Suasana berkabung masih menyelimuti rumah yang ditempati oleh sepasang kakak beradik. Kehilangan kedua orang tua secara bersamaan terasa amat sangat menyakitkan bagi mereka berdua. Rasanya bagaikan ribuan belati tajam menghujami tubuh mereka secara bertubi-tubi.
“Dek…”
“Adek ikut Kak Ega aja ya…”
“Kakak gak tega kalau harus biarin kamu hidup sendirian di sini.” ujar pria yang bernama lengkap Edgar William Hadinata kepada adik semata wayangnya.
“Kalau aku ikut kakak, siapa yang mau jaga ayah ibu, kak?”
“Siapa yang mau jaga rumah?”
“Terus gimana juga kuliah dan pekerjaanku?” kata Marissa sembari menahan air matanya agar tak jatuh dan membasahi pipinya.
“Ayah ibu sudah bahagia dek. Kamu harus bisa ikhlas.” kata Edgar sambal memeluk tubuh ringkih adiknya.
Kedua orang tua Edgar dan Marissa mengalami kecelakaan lalu lintas saat mereka sedang melakukan perjalanan dinas. Tabrakan beruntun di jalan tol mengakibatkan tubuh kedua orang tua mereka terhimpit di dalam mobil yang mereka kendarai yang mengakibatkan nyawa mereka tak tertolong. Jonathan dan Fransisca menghembuskan napas terakhirnya di tempat kejadian pada saat itu juga, sebelum ambulance serta paramedis datang menolong mereka.
“Kalau aku pindah, nasib kuliah serta kerjaku gimana kak?” tanya Marissa kepada Edgar.
“Kamu kan bisa lanjutin kuliah di kota tempat kakak dinas, dek.”
“Banyak kampus yang gak kalah bagus dari kampusmu yang sekarang kok. Mereka pun memerima mahasiswa transfer. Jadi apa lagi yang kamu khawatirkan, dek?” ucap Edgar menjelaskan.
“Terus urusan kantorku gimana kak? Gak mungkin juga kan aku mengajukan mutasi. Aku masih junior kak di kantor, belum ada dua tahun aku bekerja.” ucap Marissa menjelaskan.
“Kamu gak perlu memusingkan masalah itu dek, kakak sudah urus semuanya. Tugasmu hanya bersiap, persiapkan dirimu untuk beradaptasi di lingkungan kantor cabang yang baru.” ujar Edgar.
“Terimakasih banyak kak, maafkan Rissa yang selalu aja merepotkan Kak Edgar.”
“Lalu aku tinggal dimana kak? Gak mungkin kan kalau aku ikut kakak tinggal di rumah dinas. Pasti banyak banget pertanyaan dari atasan ataupun tetangga di lingkungan asrama tempat kakak tinggal.” ucap Marissa lagi.
“Tentu saja di rumah dinas kakak. Memang mau dimana lagi dek?”
“Ya mungkin aja aku disuruh kost, atau mungkin kakak bakal kontrak rumah buat aku tinggali. Kan yang aku tahu, rumah dinas hanya ditempati keluarga. Semacam suami istri, bukan kakak adik.”
“Mulai deh sok tahunya.” ucap Edgar sambal mengacak rambut adiknya itu.
“Kamu tuh keluarga aku, dek. Satu-satunya hartaku yang tersisa. Kamu adikku, adik perempuanku, sudah menjadi tugasku untuk menjaga dan melindungi kamu sampai suatu hari nanti ada laki-laki baik yang meminta kamu secara baik-baik untuk dijadikan pendamping hidupnya.”
“Topik pembahasan kita kok jadi berat begini ya kak? Umurku baru dua puluh tahun lho, belum ada pikiran untuk menikah, mikir tugas kuliah dan kerjaan di kantor sudah cukup membuat otakku hampir meledak, apalagi ditambah memikirkan pacar dan lain-lainnya.” jawab Marissa sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
“Padahal Kak Ega tahu lho kalau kamu masih memendam perasaan kepada seseorang yang kamu kagumi sejak bangku SMP. Sampai kapan mau jadi pengagum rahasia dek?” ucap Edgar meledek adiknya.
Semburat merah tergambar jelas di pipi mulus milik Marissa. Agaknya ia merasa sedikit malu ada terkejut karena rahasia yang selama ini ia simpan rapat seorang diri diketahui oleh kakak kandungnya. Bibir tipisnya ingin mengucapkan kata bantahan kepada sang kakak, namun apadaya bibirnya terasa kelu untuk menyangkal kebenaran yang telah terungkap oleh Edgar.
“Kak… Kak Edgar tahu darimana?”
“Kakak baca buku diary aku di kamar?
“Ih, kakak kok gak sopan banget sih berantakin kamar Rissa.” ujar Marissa sambil memajukan bibirnya karena kesal.
“Gini nih kalo punya adik sotoy. Udah sok tahu, salah, ngegas pula ngomongnya.” ucap Edgar membela diri.
“Terus kenapa Kak Edgar bisa tahu kalo aku masih mengagumi orang tersebut? Gak masalah kan kak? Toh aku gak mengganggu dia. Hanya sekedar mengagumi, gak ada ganggu dia apalagi sampe anarkis macem sasaeng.”
“Karena laki-laki yang kamu kagumi itu ngomong langsung ke kakak kalo dia juga suka sama kamu. Maka dari itu kakak ngomong ke kamu.” jelas Edgar.
“Jinjja? Seriously? Really? Yang bener? Seriusan? Omoo omoo.” Ucap Marissa yang terkejut akibat penuturan dari sang kakak.
“Mengkesel emang kalo punya adik lebay begini. Segala macam bahasa selalu muncul disaat yang seperti ini. Tadi aja nangis-nangis gegara gak mau ninggalin rumah, sekarang malah kayak cacing kepanasan karena dapet kabar begini.”
“Ya gimana dong kak, aku kan naksir udah lama. Dari kelas tujuh aku udah suka, hampir delapan tahun aku memendam rasa sendirian, eh ternyata sekarang terbalaskan. Rasanya tuh bagaikan menemukan mall di tengah gurun pasir.” ucap Marissa penuh semangat.
Tak ada lagi percakapan diantara kedua kakak beradik itu. Sang adik, Marissa masih sibuk larut dalam angannya tentang cinta pertamanya. Sedangkan Edgar sibuk membereskan barang-barang sang adik yang hendak ia bawa pulang ke rumah dinasnya yang berada di kota bagian selatan pulau ini.
…
Keesokan paginya…
Kedua kakak beradik itu duduk tenang di kursi ruang makan. Keduanya sarapan dengan penuh keheningan. Tak ada lagi celotehan dari Marissa yang selalu mencecar sang kakak dengan pertanyaan-pertanyaan tak jelas, tak ada lagi gurauan yang biasa dilontarkan Jonathan kepada putri cantiknya, tak ada lagi senyum manis yang selalu menghiasi wajah cantik Fransisca, tak ada lagi pujian yang terucap dari bibir Edgar kepada ibunya.
Pagi ini atmosfer di kediaman Keluarga Hadinata masih sama dengan suasana kemarin siang. Kedua kakak beradik itu sama-sama terhanyut dalam lamunan tentang kehangatan keluarga mereka.
“Kak Edgar…”
Suara parau Marissa memecah keheningan di antara mereka.
“Iya dek, kamu mau tambah lagi? Maaf ya, masakan kakak gak seenak masakan ibu.”
“Rissa gak masalahin itu kok, Rissa cuma mau kita balik kaya dulu lagi. Kasihan ayah ibu kalau kita terus-terusan sedih.”
Edgar yang mendengar penuturan sang adik hanya bisa mengangguk-anggukan kepalanya pertanja jika ia pun menyetujui saran dari adiknya itu.
“Udah selesai kan kak? Kita berangkat sekarang aja yuk, biar gak panas di jalan.” ujar Marissa seraya beranjak dari tempatnya duduk menuju wastafel.
Bersambung…
Setibanya di kota tempat Edgar bertugas… “Sebentar lagi kita sampai, dek.” “Mampir dulu ke warung makan langganan kakak ya. Kamu pasti lapar.” “Boleh kak, yang ada di belakang Polda bukan sih tempatnya? “Betul sekali. Seratus buat Marissa, sejuta buat Kak Edgar.” ucap Edgar sembari mengacak gemas rambut Marissa. “Kalau cuma sejuta aku juga punya. Gak perlu nunggu Kak Edgar kasih.” “Iya deh yang gajinya mendekati dua digit, apalah kakakmu ini, yang gajinya gak seberapa.” ujar Edgar merendah. “Merendah untuk meroket sekali kakakku ini. Emang bener sih gaji kakak gak seberapa, tapi remon plus tunjangan kinerja kan banyak.” “Udah-udah jangan dibahas lagi, nanti kamu minder lho. Mending sekarang kita turun aja, udah sampai lho ini.” Edgar pun turun dari Honda HR-V hitam miliknya, yang kemudian langsung masuk ke dalam warung makan langganannya, tak lama kemudian disusul oleh sang adik. Setibanya mereka di dalam warung
Keesokan paginya...Pagi ini terasa sangat berbeda bagi Marissa, pasalnya ia harus bangun lebih awal dari biasanya mengingat sekarang ia tinggal bersama sang kakak di asrama kepolisian. Pagi ini Marissa mengawali paginya dengan memasak menu sederhana untuk sarapan serta bekal makan siang sang kakak. Berbekal ilmu memasak yang diajarkan oleh mendiang ibunya, akhirnya pilihan Marissa jatuh pada menu chicken katsu curry sauce untuk bekal sang kakak dan sup ayam untuk sarapan meraka berdua.Tak lama kemudian, kedua menu tersebut telah tersaji rapi di atas meja makan. Tak lupa pula bekal untuk sang kakak yang sudah tertata rapi di dalam lunch box."Akhirnya kelar juga gue masak. Oke, sekarang saatnya gue bangunin Kak Edgar, terus mandi deh."Kemudian Marissa melangkahkan kakinya menuju kamar utama, kamar yang ditempati oleh Edgar. Lalu Marissa memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar itu."Kak... Kak Edgar... Ayo bangun
"Tumben bawa bekal lo?" ucap David sembari mendekati Edgar."Rissa masakin gue tadi pagi. Kata dia, gue gak boleh jajan sembarangan. Jadi dia masak deh buat bekal gue." jawab Edgar dengan mata berbinar."Idaman betul adek lo. Kalo gue lamar buat jadi Bhayangkari gue boleh gak?""Udah siap dapet bogem mentah dari gue, lo? Gebetan sama pacar-pacar lo mau lo kemanain?""Jelas gue putusin mereka lah, gue niat serius nih. Lo mau kan jadi kakak ipar gue, Ed?"Kalo gue sih terserah Marissa aja. Tapi menurut feeling gue nih ya, Marissa gak mau sama lo, soalnya dia juga tahu kalo lo playboy. Lagipula Marissa masih setia sama cinta pertamanya.""Gila, setia juga adek lo bro. Gue kira dia udah lupa sama cinta monyetnya. Oh iya, gue denger-denger si Jevin jadi Marinir ya? Hebat juga tuh bocah, padahal dulu jadi bahan bully temen-temennya karena introvert." kata David yang ikut serta memakan bekal buatan Marissa itu."Jangan suka
Sedangkan di sisi lain, Edgar terlihat panik serta khawatir akan keadaan adiknya pasca tragedi telepon tadi. Hatinya terasa tidak tenang setelah mengetahui bahwa adiknya terkena tilang."Gue bilang juga apa, Ed. Lo terlalu jahil jadi abang. Becanda lo keterlaluan. Kalaupun gue yang ada di posisi Marissa, gue juga akan lakukan hal yang sama, atau bahkan bisa lebih parah dari itu.""Tapi sayangnya lo bukan Marissa, Vid. Gue khawatir banget. Kira-kira Marissa gimana ya? Dia pasti nangis. Dia kan taat aturan banget. Selama ini dia belum pernah kena tilang. Udah gitu pasti Daniel bentak-bentak Marissa karena dia gak bawa SIM sama STNK." ucap Edgar sambil mondar mandir tak jelas."Lo terlalu overthinking sih. Menurut gue, Marissa bakal lewatin itu semua dengan tenang. Lo gak inget dulu waktu kita bertiga dipalakin anak kampung belakang komplek? Buktinya Marissa bisa tuh luluhin anak bar-bar macem mereka. Udah mending lo tenang dulu, duduk, napas yang teratur. Jujur gu
Setelah puas berkeliling mall dan membeli barang-barang kebutuhannya, akhirnya Marissa melangkahkan kakinya ke toko donat dan kopi yang masih berada di mall tersebut.“Kak, saya mau Jco donut 2 lusin, JPOPS 4 lusin, 1 Avocado Frappe Tre, 2 Caramel Jcoccino Tre." ucap Marissa menyebutkan pesanannya."Oh iya kak, yang Avocado less ice ya." ucap Marissa kemudian."Baik kak. Atas nama kak siapa?""Chaterine." jawab Marissa singkat."Untuk pembayarannya cash atau pakai card, kak?""Pake debit card bisa kan?" tanya Marissa kepada sang kasir."Bisa kak."Kemudian Marissa menyerahkan salah satu kartu debit miliknya guna membayar pesanannya. Sembari menunggu pesanannya, Marissa pun memilih duduk di salah satu kursi yang berada di sudut toko tersebut. Netranya tak sengaja terfokus pada seorang pria yang tengah berdiri di lobby mall tersebut."Itu Kak Jevin bukan sih? Tapi kok dari muka sama postur
"Maaf, dengan Mbak Chaterine Marissa? Adik dari Pak Edgar?" tanya Anton kepada Marissa yang diiringi dengan senyumnya yang memikat hati kaum hawa. "Saya sendiri." jawab Marissa. "Mari ikut saya, mbak." Entah bagaimana, ucapan yang dilontarkan Anton bagaikan mantra sihir yang mampu menghipnotis Marissa. Sedangkan kini, Marissa hanya berjalan mengekori Anton menuju ruang kerja Edgar. Sepertinya Marissa mulai tertarik kepada Anton. Marissa yang merasa bersalah atas insiden tak mengenakan siang tadi akhirnya memberanikan diri untuk memecahkan keheningan di antara keduanya. "Pak Anton, maafkan atas sikap saya siang tadi ya." ucap Marissa yang sedikit gugup. Anton yang merasa diajak bicara pun akhirnya menghentikan langkahnya dan menatap manik coklat milik Marissa. Ada segaris senyum terukir di bibir brigadir polisi satu itu. Senyum tulus nan ikhlas yang selalu ia berikan kepada siapapun yang ia temui. "Gak apa kok Mbak Chate
Kini waktu telah menunjukkan pukul 18.00, seharusnya dua jam yang lalu Edgar pulang, tetapi pria dengan tinggi badan 185 sentimeter itu tetap melanjutkan tugas-tugasnya yang belum selesai. Sesekali diliriknya sang adik yang kini tengah tertidur di salah satu kursi di depan meja kerjanya. Ada perasaan iba dan prihatin atas keadaan yang menimpa adiknya. Di usainya yang baru menginjak dua puluh tahun, Marissa harus menelan pil pahit karena kepergian kedua orang tuanya. Dibelainya kepala sang adik dengan penuh kelembutan."Kamu harus jadi wanita yang kuat, dik. Kak Edgar yakin, kamu mampu melewati semua ujian yang Tuhan berikan. Kakak akan jaga kamu semampu dan sekuat kakak. Apapun yang terjadi di depan nanti, kakak akan selalu ada untuk kamu. Kakak akan jadi orang pertama yang merengkuhmu." ucapnya lirih.Marissa yang sebenarnya sudah terbangun dari sepuluh menit yang lalu pun hanya bisa terdiam, berpura-pura bahwa dirinya masih tertidur dan memejamkan mata. Jujur s
Ekhem...Edgar sengaja berdeham untuk memecahkan keheningan di antara Jevin dan adiknya. Sebenarnya Edgar tahu jika maksud kedatangan Jevin adalah ingin mengajak adiknya kejenjang yang lebih serius."Mau sampai kapan kalian cosplay jadi patung? Gak capek diam terus?""Kalau kakak perhatikan, kalian itu mirip sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Saling diam namun tetap saling merindu."Ucapan yang dilontarkan Edgar membuat keduanya saling tatap dan kemudian mereka tertawa bersama. Agaknya memang benar apa yang Edgar katakan. Jevin dan Marissa terlihat seperti dua sejoli yang tengah bertengkar namun tetap ingin dekat satu sama lain."Mohon ijin bang." ucap Jevin mengawali."Maksud dan tujuan saya ke sini ingin memberikan ini kepada Dik Ica." imbuh Jevin yang seraya mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah dari dalam saku celananya.Di dalamnya terdapat dua buah cincin. Satu cincin paja dan yang lain sebuah cincin emas dengan s
"Jadi, itu alasan kamu minta cium setelah kamu sampai di sini?" Marissa hanya bisa mengangguk pasrah. Pikirannya kacau. Ia takut jika hal-hal yang ia bayangkan menjadi kenyataan. Ia takut jika Jevin meninggalkannya.Jevin menghela napasnya dengan kasar. Diusap pula mukanya dengan kasar. Ia tak menyangka jika aktifitas yang telah ia lakukan bersama kekasihnya hanyalah sekedar pelampiasan sang kekasih yang diselimuti ketakutan."Jadi mau kamu bagaimana, Ca?" ucap Jevin yang kini terdengar tegas.Marissa hanya bisa menunduk pasrah. Dijauhkan tubuhnya yang kini masih berada di dekap hangat sang kekasih. Air matanya tiada henti menuruni lereng pipinya. Sungguh, penampilan Marissa kali ini sangat berbeda dengan Marissa yang tadi dipenuhi napsu yang menggebu.Tiba-tiba...Tangan kekar Jevin merengkuh pinggang Marissa secara posesif. Dipeluknya sang kekasih dengan penuh kasih sayang. Pelukan itu berlangsung cukup lama. Jevin kini tengah berusaha meluruhkan
"Makan dulu yuk. Kamu belum makan dari siang loh." ucap Jevin yang kini masih memeluk erat kekasihnya itu."Nanti dulu sayang, aku telepon Kak Edgar dulu. Mau kabari dia kalau aku jadi menginap di sini."Jevin hanya menganggukkan kepalanya. Kini Jevin mencari posisi ternyamannya. Ia menciumi ceruk leher Marissa. Digigitnya dengan lembut dengan tujuan membuat tanda kepemilikan di leher jenjang sang kekasih."Jangan di leher dong, Babe. Nanti Edgar curiga kalau kita macem-macem.""Gak macem-macem kok, satu macem aja." jawab Jevin dengan santainya.Di detik berikutnya, tangan kekar milik Jevin berhasil menyusup ke dalam kaos yang Marissa kenakan. Desahan dan erangan manja keluar dari bibir tipis Marissa. Selanjutnya, Marissa membalikkan tubuhnya dan menghadap ke arah Jevin."Nanti dulu dong, sayang. Biar aku telepon Kak Edgar. Supaya gak ada yang menginterupsi kegiatan kita." upac Marissa dengan nada manja seraya mengalungkan tangannya
Kini waktu menunjukkan pukul 17.00, sedangkan Jevin dan Marissa masih bergelut di bawah selimut tebal. Baik Jevin maupun Marissa seolah lupa akan status mereka. Status yang belum diakui oleh agama maupun negara. Akan tetapi keduanya seakan tak mengindahkan hal itu, yang mereka pedulikan hanyalah kenikmatan duniawi yang kini tengah melanda."I wanna dance, the music's got me going, ain't nothing that can stop how we move, yeah..."Dering ponsel Marissa akhirnya menginterupsi kegiatan panas di antara keduanya. Dengan cepat Marissa mencari gawainya yang entah dimana keberadaanya karena tak sengaja terlempar."Halo kak, ada apa?" ucap Marissa yang kini masih berada di bawah kungkungan Jevin."Kok lama banget angkatnya? Kamu lagi apa sih?""Maaf kak, aku baru selesai mandi. Ini di hotel tempat Jevin menginap.""Kata Joshua, tadi kamu pergi gak pamit. Ada masalah apa sih dek?" tanya Edgar yang berusaha menyembunyikan rasa khawatir k
CUP...Pria itu dengan spontan mencium pipi Marissa.PLAK...Dengan segenap emosi, Marissa pun menampar sosok yang menutup matanya tadi."Gak sopan!" ucap Marissa yang sedikit berteriak."Sorry, Ris. Aku gak maksud kurang ajar ke kamu. Aku cuma mau bikin kejutan aja buat kamu.""Tapi gak kayak gini caranya!"Selera makan Marissa pun hilang karena hal tersebut. Kemudian dirinya pergi meninggalkan dua orang pria yang kini tengah menyesali perbuatannya.Fernando Anthony, lelaki yang baru saja berani mencium pipi Marissa dengan alasan ingin mengejutkan Marissa. Namun nyatanya? Marissa merasa bahwa dirinya benar-benar dilecehkan oleh orang yang ia percaya sebagai temannya.Hati Marissa hancur. Jujur saja, Jevin yang kini telah menjadi kekasihnya pun belum pernah mencium pipi Marissa, sedangkan Anton? Dengan sengaja ia melakukan halbodoh itu kepada Marissa. Air mata Marissa pun jatuh ketika mendapatkan perlakuan seper
Hari ini adalah hari pertama Marissa bekerja di kantor cabang. Jujur saja, sedari tadi pagi ketika ia membuka matanya, rasa gugup menyelimutinya. Meskipun sang kakak dan kekasihnya sudah memberikan suntikan semangat, tetap saja ia merasa gugup dan sedikit merasa tidak percaya diri. Jantungnya berdegup dengan sangat cepat ketika ia menginjakkan kaki di halaman gedung tersebut. "Selamat pagi, mba. Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang satpam dengan perut sedikit buncit yang bernama Sodikin. "Selamat pagi, pak. Maaf saya karyawan baru, bisa saya bertemu dengan Ibu Mitha atau dengan Pak Jo? Dan satu lagi pak, apa betul dua hari yang lalu ada mobil navara berwarna hitam yang diantar ke kantor ini dari kantor pusat?" tanya Marissa dengan bahasa dan tutur kata yang sopan. Sedangkan satu orang satpam lainnya menatap Marissa dengan tatapan yang sulit diartikan. Mungkin hampir seperti tatapan seekor predator yang melihat rusa buruannya di depan mata, ya tatapan kela
Ekhem...Edgar sengaja berdeham untuk memecahkan keheningan di antara Jevin dan adiknya. Sebenarnya Edgar tahu jika maksud kedatangan Jevin adalah ingin mengajak adiknya kejenjang yang lebih serius."Mau sampai kapan kalian cosplay jadi patung? Gak capek diam terus?""Kalau kakak perhatikan, kalian itu mirip sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Saling diam namun tetap saling merindu."Ucapan yang dilontarkan Edgar membuat keduanya saling tatap dan kemudian mereka tertawa bersama. Agaknya memang benar apa yang Edgar katakan. Jevin dan Marissa terlihat seperti dua sejoli yang tengah bertengkar namun tetap ingin dekat satu sama lain."Mohon ijin bang." ucap Jevin mengawali."Maksud dan tujuan saya ke sini ingin memberikan ini kepada Dik Ica." imbuh Jevin yang seraya mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah dari dalam saku celananya.Di dalamnya terdapat dua buah cincin. Satu cincin paja dan yang lain sebuah cincin emas dengan s
Kini waktu telah menunjukkan pukul 18.00, seharusnya dua jam yang lalu Edgar pulang, tetapi pria dengan tinggi badan 185 sentimeter itu tetap melanjutkan tugas-tugasnya yang belum selesai. Sesekali diliriknya sang adik yang kini tengah tertidur di salah satu kursi di depan meja kerjanya. Ada perasaan iba dan prihatin atas keadaan yang menimpa adiknya. Di usainya yang baru menginjak dua puluh tahun, Marissa harus menelan pil pahit karena kepergian kedua orang tuanya. Dibelainya kepala sang adik dengan penuh kelembutan."Kamu harus jadi wanita yang kuat, dik. Kak Edgar yakin, kamu mampu melewati semua ujian yang Tuhan berikan. Kakak akan jaga kamu semampu dan sekuat kakak. Apapun yang terjadi di depan nanti, kakak akan selalu ada untuk kamu. Kakak akan jadi orang pertama yang merengkuhmu." ucapnya lirih.Marissa yang sebenarnya sudah terbangun dari sepuluh menit yang lalu pun hanya bisa terdiam, berpura-pura bahwa dirinya masih tertidur dan memejamkan mata. Jujur s
"Maaf, dengan Mbak Chaterine Marissa? Adik dari Pak Edgar?" tanya Anton kepada Marissa yang diiringi dengan senyumnya yang memikat hati kaum hawa. "Saya sendiri." jawab Marissa. "Mari ikut saya, mbak." Entah bagaimana, ucapan yang dilontarkan Anton bagaikan mantra sihir yang mampu menghipnotis Marissa. Sedangkan kini, Marissa hanya berjalan mengekori Anton menuju ruang kerja Edgar. Sepertinya Marissa mulai tertarik kepada Anton. Marissa yang merasa bersalah atas insiden tak mengenakan siang tadi akhirnya memberanikan diri untuk memecahkan keheningan di antara keduanya. "Pak Anton, maafkan atas sikap saya siang tadi ya." ucap Marissa yang sedikit gugup. Anton yang merasa diajak bicara pun akhirnya menghentikan langkahnya dan menatap manik coklat milik Marissa. Ada segaris senyum terukir di bibir brigadir polisi satu itu. Senyum tulus nan ikhlas yang selalu ia berikan kepada siapapun yang ia temui. "Gak apa kok Mbak Chate
Setelah puas berkeliling mall dan membeli barang-barang kebutuhannya, akhirnya Marissa melangkahkan kakinya ke toko donat dan kopi yang masih berada di mall tersebut.“Kak, saya mau Jco donut 2 lusin, JPOPS 4 lusin, 1 Avocado Frappe Tre, 2 Caramel Jcoccino Tre." ucap Marissa menyebutkan pesanannya."Oh iya kak, yang Avocado less ice ya." ucap Marissa kemudian."Baik kak. Atas nama kak siapa?""Chaterine." jawab Marissa singkat."Untuk pembayarannya cash atau pakai card, kak?""Pake debit card bisa kan?" tanya Marissa kepada sang kasir."Bisa kak."Kemudian Marissa menyerahkan salah satu kartu debit miliknya guna membayar pesanannya. Sembari menunggu pesanannya, Marissa pun memilih duduk di salah satu kursi yang berada di sudut toko tersebut. Netranya tak sengaja terfokus pada seorang pria yang tengah berdiri di lobby mall tersebut."Itu Kak Jevin bukan sih? Tapi kok dari muka sama postur