Share

Jika Aku Khilaf

Penulis: Puput Sekar
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-13 23:10:35

Kau sudah tahu, ya, kalau kita dijodohkan?" tanyaku tajam pada Sho.

Setelah rapat keluarga malam tadi, paginya aku segera menghubungi Sho.Kami bertemu di Arashiyama Park. Menurutku jauh lebih baik bertemu di luar, daripada di rumah. Apalagi untuk membicarakan hal sensitif seperti ini. Sebenarnya tidak terlalu canggung bertemu dengannya, mengingat aku dan dia sudah berteman sejak kecil.

Waktu kecil hingga remaja, Sho tinggal di Jakarta, rumah kami bersebelahan. Ayahnya dan ayahku berasal dari Kyoto, sehingga hubungan antar keluarga juga sangat akrab. Kemudian setelah dia beranjak dewasa, orang tuanya mengalami kecelakaan pesawat, dia pun kembali ke Kyoto tinggal bersama kakeknya. 

Kami memang sudah mengenal karakter masing-masing, tapi rasanya jika menjadi istrinya, bukan sebuah pilihan menarik. Big No! Ini bukan masalah dia baik, tampan, dan mapan. Tapi sedikit rasa cinta padanya saja aku tidak punya. Namun aku tak bisa melakukan apa-apa dengan keputusan yang telah diketuk. 

Di duduk di sebelahku. Wajahnya memandang ke depan. Air mukanya tenang, setenang mentari pagi. Berbeda denganku yang nanar dan penuh kesal menatapnya.

Sho menghela napasnya. "Tahu atau tidak, tetap tidak bisa mengubah apa yang telah diputuskan oleh keluarga kita, 'kan?" jawabnya lirih.

"Ish! Bisa dong!" jawabku cepat, lantas dengan berapi-api aku meyakinkannya, "Kenapa kau tidak bilang, kalau kau tidak mencintaiku. Bilang saja aku gadis slebor, tidak bisa masak, pemalas, suka bangun siang, suka kentut, suka seenak ...."

"Baka!" sergahnya cepat. 

Dia berbalik menatapku tajam. "Kau pikir mudah mengatakan itu pada orang tua, hah? Terlebih aku! Aku tak sanggup mengatakannya pada Ojisan-Kakek. Mereka berpikir perjodohan kita adalah yang terbaik."

Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Sialnya, aku pun tidak bisa memberontak. 

"Kita udah kayak hidup di zaman heian, apa-apa dijodohkan. Kita sama sekali enggak punya kemerdekaan!" ucapku geram.

"Sama, aku pun enggak suka dengan cara-cara kuno begitu, tapi sekali lagi, kita bisa apa?" ujarnya putus asa.

Sho kembali membuang pandangannya ke depan. Sepertinya dia menerawang. Pasti dia pun bingung dengan keadaan ini.

"Baiklah kalau begitu, tinggal cara ini!" cetusku seraya menjentikkan ibu jari.

Sho menoleh ke arahku, mengernyitkan kening, lalu menggeleng perlahan.

"Jangan melakukan ide bodoh! Selama ini mana ada idemu yang cemerlang, hah!"

"Ish! Jangan menyepelekanku. Dengarkan dulu!"

"Ya, udah, apa?" Sho tampak tak antusias.

"Kita menikah dengan perjanjian. Pertama, jika di antara kita kelak menemukan cinta sejati masing-masing, maka itulah akhir dari pernikahan kita, alias bercerai. Artinya kita bisa mengatakan pada keluarga, kalau memang kita sudah tidak saling cinta. Bagaimana? Masuk akal, kan?"

Aku tersenyum lebar. Selebar iklan pasta gigi. Aku merasa hebat telah mencetuskan ide ini. 

"Heh, Nande? Sho menggelengkan kepalanya lagi. Tampak dia tidak setuju dengan ideku.

"Kenapa? Kau enggak setuju?" Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya, tapi dia cepat berpaling sambil mengumpat.

"Totemo Baka -sangat bodoh!" Dia membuang pandangannya ke rerimbunan daun momiji yang berserakan di pelataran. 

Warna momiji di awal musim gugur ini belum sepenuhnya memerah. Antara kuning, oranye, dan semburat kemerahan, serupa dengan rasa gundahku yang tak jelas ini.

"Jangan menghindar, ayo lihat mataku. Kau tidak setuju dengan ideku? Hmm ...atau jangan-jangan kau mencintaiku dan menginginkan pernikahan ini, ya?" 

Seketika Sho langsung menoleh kepadaku. Air mukanya memerah. Menatap mataku dalam, dia lantas mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku menarik tubuhku mundur.

"Ish, apa yang kau lakukan!?"

"Kalau aku mencintaimu, mungkin telah kukatakan sejak dulu," desisnya tajam.

Mendengar jawabannya sedikit membuatku lebih lega. Dengan begini, dia akan mudah kuajak bekerja sama.

"Yokatta-syukurlah!" jeritku gembira, kurangkul pundaknya. "Dengar, Sho, aku tetap mendoakanmu untuk mendapatkan seorang gadis yang kau cintai." 

Aku bisa tertawa lepas kini. Sho hanya terdiam, kulihat ekspresi wajahnya datar. Dia membuang pandangan jauh ke depan.

"Berarti sekarang tak ada lagi yang membuatmu susah untuk menyetujui ide perjanjian yang kubuat,'kan?"

Dia menoleh kepadaku. "Tapi itu bohong namanya, pernikahan kita jadi seperti kawin kontrak, kalau ketahuan, risikonya pasti jauh lebih besar."

" Terus, memangnya kau punya ide yang lebih baik lagi, hah? Kau saja tidak berani menolak permintaan Ojisan!"

"Ojisan sudah tua, aku tidak mau hal buruk terjadi padanya," potongnya cepat.

"Nah, maka itu, hanya ide ini yang baik untuk kita, bagaimana?" Aku menepuk-nepuk pundaknya. Dia menoleh kepadaku, ada keraguan di matanya.

"Baiklah aku setuju, tapi aku juga punya syarat!" cetusnya.

"Heh, syarat?" Mataku mendelik kepadanya. "Syarat apa lagi?" Kutoyor punggungnya ke depan, tapi dia sigap, hingga tak sampai jatuh tersungkur.

Tiba-tiba saja dia memegang pundakku. Aku termangu seketika.

"Dengar, meski pernikahan kita melalui sebuah perjanjian, tapi jelas di mata keluarga kita suami istri, jadi selama kita dalam satu ikatan bernama pernikahan, kita tetap menjalankan kewajiban masing-masing sebagai suami istri!" 

"Aku menolak!" sentakku seraya mengibaskan tangannya. Aku berdiri dan berkacak pinggang di depannya. 

"Pernikahan kita bisa dibilang bohong-bohongan, aku tidak bisa melayani seorang pria tanpa rasa cinta! Aku tidak mau bercinta denganmu!"

Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal. Barangkali dia salah tingkah. Peduli setan! Aku tidak setuju dengan syaratnya.

"Heh, pikiranmu itu mesti diluruskan, memangnya kewajiban suami istri hanya bercinta? Kalau bercinta sih, tidak mesti menjadi suami istri juga bisa!"

"Ish, pikiranmu yang mesum!" Aku membentak di depan wajahnya. "Bercinta memang tidak harus menikah, tapi kalau menikah, sudah pasti akan bercinta. Aku mau bercinta hanya pada orang yang kucintai. Meski jelek-jelek begini, eh … bukan-bukan, meski aku cantik dan menawan, aku tak pernah sekalipun jatuh pada pelukan pria, bercinta bagiku sesuatu yang sakral, menger …."

Tiba-tiba saja dia membekap mulutku dengan tangannya. 

"Urusan sepersonal ini tak perlu kau katakan keras-keras, didengar orang malu!" bisiknya tajam.

"Hmmppp … hmm… hmmp…," 

Kugigit saja tangannya yang membekap mulutku.

"Aw!" jeritnya spontan.

"Iya, aku mengerti, tapi di mana lagi kita bicara hal sepenting ini? Di rumah kita? Mau bunuh diri?" 

Aku memelankan suara, tapi penuh dengan ketegasan.

"Iya, tapi tak perlu sampai detil begitu!"

"Kalau kau tidak dijelaskan nanti tidak mengerti, sih!"

"Aku sebodoh itu 'kah?!" Dia akhirnya membentakku.

Aku surut, sepertinya aku telah membuatnya sangat marah. Baiklah, kuputuskan pulang saja. Cepat aku berbalik badan meninggalkannya, sebab percuma saja bicara, kami sama-sama keras. Mungkin ini adalah nasibku, menikah dengan pria yang tak kucintai. Dengan gontai aku berjalan menuju sepedaku. 

Namun, seketika dia menarik tangangku, menahan langkahku. Seketika aku terhenti, tapi tubuh ini masih membelakanginya.

"Baiklah, aku menyetujui idemu," ucapnya lirih.

Awalnya aku tak percaya dengan apa yang kudengar. 

Aku membalikkan badanku. Dia tengah menatapku lekat.

"Percayalah padaku, pada temanmu. Tapi selama menikah denganku, kau sepenuhnya tanggung jawabku."

Dia lalu menepuk-nepuk kepalaku, aku mengangguk dan tersenyum lebar. 

Dia lalu mengepalkan telapak tangannya, menyodorkan kepadaku. Aku juga mengepalkan telapak tanganku dan mendekatkan dengan kepalan tangannya. Itulah cara kami menyepakati segala sesuatunya, sejak kami berkawan karib sedari dulu. Seulas senyum terlukis di bibirnya, juga bibirku.

"Janji jangan macam-macam denganku, ya."

"Iya, kecuali …."

"Kecuali?"

"Jika aku khilaf!"

"Heh, Mizobata Sho, totemo baka!" 

Aku berteriak dan menoyor tubuhnya hingga ia terhuyung. Dia meringis, aku mendengus keras. 

***

Bab terkait

  • From Kyoto With Love   Cucu Mantu Pilihan Ojisan

    POV Sho Kimura Nareswari, apa aku sudah gila? Apa aku benar-benar gila? Aku akan menikah dengannya. Semua ini terjadi atas kehendak Ojisan. Sedari kecil aku tak pernah membangkang pada apa yang telah Ojisan putuskan. Hanya Ojisan yang aku miliki, setelah Otousan dan Okaasan tiada. Jadi aku hampir selalu menuruti keputusannya, meski sering bertentangan denganku. Seperti malam kemarin. Aku baru pulang kerja, Ojisan mengajakku minum teh di ruang makan yang menghadap taman belakang. Kami duduk berhadapan, beralas tatami - tikar anyaman rotan- dengan meja rendah yang terhidang perangkat minum teh dan wagashi sebagai kue pelengkapnya. Aku duduk bersimpuh dengan posisi badan tetap t

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-13
  • From Kyoto With Love   Ciuman Pengantin

    Tepat di usiaku yang keduapuluh enam lebih dua hari, aku menikah. Pengantin perempuan yang berdiri di sebelahku adalah Kimura Nareswari. Resmi sudah aku menjadi suaminya, meski melalui perjodohan yang konyol. Ojisan berpesan padaku, bahwa aku harus merebut hatinya. Sangat mudah bagi perempuan untuk mencintai laki-laki setelah menikah. Selama pria tersebut berbuat baik, cinta akan datang dengan sendirinya. Aku menuruti nasihat Ojisan, meski tak terlalu yakin itu bisa terjadi pada Nares. Sebab selama ini, hanya Alex yang ada di pikirannya. Pesta pernikahan kami pun diadakan di taman hotel. Sepanjang hari aku dan Nares melempar senyuman kepada tamu. Meski mereka tak perlu tahu, bahwa selama kami berdiri, Nares terus berbisik kepadaku. Ada-ada saja keluhannya. Mulai dari kakinya yang pegal karena sepatu hak tingginya, wajah yang terasa ber

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-21
  • From Kyoto With Love   Malam Pertama

    "Sho-kun, aku sudah tidak tahan lagi!" Nares berkata lirih. Setelah melepaskan sepatunya, kemudian diletakkan pada genkan- ruangan di depan pintu untuk membuka alas kaki, badannya yang sempoyongan rebah di sofaku. "Dame-jangan! Kenapa kau tidur di sini, di kamar sana!" "Aku tak tahan lagi," ujarnya setengah tak sadar, lalu benar-benar pulas seperti bayi. **** Pesta pernikahan kami memang tidak berlangsung lama. Tetapi ternyata ada turunan acara selanjutnya. Setelah istirahat sebentar di rumah Nares, malamnya Ojisan dan ayah mertuaku melakukan perjamuan makan malam untuk kolega ekslusifnya. Tak

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-08
  • From Kyoto With Love   Rencana Bulan Madu

    Pergi sana, cari cinta sejatimu!" teriakku histeris kepadanya. Entah dia dengar atau tidak, sebab dia sudah keluar apato setelah berhasil mengambil kesempatan lagi. Ih, aku membersihkan bekas ciumannya di pipi. Dia memang tak melanggar perjanjian, karena semalam sepertinya aku baik-baik saja meski tidur di sebelahnya, tapi dia sudah dua kali menciumku. Pertama saat menikah, dan yang baru saja terjadi. Dasar mesum! Sho sialan! Aku sudah tahu perangainya yang senang seenaknya kepadaku. Sialnya sekarang aku terlibat permainan dengannya. Tapi aku tak mau kalah. Aku akan lawan sekuat tenagaku. Untuk mendinginkan kepala, aku harus mandi. Barangkali juga dengan mandi, bekas-bekas ciumannya luntur dari wajahku. Aku lekas ke kamar mandi. Segera kutanggalkan

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-13
  • From Kyoto With Love   Kamiyama

    Kepalaku pening! Kami berada di bus, melaju menuju Kamiyama, sebuah kota kecil di Prefektur Tokushima, di Pulau Shikoku. Ojisan menyebutnya surga di selatan Jepang. Entah semenarik apa kota kecil tersebut. Kupikir adakah tempat yang bisa menyangingi keindahan Arashiyama? Jika ada, aku bertaruh untuk makan ramen dengan sepuluh sendok cabai! Ojisan menyewa bus yang cukup mewah. Tempat duduk nyaman, mini bar, karaoke, makanan enak, toilet luas, juga beserta para pelayan. Tapi bagiku ini konyol. Bulan madu macam apa ini, semua tampak lebih mirip rombongan wisata. Ojisan, Ibu, Otousan, d

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-15
  • From Kyoto With Love   Aku menyayangimu, Sho.

    Sho menatap keluar jendela. Ia menerawang, kalau boleh aku menebak, mungkin ia terbawa masa lalunya. Tadi saat baru sampai ryokan ini, dia mengatakan ini adalah ryokan pertama milik Ojisan, dan banyak kenangan bersama mendiang ayahnya Sho. Terkait kenangan dengannya juga kah? Aku beranjak mendekatinya, berdiri di sisinya. "Kau teringat sesuatu?" tanyaku lirih. Dia menoleh ke arahku, menghela napas berat. "Aku tak pernah menyangka Ojisan

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-19
  • From Kyoto With Love   Pengantin Baru

    "Summimasen - permisi, Mizobata-san, makan siang sudah siap." Suara salah satu nakai-pegawai ryokan dari luar pintu mempersilakan kami untuk makan.Kami langsung melepaskan pelukan. Jujur saja, aku seketika merasa canggung, begitu juga dengannya. Sejurus kemudian Sho berusaha menguasai diri. Seolah tak terjadi apa-apa di antara kami."Baik, sebentar lagi kami keluar," jawab Sho."Cepat kenakan yukata, kita sudah ditunggu Ojisan."

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-21
  • From Kyoto With Love   Suami Menyebalkan

    Aku mengayuh sepeda semakin kencang, berusaha mengejar ketertinggalanku darinya. Sepeda Kak Alex melesat jauh di depanku. Sesekali dia menoleh ke belakang, terseyum lebar, menampakkan geliginya yang rapi. Aku mengulum senyum, rasa lelah seperti tak kumiliki, meski peluhku sudah membasahi tubuh. "Ayo, kejar aku!" teriak Kak Alex, lalu tertawa kencang. Mata birunya berkilauan diterpa cahaya mentari. "Awas, ya, aku pasti bisa mengejar!" Aku berteriak penuh semangat. Kucepatkan lagi laju sepedaku, meski aku masih tertinggal sekitar lima meter di belakangnya. Di sepanjang taman kota ini, kami bersepeda, di bawah kanopi sakura yang tengah bermekaran, merah jambunya, serupa dengan wajah dan hatiku saat ini. Terasa magis sekali memang, aku bersama pria yang selama ini hanya dapat kukhayalkan saja. Sekarang tampak nyata d

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-13

Bab terbaru

  • From Kyoto With Love   Pengantin Baru

    "Summimasen - permisi, Mizobata-san, makan siang sudah siap." Suara salah satu nakai-pegawai ryokan dari luar pintu mempersilakan kami untuk makan.Kami langsung melepaskan pelukan. Jujur saja, aku seketika merasa canggung, begitu juga dengannya. Sejurus kemudian Sho berusaha menguasai diri. Seolah tak terjadi apa-apa di antara kami."Baik, sebentar lagi kami keluar," jawab Sho."Cepat kenakan yukata, kita sudah ditunggu Ojisan."

  • From Kyoto With Love   Aku menyayangimu, Sho.

    Sho menatap keluar jendela. Ia menerawang, kalau boleh aku menebak, mungkin ia terbawa masa lalunya. Tadi saat baru sampai ryokan ini, dia mengatakan ini adalah ryokan pertama milik Ojisan, dan banyak kenangan bersama mendiang ayahnya Sho. Terkait kenangan dengannya juga kah? Aku beranjak mendekatinya, berdiri di sisinya. "Kau teringat sesuatu?" tanyaku lirih. Dia menoleh ke arahku, menghela napas berat. "Aku tak pernah menyangka Ojisan

  • From Kyoto With Love   Kamiyama

    Kepalaku pening! Kami berada di bus, melaju menuju Kamiyama, sebuah kota kecil di Prefektur Tokushima, di Pulau Shikoku. Ojisan menyebutnya surga di selatan Jepang. Entah semenarik apa kota kecil tersebut. Kupikir adakah tempat yang bisa menyangingi keindahan Arashiyama? Jika ada, aku bertaruh untuk makan ramen dengan sepuluh sendok cabai! Ojisan menyewa bus yang cukup mewah. Tempat duduk nyaman, mini bar, karaoke, makanan enak, toilet luas, juga beserta para pelayan. Tapi bagiku ini konyol. Bulan madu macam apa ini, semua tampak lebih mirip rombongan wisata. Ojisan, Ibu, Otousan, d

  • From Kyoto With Love   Rencana Bulan Madu

    Pergi sana, cari cinta sejatimu!" teriakku histeris kepadanya. Entah dia dengar atau tidak, sebab dia sudah keluar apato setelah berhasil mengambil kesempatan lagi. Ih, aku membersihkan bekas ciumannya di pipi. Dia memang tak melanggar perjanjian, karena semalam sepertinya aku baik-baik saja meski tidur di sebelahnya, tapi dia sudah dua kali menciumku. Pertama saat menikah, dan yang baru saja terjadi. Dasar mesum! Sho sialan! Aku sudah tahu perangainya yang senang seenaknya kepadaku. Sialnya sekarang aku terlibat permainan dengannya. Tapi aku tak mau kalah. Aku akan lawan sekuat tenagaku. Untuk mendinginkan kepala, aku harus mandi. Barangkali juga dengan mandi, bekas-bekas ciumannya luntur dari wajahku. Aku lekas ke kamar mandi. Segera kutanggalkan

  • From Kyoto With Love   Malam Pertama

    "Sho-kun, aku sudah tidak tahan lagi!" Nares berkata lirih. Setelah melepaskan sepatunya, kemudian diletakkan pada genkan- ruangan di depan pintu untuk membuka alas kaki, badannya yang sempoyongan rebah di sofaku. "Dame-jangan! Kenapa kau tidur di sini, di kamar sana!" "Aku tak tahan lagi," ujarnya setengah tak sadar, lalu benar-benar pulas seperti bayi. **** Pesta pernikahan kami memang tidak berlangsung lama. Tetapi ternyata ada turunan acara selanjutnya. Setelah istirahat sebentar di rumah Nares, malamnya Ojisan dan ayah mertuaku melakukan perjamuan makan malam untuk kolega ekslusifnya. Tak

  • From Kyoto With Love   Ciuman Pengantin

    Tepat di usiaku yang keduapuluh enam lebih dua hari, aku menikah. Pengantin perempuan yang berdiri di sebelahku adalah Kimura Nareswari. Resmi sudah aku menjadi suaminya, meski melalui perjodohan yang konyol. Ojisan berpesan padaku, bahwa aku harus merebut hatinya. Sangat mudah bagi perempuan untuk mencintai laki-laki setelah menikah. Selama pria tersebut berbuat baik, cinta akan datang dengan sendirinya. Aku menuruti nasihat Ojisan, meski tak terlalu yakin itu bisa terjadi pada Nares. Sebab selama ini, hanya Alex yang ada di pikirannya. Pesta pernikahan kami pun diadakan di taman hotel. Sepanjang hari aku dan Nares melempar senyuman kepada tamu. Meski mereka tak perlu tahu, bahwa selama kami berdiri, Nares terus berbisik kepadaku. Ada-ada saja keluhannya. Mulai dari kakinya yang pegal karena sepatu hak tingginya, wajah yang terasa ber

  • From Kyoto With Love   Cucu Mantu Pilihan Ojisan

    POV Sho Kimura Nareswari, apa aku sudah gila? Apa aku benar-benar gila? Aku akan menikah dengannya. Semua ini terjadi atas kehendak Ojisan. Sedari kecil aku tak pernah membangkang pada apa yang telah Ojisan putuskan. Hanya Ojisan yang aku miliki, setelah Otousan dan Okaasan tiada. Jadi aku hampir selalu menuruti keputusannya, meski sering bertentangan denganku. Seperti malam kemarin. Aku baru pulang kerja, Ojisan mengajakku minum teh di ruang makan yang menghadap taman belakang. Kami duduk berhadapan, beralas tatami - tikar anyaman rotan- dengan meja rendah yang terhidang perangkat minum teh dan wagashi sebagai kue pelengkapnya. Aku duduk bersimpuh dengan posisi badan tetap t

  • From Kyoto With Love   Jika Aku Khilaf

    Kau sudah tahu, ya, kalau kita dijodohkan?" tanyaku tajam pada Sho. Setelah rapat keluarga malam tadi, paginya aku segera menghubungi Sho.Kami bertemu di Arashiyama Park. Menurutku jauh lebih baik bertemu di luar, daripada di rumah. Apalagi untuk membicarakan hal sensitif seperti ini. Sebenarnya tidak terlalu canggung bertemu dengannya, mengingat aku dan dia sudah berteman sejak kecil. Waktu kecil hingga remaja, Sho tinggal di Jakarta, rumah kami bersebelahan. Ayahnya dan ayahku berasal dari Kyoto, sehingga hubungan antar keluarga juga sangat akrab. Kemudian setelah dia beranjak dewasa, orang tuanya mengalami kecelakaan pesawat, dia pun kembali ke Kyoto tinggal bersama kakeknya. Kami memang sudah mengenal karakter masing-masing, tapi rasanya jika menjadi istrinya, bukan sebuah pilihan menarik. Big No

  • From Kyoto With Love   Pria Gila dan Perempuan Tidak Waras

    Mizobata Sho, pria yang menikahiku kemarin pagi. Kami menikah juga karena perjodohan orang tua, lalu kami pun menjalaninya dengan sebuah surat perjanjian. Wajahnya memang tampan. Seperti umumnya orang Jepang, kulitnya putih bersih, mata sipit, dan berperawakan tinggi atletis. Tulang hidungnya tinggi di atas wajah tirusnya. Tapi siapa yang sangka mulutnya sepedas cabai setan. Seperti hari ini, seenaknya dia mengatakan aku kerbau, memencet hidungku, dan kurang ajarnya dia hadir di dalam mimpi indahku! Dengan malas aku turun dari tempat tidur, kuikat rambut yang berantakan ini. Begitu pintu kamar kubuka, aroma lezat terhidu di penciumanku. Aroma nasi goreng seketika membuat perutku keroncongan. Aku menuju dapur, ternyata pria perusak mimpi yang sedang

DMCA.com Protection Status