Pergi sana, cari cinta sejatimu!" teriakku histeris kepadanya. Entah dia dengar atau tidak, sebab dia sudah keluar apato setelah berhasil mengambil kesempatan lagi.
Ih, aku membersihkan bekas ciumannya di pipi. Dia memang tak melanggar perjanjian, karena semalam sepertinya aku baik-baik saja meski tidur di sebelahnya, tapi dia sudah dua kali menciumku. Pertama saat menikah, dan yang baru saja terjadi. Dasar mesum!
Sho sialan! Aku sudah tahu perangainya yang senang seenaknya kepadaku. Sialnya sekarang aku terlibat permainan dengannya.
Tapi aku tak mau kalah. Aku akan lawan sekuat tenagaku. Untuk mendinginkan kepala, aku harus mandi. Barangkali juga dengan mandi, bekas-bekas ciumannya luntur dari wajahku.
Aku lekas ke kamar mandi. Segera kutanggalkan baju dan berendam di dalam bathub. Sho memang pria yang apik dan rapi. Semua sudut apato ini tertata rapi. Termasuk kamar mandi yang bersih dan wangi.
Aku tahu, ia lebih sering tinggal bersama Ojisan, tinggal di apato ini hanya sesekali di saat ia sedang banyak pekerjaan. Tapi semua sudut apato tak ketemukan debu secuil pun, termasuk kamar mandi ini.
Inilah salah satu sebab aku senang tinggal di apato ini. Bersih, juga bergaya minimalis, yang terpenti g juga, jauh dari Ibu dan Otousan. Jadi mereka tak akan tahu sandiwara kami.
"Tadaima-aku pulang!"
Tiba-tiba saja suara Sho terdengar dari ruang tamu. Aneh, padahal dia belum lama keluar, mengapa cepat kembali.
"Nares-chan, kau di mana?"
"Aku sedang mandi!"
Aku berteriak sambil memainkan busa di bathub.
Heh, untuk apa dia berteriak-teriak memanggiku, sesuatu yang penting, kah?
"Nares, cepat keluar, ada hal penting yang ingin aku bicarakan!"
"Cotto matte-tunggu sebentar. Aku baru saja mandi!"
Kuselesaikan mandiku dengan tergesa. Padahal aku masih ingin memanjakan diri, berendam dalam bathub. Segera saja kukenakan piyama handuk.
"Ada apa?" tanyaku kepadanya, setelah aku sampai ruang tamu. Dia tampak sedang membuka ponselnya. Tapi bukannya menjawab pertanyaanku dia malah termangu melihatku.
"Sho-kun, doshiteno - ada apa?" Aku mendekatinya, seraya mengeringkan rambutku dengan handuk kecil. Aku penarasan dengan ekspresi wajahnya yang aneh menatapku.
"Heh, bengong!" sentakku. Dia mengerjap.
"Ah, tidak, eh … kau habis cuci rambut?"
Aku mengangguk. "Ada yang aneh? Atau aku tidak bersih membilasnya?" tanyaku cemas.
Dia menggeleng, kemudian beranjak mengambil air mineral.
"Tidak, cuma rambutmu berantakan begitu, tampak seperti nenek sihir!"
"Heh! Baka! " Aku mengepalkan tangan kuat-kuat. Sial, kupikir apa, ternyata sebuah ejekan konyol. Aku beranjak bangkit untuk berganti pakaian ke kamar.
"Tunggu!" tahannya, dia lantas mendekatiku, duduk di sebelahku.
"Apalagi?" tanyaku ketus. Aku sudah pasang kuda-kuda, kalau dia mau menjahiliku lagi.
"Tadi kan aku bilang ada sesuatu yang penting!"
"Iya, hal penting apa?"
"Besok kita ke Kamiyama!"
Aku mengernyitkan dahi. "Kamiyama? Untuk apa?"
"Bulan madu kita, Ojisan yang sudah mengaturnya."
"Heh?" Aku membelalakkan mata. "Bulan madu apa? Kita saja tidak melakukan pernikahan yang sebenarnya, kan?"
"Itu versimu, versi kita, tapi bagi Ojisan, kita menikah, dan dia memberi kita hadiah bulan madu di Kamiyama, di sebuah ryokan (penginapan bergaya tradisional)milik kolega Ojisan."
Aku menggaruk kepala yang tak gatal.
"Iya, terus kenapa bulan madu harus ke Kamiyama, kenapa bukan ke Korea, Eropa, Amerika, atau sekalian saja ke Indonesia, kenapa ke Kamiyama?"
Sho hanya menggedikkan pundaknya. Wajahnya pun menyiratkan kebingungan yang sama denganku. Aku menghela napas. Kadang Ojisan memang absurd, memberi sesuatu yang tidak dimengerti. Hampir sama anehnya dengan Ibu.
"Ya sudah, kalau begitu kita bersiap dari sekarang, bukan masalah bagi kita, bukan? Asalkan kau jangan ambil kesempatan!"
"Tapi bukan hanya kita berdua yang ke Kamiyama."
Sho berkata lirih. Seketika aku mencium aroma tak enak dari ucapannya.
"Ma-maksudmu? Tunggu, jangan bilang Ojisan ikut kita ke Kamiyama!"
Sho mengangguk lemah.
"Sayangnya tebakanmu tepat. Ditambah kedua orang tuamu, dan Bibi Miyazaki ikut serta dalam rombongan bulan madu kita."
Aku tersenyum kebas, seluruh peredaran darahku seolah terhenti. Tuhan, aku mau pingsan saja. Setelah siuman, aku berharap Kak Alex yang berada di sisiku.
"Lantas apa yang akan terjadi selanjutnya?" tanyaku panik.
"Entahlah."
"Ayolah, berpikir. Apa-apaan ini, bukan bulan madu namanya kalau semua anggota keluarga ikut serta, itu sih trip keluarga! Kita bakal enggak leluasa di sana!"
Aku membayangkannya saja tidak berani. Bagaimana nanti jika mereka tahu kalau aku dan Sho tampak kurang mesra? Apalagi ada Bibi Miyazaki yang sangat usil, dia paling senang meledek pasangan pengantin baru.
Padahal aku sudah senang Ibu mengizinkan Sho membawaku ke apatonya, juga tidak tinggal di rumah Ojisan, artinya kami leluasa menjalankan perjanjian pranikah.
Jantungku berdebar lebih kencang. Aku menyandarkan tubuh ke sofa.
"Terus bagaimana nasib kita?" tanyaku lemas.
Sho menghela napasnya berat. "Kita pikirkan nanti saja, kau ganti baju dulu sana!"
Aku menggeleng. "Tapi aku tidak tenang kalau belum dapat solusinya. Aku khawatir permainan kita terbongkar!"
"Kau ganti baju sana, dulu. Pakai piyama handuk seperti ini, justru aku yang khawatir khilaf!"
Seketika kulemparkan tatapan bengis kepadanya.
"Dasar mesum! Awas berani macam-macam denganku!" ancamku keras.
"Maka itu, cepat ganti pakaianmu dengan yang lebih sopan, jika tak ingin aku berbuat mesum lagi!"
Kutoyor saja tubuhnya, lalu segera aku masuk ke dalam kamar. Saat ini aku sedang tak berselera untuk mencak-mencak kepadanya. Urusan ke Kamiyama besok sungguh mengganggu kewarasanku.
Tuhan, aku berharap ini hanya mimpi. Siapapun, lekas bangunkan aku!
Kepalaku pening! Kami berada di bus, melaju menuju Kamiyama, sebuah kota kecil di Prefektur Tokushima, di Pulau Shikoku. Ojisan menyebutnya surga di selatan Jepang. Entah semenarik apa kota kecil tersebut. Kupikir adakah tempat yang bisa menyangingi keindahan Arashiyama? Jika ada, aku bertaruh untuk makan ramen dengan sepuluh sendok cabai! Ojisan menyewa bus yang cukup mewah. Tempat duduk nyaman, mini bar, karaoke, makanan enak, toilet luas, juga beserta para pelayan. Tapi bagiku ini konyol. Bulan madu macam apa ini, semua tampak lebih mirip rombongan wisata. Ojisan, Ibu, Otousan, d
Sho menatap keluar jendela. Ia menerawang, kalau boleh aku menebak, mungkin ia terbawa masa lalunya. Tadi saat baru sampai ryokan ini, dia mengatakan ini adalah ryokan pertama milik Ojisan, dan banyak kenangan bersama mendiang ayahnya Sho. Terkait kenangan dengannya juga kah? Aku beranjak mendekatinya, berdiri di sisinya. "Kau teringat sesuatu?" tanyaku lirih. Dia menoleh ke arahku, menghela napas berat. "Aku tak pernah menyangka Ojisan
"Summimasen - permisi, Mizobata-san, makan siang sudah siap." Suara salah satu nakai-pegawai ryokan dari luar pintu mempersilakan kami untuk makan.Kami langsung melepaskan pelukan. Jujur saja, aku seketika merasa canggung, begitu juga dengannya. Sejurus kemudian Sho berusaha menguasai diri. Seolah tak terjadi apa-apa di antara kami."Baik, sebentar lagi kami keluar," jawab Sho."Cepat kenakan yukata, kita sudah ditunggu Ojisan."
Aku mengayuh sepeda semakin kencang, berusaha mengejar ketertinggalanku darinya. Sepeda Kak Alex melesat jauh di depanku. Sesekali dia menoleh ke belakang, terseyum lebar, menampakkan geliginya yang rapi. Aku mengulum senyum, rasa lelah seperti tak kumiliki, meski peluhku sudah membasahi tubuh. "Ayo, kejar aku!" teriak Kak Alex, lalu tertawa kencang. Mata birunya berkilauan diterpa cahaya mentari. "Awas, ya, aku pasti bisa mengejar!" Aku berteriak penuh semangat. Kucepatkan lagi laju sepedaku, meski aku masih tertinggal sekitar lima meter di belakangnya. Di sepanjang taman kota ini, kami bersepeda, di bawah kanopi sakura yang tengah bermekaran, merah jambunya, serupa dengan wajah dan hatiku saat ini. Terasa magis sekali memang, aku bersama pria yang selama ini hanya dapat kukhayalkan saja. Sekarang tampak nyata d
Mizobata Sho, pria yang menikahiku kemarin pagi. Kami menikah juga karena perjodohan orang tua, lalu kami pun menjalaninya dengan sebuah surat perjanjian. Wajahnya memang tampan. Seperti umumnya orang Jepang, kulitnya putih bersih, mata sipit, dan berperawakan tinggi atletis. Tulang hidungnya tinggi di atas wajah tirusnya. Tapi siapa yang sangka mulutnya sepedas cabai setan. Seperti hari ini, seenaknya dia mengatakan aku kerbau, memencet hidungku, dan kurang ajarnya dia hadir di dalam mimpi indahku! Dengan malas aku turun dari tempat tidur, kuikat rambut yang berantakan ini. Begitu pintu kamar kubuka, aroma lezat terhidu di penciumanku. Aroma nasi goreng seketika membuat perutku keroncongan. Aku menuju dapur, ternyata pria perusak mimpi yang sedang
Kau sudah tahu, ya, kalau kita dijodohkan?" tanyaku tajam pada Sho. Setelah rapat keluarga malam tadi, paginya aku segera menghubungi Sho.Kami bertemu di Arashiyama Park. Menurutku jauh lebih baik bertemu di luar, daripada di rumah. Apalagi untuk membicarakan hal sensitif seperti ini. Sebenarnya tidak terlalu canggung bertemu dengannya, mengingat aku dan dia sudah berteman sejak kecil. Waktu kecil hingga remaja, Sho tinggal di Jakarta, rumah kami bersebelahan. Ayahnya dan ayahku berasal dari Kyoto, sehingga hubungan antar keluarga juga sangat akrab. Kemudian setelah dia beranjak dewasa, orang tuanya mengalami kecelakaan pesawat, dia pun kembali ke Kyoto tinggal bersama kakeknya. Kami memang sudah mengenal karakter masing-masing, tapi rasanya jika menjadi istrinya, bukan sebuah pilihan menarik. Big No
POV Sho Kimura Nareswari, apa aku sudah gila? Apa aku benar-benar gila? Aku akan menikah dengannya. Semua ini terjadi atas kehendak Ojisan. Sedari kecil aku tak pernah membangkang pada apa yang telah Ojisan putuskan. Hanya Ojisan yang aku miliki, setelah Otousan dan Okaasan tiada. Jadi aku hampir selalu menuruti keputusannya, meski sering bertentangan denganku. Seperti malam kemarin. Aku baru pulang kerja, Ojisan mengajakku minum teh di ruang makan yang menghadap taman belakang. Kami duduk berhadapan, beralas tatami - tikar anyaman rotan- dengan meja rendah yang terhidang perangkat minum teh dan wagashi sebagai kue pelengkapnya. Aku duduk bersimpuh dengan posisi badan tetap t
Tepat di usiaku yang keduapuluh enam lebih dua hari, aku menikah. Pengantin perempuan yang berdiri di sebelahku adalah Kimura Nareswari. Resmi sudah aku menjadi suaminya, meski melalui perjodohan yang konyol. Ojisan berpesan padaku, bahwa aku harus merebut hatinya. Sangat mudah bagi perempuan untuk mencintai laki-laki setelah menikah. Selama pria tersebut berbuat baik, cinta akan datang dengan sendirinya. Aku menuruti nasihat Ojisan, meski tak terlalu yakin itu bisa terjadi pada Nares. Sebab selama ini, hanya Alex yang ada di pikirannya. Pesta pernikahan kami pun diadakan di taman hotel. Sepanjang hari aku dan Nares melempar senyuman kepada tamu. Meski mereka tak perlu tahu, bahwa selama kami berdiri, Nares terus berbisik kepadaku. Ada-ada saja keluhannya. Mulai dari kakinya yang pegal karena sepatu hak tingginya, wajah yang terasa ber
"Summimasen - permisi, Mizobata-san, makan siang sudah siap." Suara salah satu nakai-pegawai ryokan dari luar pintu mempersilakan kami untuk makan.Kami langsung melepaskan pelukan. Jujur saja, aku seketika merasa canggung, begitu juga dengannya. Sejurus kemudian Sho berusaha menguasai diri. Seolah tak terjadi apa-apa di antara kami."Baik, sebentar lagi kami keluar," jawab Sho."Cepat kenakan yukata, kita sudah ditunggu Ojisan."
Sho menatap keluar jendela. Ia menerawang, kalau boleh aku menebak, mungkin ia terbawa masa lalunya. Tadi saat baru sampai ryokan ini, dia mengatakan ini adalah ryokan pertama milik Ojisan, dan banyak kenangan bersama mendiang ayahnya Sho. Terkait kenangan dengannya juga kah? Aku beranjak mendekatinya, berdiri di sisinya. "Kau teringat sesuatu?" tanyaku lirih. Dia menoleh ke arahku, menghela napas berat. "Aku tak pernah menyangka Ojisan
Kepalaku pening! Kami berada di bus, melaju menuju Kamiyama, sebuah kota kecil di Prefektur Tokushima, di Pulau Shikoku. Ojisan menyebutnya surga di selatan Jepang. Entah semenarik apa kota kecil tersebut. Kupikir adakah tempat yang bisa menyangingi keindahan Arashiyama? Jika ada, aku bertaruh untuk makan ramen dengan sepuluh sendok cabai! Ojisan menyewa bus yang cukup mewah. Tempat duduk nyaman, mini bar, karaoke, makanan enak, toilet luas, juga beserta para pelayan. Tapi bagiku ini konyol. Bulan madu macam apa ini, semua tampak lebih mirip rombongan wisata. Ojisan, Ibu, Otousan, d
Pergi sana, cari cinta sejatimu!" teriakku histeris kepadanya. Entah dia dengar atau tidak, sebab dia sudah keluar apato setelah berhasil mengambil kesempatan lagi. Ih, aku membersihkan bekas ciumannya di pipi. Dia memang tak melanggar perjanjian, karena semalam sepertinya aku baik-baik saja meski tidur di sebelahnya, tapi dia sudah dua kali menciumku. Pertama saat menikah, dan yang baru saja terjadi. Dasar mesum! Sho sialan! Aku sudah tahu perangainya yang senang seenaknya kepadaku. Sialnya sekarang aku terlibat permainan dengannya. Tapi aku tak mau kalah. Aku akan lawan sekuat tenagaku. Untuk mendinginkan kepala, aku harus mandi. Barangkali juga dengan mandi, bekas-bekas ciumannya luntur dari wajahku. Aku lekas ke kamar mandi. Segera kutanggalkan
"Sho-kun, aku sudah tidak tahan lagi!" Nares berkata lirih. Setelah melepaskan sepatunya, kemudian diletakkan pada genkan- ruangan di depan pintu untuk membuka alas kaki, badannya yang sempoyongan rebah di sofaku. "Dame-jangan! Kenapa kau tidur di sini, di kamar sana!" "Aku tak tahan lagi," ujarnya setengah tak sadar, lalu benar-benar pulas seperti bayi. **** Pesta pernikahan kami memang tidak berlangsung lama. Tetapi ternyata ada turunan acara selanjutnya. Setelah istirahat sebentar di rumah Nares, malamnya Ojisan dan ayah mertuaku melakukan perjamuan makan malam untuk kolega ekslusifnya. Tak
Tepat di usiaku yang keduapuluh enam lebih dua hari, aku menikah. Pengantin perempuan yang berdiri di sebelahku adalah Kimura Nareswari. Resmi sudah aku menjadi suaminya, meski melalui perjodohan yang konyol. Ojisan berpesan padaku, bahwa aku harus merebut hatinya. Sangat mudah bagi perempuan untuk mencintai laki-laki setelah menikah. Selama pria tersebut berbuat baik, cinta akan datang dengan sendirinya. Aku menuruti nasihat Ojisan, meski tak terlalu yakin itu bisa terjadi pada Nares. Sebab selama ini, hanya Alex yang ada di pikirannya. Pesta pernikahan kami pun diadakan di taman hotel. Sepanjang hari aku dan Nares melempar senyuman kepada tamu. Meski mereka tak perlu tahu, bahwa selama kami berdiri, Nares terus berbisik kepadaku. Ada-ada saja keluhannya. Mulai dari kakinya yang pegal karena sepatu hak tingginya, wajah yang terasa ber
POV Sho Kimura Nareswari, apa aku sudah gila? Apa aku benar-benar gila? Aku akan menikah dengannya. Semua ini terjadi atas kehendak Ojisan. Sedari kecil aku tak pernah membangkang pada apa yang telah Ojisan putuskan. Hanya Ojisan yang aku miliki, setelah Otousan dan Okaasan tiada. Jadi aku hampir selalu menuruti keputusannya, meski sering bertentangan denganku. Seperti malam kemarin. Aku baru pulang kerja, Ojisan mengajakku minum teh di ruang makan yang menghadap taman belakang. Kami duduk berhadapan, beralas tatami - tikar anyaman rotan- dengan meja rendah yang terhidang perangkat minum teh dan wagashi sebagai kue pelengkapnya. Aku duduk bersimpuh dengan posisi badan tetap t
Kau sudah tahu, ya, kalau kita dijodohkan?" tanyaku tajam pada Sho. Setelah rapat keluarga malam tadi, paginya aku segera menghubungi Sho.Kami bertemu di Arashiyama Park. Menurutku jauh lebih baik bertemu di luar, daripada di rumah. Apalagi untuk membicarakan hal sensitif seperti ini. Sebenarnya tidak terlalu canggung bertemu dengannya, mengingat aku dan dia sudah berteman sejak kecil. Waktu kecil hingga remaja, Sho tinggal di Jakarta, rumah kami bersebelahan. Ayahnya dan ayahku berasal dari Kyoto, sehingga hubungan antar keluarga juga sangat akrab. Kemudian setelah dia beranjak dewasa, orang tuanya mengalami kecelakaan pesawat, dia pun kembali ke Kyoto tinggal bersama kakeknya. Kami memang sudah mengenal karakter masing-masing, tapi rasanya jika menjadi istrinya, bukan sebuah pilihan menarik. Big No
Mizobata Sho, pria yang menikahiku kemarin pagi. Kami menikah juga karena perjodohan orang tua, lalu kami pun menjalaninya dengan sebuah surat perjanjian. Wajahnya memang tampan. Seperti umumnya orang Jepang, kulitnya putih bersih, mata sipit, dan berperawakan tinggi atletis. Tulang hidungnya tinggi di atas wajah tirusnya. Tapi siapa yang sangka mulutnya sepedas cabai setan. Seperti hari ini, seenaknya dia mengatakan aku kerbau, memencet hidungku, dan kurang ajarnya dia hadir di dalam mimpi indahku! Dengan malas aku turun dari tempat tidur, kuikat rambut yang berantakan ini. Begitu pintu kamar kubuka, aroma lezat terhidu di penciumanku. Aroma nasi goreng seketika membuat perutku keroncongan. Aku menuju dapur, ternyata pria perusak mimpi yang sedang