"Maaf, dengan Mbak Chaterine Marissa? Adik dari Pak Edgar?" tanya Anton kepada Marissa yang diiringi dengan senyumnya yang memikat hati kaum hawa.
"Saya sendiri." jawab Marissa.
"Mari ikut saya, mbak."
Entah bagaimana, ucapan yang dilontarkan Anton bagaikan mantra sihir yang mampu menghipnotis Marissa. Sedangkan kini, Marissa hanya berjalan mengekori Anton menuju ruang kerja Edgar.
Sepertinya Marissa mulai tertarik kepada Anton.
Marissa yang merasa bersalah atas insiden tak mengenakan siang tadi akhirnya memberanikan diri untuk memecahkan keheningan di antara keduanya.
"Pak Anton, maafkan atas sikap saya siang tadi ya." ucap Marissa yang sedikit gugup.
Anton yang merasa diajak bicara pun akhirnya menghentikan langkahnya dan menatap manik coklat milik Marissa. Ada segaris senyum terukir di bibir brigadir polisi satu itu. Senyum tulus nan ikhlas yang selalu ia berikan kepada siapapun yang ia temui.
"Gak apa kok Mbak Chaterine, saya memaklumi atas apa yang mbak alami tadi. Mungkin kalau saya ada di posisi mbak pun akan melakukan hal yang sama. Terlebih jika itu ulah saudara kita yang terlalu jahil." jawab Anton yang masih saja mengulas senyum.
"Rissa. Panggil saja Rissa, gak perlu pakai embel-embel mbak. Sepertinya umur saya di bawah umur Pak Anton."
Tanpa sadar, keduanya telah sampai di depan ruang kerja Edgar.
"Rissa, tugas saya mengantar kamu ke ruangan Pak Edgar sudah selasai. Saya mohon ijin untuk kembali ke tempat saya bertugas." ucap Anton yang terlihat bergegas meninggalkan Marissa.
"Tunggu dulu pak." ucap Marissa yang berusaha untuk menghentikan langkah Anton. Tak disangka, Marissa mengulurkan sekotak donat dan kopi yang ia beli tadi kepada Anton.
"Ini untuk Pak Anton, anggap saja sebagai permintaan maaf saya kepada bapak atas sikap saya yang kurang sopan. Jangan ditolak pak. Saya gak menerima penolakan. Hehehe." ucap Marissa yang diiringi dengan sedikit tawa yang memamerkan deretan giginya.
"Terima kasih Marissa. Seharusnya kamu tak perlu memberikan saya makanan seperti ini. Saya jadi merasa tidak enak hati kepadamu. Lagi pula tanpa kamu memberikan apapun kepada saya, saya sudah memaafkan kamu." pungkas Anton.
"Thank you so much. Nice to know you, Mr. Anton." ucap Marissa dengan senyum manis yang selalu menghiasi bibir tipisnya. "Bye Pak Anton, see you again." ucap Marissa yang kemudian menghilang di balik pintu ruang kerja Edgar.
"Menarik." ucap Anton lirih yang hanya mampu ia dengar sendiri.
Ruang Kerja Edgar
"Halo bapak-bapak tampan yang nyatanya tidak lebih tampan dari Chanyeol oppa. Kerja mulu, tapi gak kaya-kaya." ujar Marissa sembari meletakkan makanan serta barang belanjaannya di atas salah satu meja.
"Sumpah ya Ed, adik lo kalo ngomong nyelekit banget. Udah tahu kenyataan emang sepahit itu, kenapa harus diperjelas lagi? Speechless gue, Ed." keluh David kepada Edgar yang sedari tadi fokus pada layar komputernya.
"Terima kenyataan aja sih Kak Dave. Udah terbukti kalau kakak kalah tampan dari Chanyeol oppa. Lagi pula kenapa sih kalian berdua lengket banget. Heran deh. Dari orok sampai setua ini masih aja berdua. Atau jangan-jangan Kak Dave gak punya teman lain selain Kak Edgar? Hayo ngaku aja kak." cecar Marissa kepada David yang entah sejak kapan sudah memulai sesi makan sorenya.
"Kak David gak sopan banget sih!" ucap Marissa dengan lantang yang membuat Edgar dan David terperanjat.
"Kakak kenapa makan duluan sih? Padahal aku belum nawarin loh. Main makan aja. Emang kakak tahu itu yang kakak makan punya siapa? cecar Marissa lagi.
"Ya maaf. Kan gak tahu dek. Namanya juga lapar, ya langsung sikat aja." ucap David yang masih mengunyah makanannya.
"Tanya dulu kan bisa, kak."
"Sudah-sudah, gak baik bertengkar di depan makanan. Lo juga Vid, ngapain langsung makan. Gak inget kalo lo paling anti sama cabe?". Seketika David menghentikan aktifitasnya. Otaknya seakan mengajaknya untuk mencerna lebih dalam apa yang Edgar katakan. Tiba-tiba...
"Dek Ica! Kenapa gak ngomong kalau ini ayam Richeese? Astaga!" ucap David panik. Pasalnya ia memang tak bisa jika harus memakan makanan pedas. Jika ia makan makanan pedas, maka asam lambungnya akan naik dan mengakibatkan dadanya nyeri.
Edgar yang mengetahui hal tersebut dengan sigap langsung memberikan ranitidine kepada David. David memang selalu menyimpan obat tersebut dimanapun, pasalnya ia selalu lupa akan pantangan makanan yang ia makan.
Beberapa saat kemudian, keadaan sudah kembali kondusif.
"Kak Edgar, aku boleh tanya?" tanya Marissa yang kini tengah mengunyah donat matcha.
"Tanya apa sih princess?" jawab Edgar.
"Tadi waktu di mall, aku gak sengaja lihat Kak Jevin. Dia pakai baju preman. Kakak tahu kah kalau Kak Jevin lagi ada di Jogja?". Seketika Edgar terkejut atas pertanyaan sang adik. Pasalnya ia sendiri tak tahu tentang kebenaran hal itu.
"Kakak gak tahu. Beberapa hari ini kakak gak berkabar dengan Jevin. Mungkin Jevin sedang mengunjungi kerabatnya di sini." jawab Edgar sekenanya.
"Oh gitu. Berarti aku gak salah lihat dong tadi. Ya walaupun sudah beberapa tahun gak bertemu, tapi aku masih hafal muka dan postur tubuh Kak Jevin."
"Kak Edgar..." ucap Marissa sedikit ragu.
"Kenapa lagi? Kamu mau tanya apa lagi? Selagi kakak bisa, pasti kakak jawab. Tapi kalau kakak gak bisa jawab, biar dijawab Kak David." ucap Edgar sembari mengusap rambut adiknya.
"Hehehe... Anggota kakak yang namanya Anton jomblo gak sih?" ucap Marissa yang kini terdengar malu-malu.
"Anton? Anton siapa?" tanya Edgar kepada adiknya.
"Itu loh kak, yang tadi siang hampir tilang aku, tapi gak jadi."
"Oh Anton Fernando? Kenapa? Kamu naksir ya? Katanya gak mau punya suami polisi?" goda Edgar.
"Kakak kok hobi goda aku sih? Aku kan cuma tanya. Bukan berarti aku langsung naksir. Ya memang sih pesona dia kuat banget, semacam peletnya Taehyung oppa kalo ada di atas panggung. Sungguh tampan nan rupawan. Serbuk berlian banget lah pokoknya." ucap Marissa dengan mata yang berbinar.
"HAH? SERBUK BERLIAN?" ucap Edgar dan David bersamaan.
"Anton kamu sebut serbuk berlian, dek?" tanya Edgar yang tengah memicingkan matanya.
"Bukan Anton, tapi Taehyung Oppa." jawab Marissa sewot.
"Kalau Anton serbuk perak, soalnya lumayan tampan. Mungkin kalau mau perawatan gak kalah tampan dengan artis-artis Korea. Tapi dia jomblo gak sih kak?"
"Mana kakak tahu, kakak kan bukan bapaknya." jawab Edgar yang kini dilanda rasa cemburu.
"Kira-kira Anton mau gak ya jadi teman aku selama aku di Jogja? Lumayan kan kalau punya teman polisi, jadi teman rasa bodyguard. Kemana pun pasti ada yang jaga dan lindungi. Sungguh indahnya khayalanku." ucap Marissa yang diakhiri dengan meneguk minuman favoritnya.
"Sadar kan sekarang kalau adik kecil lo beranjak dewasa? Buktinya dia sudah sedikit melupakan Jevin dan berpaling ke Anton. Ayolah Edgar, coba relakan adik lo untuk jatuh cinta kepada laki-laki pilihannya. Kalau lo posesif terus, Marissa akan jadi perawan tua." bisik David kepada Edgar yang sedari tadi menatap adiknya yang sedang berandai tentang teman prianya.
"Entahlah, gue belum bisa ikhlas kalau Marissa pacaran dengan Jevin ataupun Anton. Jevin yang sudah jelas naksir Marissa dari SD pun aku halangi, apalagi Anton yang baru tadi siang ketemu Marissa." jelas Edgar.
Tergambar jelas raut kekhawatiran Edgar atas Marissa. Pasalnya ia tak ingin adiknya merasakan sakitnya patah hati apalagi sakitnya ditinggalkan kekasih. Edgar tetaplah Edgar. Ia hanya ingin melihat adik kecilnya bahagia tanpa merasakan sakit dan perihnya dunia percintaan. Karena yang Edgar lihat, Marissa hanyalah seorang gadis kecil berusia 7 tahun yang harus ia jaga.
Bersambung...
Kini waktu telah menunjukkan pukul 18.00, seharusnya dua jam yang lalu Edgar pulang, tetapi pria dengan tinggi badan 185 sentimeter itu tetap melanjutkan tugas-tugasnya yang belum selesai. Sesekali diliriknya sang adik yang kini tengah tertidur di salah satu kursi di depan meja kerjanya. Ada perasaan iba dan prihatin atas keadaan yang menimpa adiknya. Di usainya yang baru menginjak dua puluh tahun, Marissa harus menelan pil pahit karena kepergian kedua orang tuanya. Dibelainya kepala sang adik dengan penuh kelembutan."Kamu harus jadi wanita yang kuat, dik. Kak Edgar yakin, kamu mampu melewati semua ujian yang Tuhan berikan. Kakak akan jaga kamu semampu dan sekuat kakak. Apapun yang terjadi di depan nanti, kakak akan selalu ada untuk kamu. Kakak akan jadi orang pertama yang merengkuhmu." ucapnya lirih.Marissa yang sebenarnya sudah terbangun dari sepuluh menit yang lalu pun hanya bisa terdiam, berpura-pura bahwa dirinya masih tertidur dan memejamkan mata. Jujur s
Ekhem...Edgar sengaja berdeham untuk memecahkan keheningan di antara Jevin dan adiknya. Sebenarnya Edgar tahu jika maksud kedatangan Jevin adalah ingin mengajak adiknya kejenjang yang lebih serius."Mau sampai kapan kalian cosplay jadi patung? Gak capek diam terus?""Kalau kakak perhatikan, kalian itu mirip sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Saling diam namun tetap saling merindu."Ucapan yang dilontarkan Edgar membuat keduanya saling tatap dan kemudian mereka tertawa bersama. Agaknya memang benar apa yang Edgar katakan. Jevin dan Marissa terlihat seperti dua sejoli yang tengah bertengkar namun tetap ingin dekat satu sama lain."Mohon ijin bang." ucap Jevin mengawali."Maksud dan tujuan saya ke sini ingin memberikan ini kepada Dik Ica." imbuh Jevin yang seraya mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah dari dalam saku celananya.Di dalamnya terdapat dua buah cincin. Satu cincin paja dan yang lain sebuah cincin emas dengan s
Hari ini adalah hari pertama Marissa bekerja di kantor cabang. Jujur saja, sedari tadi pagi ketika ia membuka matanya, rasa gugup menyelimutinya. Meskipun sang kakak dan kekasihnya sudah memberikan suntikan semangat, tetap saja ia merasa gugup dan sedikit merasa tidak percaya diri. Jantungnya berdegup dengan sangat cepat ketika ia menginjakkan kaki di halaman gedung tersebut. "Selamat pagi, mba. Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang satpam dengan perut sedikit buncit yang bernama Sodikin. "Selamat pagi, pak. Maaf saya karyawan baru, bisa saya bertemu dengan Ibu Mitha atau dengan Pak Jo? Dan satu lagi pak, apa betul dua hari yang lalu ada mobil navara berwarna hitam yang diantar ke kantor ini dari kantor pusat?" tanya Marissa dengan bahasa dan tutur kata yang sopan. Sedangkan satu orang satpam lainnya menatap Marissa dengan tatapan yang sulit diartikan. Mungkin hampir seperti tatapan seekor predator yang melihat rusa buruannya di depan mata, ya tatapan kela
CUP...Pria itu dengan spontan mencium pipi Marissa.PLAK...Dengan segenap emosi, Marissa pun menampar sosok yang menutup matanya tadi."Gak sopan!" ucap Marissa yang sedikit berteriak."Sorry, Ris. Aku gak maksud kurang ajar ke kamu. Aku cuma mau bikin kejutan aja buat kamu.""Tapi gak kayak gini caranya!"Selera makan Marissa pun hilang karena hal tersebut. Kemudian dirinya pergi meninggalkan dua orang pria yang kini tengah menyesali perbuatannya.Fernando Anthony, lelaki yang baru saja berani mencium pipi Marissa dengan alasan ingin mengejutkan Marissa. Namun nyatanya? Marissa merasa bahwa dirinya benar-benar dilecehkan oleh orang yang ia percaya sebagai temannya.Hati Marissa hancur. Jujur saja, Jevin yang kini telah menjadi kekasihnya pun belum pernah mencium pipi Marissa, sedangkan Anton? Dengan sengaja ia melakukan halbodoh itu kepada Marissa. Air mata Marissa pun jatuh ketika mendapatkan perlakuan seper
Kini waktu menunjukkan pukul 17.00, sedangkan Jevin dan Marissa masih bergelut di bawah selimut tebal. Baik Jevin maupun Marissa seolah lupa akan status mereka. Status yang belum diakui oleh agama maupun negara. Akan tetapi keduanya seakan tak mengindahkan hal itu, yang mereka pedulikan hanyalah kenikmatan duniawi yang kini tengah melanda."I wanna dance, the music's got me going, ain't nothing that can stop how we move, yeah..."Dering ponsel Marissa akhirnya menginterupsi kegiatan panas di antara keduanya. Dengan cepat Marissa mencari gawainya yang entah dimana keberadaanya karena tak sengaja terlempar."Halo kak, ada apa?" ucap Marissa yang kini masih berada di bawah kungkungan Jevin."Kok lama banget angkatnya? Kamu lagi apa sih?""Maaf kak, aku baru selesai mandi. Ini di hotel tempat Jevin menginap.""Kata Joshua, tadi kamu pergi gak pamit. Ada masalah apa sih dek?" tanya Edgar yang berusaha menyembunyikan rasa khawatir k
"Makan dulu yuk. Kamu belum makan dari siang loh." ucap Jevin yang kini masih memeluk erat kekasihnya itu."Nanti dulu sayang, aku telepon Kak Edgar dulu. Mau kabari dia kalau aku jadi menginap di sini."Jevin hanya menganggukkan kepalanya. Kini Jevin mencari posisi ternyamannya. Ia menciumi ceruk leher Marissa. Digigitnya dengan lembut dengan tujuan membuat tanda kepemilikan di leher jenjang sang kekasih."Jangan di leher dong, Babe. Nanti Edgar curiga kalau kita macem-macem.""Gak macem-macem kok, satu macem aja." jawab Jevin dengan santainya.Di detik berikutnya, tangan kekar milik Jevin berhasil menyusup ke dalam kaos yang Marissa kenakan. Desahan dan erangan manja keluar dari bibir tipis Marissa. Selanjutnya, Marissa membalikkan tubuhnya dan menghadap ke arah Jevin."Nanti dulu dong, sayang. Biar aku telepon Kak Edgar. Supaya gak ada yang menginterupsi kegiatan kita." upac Marissa dengan nada manja seraya mengalungkan tangannya
"Jadi, itu alasan kamu minta cium setelah kamu sampai di sini?" Marissa hanya bisa mengangguk pasrah. Pikirannya kacau. Ia takut jika hal-hal yang ia bayangkan menjadi kenyataan. Ia takut jika Jevin meninggalkannya.Jevin menghela napasnya dengan kasar. Diusap pula mukanya dengan kasar. Ia tak menyangka jika aktifitas yang telah ia lakukan bersama kekasihnya hanyalah sekedar pelampiasan sang kekasih yang diselimuti ketakutan."Jadi mau kamu bagaimana, Ca?" ucap Jevin yang kini terdengar tegas.Marissa hanya bisa menunduk pasrah. Dijauhkan tubuhnya yang kini masih berada di dekap hangat sang kekasih. Air matanya tiada henti menuruni lereng pipinya. Sungguh, penampilan Marissa kali ini sangat berbeda dengan Marissa yang tadi dipenuhi napsu yang menggebu.Tiba-tiba...Tangan kekar Jevin merengkuh pinggang Marissa secara posesif. Dipeluknya sang kekasih dengan penuh kasih sayang. Pelukan itu berlangsung cukup lama. Jevin kini tengah berusaha meluruhkan
Suasana berkabung masih menyelimuti rumah yang ditempati oleh sepasang kakak beradik. Kehilangan kedua orang tua secara bersamaan terasa amat sangat menyakitkan bagi mereka berdua. Rasanya bagaikan ribuan belati tajam menghujami tubuh mereka secara bertubi-tubi. “Dek…” “Adek ikut Kak Ega aja ya…” “Kakak gak tega kalau harus biarin kamu hidup sendirian di sini.” ujar pria yang bernama lengkap Edgar William Hadinata kepada adik semata wayangnya. “Kalau aku ikut kakak, siapa yang mau jaga ayah ibu, kak?” “Siapa yang mau jaga rumah?” “Terus gimana juga kuliah dan pekerjaanku?” kata Marissa sembari menahan air matanya agar tak jatuh dan membasahi pipinya. “Ayah ibu sudah bahagia dek. Kamu harus bisa ikhlas.” kata Edgar sambal memeluk tubuh ringkih adiknya. Kedua orang tua Edgar dan Marissa mengalami kecelakaan lalu lintas saat mereka sedang melakukan perjalanan dinas. Tabrakan beruntun di jalan tol mengakibatk
"Jadi, itu alasan kamu minta cium setelah kamu sampai di sini?" Marissa hanya bisa mengangguk pasrah. Pikirannya kacau. Ia takut jika hal-hal yang ia bayangkan menjadi kenyataan. Ia takut jika Jevin meninggalkannya.Jevin menghela napasnya dengan kasar. Diusap pula mukanya dengan kasar. Ia tak menyangka jika aktifitas yang telah ia lakukan bersama kekasihnya hanyalah sekedar pelampiasan sang kekasih yang diselimuti ketakutan."Jadi mau kamu bagaimana, Ca?" ucap Jevin yang kini terdengar tegas.Marissa hanya bisa menunduk pasrah. Dijauhkan tubuhnya yang kini masih berada di dekap hangat sang kekasih. Air matanya tiada henti menuruni lereng pipinya. Sungguh, penampilan Marissa kali ini sangat berbeda dengan Marissa yang tadi dipenuhi napsu yang menggebu.Tiba-tiba...Tangan kekar Jevin merengkuh pinggang Marissa secara posesif. Dipeluknya sang kekasih dengan penuh kasih sayang. Pelukan itu berlangsung cukup lama. Jevin kini tengah berusaha meluruhkan
"Makan dulu yuk. Kamu belum makan dari siang loh." ucap Jevin yang kini masih memeluk erat kekasihnya itu."Nanti dulu sayang, aku telepon Kak Edgar dulu. Mau kabari dia kalau aku jadi menginap di sini."Jevin hanya menganggukkan kepalanya. Kini Jevin mencari posisi ternyamannya. Ia menciumi ceruk leher Marissa. Digigitnya dengan lembut dengan tujuan membuat tanda kepemilikan di leher jenjang sang kekasih."Jangan di leher dong, Babe. Nanti Edgar curiga kalau kita macem-macem.""Gak macem-macem kok, satu macem aja." jawab Jevin dengan santainya.Di detik berikutnya, tangan kekar milik Jevin berhasil menyusup ke dalam kaos yang Marissa kenakan. Desahan dan erangan manja keluar dari bibir tipis Marissa. Selanjutnya, Marissa membalikkan tubuhnya dan menghadap ke arah Jevin."Nanti dulu dong, sayang. Biar aku telepon Kak Edgar. Supaya gak ada yang menginterupsi kegiatan kita." upac Marissa dengan nada manja seraya mengalungkan tangannya
Kini waktu menunjukkan pukul 17.00, sedangkan Jevin dan Marissa masih bergelut di bawah selimut tebal. Baik Jevin maupun Marissa seolah lupa akan status mereka. Status yang belum diakui oleh agama maupun negara. Akan tetapi keduanya seakan tak mengindahkan hal itu, yang mereka pedulikan hanyalah kenikmatan duniawi yang kini tengah melanda."I wanna dance, the music's got me going, ain't nothing that can stop how we move, yeah..."Dering ponsel Marissa akhirnya menginterupsi kegiatan panas di antara keduanya. Dengan cepat Marissa mencari gawainya yang entah dimana keberadaanya karena tak sengaja terlempar."Halo kak, ada apa?" ucap Marissa yang kini masih berada di bawah kungkungan Jevin."Kok lama banget angkatnya? Kamu lagi apa sih?""Maaf kak, aku baru selesai mandi. Ini di hotel tempat Jevin menginap.""Kata Joshua, tadi kamu pergi gak pamit. Ada masalah apa sih dek?" tanya Edgar yang berusaha menyembunyikan rasa khawatir k
CUP...Pria itu dengan spontan mencium pipi Marissa.PLAK...Dengan segenap emosi, Marissa pun menampar sosok yang menutup matanya tadi."Gak sopan!" ucap Marissa yang sedikit berteriak."Sorry, Ris. Aku gak maksud kurang ajar ke kamu. Aku cuma mau bikin kejutan aja buat kamu.""Tapi gak kayak gini caranya!"Selera makan Marissa pun hilang karena hal tersebut. Kemudian dirinya pergi meninggalkan dua orang pria yang kini tengah menyesali perbuatannya.Fernando Anthony, lelaki yang baru saja berani mencium pipi Marissa dengan alasan ingin mengejutkan Marissa. Namun nyatanya? Marissa merasa bahwa dirinya benar-benar dilecehkan oleh orang yang ia percaya sebagai temannya.Hati Marissa hancur. Jujur saja, Jevin yang kini telah menjadi kekasihnya pun belum pernah mencium pipi Marissa, sedangkan Anton? Dengan sengaja ia melakukan halbodoh itu kepada Marissa. Air mata Marissa pun jatuh ketika mendapatkan perlakuan seper
Hari ini adalah hari pertama Marissa bekerja di kantor cabang. Jujur saja, sedari tadi pagi ketika ia membuka matanya, rasa gugup menyelimutinya. Meskipun sang kakak dan kekasihnya sudah memberikan suntikan semangat, tetap saja ia merasa gugup dan sedikit merasa tidak percaya diri. Jantungnya berdegup dengan sangat cepat ketika ia menginjakkan kaki di halaman gedung tersebut. "Selamat pagi, mba. Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang satpam dengan perut sedikit buncit yang bernama Sodikin. "Selamat pagi, pak. Maaf saya karyawan baru, bisa saya bertemu dengan Ibu Mitha atau dengan Pak Jo? Dan satu lagi pak, apa betul dua hari yang lalu ada mobil navara berwarna hitam yang diantar ke kantor ini dari kantor pusat?" tanya Marissa dengan bahasa dan tutur kata yang sopan. Sedangkan satu orang satpam lainnya menatap Marissa dengan tatapan yang sulit diartikan. Mungkin hampir seperti tatapan seekor predator yang melihat rusa buruannya di depan mata, ya tatapan kela
Ekhem...Edgar sengaja berdeham untuk memecahkan keheningan di antara Jevin dan adiknya. Sebenarnya Edgar tahu jika maksud kedatangan Jevin adalah ingin mengajak adiknya kejenjang yang lebih serius."Mau sampai kapan kalian cosplay jadi patung? Gak capek diam terus?""Kalau kakak perhatikan, kalian itu mirip sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Saling diam namun tetap saling merindu."Ucapan yang dilontarkan Edgar membuat keduanya saling tatap dan kemudian mereka tertawa bersama. Agaknya memang benar apa yang Edgar katakan. Jevin dan Marissa terlihat seperti dua sejoli yang tengah bertengkar namun tetap ingin dekat satu sama lain."Mohon ijin bang." ucap Jevin mengawali."Maksud dan tujuan saya ke sini ingin memberikan ini kepada Dik Ica." imbuh Jevin yang seraya mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah dari dalam saku celananya.Di dalamnya terdapat dua buah cincin. Satu cincin paja dan yang lain sebuah cincin emas dengan s
Kini waktu telah menunjukkan pukul 18.00, seharusnya dua jam yang lalu Edgar pulang, tetapi pria dengan tinggi badan 185 sentimeter itu tetap melanjutkan tugas-tugasnya yang belum selesai. Sesekali diliriknya sang adik yang kini tengah tertidur di salah satu kursi di depan meja kerjanya. Ada perasaan iba dan prihatin atas keadaan yang menimpa adiknya. Di usainya yang baru menginjak dua puluh tahun, Marissa harus menelan pil pahit karena kepergian kedua orang tuanya. Dibelainya kepala sang adik dengan penuh kelembutan."Kamu harus jadi wanita yang kuat, dik. Kak Edgar yakin, kamu mampu melewati semua ujian yang Tuhan berikan. Kakak akan jaga kamu semampu dan sekuat kakak. Apapun yang terjadi di depan nanti, kakak akan selalu ada untuk kamu. Kakak akan jadi orang pertama yang merengkuhmu." ucapnya lirih.Marissa yang sebenarnya sudah terbangun dari sepuluh menit yang lalu pun hanya bisa terdiam, berpura-pura bahwa dirinya masih tertidur dan memejamkan mata. Jujur s
"Maaf, dengan Mbak Chaterine Marissa? Adik dari Pak Edgar?" tanya Anton kepada Marissa yang diiringi dengan senyumnya yang memikat hati kaum hawa. "Saya sendiri." jawab Marissa. "Mari ikut saya, mbak." Entah bagaimana, ucapan yang dilontarkan Anton bagaikan mantra sihir yang mampu menghipnotis Marissa. Sedangkan kini, Marissa hanya berjalan mengekori Anton menuju ruang kerja Edgar. Sepertinya Marissa mulai tertarik kepada Anton. Marissa yang merasa bersalah atas insiden tak mengenakan siang tadi akhirnya memberanikan diri untuk memecahkan keheningan di antara keduanya. "Pak Anton, maafkan atas sikap saya siang tadi ya." ucap Marissa yang sedikit gugup. Anton yang merasa diajak bicara pun akhirnya menghentikan langkahnya dan menatap manik coklat milik Marissa. Ada segaris senyum terukir di bibir brigadir polisi satu itu. Senyum tulus nan ikhlas yang selalu ia berikan kepada siapapun yang ia temui. "Gak apa kok Mbak Chate
Setelah puas berkeliling mall dan membeli barang-barang kebutuhannya, akhirnya Marissa melangkahkan kakinya ke toko donat dan kopi yang masih berada di mall tersebut.“Kak, saya mau Jco donut 2 lusin, JPOPS 4 lusin, 1 Avocado Frappe Tre, 2 Caramel Jcoccino Tre." ucap Marissa menyebutkan pesanannya."Oh iya kak, yang Avocado less ice ya." ucap Marissa kemudian."Baik kak. Atas nama kak siapa?""Chaterine." jawab Marissa singkat."Untuk pembayarannya cash atau pakai card, kak?""Pake debit card bisa kan?" tanya Marissa kepada sang kasir."Bisa kak."Kemudian Marissa menyerahkan salah satu kartu debit miliknya guna membayar pesanannya. Sembari menunggu pesanannya, Marissa pun memilih duduk di salah satu kursi yang berada di sudut toko tersebut. Netranya tak sengaja terfokus pada seorang pria yang tengah berdiri di lobby mall tersebut."Itu Kak Jevin bukan sih? Tapi kok dari muka sama postur