Keesokan paginya...
Pagi ini terasa sangat berbeda bagi Marissa, pasalnya ia harus bangun lebih awal dari biasanya mengingat sekarang ia tinggal bersama sang kakak di asrama kepolisian. Pagi ini Marissa mengawali paginya dengan memasak menu sederhana untuk sarapan serta bekal makan siang sang kakak. Berbekal ilmu memasak yang diajarkan oleh mendiang ibunya, akhirnya pilihan Marissa jatuh pada menu chicken katsu curry sauce untuk bekal sang kakak dan sup ayam untuk sarapan meraka berdua.
Tak lama kemudian, kedua menu tersebut telah tersaji rapi di atas meja makan. Tak lupa pula bekal untuk sang kakak yang sudah tertata rapi di dalam lunch box.
"Akhirnya kelar juga gue masak. Oke, sekarang saatnya gue bangunin Kak Edgar, terus mandi deh."
Kemudian Marissa melangkahkan kakinya menuju kamar utama, kamar yang ditempati oleh Edgar. Lalu Marissa memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar itu.
"Kak... Kak Edgar... Ayo bangun kak."
"Rissa udah masak buat sarapan tuh."
"Kakak... Bangun dong..."
CEKLEK...
Tanpa aba-aba dari sang pemilik kamar, tiba-tiba saja pintu kamar itu terbuka yang membuat Marissa hampir jatuh karena dirinya tak sengaja bersandar pada pintu. Lalu munculah Edgar dengan seragam lengkap kepolisian yang membuat dirinya terlihat lebih gagah dari biasanya.
"Ck, kalo mau buka pintu tuh kasih aba-aba dulu kek. Atau jawab dulu gitu, biar Rissa ada persiapan." ucap Marissa sedikit kesal.
"Mohon maaf lahir dan batin ya adik cantikku. Kan Kak Edgar gak tahu kalau kamu nyender di pintu. Kalau kakak tahu juga gak bakal langsung kakak buka."
"Setidaknya jawab gitu lho. Agar supaya saya mengetahui jikalau bapak sudah siap begini."
Edgar yang dicecar adiknya itu hanya bisa tersenyum sembari mencubit gemas pipi sang adik yang chubby itu.
"Gak usah cubit pipi, skincare mahal tau!"
Edgar seolah tak memperhatikan sang adik, tangan kirinya sibuk memainkan ponsel pintar miliknya. Tak berselang lama terdengar nada pemberitahuan dari gawai sang adik. Marissa pun bergegas menuju meja makan untuk mengambil benda pipihnya itu. Tak lama kemudian, ekspresi terkejut tergambar di wajah Marissa.
"Kakak transfer aku? Buat apa kak?"
"Buat beli skincare. Kan kata kamu tadi harga skincare mahal. Jadi kakak ganti rugi aja karena tadi udah cubit pipi gembul kamu."
"Aww... Terimakasih pakpol gantengku. Sering-sering aja kasih uang jajan buat aku."
"Kembali kasih, adik. Gih kamu mandi, bau asemnya kecium sampe portal depan lho."
"Dih lebay kakak tuh, masih wangi aku tuh kak."
"Udah buruan sana mandi."
"Iya-iya kak, bawel bener macem ibu-ibu komplek." ucap Marissa berlalu meninggalkan Edgar yang sudah duduk manis di kursi ruang makan.
"Kakak dengar lho dek. Nanti kakak aduin ke ibu-ibu sini pokoknya." kata Edgar yang sedikit berteriak.
"KAK EGA CEPUUUU! GAK LIKE AKU POKOKNYA!"
Suara tawa Edgar menggema ke setiap penjuru rumah dinasnya yang tak begitu besar. Ada rasa puas di dalam hatinya jika sudah menjahili Marissa. Sekarang tatapan Edgar tertuju pada kotak bekal makan siang yang tersusun rapi di atas meja makan. Matanya terlihat berkaca-kaca setelah melihat pemandangan itu.
"Terimakasih Marissaku sayang, dengan adanya kamu di sini, setidaknya kakak bisa merasakan kehadiran ibu dan ayah di rumah ini." ucap Edgar lirih.
Lima belas menit kemudian...
"Loh, kakak kok gak makan? Kalo telat gimana?"
"Kakak nunggu kamu, kita sarapan bareng. Kakak gak mau kamu merasa kesepian karena harus makan sendirian. Kakak akan selalu usahakan untuk makan bareng kamu di rumah."
"Utututututu... Manis sekali kakak tampanku ini. Abis kerasukan si manis jembatan pengkol pasti nih."
"Sembarangan aja kamu ini. Kakak bersikap manis ke kamu salah, bersikap galak salah, jadi yang bener gimana?"
"Yang bener tuh yang gak salah kak." ujar Marissa sembari menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.
"Lho kok kamu makan duluan sih dek? Padahal kakak udah nungguin kamu dari tadi lho."
"Abisnya Kak Edgar ceramah mulu sih. Udah cocok kok kalo jadi Kapolri." ucap Marisa dengan mulut penuh dengan makanan.
UHUK...UHUK...UHUK...
"Bandel sih dibilangin. Kalo makan tuh jangan sambil ngomong, yang ada jadi keselek gini kan? Udah nih minum dulu." kata Edgar sembari menyodorkan segelas air mineral kepada Marissa.
"Thank you pakpolku yang tampan dan gemoy."
"Dilanjut makannya. Jangan sambil ngobrol. Kakak gak mau tanggung jawab kalau kamu harus keselek sendok."
"Ngeri banget mulut kakak, macem ibu Malin Kundang."
"Kakak udah selesai. Kakak berangkat duluan ya."
"Lah kok cepet banget? Terus kakak berangkat naik apa?"
"Naik motor dong, masa iya naik haji." ucap Edgar sembari melangkahkan kakinya keluar dari rumah."
"Gak lucu becandanya."
"Oh iya dek, nanti kalau kamu mau lihat kampus barumu, kamu pakai mobil kakak aja ya. Gak usah naik taksi online apalagi naik bus. Di sini banyak copet soalnya."
"Siap komandan. Kakak hati-hati di jalan ya. Bekalnya jangan lupa dimakan. Jangan jajan sembarangan. Dan satu lagi, jangan suka kasbon di warung makan, kasihan ibu penjualnya."
Edgar tersenyum manis kepada adiknya. Perkataan Marissa kepadanya mengingatkan tentang mendiang ibunya yang selalu mengucapkan pesan sebelum ia berangkat bekerja.
...
Polda DIY
Hari ini Edgar terlihat lebih bersemangat dari hari biasanya. Hal itu disebebkan karena perlakuan kecil yang dilakukakn adiknya. Kehadiran Marissa membuat Edgar merasa jika ibunya masih ada di sekitarnya.
"Bro, syukurlah lo udah gak sedih lagi. Turut berduka cita ya. Sorry gue gak bisa hadir di pemakaman nyokap bokap lo." ucap David yang merupakan sahabatnya sedari kecil.
"Makasih Dave." jawab Edgar singkat.
"Gue perhatiin dari tadi, kayaknya lo mesam-mesem aja. Lagi kasmaran lo?"
"Enggak lah, gue mana ada pikiran sampe sana. Gue cuma sedikit lebih tenang karena Marissa mau tinggal bareng gue. Gak tega gue kalo harus ninggalin dia sendirian di Jakarta."
"Jadi Marissa tinggal bareng lo sekarang? Terus kemarin siang yang dilihat Daniel di warung Bu Marni itu si Marissa?"
"Betul sekali anda. Emang Daniel ngomong gimana ke elo?"
"Ya dia bilang kalo lo ngajak cewek lo makan di warung."
"Syukurlah kalo Daniel gak cerita macem-macem."
"Emang kenapa, Ed?"
"Biasa lah, Rissa ngambek gara-gara gue kasbon di warung. Terus dia juga ngambek gara-gara Daniel nyeletuk kalo Rissa pacar gue. Langsung berubah gitu dia. Lo tahu sendirikan gimana Rissa kalo ngamuk?"
"Pasti lo gak belain adek lo. Iya kan? Ngaku aja deh."
Begitulah obrolan singkat antara dua sahabat itu. Sedari kecil Edgar dan David memang sudah bersahabat, mereka tinggal di satu perumahan yang sama. Dari sekolah dasar sampai pendidikan di akademi kepolisian pun mereka selalu bersama. Hingga akhirnya mereka di tempatkan di tempat tugas yang sama.
Akhirnya, jam makan siang pun tiba. David pun menghampiri Edgar untuk mengajaknya makan bersama.
"Bro, mau makan gak?" kata David yang berhasil memecah konsentrasi Edgar.
"Skip dulu deh. Gue bawa bekal."
"Tumben bawa bekal lo?" ucap David sembari mendekati Edgar.
"Rissa masakin gue tadi pagi. Kata dia, gue gak boleh jajan sembarangan. Jadi dia masak deh buat bekal gue." jawab Edgar dengan mata berbinar.
"Idaman betul adek lo. Kalo gue lamar buat jadi Bhayangkari gue boleh gak?"
Bersambung...
"Tumben bawa bekal lo?" ucap David sembari mendekati Edgar."Rissa masakin gue tadi pagi. Kata dia, gue gak boleh jajan sembarangan. Jadi dia masak deh buat bekal gue." jawab Edgar dengan mata berbinar."Idaman betul adek lo. Kalo gue lamar buat jadi Bhayangkari gue boleh gak?""Udah siap dapet bogem mentah dari gue, lo? Gebetan sama pacar-pacar lo mau lo kemanain?""Jelas gue putusin mereka lah, gue niat serius nih. Lo mau kan jadi kakak ipar gue, Ed?"Kalo gue sih terserah Marissa aja. Tapi menurut feeling gue nih ya, Marissa gak mau sama lo, soalnya dia juga tahu kalo lo playboy. Lagipula Marissa masih setia sama cinta pertamanya.""Gila, setia juga adek lo bro. Gue kira dia udah lupa sama cinta monyetnya. Oh iya, gue denger-denger si Jevin jadi Marinir ya? Hebat juga tuh bocah, padahal dulu jadi bahan bully temen-temennya karena introvert." kata David yang ikut serta memakan bekal buatan Marissa itu."Jangan suka
Sedangkan di sisi lain, Edgar terlihat panik serta khawatir akan keadaan adiknya pasca tragedi telepon tadi. Hatinya terasa tidak tenang setelah mengetahui bahwa adiknya terkena tilang."Gue bilang juga apa, Ed. Lo terlalu jahil jadi abang. Becanda lo keterlaluan. Kalaupun gue yang ada di posisi Marissa, gue juga akan lakukan hal yang sama, atau bahkan bisa lebih parah dari itu.""Tapi sayangnya lo bukan Marissa, Vid. Gue khawatir banget. Kira-kira Marissa gimana ya? Dia pasti nangis. Dia kan taat aturan banget. Selama ini dia belum pernah kena tilang. Udah gitu pasti Daniel bentak-bentak Marissa karena dia gak bawa SIM sama STNK." ucap Edgar sambil mondar mandir tak jelas."Lo terlalu overthinking sih. Menurut gue, Marissa bakal lewatin itu semua dengan tenang. Lo gak inget dulu waktu kita bertiga dipalakin anak kampung belakang komplek? Buktinya Marissa bisa tuh luluhin anak bar-bar macem mereka. Udah mending lo tenang dulu, duduk, napas yang teratur. Jujur gu
Setelah puas berkeliling mall dan membeli barang-barang kebutuhannya, akhirnya Marissa melangkahkan kakinya ke toko donat dan kopi yang masih berada di mall tersebut.“Kak, saya mau Jco donut 2 lusin, JPOPS 4 lusin, 1 Avocado Frappe Tre, 2 Caramel Jcoccino Tre." ucap Marissa menyebutkan pesanannya."Oh iya kak, yang Avocado less ice ya." ucap Marissa kemudian."Baik kak. Atas nama kak siapa?""Chaterine." jawab Marissa singkat."Untuk pembayarannya cash atau pakai card, kak?""Pake debit card bisa kan?" tanya Marissa kepada sang kasir."Bisa kak."Kemudian Marissa menyerahkan salah satu kartu debit miliknya guna membayar pesanannya. Sembari menunggu pesanannya, Marissa pun memilih duduk di salah satu kursi yang berada di sudut toko tersebut. Netranya tak sengaja terfokus pada seorang pria yang tengah berdiri di lobby mall tersebut."Itu Kak Jevin bukan sih? Tapi kok dari muka sama postur
"Maaf, dengan Mbak Chaterine Marissa? Adik dari Pak Edgar?" tanya Anton kepada Marissa yang diiringi dengan senyumnya yang memikat hati kaum hawa. "Saya sendiri." jawab Marissa. "Mari ikut saya, mbak." Entah bagaimana, ucapan yang dilontarkan Anton bagaikan mantra sihir yang mampu menghipnotis Marissa. Sedangkan kini, Marissa hanya berjalan mengekori Anton menuju ruang kerja Edgar. Sepertinya Marissa mulai tertarik kepada Anton. Marissa yang merasa bersalah atas insiden tak mengenakan siang tadi akhirnya memberanikan diri untuk memecahkan keheningan di antara keduanya. "Pak Anton, maafkan atas sikap saya siang tadi ya." ucap Marissa yang sedikit gugup. Anton yang merasa diajak bicara pun akhirnya menghentikan langkahnya dan menatap manik coklat milik Marissa. Ada segaris senyum terukir di bibir brigadir polisi satu itu. Senyum tulus nan ikhlas yang selalu ia berikan kepada siapapun yang ia temui. "Gak apa kok Mbak Chate
Kini waktu telah menunjukkan pukul 18.00, seharusnya dua jam yang lalu Edgar pulang, tetapi pria dengan tinggi badan 185 sentimeter itu tetap melanjutkan tugas-tugasnya yang belum selesai. Sesekali diliriknya sang adik yang kini tengah tertidur di salah satu kursi di depan meja kerjanya. Ada perasaan iba dan prihatin atas keadaan yang menimpa adiknya. Di usainya yang baru menginjak dua puluh tahun, Marissa harus menelan pil pahit karena kepergian kedua orang tuanya. Dibelainya kepala sang adik dengan penuh kelembutan."Kamu harus jadi wanita yang kuat, dik. Kak Edgar yakin, kamu mampu melewati semua ujian yang Tuhan berikan. Kakak akan jaga kamu semampu dan sekuat kakak. Apapun yang terjadi di depan nanti, kakak akan selalu ada untuk kamu. Kakak akan jadi orang pertama yang merengkuhmu." ucapnya lirih.Marissa yang sebenarnya sudah terbangun dari sepuluh menit yang lalu pun hanya bisa terdiam, berpura-pura bahwa dirinya masih tertidur dan memejamkan mata. Jujur s
Ekhem...Edgar sengaja berdeham untuk memecahkan keheningan di antara Jevin dan adiknya. Sebenarnya Edgar tahu jika maksud kedatangan Jevin adalah ingin mengajak adiknya kejenjang yang lebih serius."Mau sampai kapan kalian cosplay jadi patung? Gak capek diam terus?""Kalau kakak perhatikan, kalian itu mirip sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Saling diam namun tetap saling merindu."Ucapan yang dilontarkan Edgar membuat keduanya saling tatap dan kemudian mereka tertawa bersama. Agaknya memang benar apa yang Edgar katakan. Jevin dan Marissa terlihat seperti dua sejoli yang tengah bertengkar namun tetap ingin dekat satu sama lain."Mohon ijin bang." ucap Jevin mengawali."Maksud dan tujuan saya ke sini ingin memberikan ini kepada Dik Ica." imbuh Jevin yang seraya mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah dari dalam saku celananya.Di dalamnya terdapat dua buah cincin. Satu cincin paja dan yang lain sebuah cincin emas dengan s
Hari ini adalah hari pertama Marissa bekerja di kantor cabang. Jujur saja, sedari tadi pagi ketika ia membuka matanya, rasa gugup menyelimutinya. Meskipun sang kakak dan kekasihnya sudah memberikan suntikan semangat, tetap saja ia merasa gugup dan sedikit merasa tidak percaya diri. Jantungnya berdegup dengan sangat cepat ketika ia menginjakkan kaki di halaman gedung tersebut. "Selamat pagi, mba. Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang satpam dengan perut sedikit buncit yang bernama Sodikin. "Selamat pagi, pak. Maaf saya karyawan baru, bisa saya bertemu dengan Ibu Mitha atau dengan Pak Jo? Dan satu lagi pak, apa betul dua hari yang lalu ada mobil navara berwarna hitam yang diantar ke kantor ini dari kantor pusat?" tanya Marissa dengan bahasa dan tutur kata yang sopan. Sedangkan satu orang satpam lainnya menatap Marissa dengan tatapan yang sulit diartikan. Mungkin hampir seperti tatapan seekor predator yang melihat rusa buruannya di depan mata, ya tatapan kela
CUP...Pria itu dengan spontan mencium pipi Marissa.PLAK...Dengan segenap emosi, Marissa pun menampar sosok yang menutup matanya tadi."Gak sopan!" ucap Marissa yang sedikit berteriak."Sorry, Ris. Aku gak maksud kurang ajar ke kamu. Aku cuma mau bikin kejutan aja buat kamu.""Tapi gak kayak gini caranya!"Selera makan Marissa pun hilang karena hal tersebut. Kemudian dirinya pergi meninggalkan dua orang pria yang kini tengah menyesali perbuatannya.Fernando Anthony, lelaki yang baru saja berani mencium pipi Marissa dengan alasan ingin mengejutkan Marissa. Namun nyatanya? Marissa merasa bahwa dirinya benar-benar dilecehkan oleh orang yang ia percaya sebagai temannya.Hati Marissa hancur. Jujur saja, Jevin yang kini telah menjadi kekasihnya pun belum pernah mencium pipi Marissa, sedangkan Anton? Dengan sengaja ia melakukan halbodoh itu kepada Marissa. Air mata Marissa pun jatuh ketika mendapatkan perlakuan seper
"Jadi, itu alasan kamu minta cium setelah kamu sampai di sini?" Marissa hanya bisa mengangguk pasrah. Pikirannya kacau. Ia takut jika hal-hal yang ia bayangkan menjadi kenyataan. Ia takut jika Jevin meninggalkannya.Jevin menghela napasnya dengan kasar. Diusap pula mukanya dengan kasar. Ia tak menyangka jika aktifitas yang telah ia lakukan bersama kekasihnya hanyalah sekedar pelampiasan sang kekasih yang diselimuti ketakutan."Jadi mau kamu bagaimana, Ca?" ucap Jevin yang kini terdengar tegas.Marissa hanya bisa menunduk pasrah. Dijauhkan tubuhnya yang kini masih berada di dekap hangat sang kekasih. Air matanya tiada henti menuruni lereng pipinya. Sungguh, penampilan Marissa kali ini sangat berbeda dengan Marissa yang tadi dipenuhi napsu yang menggebu.Tiba-tiba...Tangan kekar Jevin merengkuh pinggang Marissa secara posesif. Dipeluknya sang kekasih dengan penuh kasih sayang. Pelukan itu berlangsung cukup lama. Jevin kini tengah berusaha meluruhkan
"Makan dulu yuk. Kamu belum makan dari siang loh." ucap Jevin yang kini masih memeluk erat kekasihnya itu."Nanti dulu sayang, aku telepon Kak Edgar dulu. Mau kabari dia kalau aku jadi menginap di sini."Jevin hanya menganggukkan kepalanya. Kini Jevin mencari posisi ternyamannya. Ia menciumi ceruk leher Marissa. Digigitnya dengan lembut dengan tujuan membuat tanda kepemilikan di leher jenjang sang kekasih."Jangan di leher dong, Babe. Nanti Edgar curiga kalau kita macem-macem.""Gak macem-macem kok, satu macem aja." jawab Jevin dengan santainya.Di detik berikutnya, tangan kekar milik Jevin berhasil menyusup ke dalam kaos yang Marissa kenakan. Desahan dan erangan manja keluar dari bibir tipis Marissa. Selanjutnya, Marissa membalikkan tubuhnya dan menghadap ke arah Jevin."Nanti dulu dong, sayang. Biar aku telepon Kak Edgar. Supaya gak ada yang menginterupsi kegiatan kita." upac Marissa dengan nada manja seraya mengalungkan tangannya
Kini waktu menunjukkan pukul 17.00, sedangkan Jevin dan Marissa masih bergelut di bawah selimut tebal. Baik Jevin maupun Marissa seolah lupa akan status mereka. Status yang belum diakui oleh agama maupun negara. Akan tetapi keduanya seakan tak mengindahkan hal itu, yang mereka pedulikan hanyalah kenikmatan duniawi yang kini tengah melanda."I wanna dance, the music's got me going, ain't nothing that can stop how we move, yeah..."Dering ponsel Marissa akhirnya menginterupsi kegiatan panas di antara keduanya. Dengan cepat Marissa mencari gawainya yang entah dimana keberadaanya karena tak sengaja terlempar."Halo kak, ada apa?" ucap Marissa yang kini masih berada di bawah kungkungan Jevin."Kok lama banget angkatnya? Kamu lagi apa sih?""Maaf kak, aku baru selesai mandi. Ini di hotel tempat Jevin menginap.""Kata Joshua, tadi kamu pergi gak pamit. Ada masalah apa sih dek?" tanya Edgar yang berusaha menyembunyikan rasa khawatir k
CUP...Pria itu dengan spontan mencium pipi Marissa.PLAK...Dengan segenap emosi, Marissa pun menampar sosok yang menutup matanya tadi."Gak sopan!" ucap Marissa yang sedikit berteriak."Sorry, Ris. Aku gak maksud kurang ajar ke kamu. Aku cuma mau bikin kejutan aja buat kamu.""Tapi gak kayak gini caranya!"Selera makan Marissa pun hilang karena hal tersebut. Kemudian dirinya pergi meninggalkan dua orang pria yang kini tengah menyesali perbuatannya.Fernando Anthony, lelaki yang baru saja berani mencium pipi Marissa dengan alasan ingin mengejutkan Marissa. Namun nyatanya? Marissa merasa bahwa dirinya benar-benar dilecehkan oleh orang yang ia percaya sebagai temannya.Hati Marissa hancur. Jujur saja, Jevin yang kini telah menjadi kekasihnya pun belum pernah mencium pipi Marissa, sedangkan Anton? Dengan sengaja ia melakukan halbodoh itu kepada Marissa. Air mata Marissa pun jatuh ketika mendapatkan perlakuan seper
Hari ini adalah hari pertama Marissa bekerja di kantor cabang. Jujur saja, sedari tadi pagi ketika ia membuka matanya, rasa gugup menyelimutinya. Meskipun sang kakak dan kekasihnya sudah memberikan suntikan semangat, tetap saja ia merasa gugup dan sedikit merasa tidak percaya diri. Jantungnya berdegup dengan sangat cepat ketika ia menginjakkan kaki di halaman gedung tersebut. "Selamat pagi, mba. Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang satpam dengan perut sedikit buncit yang bernama Sodikin. "Selamat pagi, pak. Maaf saya karyawan baru, bisa saya bertemu dengan Ibu Mitha atau dengan Pak Jo? Dan satu lagi pak, apa betul dua hari yang lalu ada mobil navara berwarna hitam yang diantar ke kantor ini dari kantor pusat?" tanya Marissa dengan bahasa dan tutur kata yang sopan. Sedangkan satu orang satpam lainnya menatap Marissa dengan tatapan yang sulit diartikan. Mungkin hampir seperti tatapan seekor predator yang melihat rusa buruannya di depan mata, ya tatapan kela
Ekhem...Edgar sengaja berdeham untuk memecahkan keheningan di antara Jevin dan adiknya. Sebenarnya Edgar tahu jika maksud kedatangan Jevin adalah ingin mengajak adiknya kejenjang yang lebih serius."Mau sampai kapan kalian cosplay jadi patung? Gak capek diam terus?""Kalau kakak perhatikan, kalian itu mirip sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Saling diam namun tetap saling merindu."Ucapan yang dilontarkan Edgar membuat keduanya saling tatap dan kemudian mereka tertawa bersama. Agaknya memang benar apa yang Edgar katakan. Jevin dan Marissa terlihat seperti dua sejoli yang tengah bertengkar namun tetap ingin dekat satu sama lain."Mohon ijin bang." ucap Jevin mengawali."Maksud dan tujuan saya ke sini ingin memberikan ini kepada Dik Ica." imbuh Jevin yang seraya mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah dari dalam saku celananya.Di dalamnya terdapat dua buah cincin. Satu cincin paja dan yang lain sebuah cincin emas dengan s
Kini waktu telah menunjukkan pukul 18.00, seharusnya dua jam yang lalu Edgar pulang, tetapi pria dengan tinggi badan 185 sentimeter itu tetap melanjutkan tugas-tugasnya yang belum selesai. Sesekali diliriknya sang adik yang kini tengah tertidur di salah satu kursi di depan meja kerjanya. Ada perasaan iba dan prihatin atas keadaan yang menimpa adiknya. Di usainya yang baru menginjak dua puluh tahun, Marissa harus menelan pil pahit karena kepergian kedua orang tuanya. Dibelainya kepala sang adik dengan penuh kelembutan."Kamu harus jadi wanita yang kuat, dik. Kak Edgar yakin, kamu mampu melewati semua ujian yang Tuhan berikan. Kakak akan jaga kamu semampu dan sekuat kakak. Apapun yang terjadi di depan nanti, kakak akan selalu ada untuk kamu. Kakak akan jadi orang pertama yang merengkuhmu." ucapnya lirih.Marissa yang sebenarnya sudah terbangun dari sepuluh menit yang lalu pun hanya bisa terdiam, berpura-pura bahwa dirinya masih tertidur dan memejamkan mata. Jujur s
"Maaf, dengan Mbak Chaterine Marissa? Adik dari Pak Edgar?" tanya Anton kepada Marissa yang diiringi dengan senyumnya yang memikat hati kaum hawa. "Saya sendiri." jawab Marissa. "Mari ikut saya, mbak." Entah bagaimana, ucapan yang dilontarkan Anton bagaikan mantra sihir yang mampu menghipnotis Marissa. Sedangkan kini, Marissa hanya berjalan mengekori Anton menuju ruang kerja Edgar. Sepertinya Marissa mulai tertarik kepada Anton. Marissa yang merasa bersalah atas insiden tak mengenakan siang tadi akhirnya memberanikan diri untuk memecahkan keheningan di antara keduanya. "Pak Anton, maafkan atas sikap saya siang tadi ya." ucap Marissa yang sedikit gugup. Anton yang merasa diajak bicara pun akhirnya menghentikan langkahnya dan menatap manik coklat milik Marissa. Ada segaris senyum terukir di bibir brigadir polisi satu itu. Senyum tulus nan ikhlas yang selalu ia berikan kepada siapapun yang ia temui. "Gak apa kok Mbak Chate
Setelah puas berkeliling mall dan membeli barang-barang kebutuhannya, akhirnya Marissa melangkahkan kakinya ke toko donat dan kopi yang masih berada di mall tersebut.“Kak, saya mau Jco donut 2 lusin, JPOPS 4 lusin, 1 Avocado Frappe Tre, 2 Caramel Jcoccino Tre." ucap Marissa menyebutkan pesanannya."Oh iya kak, yang Avocado less ice ya." ucap Marissa kemudian."Baik kak. Atas nama kak siapa?""Chaterine." jawab Marissa singkat."Untuk pembayarannya cash atau pakai card, kak?""Pake debit card bisa kan?" tanya Marissa kepada sang kasir."Bisa kak."Kemudian Marissa menyerahkan salah satu kartu debit miliknya guna membayar pesanannya. Sembari menunggu pesanannya, Marissa pun memilih duduk di salah satu kursi yang berada di sudut toko tersebut. Netranya tak sengaja terfokus pada seorang pria yang tengah berdiri di lobby mall tersebut."Itu Kak Jevin bukan sih? Tapi kok dari muka sama postur