Share

Ciuman Pengantin

Penulis: Puput Sekar
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-21 21:19:00

Tepat di usiaku yang keduapuluh enam lebih dua hari, aku menikah. Pengantin perempuan yang berdiri di sebelahku adalah Kimura Nareswari. Resmi sudah aku menjadi suaminya, meski melalui perjodohan yang konyol.

Ojisan berpesan padaku, bahwa aku harus merebut hatinya. Sangat mudah bagi perempuan untuk mencintai laki-laki setelah menikah. Selama pria tersebut berbuat baik, cinta akan datang dengan sendirinya. Aku menuruti nasihat Ojisan, meski tak terlalu yakin itu bisa terjadi pada Nares. Sebab selama ini, hanya Alex yang ada di pikirannya. 

Pesta pernikahan kami pun diadakan di taman hotel. Sepanjang hari aku dan Nares melempar senyuman kepada tamu. Meski mereka tak perlu tahu, bahwa selama kami berdiri, Nares terus berbisik kepadaku. Ada-ada saja keluhannya. Mulai dari kakinya yang pegal karena sepatu hak tingginya, wajah yang terasa berat dengan riasannya, dan betapa susahnya dia menahan buang air kecil.

"Gaun pernikahan ini membuatku sulit bergerak, perutku mulai tak nyaman, dadaku juga tidak bisa bernapas bebas!" sungutnya dengan berbisik kepadaku.

"Tahan-tahan saja. Pokoknya tunjukkan senyum terbaik kita, agar mereka bahagia."

"Tersenyum sambil menahan pipis? Kau tahu bagiamana rasanya? Tanya padaku!" jawabnya ketus.

"Sabar, sebentar lagi kuantar kau ke toilet."

"Ish! Menikah saja rumitnya seperti ini!"

"Jangan bawel, tetap senyum, oke!"

Aku juga terus tersenyum. Senyum yang aku tak tahu maksudnya apa. Tapi sementara ini aku berusaha menunjukkan kebahagiaan atas pernikahan ini.

"Sho-kun, Nares-chan, kalian belum menunjukkan ciuman sepasang pengantin!" celetuk Bibi Miyazaki. 

Mendengar itu aku dan Nares langsung berpandangan, pias. Kami tersenyum kebas, kemudian kulihat wajahnya menegang.

"Cepat katakan padanya, kita tidak bisa melakukan di tempat umum!" bisik Nares tajam, dia membelalakan matanya.

Aku menggeleng pelan. Sebab setelah celetukan Bibi Miyazaki, para tamu sontak riuh. Mereka ternyata menyepakati usulan Bibi Miyazaki, pelayan restoran milik Tante Widia.

"Kissu … kissu ...kissu…."

Kami tersenyum kikuk pada tamu yang hadir. 

"Ayolah, jangan malu, kalian kan sudah menjadi suami istri!" celetuk Tante Widia, ibu mertuaku.

Aku menatap Nares, dia malah mencubit pahaku diam-diam. Sontak aku meringis kesakitan.

"Anggap saja kita artis yang tengah shooting film. Sebentar saja, agar mereka tak curiga!" bujukku, meski aku dibuatnya gemas.

"Kau jangan ambil kesempatan, ya!" geramnya kesal.

"Bukan aku yang mau!" tukasku sengit.

"Kissu … kissu … kissu." Para hadirin kompak berteriak. 

Nares mulai panik. Aku pun mulai berkeringat. 

"Maksud mereka cium pipi atau bagaimana?" tanya Nares dengan polosnya.

"Baka! Tentu ciuman di bibir yang panjang dan hangat!"

Matanya yang berhias maskara membundar sempurna. "Heeeeeh, cium bibir?!" Dia terkejut sekali.

"Terus gimana caranya? Aku belum pernah!" bisiknya lagi. Suaranya makin terdengar panik.

"Naniii-kenapa! Tinggal cium saja, kenapa masih diskusi segala!" celetuk Bibi Miyazaki. 

"Dengar, kau ikuti saja aku. Sekarang kau hanya perlu memejamkan kedua matamu!" 

Nares akhirnya mengangguk. Aku yakin dia gugup sekali, sama sepertiku yang tak kalah panik. Aku menelan ludah. Kubalikkan badan dan menatap wajahnya. 

Keringat makin deras, membasahi keningku. Tuhan, baru aku menyadari , wajahnya seperti bidadari. Kami saling bertatapan, meski berbagai rasa kecamuk di hati. 

"Pejamkan matamu," bisikku. Dia menurut, matanya terpejam. 

Tanganku kiriku gemetar menggamit pinggangnya. Kudekatkan wajahku ke wajahnya, lalu tangan kananku memegang kepalanya. Bak seorang aktor aku menjalankan akting dengan cukup baik, sebab tidak akan ada adegan ulang, atau itu akan terlihat memalukan.

Sepersekian detik, kudekatkan wajah ini ke wajahnya. Aku menelan ludah. Tuhan, mencium istri sendiri mengapa segugup ini? Lantas dengan cepat kulepaskan kecupan lembut ke bibirnya. 

Riuh tepukan tangan dan teriakan "kawaii" mengiringi adegan ciuma kami. Cepat aku tarik kembali wajahku mundur. Nares lekas membuka matanya, menatapku dengan bengis, tapi wajahnya memerah. Entah malu atau marah, tapi yang jelas kami berhasil menjalankan akting tanpa cela.

"Bibirmu masih baik-baik saja 'kan?" 

Pertanyaan bodoh sebenarnya, tapi itu lebih baik untuk menetralisir perasaanku.

"Baka!" desisnya sengit. 

Kami lalu kembali berpura-pura tersenyum pada para tamu. Para tamu tampak puas dengan apa yang kami pertontonkan barusan. Kulihat Ojisan ikut mengacungkan ibu jarinya kepadaku. Aku tersenyum kebas.

"Sho-kun, gawat!" bisik Nares. 

"Gawat apanya?" Aku menatapnya pias.

"Aku hampir pipis di celana, dari tadi kutahan, tapi sekarang sudah sulit …."

"Aaah, kau ini! Ayo, kuantar ke toilet!"

Dia menggeleng cepat, wajahnya menahan sesuatu. 

"Aku tidak bisa jalan, rasanya kayak udah mau keluar di celana!"

"Heh!" Mataku terbelalak.  

Aku tak tahan lagi, tak ada cara lain, daripada kulihat dia meringis tak nyaman. Kubopong saja tubuhnya. Nares tampak terkejut.

"Heh, mau apa kau?!"

"Mengantarmu sampai toilet, akan memalukan jika sampai keluar di sini. Sudah diam saja, pegang tanganmu ke leherku!"

Sontak para tamu kembali riuh melihat aku membopong Nares. Mereka mungkin berpikir kalau kami melakukan adegan romantisme lagi. Andai mereka tahu aku begini karena ada yang menahan air kecil?!

"So .. Kawaii desu!"

"Ano..minna, gomen. Kami masuk dulu," ucapku cepat, tanpa memedulikan reaksi dan respons mereka. Dengan berlari, aku menggendong Nares mencari toilet. 

****

Aku menunggu Nares di dalam kamar ganti. Lama sekali dia di toilet. Kuketuk pintu toilet. 

"Kau masih lama?"

"Gomenne, perutku mulas!" serunya dari toilet dengan suara tertahan. 

"Di saat seperti ini!?!" Aku berteriak dengan kesal. 

"Go-men, ta-taa-di paa-gi, aku sarapan banyak sekali, daripada aku kelaparan dan pingsan," jawabnya terbata-bata, pasti dia sedang mengejan. Ada-ada saja tingkahnya, juga dengan alasan yang absurd. 

Aku kembali ke kamar ganti. Beberapa menit, dia sudah selesai. Gaun pengantinnya basah, tapi wajahnya tampak lebih lega.

"Aku mau ganti pakaian saja," ujarnya ringan.

"Acara belum selesai. Jangan berbuat seenakmu!"

"Tapi aku sudah tak tahan dengan pakaian ini, lagipula gaunku basah begini,nanti kalau mereka berpikir yang tidak-tidak tentang kita, bagaimana?"

Kudekati dia, kupegang wajahnya. "Dengar, kau ganti baju atau pun tidak, sama saja. Mereka berpikir tentang kita, itu urusan mereka! Jangan pikirkan omongan orang, dan kita tak perlu mengklarifikasi pada mereka!"

"Acaranya masih lama, ya?" Waiahnya memelas.

Aku menarik napas dalam. Aku kasihan kepadanya. Sehari-hari dia tidak pernah bersolek. Pakaiannya seenaknya, asalkan nyaman di tubuh. Kaus dan kemeja selalu menjadi favoritnya. Meski penampilannya hari ini seperti bidadari, tapi dia merasa tersiksa. 

"Sabar, ya. Bagaimana pun kita hanyalah anak-anak. Tak ada salahnya membuat mereka bahagia di hari yang mereka anggap istimewa ini." 

Aku menepuk-nepuk kepalanya pelan. Dia mengangguk. 

"Kalau kau lelah, mau kugendong lagi?" tanyaku jail.

"Baka! Kalau tidak darurat tidak perlu!" 

Dia kemudian berjalan meninggalkanku, tapi seulas senyum tertahan di wajahnya. Aku tersenyum tipis, sambil berjalan mengikutinya.

Bab terkait

  • From Kyoto With Love   Malam Pertama

    "Sho-kun, aku sudah tidak tahan lagi!" Nares berkata lirih. Setelah melepaskan sepatunya, kemudian diletakkan pada genkan- ruangan di depan pintu untuk membuka alas kaki, badannya yang sempoyongan rebah di sofaku. "Dame-jangan! Kenapa kau tidur di sini, di kamar sana!" "Aku tak tahan lagi," ujarnya setengah tak sadar, lalu benar-benar pulas seperti bayi. **** Pesta pernikahan kami memang tidak berlangsung lama. Tetapi ternyata ada turunan acara selanjutnya. Setelah istirahat sebentar di rumah Nares, malamnya Ojisan dan ayah mertuaku melakukan perjamuan makan malam untuk kolega ekslusifnya. Tak

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-08
  • From Kyoto With Love   Rencana Bulan Madu

    Pergi sana, cari cinta sejatimu!" teriakku histeris kepadanya. Entah dia dengar atau tidak, sebab dia sudah keluar apato setelah berhasil mengambil kesempatan lagi. Ih, aku membersihkan bekas ciumannya di pipi. Dia memang tak melanggar perjanjian, karena semalam sepertinya aku baik-baik saja meski tidur di sebelahnya, tapi dia sudah dua kali menciumku. Pertama saat menikah, dan yang baru saja terjadi. Dasar mesum! Sho sialan! Aku sudah tahu perangainya yang senang seenaknya kepadaku. Sialnya sekarang aku terlibat permainan dengannya. Tapi aku tak mau kalah. Aku akan lawan sekuat tenagaku. Untuk mendinginkan kepala, aku harus mandi. Barangkali juga dengan mandi, bekas-bekas ciumannya luntur dari wajahku. Aku lekas ke kamar mandi. Segera kutanggalkan

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-13
  • From Kyoto With Love   Kamiyama

    Kepalaku pening! Kami berada di bus, melaju menuju Kamiyama, sebuah kota kecil di Prefektur Tokushima, di Pulau Shikoku. Ojisan menyebutnya surga di selatan Jepang. Entah semenarik apa kota kecil tersebut. Kupikir adakah tempat yang bisa menyangingi keindahan Arashiyama? Jika ada, aku bertaruh untuk makan ramen dengan sepuluh sendok cabai! Ojisan menyewa bus yang cukup mewah. Tempat duduk nyaman, mini bar, karaoke, makanan enak, toilet luas, juga beserta para pelayan. Tapi bagiku ini konyol. Bulan madu macam apa ini, semua tampak lebih mirip rombongan wisata. Ojisan, Ibu, Otousan, d

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-15
  • From Kyoto With Love   Aku menyayangimu, Sho.

    Sho menatap keluar jendela. Ia menerawang, kalau boleh aku menebak, mungkin ia terbawa masa lalunya. Tadi saat baru sampai ryokan ini, dia mengatakan ini adalah ryokan pertama milik Ojisan, dan banyak kenangan bersama mendiang ayahnya Sho. Terkait kenangan dengannya juga kah? Aku beranjak mendekatinya, berdiri di sisinya. "Kau teringat sesuatu?" tanyaku lirih. Dia menoleh ke arahku, menghela napas berat. "Aku tak pernah menyangka Ojisan

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-19
  • From Kyoto With Love   Pengantin Baru

    "Summimasen - permisi, Mizobata-san, makan siang sudah siap." Suara salah satu nakai-pegawai ryokan dari luar pintu mempersilakan kami untuk makan.Kami langsung melepaskan pelukan. Jujur saja, aku seketika merasa canggung, begitu juga dengannya. Sejurus kemudian Sho berusaha menguasai diri. Seolah tak terjadi apa-apa di antara kami."Baik, sebentar lagi kami keluar," jawab Sho."Cepat kenakan yukata, kita sudah ditunggu Ojisan."

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-21
  • From Kyoto With Love   Suami Menyebalkan

    Aku mengayuh sepeda semakin kencang, berusaha mengejar ketertinggalanku darinya. Sepeda Kak Alex melesat jauh di depanku. Sesekali dia menoleh ke belakang, terseyum lebar, menampakkan geliginya yang rapi. Aku mengulum senyum, rasa lelah seperti tak kumiliki, meski peluhku sudah membasahi tubuh. "Ayo, kejar aku!" teriak Kak Alex, lalu tertawa kencang. Mata birunya berkilauan diterpa cahaya mentari. "Awas, ya, aku pasti bisa mengejar!" Aku berteriak penuh semangat. Kucepatkan lagi laju sepedaku, meski aku masih tertinggal sekitar lima meter di belakangnya. Di sepanjang taman kota ini, kami bersepeda, di bawah kanopi sakura yang tengah bermekaran, merah jambunya, serupa dengan wajah dan hatiku saat ini. Terasa magis sekali memang, aku bersama pria yang selama ini hanya dapat kukhayalkan saja. Sekarang tampak nyata d

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-13
  • From Kyoto With Love   Pria Gila dan Perempuan Tidak Waras

    Mizobata Sho, pria yang menikahiku kemarin pagi. Kami menikah juga karena perjodohan orang tua, lalu kami pun menjalaninya dengan sebuah surat perjanjian. Wajahnya memang tampan. Seperti umumnya orang Jepang, kulitnya putih bersih, mata sipit, dan berperawakan tinggi atletis. Tulang hidungnya tinggi di atas wajah tirusnya. Tapi siapa yang sangka mulutnya sepedas cabai setan. Seperti hari ini, seenaknya dia mengatakan aku kerbau, memencet hidungku, dan kurang ajarnya dia hadir di dalam mimpi indahku! Dengan malas aku turun dari tempat tidur, kuikat rambut yang berantakan ini. Begitu pintu kamar kubuka, aroma lezat terhidu di penciumanku. Aroma nasi goreng seketika membuat perutku keroncongan. Aku menuju dapur, ternyata pria perusak mimpi yang sedang

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-13
  • From Kyoto With Love   Jika Aku Khilaf

    Kau sudah tahu, ya, kalau kita dijodohkan?" tanyaku tajam pada Sho. Setelah rapat keluarga malam tadi, paginya aku segera menghubungi Sho.Kami bertemu di Arashiyama Park. Menurutku jauh lebih baik bertemu di luar, daripada di rumah. Apalagi untuk membicarakan hal sensitif seperti ini. Sebenarnya tidak terlalu canggung bertemu dengannya, mengingat aku dan dia sudah berteman sejak kecil. Waktu kecil hingga remaja, Sho tinggal di Jakarta, rumah kami bersebelahan. Ayahnya dan ayahku berasal dari Kyoto, sehingga hubungan antar keluarga juga sangat akrab. Kemudian setelah dia beranjak dewasa, orang tuanya mengalami kecelakaan pesawat, dia pun kembali ke Kyoto tinggal bersama kakeknya. Kami memang sudah mengenal karakter masing-masing, tapi rasanya jika menjadi istrinya, bukan sebuah pilihan menarik. Big No

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-13

Bab terbaru

  • From Kyoto With Love   Pengantin Baru

    "Summimasen - permisi, Mizobata-san, makan siang sudah siap." Suara salah satu nakai-pegawai ryokan dari luar pintu mempersilakan kami untuk makan.Kami langsung melepaskan pelukan. Jujur saja, aku seketika merasa canggung, begitu juga dengannya. Sejurus kemudian Sho berusaha menguasai diri. Seolah tak terjadi apa-apa di antara kami."Baik, sebentar lagi kami keluar," jawab Sho."Cepat kenakan yukata, kita sudah ditunggu Ojisan."

  • From Kyoto With Love   Aku menyayangimu, Sho.

    Sho menatap keluar jendela. Ia menerawang, kalau boleh aku menebak, mungkin ia terbawa masa lalunya. Tadi saat baru sampai ryokan ini, dia mengatakan ini adalah ryokan pertama milik Ojisan, dan banyak kenangan bersama mendiang ayahnya Sho. Terkait kenangan dengannya juga kah? Aku beranjak mendekatinya, berdiri di sisinya. "Kau teringat sesuatu?" tanyaku lirih. Dia menoleh ke arahku, menghela napas berat. "Aku tak pernah menyangka Ojisan

  • From Kyoto With Love   Kamiyama

    Kepalaku pening! Kami berada di bus, melaju menuju Kamiyama, sebuah kota kecil di Prefektur Tokushima, di Pulau Shikoku. Ojisan menyebutnya surga di selatan Jepang. Entah semenarik apa kota kecil tersebut. Kupikir adakah tempat yang bisa menyangingi keindahan Arashiyama? Jika ada, aku bertaruh untuk makan ramen dengan sepuluh sendok cabai! Ojisan menyewa bus yang cukup mewah. Tempat duduk nyaman, mini bar, karaoke, makanan enak, toilet luas, juga beserta para pelayan. Tapi bagiku ini konyol. Bulan madu macam apa ini, semua tampak lebih mirip rombongan wisata. Ojisan, Ibu, Otousan, d

  • From Kyoto With Love   Rencana Bulan Madu

    Pergi sana, cari cinta sejatimu!" teriakku histeris kepadanya. Entah dia dengar atau tidak, sebab dia sudah keluar apato setelah berhasil mengambil kesempatan lagi. Ih, aku membersihkan bekas ciumannya di pipi. Dia memang tak melanggar perjanjian, karena semalam sepertinya aku baik-baik saja meski tidur di sebelahnya, tapi dia sudah dua kali menciumku. Pertama saat menikah, dan yang baru saja terjadi. Dasar mesum! Sho sialan! Aku sudah tahu perangainya yang senang seenaknya kepadaku. Sialnya sekarang aku terlibat permainan dengannya. Tapi aku tak mau kalah. Aku akan lawan sekuat tenagaku. Untuk mendinginkan kepala, aku harus mandi. Barangkali juga dengan mandi, bekas-bekas ciumannya luntur dari wajahku. Aku lekas ke kamar mandi. Segera kutanggalkan

  • From Kyoto With Love   Malam Pertama

    "Sho-kun, aku sudah tidak tahan lagi!" Nares berkata lirih. Setelah melepaskan sepatunya, kemudian diletakkan pada genkan- ruangan di depan pintu untuk membuka alas kaki, badannya yang sempoyongan rebah di sofaku. "Dame-jangan! Kenapa kau tidur di sini, di kamar sana!" "Aku tak tahan lagi," ujarnya setengah tak sadar, lalu benar-benar pulas seperti bayi. **** Pesta pernikahan kami memang tidak berlangsung lama. Tetapi ternyata ada turunan acara selanjutnya. Setelah istirahat sebentar di rumah Nares, malamnya Ojisan dan ayah mertuaku melakukan perjamuan makan malam untuk kolega ekslusifnya. Tak

  • From Kyoto With Love   Ciuman Pengantin

    Tepat di usiaku yang keduapuluh enam lebih dua hari, aku menikah. Pengantin perempuan yang berdiri di sebelahku adalah Kimura Nareswari. Resmi sudah aku menjadi suaminya, meski melalui perjodohan yang konyol. Ojisan berpesan padaku, bahwa aku harus merebut hatinya. Sangat mudah bagi perempuan untuk mencintai laki-laki setelah menikah. Selama pria tersebut berbuat baik, cinta akan datang dengan sendirinya. Aku menuruti nasihat Ojisan, meski tak terlalu yakin itu bisa terjadi pada Nares. Sebab selama ini, hanya Alex yang ada di pikirannya. Pesta pernikahan kami pun diadakan di taman hotel. Sepanjang hari aku dan Nares melempar senyuman kepada tamu. Meski mereka tak perlu tahu, bahwa selama kami berdiri, Nares terus berbisik kepadaku. Ada-ada saja keluhannya. Mulai dari kakinya yang pegal karena sepatu hak tingginya, wajah yang terasa ber

  • From Kyoto With Love   Cucu Mantu Pilihan Ojisan

    POV Sho Kimura Nareswari, apa aku sudah gila? Apa aku benar-benar gila? Aku akan menikah dengannya. Semua ini terjadi atas kehendak Ojisan. Sedari kecil aku tak pernah membangkang pada apa yang telah Ojisan putuskan. Hanya Ojisan yang aku miliki, setelah Otousan dan Okaasan tiada. Jadi aku hampir selalu menuruti keputusannya, meski sering bertentangan denganku. Seperti malam kemarin. Aku baru pulang kerja, Ojisan mengajakku minum teh di ruang makan yang menghadap taman belakang. Kami duduk berhadapan, beralas tatami - tikar anyaman rotan- dengan meja rendah yang terhidang perangkat minum teh dan wagashi sebagai kue pelengkapnya. Aku duduk bersimpuh dengan posisi badan tetap t

  • From Kyoto With Love   Jika Aku Khilaf

    Kau sudah tahu, ya, kalau kita dijodohkan?" tanyaku tajam pada Sho. Setelah rapat keluarga malam tadi, paginya aku segera menghubungi Sho.Kami bertemu di Arashiyama Park. Menurutku jauh lebih baik bertemu di luar, daripada di rumah. Apalagi untuk membicarakan hal sensitif seperti ini. Sebenarnya tidak terlalu canggung bertemu dengannya, mengingat aku dan dia sudah berteman sejak kecil. Waktu kecil hingga remaja, Sho tinggal di Jakarta, rumah kami bersebelahan. Ayahnya dan ayahku berasal dari Kyoto, sehingga hubungan antar keluarga juga sangat akrab. Kemudian setelah dia beranjak dewasa, orang tuanya mengalami kecelakaan pesawat, dia pun kembali ke Kyoto tinggal bersama kakeknya. Kami memang sudah mengenal karakter masing-masing, tapi rasanya jika menjadi istrinya, bukan sebuah pilihan menarik. Big No

  • From Kyoto With Love   Pria Gila dan Perempuan Tidak Waras

    Mizobata Sho, pria yang menikahiku kemarin pagi. Kami menikah juga karena perjodohan orang tua, lalu kami pun menjalaninya dengan sebuah surat perjanjian. Wajahnya memang tampan. Seperti umumnya orang Jepang, kulitnya putih bersih, mata sipit, dan berperawakan tinggi atletis. Tulang hidungnya tinggi di atas wajah tirusnya. Tapi siapa yang sangka mulutnya sepedas cabai setan. Seperti hari ini, seenaknya dia mengatakan aku kerbau, memencet hidungku, dan kurang ajarnya dia hadir di dalam mimpi indahku! Dengan malas aku turun dari tempat tidur, kuikat rambut yang berantakan ini. Begitu pintu kamar kubuka, aroma lezat terhidu di penciumanku. Aroma nasi goreng seketika membuat perutku keroncongan. Aku menuju dapur, ternyata pria perusak mimpi yang sedang

DMCA.com Protection Status