Setelah puas berkeliling mall dan membeli barang-barang kebutuhannya, akhirnya Marissa melangkahkan kakinya ke toko donat dan kopi yang masih berada di mall tersebut.
“Kak, saya mau Jco donut 2 lusin, JPOPS 4 lusin, 1 Avocado Frappe Tre, 2 Caramel Jcoccino Tre." ucap Marissa menyebutkan pesanannya.
"Oh iya kak, yang Avocado less ice ya." ucap Marissa kemudian.
"Baik kak. Atas nama kak siapa?"
"Chaterine." jawab Marissa singkat.
"Untuk pembayarannya cash atau pakai card, kak?"
"Pake debit card bisa kan?" tanya Marissa kepada sang kasir.
"Bisa kak."
Kemudian Marissa menyerahkan salah satu kartu debit miliknya guna membayar pesanannya. Sembari menunggu pesanannya, Marissa pun memilih duduk di salah satu kursi yang berada di sudut toko tersebut. Netranya tak sengaja terfokus pada seorang pria yang tengah berdiri di lobby mall tersebut.
"Itu Kak Jevin bukan sih? Tapi kok dari muka sama postur badannya mirip Kak Jevin banget. Apa gue samperin aja ya?"
Saat hendak beranjak untuk menghampiri pria yang ia yakini adalah cinta pertamanya, tiba-tiba panggilan dari kasir membuat Marissa mengurungkan niatnya.
"Atas nama Kak Chaterine?" ucap si kasir memanggil nama Marissa.
Akhirnya Marissa pun melangkahkan kakinya dengan gontai. Hatinya masih merasa penasaran dengan apa yang baru saja ia lihat. Bagaikan mimpi yang jadi kenyataan jika ia bisa bertemu dengan sang pujaan hati.
"Silakan ini pesanannya, kak. Bisa di cek ulang dulu kak." ucap kasir dengan ramah.
"Gak perlu kak, terimakasih." jawab Marissa yang diiringi dengan senyum cantiknya.
Langkah kaki membawa Marissa keluar dari toko donat tersebut dan membawanya menuju salah satu toko yang digandrungi kaum hawa, yaitu The Body Shop. Setelah puas berbelanja di toko tersebut, Marissa pun memutuskan untuk menghubungi sang kakak.
"Kak Edgar..." ucap Marissa mengawali panggilan teleponnya.
"Kenapa dek? Udah selesai belanjanya? Atau mau kakak jemput?"
"Udah kok, ini mau pulang, mau pesen taksi online. Kakak masih di kantor kan? Kalau masih aku mau ke sana." ucap Marissa kemudian.
Edgar yang berada di seberang telepon pun hanya mengulas senyum karena cara bicara Marissa yang sudah kembali normal. Hatinya terasa lega karena akhirnya Marissa bisa sedikit merasa lebih baik.
"Halo kak? Masih hidup kan?" ucap Marissa lagi yang membuyarkan lamunannya.
"Eh iya dek, masih kok. Kakak di kantor sampai jam lima mungkin, soalnya ada beberapa kasus yang harus diselesaikan hari ini juga." jawab Edgar.
"Oke pakpol, kalau begitu nanti aku pulang ke rumahnya nunggu kakak pulang aja, sekalian mau lihat kampus baru aku, sekalian survey kantor baru juga, hehehe."
"Siap kalo itu. Ya sudah, kamu hati-hati di jalan ya. Nanti kalau sudah sampai di depan kantor, langsung masuk aja, gak perlu lapor ke penjagaan." kata Edgar memberitahu adiknya.
"Oke, bye pakpol." ucap Marissa mengakhiri panggilan teleponnya.
"Baiklah, saatnya pesan taksi online." ucap Marissa kemudian.
Beberapa waktu kemudian, sampailah Marissa di depan gedung Polda, tempat sang kakak mencari nafkah. Marissa pun akhirnya melangkahkan kakinya untuk memasuki tempat teersebut. Namun tiba-tiba langkahnya dihentikan oleh suara tegas dari seorang polisi yang berjaga di pos penjagaan.
"MAAF MBAK, ANDA TIDAK BISA SEMBARANGAN MASUK KE SINI." ucap seorang polisi yang terdengar sedikit berteriak kepada Marissa.
Merasa dirinya lah yang ditegur, akhirnya Marissa memutar balikkan tubuhnya dan berjalan mendekati polisi yang tengah berjaga tersebut.
"Maaf pak, saya mau bertemu dengan Pak Edgar. Tadi beliau bilang kalau saya bisa langsung masuk tanpa harus lapor di pos penjagaan." kata Marissa menjelaskan.
"Ada keperluan apa Anda bertemu dengan Pak Edgar? Beliau sedang tidak berada di tempat." jelas polisi tersebut kepada Marissa.
"Hah? Gak ada di tempat? Barusan saya telepon beliau, katanya ada di kantor kok."
Tiba-tiba, datanglah seorang polisi wanita mendekati Marissa.
"Dek Ica?" kata polisi wanita terrsebut.
Merasa namanya dipanggil, Marissa pun melihat ke asal suara.
"Kak Debby? Kok kakak ada di sini?" ucap Marissa yang sedikit kaget karena bertemu dengan mantan kekasih kakaknya.
"Kakak kan memang tugas di sini dari awal penempatan. Kamu sendiri ngapain di sini? Mau ketemu Mas Edgar?" tanya Debby kepada Marissa.
"Iya kak, cuma kata pak polisi ini, Kak Edgar gak ada di tempat." jelas Marissa dengan ekspresi sendu.
"Oh itu? Mas Edgar memang keluar sebentar, sebentar lagi juga pulang kok." kata Debby menenangkan Marissa.
"Kalau gitu, kamu ikut kakak aja dulu, nanti kalau Mas Edgar udah balik ke kantor, kakak antar kamu ke ruangannya." kata Debby lagi.
"Oke deh kak. Terus ini aku harus lapor dulu gak?"
"Gak perlu, udah santai aja."
Akhirnya Marissa pun mengekori Debby. Tak ada percakapan di antara keduanya. Keduanya fokus pada pikiran masing-masing.
"Dek Ica, kamu tunggu sini dulu ya, Kak Debby ada perlu sebentar. Oh iya, lebih baik kamu kabari kakakmu dulu supaya nanti ketika beliau sudah sampai di kantor, kamu bisa langsung menemuinya." ucap Debby.
"Iya kak, makasih udah bantu Ica."
"Kalau begitu, kakak tinggal sebentar ya, dek." ucap Debby yang kemudian berlalu meninggalkan Marissa di salah satu ruang tunggu.
Tak lama kemudian, datanglah seorang pria yang wajahnya tak asing bagi Marissa. Anton. Pria yang beberapa jam lalu hendak menilangnya.
"Maaf, dengan Mbak Chaterine Marissa? Adik dari Pak Edgar?" tanya Anton kepada Marissa yang diiringi dengan senyumnya yang memikat hati kaum hawa.
"Saya sendiri." jawab Marissa.
"Mari ikut saya, mbak."
Entah bagaimana, ucapan yang dilontarkan Anton bagaikan mantra sihir yang mampu menghipnotis Marissa. Sedangkan kini, Marissa hanya berjalan mengekori Anton menuju ruang kerja Edgar.
Sepertinya Marissa mulai tertarik kepada Anton.
Bersambung...
"Maaf, dengan Mbak Chaterine Marissa? Adik dari Pak Edgar?" tanya Anton kepada Marissa yang diiringi dengan senyumnya yang memikat hati kaum hawa. "Saya sendiri." jawab Marissa. "Mari ikut saya, mbak." Entah bagaimana, ucapan yang dilontarkan Anton bagaikan mantra sihir yang mampu menghipnotis Marissa. Sedangkan kini, Marissa hanya berjalan mengekori Anton menuju ruang kerja Edgar. Sepertinya Marissa mulai tertarik kepada Anton. Marissa yang merasa bersalah atas insiden tak mengenakan siang tadi akhirnya memberanikan diri untuk memecahkan keheningan di antara keduanya. "Pak Anton, maafkan atas sikap saya siang tadi ya." ucap Marissa yang sedikit gugup. Anton yang merasa diajak bicara pun akhirnya menghentikan langkahnya dan menatap manik coklat milik Marissa. Ada segaris senyum terukir di bibir brigadir polisi satu itu. Senyum tulus nan ikhlas yang selalu ia berikan kepada siapapun yang ia temui. "Gak apa kok Mbak Chate
Kini waktu telah menunjukkan pukul 18.00, seharusnya dua jam yang lalu Edgar pulang, tetapi pria dengan tinggi badan 185 sentimeter itu tetap melanjutkan tugas-tugasnya yang belum selesai. Sesekali diliriknya sang adik yang kini tengah tertidur di salah satu kursi di depan meja kerjanya. Ada perasaan iba dan prihatin atas keadaan yang menimpa adiknya. Di usainya yang baru menginjak dua puluh tahun, Marissa harus menelan pil pahit karena kepergian kedua orang tuanya. Dibelainya kepala sang adik dengan penuh kelembutan."Kamu harus jadi wanita yang kuat, dik. Kak Edgar yakin, kamu mampu melewati semua ujian yang Tuhan berikan. Kakak akan jaga kamu semampu dan sekuat kakak. Apapun yang terjadi di depan nanti, kakak akan selalu ada untuk kamu. Kakak akan jadi orang pertama yang merengkuhmu." ucapnya lirih.Marissa yang sebenarnya sudah terbangun dari sepuluh menit yang lalu pun hanya bisa terdiam, berpura-pura bahwa dirinya masih tertidur dan memejamkan mata. Jujur s
Ekhem...Edgar sengaja berdeham untuk memecahkan keheningan di antara Jevin dan adiknya. Sebenarnya Edgar tahu jika maksud kedatangan Jevin adalah ingin mengajak adiknya kejenjang yang lebih serius."Mau sampai kapan kalian cosplay jadi patung? Gak capek diam terus?""Kalau kakak perhatikan, kalian itu mirip sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Saling diam namun tetap saling merindu."Ucapan yang dilontarkan Edgar membuat keduanya saling tatap dan kemudian mereka tertawa bersama. Agaknya memang benar apa yang Edgar katakan. Jevin dan Marissa terlihat seperti dua sejoli yang tengah bertengkar namun tetap ingin dekat satu sama lain."Mohon ijin bang." ucap Jevin mengawali."Maksud dan tujuan saya ke sini ingin memberikan ini kepada Dik Ica." imbuh Jevin yang seraya mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah dari dalam saku celananya.Di dalamnya terdapat dua buah cincin. Satu cincin paja dan yang lain sebuah cincin emas dengan s
Hari ini adalah hari pertama Marissa bekerja di kantor cabang. Jujur saja, sedari tadi pagi ketika ia membuka matanya, rasa gugup menyelimutinya. Meskipun sang kakak dan kekasihnya sudah memberikan suntikan semangat, tetap saja ia merasa gugup dan sedikit merasa tidak percaya diri. Jantungnya berdegup dengan sangat cepat ketika ia menginjakkan kaki di halaman gedung tersebut. "Selamat pagi, mba. Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang satpam dengan perut sedikit buncit yang bernama Sodikin. "Selamat pagi, pak. Maaf saya karyawan baru, bisa saya bertemu dengan Ibu Mitha atau dengan Pak Jo? Dan satu lagi pak, apa betul dua hari yang lalu ada mobil navara berwarna hitam yang diantar ke kantor ini dari kantor pusat?" tanya Marissa dengan bahasa dan tutur kata yang sopan. Sedangkan satu orang satpam lainnya menatap Marissa dengan tatapan yang sulit diartikan. Mungkin hampir seperti tatapan seekor predator yang melihat rusa buruannya di depan mata, ya tatapan kela
CUP...Pria itu dengan spontan mencium pipi Marissa.PLAK...Dengan segenap emosi, Marissa pun menampar sosok yang menutup matanya tadi."Gak sopan!" ucap Marissa yang sedikit berteriak."Sorry, Ris. Aku gak maksud kurang ajar ke kamu. Aku cuma mau bikin kejutan aja buat kamu.""Tapi gak kayak gini caranya!"Selera makan Marissa pun hilang karena hal tersebut. Kemudian dirinya pergi meninggalkan dua orang pria yang kini tengah menyesali perbuatannya.Fernando Anthony, lelaki yang baru saja berani mencium pipi Marissa dengan alasan ingin mengejutkan Marissa. Namun nyatanya? Marissa merasa bahwa dirinya benar-benar dilecehkan oleh orang yang ia percaya sebagai temannya.Hati Marissa hancur. Jujur saja, Jevin yang kini telah menjadi kekasihnya pun belum pernah mencium pipi Marissa, sedangkan Anton? Dengan sengaja ia melakukan halbodoh itu kepada Marissa. Air mata Marissa pun jatuh ketika mendapatkan perlakuan seper
Kini waktu menunjukkan pukul 17.00, sedangkan Jevin dan Marissa masih bergelut di bawah selimut tebal. Baik Jevin maupun Marissa seolah lupa akan status mereka. Status yang belum diakui oleh agama maupun negara. Akan tetapi keduanya seakan tak mengindahkan hal itu, yang mereka pedulikan hanyalah kenikmatan duniawi yang kini tengah melanda."I wanna dance, the music's got me going, ain't nothing that can stop how we move, yeah..."Dering ponsel Marissa akhirnya menginterupsi kegiatan panas di antara keduanya. Dengan cepat Marissa mencari gawainya yang entah dimana keberadaanya karena tak sengaja terlempar."Halo kak, ada apa?" ucap Marissa yang kini masih berada di bawah kungkungan Jevin."Kok lama banget angkatnya? Kamu lagi apa sih?""Maaf kak, aku baru selesai mandi. Ini di hotel tempat Jevin menginap.""Kata Joshua, tadi kamu pergi gak pamit. Ada masalah apa sih dek?" tanya Edgar yang berusaha menyembunyikan rasa khawatir k
"Makan dulu yuk. Kamu belum makan dari siang loh." ucap Jevin yang kini masih memeluk erat kekasihnya itu."Nanti dulu sayang, aku telepon Kak Edgar dulu. Mau kabari dia kalau aku jadi menginap di sini."Jevin hanya menganggukkan kepalanya. Kini Jevin mencari posisi ternyamannya. Ia menciumi ceruk leher Marissa. Digigitnya dengan lembut dengan tujuan membuat tanda kepemilikan di leher jenjang sang kekasih."Jangan di leher dong, Babe. Nanti Edgar curiga kalau kita macem-macem.""Gak macem-macem kok, satu macem aja." jawab Jevin dengan santainya.Di detik berikutnya, tangan kekar milik Jevin berhasil menyusup ke dalam kaos yang Marissa kenakan. Desahan dan erangan manja keluar dari bibir tipis Marissa. Selanjutnya, Marissa membalikkan tubuhnya dan menghadap ke arah Jevin."Nanti dulu dong, sayang. Biar aku telepon Kak Edgar. Supaya gak ada yang menginterupsi kegiatan kita." upac Marissa dengan nada manja seraya mengalungkan tangannya
"Jadi, itu alasan kamu minta cium setelah kamu sampai di sini?" Marissa hanya bisa mengangguk pasrah. Pikirannya kacau. Ia takut jika hal-hal yang ia bayangkan menjadi kenyataan. Ia takut jika Jevin meninggalkannya.Jevin menghela napasnya dengan kasar. Diusap pula mukanya dengan kasar. Ia tak menyangka jika aktifitas yang telah ia lakukan bersama kekasihnya hanyalah sekedar pelampiasan sang kekasih yang diselimuti ketakutan."Jadi mau kamu bagaimana, Ca?" ucap Jevin yang kini terdengar tegas.Marissa hanya bisa menunduk pasrah. Dijauhkan tubuhnya yang kini masih berada di dekap hangat sang kekasih. Air matanya tiada henti menuruni lereng pipinya. Sungguh, penampilan Marissa kali ini sangat berbeda dengan Marissa yang tadi dipenuhi napsu yang menggebu.Tiba-tiba...Tangan kekar Jevin merengkuh pinggang Marissa secara posesif. Dipeluknya sang kekasih dengan penuh kasih sayang. Pelukan itu berlangsung cukup lama. Jevin kini tengah berusaha meluruhkan
"Jadi, itu alasan kamu minta cium setelah kamu sampai di sini?" Marissa hanya bisa mengangguk pasrah. Pikirannya kacau. Ia takut jika hal-hal yang ia bayangkan menjadi kenyataan. Ia takut jika Jevin meninggalkannya.Jevin menghela napasnya dengan kasar. Diusap pula mukanya dengan kasar. Ia tak menyangka jika aktifitas yang telah ia lakukan bersama kekasihnya hanyalah sekedar pelampiasan sang kekasih yang diselimuti ketakutan."Jadi mau kamu bagaimana, Ca?" ucap Jevin yang kini terdengar tegas.Marissa hanya bisa menunduk pasrah. Dijauhkan tubuhnya yang kini masih berada di dekap hangat sang kekasih. Air matanya tiada henti menuruni lereng pipinya. Sungguh, penampilan Marissa kali ini sangat berbeda dengan Marissa yang tadi dipenuhi napsu yang menggebu.Tiba-tiba...Tangan kekar Jevin merengkuh pinggang Marissa secara posesif. Dipeluknya sang kekasih dengan penuh kasih sayang. Pelukan itu berlangsung cukup lama. Jevin kini tengah berusaha meluruhkan
"Makan dulu yuk. Kamu belum makan dari siang loh." ucap Jevin yang kini masih memeluk erat kekasihnya itu."Nanti dulu sayang, aku telepon Kak Edgar dulu. Mau kabari dia kalau aku jadi menginap di sini."Jevin hanya menganggukkan kepalanya. Kini Jevin mencari posisi ternyamannya. Ia menciumi ceruk leher Marissa. Digigitnya dengan lembut dengan tujuan membuat tanda kepemilikan di leher jenjang sang kekasih."Jangan di leher dong, Babe. Nanti Edgar curiga kalau kita macem-macem.""Gak macem-macem kok, satu macem aja." jawab Jevin dengan santainya.Di detik berikutnya, tangan kekar milik Jevin berhasil menyusup ke dalam kaos yang Marissa kenakan. Desahan dan erangan manja keluar dari bibir tipis Marissa. Selanjutnya, Marissa membalikkan tubuhnya dan menghadap ke arah Jevin."Nanti dulu dong, sayang. Biar aku telepon Kak Edgar. Supaya gak ada yang menginterupsi kegiatan kita." upac Marissa dengan nada manja seraya mengalungkan tangannya
Kini waktu menunjukkan pukul 17.00, sedangkan Jevin dan Marissa masih bergelut di bawah selimut tebal. Baik Jevin maupun Marissa seolah lupa akan status mereka. Status yang belum diakui oleh agama maupun negara. Akan tetapi keduanya seakan tak mengindahkan hal itu, yang mereka pedulikan hanyalah kenikmatan duniawi yang kini tengah melanda."I wanna dance, the music's got me going, ain't nothing that can stop how we move, yeah..."Dering ponsel Marissa akhirnya menginterupsi kegiatan panas di antara keduanya. Dengan cepat Marissa mencari gawainya yang entah dimana keberadaanya karena tak sengaja terlempar."Halo kak, ada apa?" ucap Marissa yang kini masih berada di bawah kungkungan Jevin."Kok lama banget angkatnya? Kamu lagi apa sih?""Maaf kak, aku baru selesai mandi. Ini di hotel tempat Jevin menginap.""Kata Joshua, tadi kamu pergi gak pamit. Ada masalah apa sih dek?" tanya Edgar yang berusaha menyembunyikan rasa khawatir k
CUP...Pria itu dengan spontan mencium pipi Marissa.PLAK...Dengan segenap emosi, Marissa pun menampar sosok yang menutup matanya tadi."Gak sopan!" ucap Marissa yang sedikit berteriak."Sorry, Ris. Aku gak maksud kurang ajar ke kamu. Aku cuma mau bikin kejutan aja buat kamu.""Tapi gak kayak gini caranya!"Selera makan Marissa pun hilang karena hal tersebut. Kemudian dirinya pergi meninggalkan dua orang pria yang kini tengah menyesali perbuatannya.Fernando Anthony, lelaki yang baru saja berani mencium pipi Marissa dengan alasan ingin mengejutkan Marissa. Namun nyatanya? Marissa merasa bahwa dirinya benar-benar dilecehkan oleh orang yang ia percaya sebagai temannya.Hati Marissa hancur. Jujur saja, Jevin yang kini telah menjadi kekasihnya pun belum pernah mencium pipi Marissa, sedangkan Anton? Dengan sengaja ia melakukan halbodoh itu kepada Marissa. Air mata Marissa pun jatuh ketika mendapatkan perlakuan seper
Hari ini adalah hari pertama Marissa bekerja di kantor cabang. Jujur saja, sedari tadi pagi ketika ia membuka matanya, rasa gugup menyelimutinya. Meskipun sang kakak dan kekasihnya sudah memberikan suntikan semangat, tetap saja ia merasa gugup dan sedikit merasa tidak percaya diri. Jantungnya berdegup dengan sangat cepat ketika ia menginjakkan kaki di halaman gedung tersebut. "Selamat pagi, mba. Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang satpam dengan perut sedikit buncit yang bernama Sodikin. "Selamat pagi, pak. Maaf saya karyawan baru, bisa saya bertemu dengan Ibu Mitha atau dengan Pak Jo? Dan satu lagi pak, apa betul dua hari yang lalu ada mobil navara berwarna hitam yang diantar ke kantor ini dari kantor pusat?" tanya Marissa dengan bahasa dan tutur kata yang sopan. Sedangkan satu orang satpam lainnya menatap Marissa dengan tatapan yang sulit diartikan. Mungkin hampir seperti tatapan seekor predator yang melihat rusa buruannya di depan mata, ya tatapan kela
Ekhem...Edgar sengaja berdeham untuk memecahkan keheningan di antara Jevin dan adiknya. Sebenarnya Edgar tahu jika maksud kedatangan Jevin adalah ingin mengajak adiknya kejenjang yang lebih serius."Mau sampai kapan kalian cosplay jadi patung? Gak capek diam terus?""Kalau kakak perhatikan, kalian itu mirip sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Saling diam namun tetap saling merindu."Ucapan yang dilontarkan Edgar membuat keduanya saling tatap dan kemudian mereka tertawa bersama. Agaknya memang benar apa yang Edgar katakan. Jevin dan Marissa terlihat seperti dua sejoli yang tengah bertengkar namun tetap ingin dekat satu sama lain."Mohon ijin bang." ucap Jevin mengawali."Maksud dan tujuan saya ke sini ingin memberikan ini kepada Dik Ica." imbuh Jevin yang seraya mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah dari dalam saku celananya.Di dalamnya terdapat dua buah cincin. Satu cincin paja dan yang lain sebuah cincin emas dengan s
Kini waktu telah menunjukkan pukul 18.00, seharusnya dua jam yang lalu Edgar pulang, tetapi pria dengan tinggi badan 185 sentimeter itu tetap melanjutkan tugas-tugasnya yang belum selesai. Sesekali diliriknya sang adik yang kini tengah tertidur di salah satu kursi di depan meja kerjanya. Ada perasaan iba dan prihatin atas keadaan yang menimpa adiknya. Di usainya yang baru menginjak dua puluh tahun, Marissa harus menelan pil pahit karena kepergian kedua orang tuanya. Dibelainya kepala sang adik dengan penuh kelembutan."Kamu harus jadi wanita yang kuat, dik. Kak Edgar yakin, kamu mampu melewati semua ujian yang Tuhan berikan. Kakak akan jaga kamu semampu dan sekuat kakak. Apapun yang terjadi di depan nanti, kakak akan selalu ada untuk kamu. Kakak akan jadi orang pertama yang merengkuhmu." ucapnya lirih.Marissa yang sebenarnya sudah terbangun dari sepuluh menit yang lalu pun hanya bisa terdiam, berpura-pura bahwa dirinya masih tertidur dan memejamkan mata. Jujur s
"Maaf, dengan Mbak Chaterine Marissa? Adik dari Pak Edgar?" tanya Anton kepada Marissa yang diiringi dengan senyumnya yang memikat hati kaum hawa. "Saya sendiri." jawab Marissa. "Mari ikut saya, mbak." Entah bagaimana, ucapan yang dilontarkan Anton bagaikan mantra sihir yang mampu menghipnotis Marissa. Sedangkan kini, Marissa hanya berjalan mengekori Anton menuju ruang kerja Edgar. Sepertinya Marissa mulai tertarik kepada Anton. Marissa yang merasa bersalah atas insiden tak mengenakan siang tadi akhirnya memberanikan diri untuk memecahkan keheningan di antara keduanya. "Pak Anton, maafkan atas sikap saya siang tadi ya." ucap Marissa yang sedikit gugup. Anton yang merasa diajak bicara pun akhirnya menghentikan langkahnya dan menatap manik coklat milik Marissa. Ada segaris senyum terukir di bibir brigadir polisi satu itu. Senyum tulus nan ikhlas yang selalu ia berikan kepada siapapun yang ia temui. "Gak apa kok Mbak Chate
Setelah puas berkeliling mall dan membeli barang-barang kebutuhannya, akhirnya Marissa melangkahkan kakinya ke toko donat dan kopi yang masih berada di mall tersebut.“Kak, saya mau Jco donut 2 lusin, JPOPS 4 lusin, 1 Avocado Frappe Tre, 2 Caramel Jcoccino Tre." ucap Marissa menyebutkan pesanannya."Oh iya kak, yang Avocado less ice ya." ucap Marissa kemudian."Baik kak. Atas nama kak siapa?""Chaterine." jawab Marissa singkat."Untuk pembayarannya cash atau pakai card, kak?""Pake debit card bisa kan?" tanya Marissa kepada sang kasir."Bisa kak."Kemudian Marissa menyerahkan salah satu kartu debit miliknya guna membayar pesanannya. Sembari menunggu pesanannya, Marissa pun memilih duduk di salah satu kursi yang berada di sudut toko tersebut. Netranya tak sengaja terfokus pada seorang pria yang tengah berdiri di lobby mall tersebut."Itu Kak Jevin bukan sih? Tapi kok dari muka sama postur