasanya, menyadari bahwa ia tak bisa kusapa di dunia ini.Dan ia tak bisa menyapaku.Tapi aku sesekali merasakan gerakannya yang aktif di waktu-waktu yang tak menentu.Maaf, karena Bundamu tak mampu menjagamu sebagaimana mestinya.Tunggu Bunda di sana, ya.Allah begitu menyayangimu dan Bunda.~Akira ElfaruqZaidan melaksanakan shalat maghrib dan kembali memeriksa keadaan istrinya. Proses kuretase berjalan dengan lancar, meski sebelu
Naisha telah melahirkan dengan lancar dan selamat. Naisha juga dalam keadaan sehat. Rencananya esok baru bisa pulang ke rumah. Vishal terharu, pria yang selalu terlihat ceria, kini tampak menangis haru tatkala menggendong bayinya untuk pertama kalinya. Ia sendiri langsung mengadzani anaknya. Akan ada seorang tuan putri di rumah Vishal dan Naisha. Tak diragukan bayi Vishal akan sangat disayangi oleh Maula, neneknya, karena ia begitu menantikan kehadiran cucunya ini.Mahesh menyuruh Zaidan untuk pulang duluan bersama Akira, ia begitu perhatian kepada menantunya agar tidak terlalu kelelahan. Zaidan menuruti perkataan ayahnya. Setiap langkah Zaidan akan dengan sigap menggandeng istrinya, memastikan bahwa Akira dan bayinya selalu aman.Zaidan menyadari terdapat mobil Harry Fawaz di sana. Seketika pikiran negatif muncul menghinggapinya. Menga
Akira merekam proses syukur-anaqiqahkeponakannya melalui videocall, sehingga dapat dilihat oleh keluarga besarnya yang tak bisa hadir secara langsung. Sandhya dan Riza mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian dan doa yang diberikan. Semua kiriman hadiah yang dipaketkan pun sudah diterima oleh Riza. Sambil videocallitu berlangsung, Riza dan Sandhya membuka satu per satu hadiahnya. Sedangkan Zaidan menggendong bayi mereka. Mereka semua hangat sekali berbicara satu sama lain.Puas melakukan videocalldua jam lamanya. Akhirnya Riza meminta izin mengakhiri obrolan mereka ini, karena akan membagi-bagikan makanan kepada warga sekitar dan anak yatim, dibantu Zaidan.Sementara Akira membereskan rumah, Sandhya justru melarangnya, karena ia sudah menyewa jasa orang
Akira dan Zaidan sampai di rumah Riza dengan aman dan selamat. Rumah yang cukup sederhana namun nyaman ini diberikan oleh perusahaan tempat Riza bekerja, sebagai tempat tinggal sementara selama kontraknya berlangsung.Cuaca yang tak kalah panasnya dengan Jakarta membuat mereka berdua tak tahan ingin segera membersihkan diri. Sembari menunggu Zaidan selesai mandi, Akira membereskan barang bawaannya, menyiapkan pakaian untuk Zaidan, kini ia sudah tak terlalu marah lagi pada Zaidan, meskipun rasa kesal masih ia rasakan.Akira tak tahan merasakan sakit kepala yang teramat sangat. Ia berpikir sepertinya ini hanyalah efek perjalanan saja, Akira tak terlalu mempedulikan hal itu. Akira berbaring mencoba meredakan rasa sakit."Sayang? Kamu kenapa?"
Naisha menggandeng tangan Akira. Mereka bercerita banyak hal, sampai tak sengaja obrolan tentang masa lalu kembali terbahas."Aku bahagia melihat kamu sama Zaidan harmonis banget." Akira hanya tersenyum."Aku berharap kalian selamanya seperti ini, tak ada lagi halangan apapun yang membuat hubungan kalian terganggu.""Aamiin...Semoga kakak juga dan Kak Vishal selalu harmonis, penuh dengan kebahagiaan dan cinta.""Aamiin...Aku sempat dengar dari Vishal, kalau Yumna pernah datang ke kantor waktu perusahaan Zaid sedang ada masalah saat itu." Akira terlihat mengernyitkan dahi."Aku gak tahu lebih jelasnya bagaimana, tapi Yumna sempat datang dan berbicara berd
Setelah lelah perjalanan mengantar Aaliya, Zaidan dan Akira santai berdua di pekarangan belakang rumah, di situ terdapat sebuah ayunan menghadap kolam ikan kecil yang sekelilingnya banyak tanaman bunga. Zaidan berinisiatif untuk menghubungi kakak iparnya, Riza, melalui videocall.Di sebrang sana nampak keceriaan Riza meskipun baru pulang kerja. Ada Sandhya yang sedang hamil besar duduk di sampingnya.Seperti biasa mereka saling mengucapkan salam, slaing mendoakan kebaikan, menanyakan kabar, dan mengobrolkan topik ringan."Dokter perkirakan akhir April, Ra. Tapi yang pastinya belum tahu kapan." Suara Riza di sebrang sana."Ini juga sudah persiapan kok, semua yang diperlukan ketika aku ke bidan nanti." Disusul Sandhya melengkapi kalimat suaminya.
Dua hari sebelum keberangkatan, Akira menemani Aaliya untuk menyiapkan berbagai keperluan yang dibutuhkan. Berbelanja beberapa kerudung dan gamis, membeli makanan ringan untuk bekal perjalanan, sampai hal kecil lainnya. Dua kopor besar dan satu ransel yang akan menemani Aaliya terbang dari Jakarta menuju Palembang.Tiket sudah berada di tangan. Waktu tempuh menggunakan pesawat tidak lebih dari tujuh puluh menit, kemudian dari Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II menuju kampus yang dituju pun hanya memerlukan waktu sekitar satu jam. Tidak terlalu lama, namun meskipun begitu jarak dari rumahnya menuju Bandara Soekarno-Hatta pun cukup jauh, apalagi keadaan jalanan Jakarta yang sudah tak asing lagi dengan kemacetan. Aaliya harus tetap menjaga kesehatan agar melakukan perjalanan dalam kondisi yangfit.Aaliya memin