“Hey hentikan pencuri kecil itu!!” teriak salah seorang lelaki dewasa pemiliki toko roti kecil di pasar.
Ramai-ramai para manusia lain mengikuti aba-aba si lelaki tadi, mereka langsung mengejar bocah lelaki yang kiranya membawa sepotong roti di genggaman tangannya yang membiru kedinginan. Sementara itu beberapa oknum lainnya tidak peduli, mereka sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Menjajakan dagangannya, menawar harga yang tak kira-kira pada penjual, beberapa orang juga lalu lalang melewati salah satu di antara banyak gang di Pasar Raflero ini. Hiruk pikuk keramaian di pasar ini tak terelakan setiap minggu, bahkan saat hari menjelang sore seperti inipun mereka masih belum kehabisan tenaga untuk menghabiskan barang dagangan mereka.
Tenda-tenda kecil yang berjejer cukup rapi itu masi berdiri tegak. Menaungi para manusia dan dagangannya, mulai dari bahan makanan, senjata, perkakas dapur, perhiasan, dan lain-lain. Orang-orang tidak peduli satu sama lain, mereka hanya terus mencari barang yang mereka inginkan atau mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya. Lihatlah bocah lelaki pencuri roti tadi, entah sekarang nasibnya bagaimana. Semuanya begitu terdesak, hingga rasanya selain kekuatan otot, pita suara adalah dominasi penting untuk keberhasilan di tempat ini.
“Hey bawa keranjang ikan itu dengan benar!” Dari gang yang cukup gelap, seorang lelaki botak dengan pakaiann berzirah mendikte manusia tua dengan pakaian cukup rombeng.
Di sisi lain, salah seorang ibu-ibu dengan celemek kusam berteriak. “Kau kemarin sudah berhutang! Kali ini aku tidak bisa berbelas kasih padamu!”
“Perhiasan murni yang akan membutmu tampak menawan nona, cobalah.” Coba tebak siapa gerangan? Manusia tua pengguna sorban dengan kaus katun yang tak pernah diganti.
“Kamu pikir aku tidak tahu kalau kau menjual semua persediaan garam pada lelaki tua sok kaya itu?!” Seorang wanita dewasa dengan gemerincing emas di tangannya yang setiap hari rupanya harus bersaing dengan pembeli lain yang jauh lebih kaya darinya.
Terus saja seperti itu. Semuanya menggunakan emosi mereka, melahap ego masing-masing demi sebuah kepuasan tak berarti. Namun, sejatinya pasar ini adalah pasar terbesar dan mungkin satu-satunya pasar plural di negeri ini. Di pasar ini semua penduduk dari segala penjuru distrik berkumpul. Letak pasar yang berada di tepian ibukota ini memang cukup strategis. Sebab ia diletakkan di tengah-tengah negeri.
Negeri Limalora, negeri yang sampai saat ini masih berdiri dengan damai dan sentosa. Diisi lima distrik yang kelimanya saling bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan masing-masing. Masyarakat mereka seringkali dipertemukan di pasar raflero ini. Beberapa saling memeluk, sisa lainnya untuk adu jotos. Lihat saja di sebelah lahan kosong di sampig penjual semangka itu, kiranya salah seorang warga dari distrik Ourtha tengah dikeroyok masa dari distrik Conse. Sementara itu, ada lelaki berkulit sawo matang yang hanya bisa memndangi semua itu dengan raut wajah datar. Dia mencoba untuk tidak menjadi pahlawan, lebih baik dia menjaga karung-karung berisi butir kopi di depannya.
“Habisi dia!”
“Jangan beri dia ampun!”
“Heh, apa kau tidak bosan melihat pemandangan ini?” Suara halus seorang perempuan mengaggetkan lelaki itu. Badannya berbalik dan mendapati seorang perempuan dengan gaun selutut dan sepasang boot yang penuh lumpur tengah duduk di atas tumpukan keranjang kayu.
“Hey Rosena sejak kapan kau di sini?”
Perempuan itu turun dari posisinya, kemudian mendekati lelaki itu. Badannya menunduk mengamati karung-karung kopi yang berjejer rapi.
“Indah sekali kopimu, tapi kenapa belum habis? Hari sudah menjelang malam,” katanya, kemudian berhenti membungkuk.
“Entahlah, hari ini ramai tapi aku rasa tidak seramai biasanya.” Lelaki itu menyilangkan tangannya di depan dada. “Ngomong-ngomong, dengan siapa kamu datang kemari?”
Rosena memainkan butir-butir biji kopi itu dengan tangannya. “Aku datang sendiri.”
“Bohong.”
Kemudian perempuan itu meredupkan pandanganya, menatap malas pada lelaki bernama Sean Bright itu. “Aku datang bersama Dimitri. Tapi entahlah, lelaki itu memang cukup kurang ajar. Meninggalkan demi sebuah ikan mas di ujung gang sana.”
“Kenapa mendatangiku?”
“Aku rindu kamu.”
“Rosena!” Agaknya Sean sudah cukup geram. Sementara itu Rosena justru tersenyum puas.
Di sela-sela kesunyian di antara mereka berdua, sebab Rosena tak kunjung membuka mulutnya, datanglah seorang pria dengan rambut cokelat. Digenggaman tangannya ada stoples ukuran sedang dan diisi air. Ada makhluk hidup di sana, yang tak lain dan tak bukan adalah seekor ikan mas.
“Maaf aku telat. Hey Kenapa kalian masih di sini? Sean ayo segera pulang, kakek mencari kita semua untuk berkumpul di pondoknya.”
Rosenan melirik jengah lelaki itu. “Jack! Aku baru mau mengatakannya, kenapa kau mengatakannya lebih dulu?!” pekiknya lantang.
Sean mengembuskan napasnya pelan. Dia langsung berjalan mengambil kotak kayu dan mulai memindahkan karung-karung kopi ke dalamnya. Ia tahu setelah ini akan ada perdebatan tidak penting antara dua sahabatnya. Sebelumnya ia sempat melihat di tempat kejadian pengeroyokan sebelumnya, rupanya kekerasan itu telah usai. Tapi si lelaki yang menjadi korban masih meringkuk di sana.
“Kamu sudah sampai daritadi kenapa tidak langsung menyampaikannya?! Kamu membuang-buang waktu. Dan berhenti memanggilku dengan nama itu.”
“Jack, aku hanya ingin bersantai sejenak. Lagipula yang membuang-buang waktu itu kamu tahu, seenaknya berhenti untuk membeli benda tidak berguna macam begini.” Jarinya menunjuk pada ikan di toples Dimitri, sontak lelak itu langsung memberi gestur melindungi toples ikannya yang berharga.
“Jangan sembarangan. Dia ini makhluk yang indah, bahkan lebih indah darimu tahu. Dan aku membenci sekali tabiatmu yang suka memanggilku dengan nama itu.”
Rosena hanya tersenyum puas. Dia tahu, Dimitri sangan tidak senang apabila orang-orang memanggilnya dengan nama belakangnya. Yah, nama Jack terkenal sebagai nama pemberontak, dan lagipula memang benar Jack pemberontak itu adalah ayah Dimitri. Jack Saviero, lelaki yang juga sama-sama memiliki rambut cokelat seperti Dimitri itu kini sudah tidak bisa dijumpai lagi sebab telah dihukum mati delapan tahun yang lalu, tepatnya ketika Dimitri sendiri masih berusia sepuluh tahun. Ia dihukum mati atas kasus pemberontakan pada petinggi negeri. Laki-laki itu memang cukup gila, dia memberontak ingin mengancurkan distrik Ferista hanya demi sebuah peta tidak jelas. Entahlah, tapi khalayak sudah mulai melupakan kejadian itu.
“Hey sudahlah, sekarang ayo kita pulang.” Sean kemudian mulai berjalan dengan memanggul satu karung kecil berwarna cokelat dipundaknya.
Mau tidak mau, perdebatan kecil itu berhenti. Rosena dan Dimitri ikut melangkahkan kaki dan berjalan di belakang Sean. Mereka melewati struktur jalanan yang cukup berlumpur sebab hujan sempat mengguyur. Membuat sepatu boot mereka kian kotor.
“Huh, apa para petinggi negeri tidak ada niatan untuk memperbaiki jalan di setiap gang di pasar ini. Rasanya aku ingin muntah.”
“Hey Sena, jaga bicaramu. Kita sedang ditempat umum. Salah-salah tentara penjaga mendengarmu dan melapor pada kepala negeri.”
“Persetan dengan hal itu, aku hanya ingin sedikit perubahan agar hidupku setidaknya lebih baik.”
Rosena sesekali memandangi para pedagang yang mereka lewati. Ada yang tak acuh, ada yang tersenyum dan itu dibalas senyum Rosena. Mereka kemudian tiba di salah satu tanah lapang yang berfungsi sebagai tempat berkumpulnya kendaraan. Mulai dari kereta kuda sampai kuda itu sendiri.
Sean menaiki kudanya sendiri yang ia namai Captain, Kuda berwarna hitam mengilap itu begitu gagah. Di sisi lain, Rosena juga menaiki kudanya yang berwarna cokelat yang ia beri nama Black. Yah, perempuan itu cukup aneh memang. Dimitri pun menyusul dengan Dieval, kuda putihnya yang bersih. Ketiganya kemudian mulai meningglakan hiruk pikuk pasar yang mereka datangi dua minggu sekali ini. Memacu kuda dengan kecepatan sedang, pulang ke distrik tempat mereka tinggal.
“Hey Sean nanti kita berhenti sesaat sebelum memasuki distrik. Kakek berpesan untuk jangan lupa memakai pakaian hangat. Kau tahu sendiri kan?” Sean mengangguk pelan.
Ketiganya berpacu dengan waktu menggunakan kuda mereka. Mereka hanya harus melewati jalan lurus ke arah Tenggara untuk sampai di tempat tinggal mereka. Melewati jalanan yang padat penduduk, sesekali tanah lapang penuh pepohonan bahkan hutan.
Distrik Greenfit adalah distrik tempat mereka lahir juga dibesarkan. Satu-satunya distrik yang berada di dataran tinggi, berbeda dengan keempat ditrik lainnya yang berada di dataran rendah. Maka dari itu komoditi utama penduduk ditrik ini adalah hasil perkebunan, berupa sayuran, buah-buahan, biji-bijian, dan palawija. Distrik mereka juga dikenal sebagai distrik yang menghsilkan koki-koki handal. Letaknya berada di tenggara negeri ini. Berbeda dengan Distrik Ferista yang padat penduduk, sebab itu adalah ditrik tempat ibukota berada dan pemerintahan berjalan. Distrik Greenfit adalah distrik kedua yang paling sedikit jumlah penduduknya.
Mau tahu distrik mana yang menduduki nomer satu dalam hal jumlah penduduk yang paling sedikit? Jawabannya adalah Distrik Ourtha, letaknya di Utara negeri ini. Satu-satunya distrik yang bebatasan dengan laut.Distrik ini juga disebut sebagai distrik buangan, sebab para penduduknya adalah mereka-mereka yang dibuang dari distrik kelahiran mereka karena dianggap tidak layak atau memang karena sudah dipandang buruk oleh masyarakat sekitar. Sayang sekali para petinggi negara masih belum bisa menyelesaikan permasalahan yang menyangkut hak asasi manusia untuk hidup setara ini. Untuk saja masyarakat di distrik ini masih bisa hidup cukup tenang dan memiliki akses untuk bisa mengunjungi distrik lain terutama distrik ibu kota yang memang berada di tengah-tengah negeri. Meskipun pada akhirnya, mereka biasa pulang dengan luka sebab dikeroyok masa dari distrik lain. Ingan lelaki di pasar yang sempat Sean saksikan ketika dikeroyok? Itulah salah satu contohnya. Namun dengan begitu distrik ini memiliki pluralisme penduduk terbaik di negeri ini, sebab penduduk asli distrik ini berasal dari berbagai penjuru.
Mengenai ibukota, Distrik Ferista. Adalah yang paling maju diantara semua distrik. Pemerintahan berjalan di sini, pusat jual beli juga ada di sini dibuktikan dengan pasar raflero tadi, dan pemukiman paling padat juga di sini. Tidak ada yang istimewa selain para penduduk yang katanya pola pikirnya lebih maju dibanding distrik lain juga tempat strategis dengan perbatasan sebelah Tenggara Distrik Greenfit, sebelah Barat Daya adalah Distrik Conse – distrik penghasil tentara dan pandai besi, sebelah Barat adalah Distrik Thirdely – biasa disebut sebagai distrik fashion sebab penduduknya begitu memerhatikan sandang mereka dan kebanyakan ahli sebagai penjahit dan pengusaha butik, dan perbatasan sebelah Utara adalah Distrik Ourtha. Kelima distrik itu saling bekerja sama membangun negeri Limalora ini hingga akhirnya berhasil membuat negeri ini makmur hingga saat ini.
“Hey Sean sepertinya minggu depan kita akan ditugasi paman Jason untuk membawa persediaan sayuran ke Camp tentara Limalora di distrik Conse,” ujarnya cukup keras karena mereka masih berkendara.
“Ya, kurasa hal baik. Siapa tahu kita bisa membawa pulag banyak pisau untuk ditaruh di dapur.”
Rosena menengokkan kepala pada Dimitri yang berada di sebelahnya. “Atau mungkin pedang untuk latihan bertarung kita! HAHAHA!” tawanya begitu keras membuat Dimitri juga Sean hanya menggelengkan kepalanya.
“Dasar maniak.”
Mereka bertiga pun memelankan kecepatan kuda mereka, hingga akhirnya berhenti. Sebuah gerbang besar berdiri tegak, ada sebuah prasasti batu dengan tulisan kuno yang berarti selamat datang di Distrik Greenfit, juga ada petuah-petuah yang tertulis di sana.
“Ah hari sudah semakin gelap saja,” ucap Rosena sembari memasang jaket kulit tebal di badannya.
“Kita harus berhati-hati, akhir-akhir ini kabut semakin tebal.” Sean berbicara kepada kedua sahabatnya meski tangannya sibuk dengan sarung tangan.
Sementara itu Dimitri berbicara tidak terlalu jelas, sebab scarf telah terpasang menutupi wajahnya. “Setidaknya kita harus waspada tapi cepat. Kau tahu bukan, pasti kakek sudah menunggu kita cukup lama. Meskipun ada Yugo yang menemani, aku rasa memang ada hal penting yang akan beliau bicarakan dengan kita.”“Ya, aku tahu.” Rosena menepuk pundak lelaki itu. “Semenjak insiden “roh keluar” aku tidak bertemu dengan kakek. Aku begitu lapar sekarang, dan begitu merindukan sup panas buatannya. Lebih baik ayo bergegas.”
Setelah menaiki kudanya, Rosena langsung pergi memasuki wilayah distriknya. Ia meninggalakan kedua lelaki itu yang kemudian menyusulnya beberapa saat kemudian. Kini mereka menunggangi kuda dengan pakaian yang cukup tebal dan tertutup karena memang suhu cukup dingin. Mengenai insiden “roh keluar”, itu adalah sebutan dari para penduduk untuk peristiwa tiga minggu yang lalu tentang keluarnya asap dan gas putih dari puncak pegunungan. Semenjak itu, cuaca menjadi tidak terkontrol dan suhu udara kian menurun. Selain itu menjelang malam selalu ada kabut, sebab sebelum ada peristiwa itu segalanya tidak separah ini. Entahlah apa yang terjadi, tapi para sesepuh distrik, termasuk kakek yang akan mereka temui telah mengetahui sesuatu tapi memutuskan untuk tidak memberi tahu siapapun, kecuali para petinggi negara.
Kakek yang juga sesepuh dengan kedudukan tertinggi di Greenfit itu sempat mengutus cucunya yang tak lain Yugo Anderson untuk membawa surat pemberitahuan pada petinggi negara. Saat itu Yugo pergi dengan Sean, sebab lelaki itu juga memang sering mendatangi ibukota. Tapi sanpai saat ini tidak ada satupun utusan dari pemerintahan pusat yang datang kesini, atau sekedar balasan surat pun tidak ada.
Pemandangan samping kanan dan kiri mereka bertiga yang semula tanah lapang, hutan, dan deretan tanaman perkebunan yang berjejer rapi kini berganti menjadi pondok-pondok rumah yang terbuat dari kayu. Lentera di depan masing-masing rumah telah menyala, para penduduk banyak yang bercengkrama di depan halaman rumah mereka sebelum tiba waktunya mereka akan masuk ke tempat tinggal masing-masing untuk menghangatkan diri bersama keluarga.
Rumah-rumah dengan ornamen yang kebanyakan berwarna cokelat itu memiliki jarak anatara satu dengan lainnya. Berbeda dengan rumah-rumah di pemukiman Distrik lainnya yang begitu padat hingga saling berdempetan, di sini tidak berlaku hal seperti itu.
Rosena yang memimpin perjalanan kali ini mulai membelokkan Black pada sebuah pondok kecil yang cerobong asapnya sudah mengeluarkan asap hitam. Pondok kecil dengan belasan tanaman anggrek hitam di bagian depan halaman rumahnya. Rosena tersenyum memandangi bangunan itu, matanya berbinar dan giginya yang berderet rapi Nampak muncul dnegan percaya diri. Perempuan berambut pirang sebahu itu akhirnya turun dari kudanya.
“Hey Black, kau di sini dulu ya. Nanti kuambilkan jerami.” Tangannya mengusap-ngusap tubuh Black, membuat kuda itu cukup nyaman.
Rosena pun memasuki pondok kakek, setelah sebelumnya melihat Sean juga Dimitri tengah menempatkan kuda mereka di samping Black.
“Hello kakek!” Teriaknya setelah membuka pintu, tapi yang ia dapati di depan matanya justru membuat sekujur tubuhnya membeku. Iris mata hijaunya menangkap hal yang sangat mengejutkan.
Sean dan Dimitri pun tak kalah menahan napasnya ketika berdiri di belakang perempuan itu, yang artinya pandangan keduanya juga mengarah ke hal yang sama. Terkejut, itu satu kata yang mendeskripsikan mereka bertiga.
Suasana menusuk begitu kentara di bangunan ini. Bangunan megah yang berada di pusat ditrik ibukota, tempat para petinggi negeri dan kaum parlementer tinggal, mereka biasa menyebutnya istana. Setiap orang sibuk dengan urusanya masing-masing, sama seperti orang-orang di pasar raflero. Perbedaanya jika di raflero begitu berisik dan adu jotos adalah hal yang maklum, maka di sini kesunyian adalah ratu. Mereka tidak banyak berbicara apalagi berteriak jika memang tidak perlu. Mereka yang berada di sin lebih suka memainkan sesuatu di balik punggung. Dengan kecerdikan dan akal pikiran mereka, semuanya berlaga seperti akan saling membantu demi kemakmuran negeri Limalora. Tapi jelas semua orang tahu, bahwa siapapun yang berniat murni membuat negeri ini lebih baik, tapi setelah memasuki bangunan ini niat murni nan suci itu akan tergerus habis oleh ego
Satu minggu berlalu semenjak kematian Isaac. Bunga-bunga yang persembahan di depan rumahnya masih nampak segar sebab cuaca dingin sepertinya mengawetkan mereka. Tetapi tidak memungkiri bahwa beberapa ada yang sudah layu, dan Rosena tengah mengambil para bunga yang telah menyusut itu. Hari ini gadis itu menggunakan mantel cokelat muda, rambut pirangnya ia gelung, dan sepatu bootnya juga berganti warna menjadi hijau sama seperti iris matanya. Ia terus saja mengingat bagian di mana ia menemukan tubuh Isaaac yang sudah tergeletak di lantai dan pangkuan Yugo. Matanya kembali berair, ia merasa merindukan lelaki yang selalu menemaninya sejak kecil, sejak ia ditinggal pergi oleh anggota keluarganya yang meninggal secara bersamaan. Yah setidaknya di antara mereka berempat, Rosena sudah tidak menyandang status sebatang kara sendirian lagi sebab Yugo
“Untuk apa kita membeli pedang dan peraltan tarung dari besi seperti ini?” Rosena memandangi pedang mengilap di tangannya.“Kau tahu, lelaki itu jelas memberi tahu kita bahwa kita harus memerjuangkan negeri ini. Dia bilang kita kunci kedua bukan?” Ujar Sean yang ditanggapi dengan raut wajah kebingungan Dimitri dan Rosena.“Ada banyak tentara yang dimiliki negeri ini, kenapa harus kita? Ada para petinggi negeri yang juga memiliki pengawal tangguh kenapa harus kita?”
Grusak Grusuk. Suara daun-daun kering yang ikut berjatuhan bersamaan dengan seseorang yang baru saja turun ke tepi gorong-gorong, tempat sekumpulan remaja asing yang habis menyelinap keluar. Orang itu memandang penuh perhatian pada tiga laki-laki dan satu perempuan. Sementara itu Dimitri, Yugo, dan Sean berusaha tenang karena dihadapannya ada penjaga luar istana, terlihat dari pakaian perakna yang di desain seperti zirah tapi bukan dari besi.
“Ayah,” panggil Jo pada pria yang tengah berdiri menghadap jendela kaca besar di lantai lima. Dia sendirian, persis seperti yang diharapkannya. Lelaki itu sempat membalikkan badannya ketika suara putrinya masuk ke indra pendengarannya. Tetapi ia kembali memandangi langit malam dari balik kaca jendela itu.“Ayah aku ingin bertanya.”
“Selamat pagi, Prajurit!”“Pagi!!” Jawab serentak orang-orang yang berpakaian perak itu.Mereka berbaris rapi dengan kudanya masing-masing. Corny Huffle, didampingi Negia dan Celestia di sampingnya terus mengingatkan intruksi pada para prajurit. Nantinya Negia dan Celestia akan dibawa menggunakan tandu mewah kerajaan.
“Sean berhenti!!” Teriak Yugo yang terus mengejar temannya itu.Sementara itu Dimitri dan Rosena menyusul Yugo dengan langkah cepat mereka. Atmosfir yang semula tenang, kini berubah menjadi tegang. Rosena terus saja meneguk ludahnya,ia tahu apa yang dilihat Sean bukanlah fatamorgana karena mereka saat ini sedang tidak ada di gurun. Yang Sean liaht adalah mindtrost. Sungguh sangat tidak disangka perwujudan makhluk itu ternyata begitu menarik, tidak ada buruk rupa sepertinya. Di mata Sean, mindtrost itu kiranya seperti ibunya. Ibu Sean memanglah cantic, tapi kali ini lelaki itu salah sangka.
Ratusan langkah telah berlalu, mereka akhirnya terbebas dari lembah Trost, tepatnya terbebas dari lahan tempat tinggal mindtrost. Sungguh, mereka berempat sangat lega menyadari satu mimpi buruk telah mereka lewati. Entah mimpi buruk apalagi yang akan mereka hadapi. Kini keempatnya tepat berada di tepi sungai. Duduk diatas bebatuan kerikil, dan tengah memberi air sungai pada Sean. Lelaki itu masih memiliki tangan dan kaki yang terikat, karena memang baru tiba di tepi sungai ini.Dimitri terus memasukkan air sungai pada mulut Sean, ini semua atas perintah Yugo. Lelaki itu bilang pengaruh mindtrost akan hilang jika memang kita berada di luar area tanah hitam itu sekaligus meminum air y
Beberapa saat yang lalu Sean, Dimitri, dan Rosena baru saja melewati gerbang masuk distrik mereka. Cuaca benar-benar seperti ingin membekukan mereka. Rosena sempat khawatir pada tanaman yang ia peluk, takut bahwa tanaman itu akan terpengaruh oleh cuaca ekstrim yang saat ini mereka rasakan. Namun, hal itu ternyata tidak berdampak apa-apa. Gadis itupun menghela napas lega.Indera penglihatan mereka kini menangkap bahwa pemandangan di kiri dan kanan mereka bukan lagi perkebunan atau pepohonan melainkan rumah-rumah warga. Rasanya mereka seperti sudah lama sekali meninggalkan tempat itu, sampai-sampai m
Suara aliran sungai masih menemani mereka hingga sore ini. Dimitri kini sudah terduduk, tak lagi berdiri. Matanya juga terpejam menahan lukanya yang kali ini benar-benar membuat permukaan bagian depan kain lilitanya sudah berwarna merah. Sebenarnya Rosena begitu khawatir, tetapi dia tidak tidak tahu harus melakukan apa, sebab tangannya sedang disibukkan dengan memegang Vine Jeweria. Selain itu, kini mereka tidak memiliki apa-apa lagi.Sean terus mendayung, meski kali ini rasanya tangannya seperti ingin lepas dari bahunya. Ia sempat melirik luka di kedua bahunya. Baret itu semakin menganga dengan pancaran yang tidak lagi semerah sewaktu mereka
“Hati-hati Rosena!”“Tenang saja Dimi,” balasnya sembari terus berjalan dan sesekali melongok ke bawah agar ia tidak terporosok, sementara tangannya terus memeluk Vine Jeweria.Rasanya ada beban yang terlepas begitu mereka telah mendatkan tanaman itu di tangan mereka. Rosena sendiri masih tidak percaya bahwa benda ajaib itu ada pad mereka, terutama di tangannya. Ketiganya terus menuruni bukit dengan kecepatan yang bisa dibilang lebih baik dari
Cahaya matahari kini sepenuhnya menimpa tubuh Rosena, Dimitri, dan Sean. Mereka telah sampai di tepi hutan, keluar dari arean yang sudah membuat mereka mengenal kematian, sebab dua orang terekat mereka tewas seketika di hadapan ketiganya. Rosena sudah berhenti menangisi Yugo, Sean dan Dimitri pun sudah berusaha merelakan kawan baik mereka itu. Entah apa yang akan mereka katakan pada orang-orang di distrik ketika mereka pulang dan mengetahui bahwa ada salah seorang penduduk yang telah tewas. Mereka bertiga kini memandangi bukit di hadapan mereka. Bukit yang tidak terlalu tinggi, tetapi jelas akan menguras tenaga mereka. Jujur saja, jika mereka
“Hei, apa kalian mendengar sesuatu?”Mereka bertiga berhenti sejenak setelah Rosena melontarkan pertanyaan. Keempatnya pun berhenti sejenak untuk menajamkan indra pendengaran masing-masing. Memang ada banyak bunyi serangga, juga semak belukan yang terseok karena dilewati hewan mamalia atau reptile besar. Tapi sesaat kemudian, mereka memang mendengar bunyi raungan.“Seperti raungan? Apa mungkin ada harimau di sini?”
“Arrgghh!!” Louis berteriak geram, sembari memegangi luka sayatan di dadanya.Ketika tadi ia bertekuk lutut sebab terkejut dengan lukanya, dan melihat perempuan yang telah dibebaskan Joana berteriak kencang menghdapnya, Louis juga mengikuti arah pandang gadis itu. Dan betapa terkejutnya dia mendapati Joana yang telah bersimbah darah karena perut dan dadanya telah terluka.Serena, perempuan itu hanya menampilkan wajah datarnya. Pedangnya masih berlumuran d
Hari yang terus berganti terus membawa suasana di negeri Limalora ini semakin tidak kondusif. Para penduduk terus saja mengkhwatirkan keruntuhan negeri ini, juga ingin sekali segera memeboikot petinggi mereka yang tengah pergi untuk melakukan misi yang begitu egois dan hanya untuk kepentingan diri sendiri. Di sore ini banyak para penduduk yang tengah berkemas-kemas, sebenarnya ini sudah banyak dilakukan para masyarakat semenjak selebaran yang di buat oleh Leon Dwayne itu tersebar. Entah akan pergi kemana mereka, yang jelas mereka bersiap-siap terlebih dahulu.Langit di saat ini juga tertutup gas pu
Sean, Yugo, Rosenna, dan Dimitri agaknya sedikit menjauh dari suara yang mereka duga adalah pasukan istana. Mengapa mereka bisa berpikiran begitu? Jelas karena suara itu terlalu brutal jika diserahkan pada binatan. Sean sadar suara itu adalah pedang yang menghunus kesana kemari. Mereka semua jadi berpikir, bagaimana mungkin jika memang mereka bisa menyusul? Apakah mereka menggunakan sihir? Tapi kenapa tidak sejak lama, misalnya sejak mereka masih di lembah?“Hey di sini ternyata!!!” teriak seorang lelaki berambut hitam dari atas pepohonan.
“Terus ke arah Barat Daya!!” teriak Corny ketika dirinya dan sekelompok prajurit telah memasuki wilayah hutan.Mereka memang sudah tiba di tepi sungai dekat hutan beberapa waktu yang lalu. Setelah meninggalkan perahu mereka kini mereka kembali berjalan, bahkan seorang Negia dan Celestia pun terpaksa berjalan karena tandu singgasana mereka ditinggal ketika terjadi kekacauan di lembah. Yah, sejujurnya kedua orang itu sangat tidak ingin melakukan ini, tapi mau bagaiman lagi.