Suasana menusuk begitu kentara di bangunan ini. Bangunan megah yang berada di pusat ditrik ibukota, tempat para petinggi negeri dan kaum parlementer tinggal, mereka biasa menyebutnya istana. Setiap orang sibuk dengan urusanya masing-masing, sama seperti orang-orang di pasar raflero. Perbedaanya jika di raflero begitu berisik dan adu jotos adalah hal yang maklum, maka di sini kesunyian adalah ratu. Mereka tidak banyak berbicara apalagi berteriak jika memang tidak perlu. Mereka yang berada di sin lebih suka memainkan sesuatu di balik punggung. Dengan kecerdikan dan akal pikiran mereka, semuanya berlaga seperti akan saling membantu demi kemakmuran negeri Limalora. Tapi jelas semua orang tahu, bahwa siapapun yang berniat murni membuat negeri ini lebih baik, tapi setelah memasuki bangunan ini niat murni nan suci itu akan tergerus habis oleh ego kekuasaan.
Tempat ini, adalah singgasana bagi mereka yang ingin meraih keuntungan di atas sebuah kekuasaan. Bangunan megah nan indah yang semua lantainya terbuat dari lantai marmer, semua temboknya begitu mulus dan kokoh, kaca-kaca indah yang dibersihkan setiap hari, taman-taman yang dirawat penuh estetika, semacam replika surga saja ini dihuni mereka yang senantiasa menggunakan pakaian terbaik buatan penduduk Distrik Thirdely. Pakaian bak para penghuni kerajaan, meski begitu sistem kasta tetap ada di wilayah ini. Di bangunan tinggi sebelah utara dengan empat lantai adalah para menteri yang mengurusi pokok-pokok bidang permasalahan di negeri ini. Di bangunan sebelah selatan yang di dominasi warna biru dengan tiga lantai itu adalah bagi mereka para petinggi yang mengurusi distrik masing-masing. Mereka diutus sebagai perwakilan yang akan meninjau dan mengurusi setiap masalah yang ada di setiap ditrik, sebelum aspirasi kemudian di sampaikan ke pihak tertinggi. Pihak tertinggi itu tinggal di bangunan bagian tengah, bangunan dengan arsitektur seperti istana dan memiliki tujuh lantai itu adalah milik mereka penguasa tertinggi. Bangunan itu jelas diapit oleh dua bangunan lainnya, yang diperuntukkan bagi menteri dan petinggi distrik.
Saat ini kedudukan tertinggi itu berada di tangan Negia Wayne, lelaki bertubuh tinggi besar yang sudah memimpin negeri ini kira kira hampir sepuluh tahun. Ia dibantu oleh Leon Dwayne, pembantu umum petinggi negara sekaligus sepupunya. Beberapa rakyat menyangjungnya, beberapa sisanya seringkali memakinya.
“Lalu bagaimana ini?” tanya seorang lelaki berseragam dengan jahitan nama Corny Huffle di dadanya.
“Mereka tidak melakukan apapun, padahal kita tidak merespon mereka semenjak utusan mereka datang menyampaikan surat itu kepada kita.” Suara berat nan tenang itu datang dari Leon yang tengah meyatukan kedua tangannya di atas meja. Pandangannya kosong mengarah ke meja garnit yang mengilap. Meja yang saat ini menjadi pengampi tangan dari tida orang lelaki dan satu orang perempuan.
“Aku rasa mereka tidak sekhawatir itu, maka dari itu mereka tidak terlalu menggebu-gebu.” Negia Wayne ikut menyumbang suaranya.
“Bagaimana menurutmu madam Celestia?” Tanya Leon pada seorang wanita tua yang mengenakan gaunberwarna abu-abu itu.
Tangannya yang kurus kering dan penuh keriput itu kemudian meletakkan selembar kertas usang di atas meja. Bbirnya kemudian terangkat dan tersenyum santai.
“Aku sudah berulang kali bilang bahwa itu adalah tanda kehancuran negeri ini.”
“Tetapi, bagaimana bisa? Kau hanya mengucapkan hal itu terus menerus semenjak satu minggu terakhir sejak kami mengundangmu.” Leon nampaknya cukup kesal, terbukti wajahnya begitu tertekuk.
Negia yang duduk berhadapan dengan wanita tua itu kemudian bangkit dari posisi duduknya. Matanya begitu menusuk ke Celestia. “Jika memang negeri ini hancur, lalu kenapa?”
“Kau kehilangan segala kuasamu. Kau mati sia-sia. Kau tidak mendapatkan kejayaan abadi, tidak ada yang mengenangmu, sebab semua rakyakmu mati.”
Corny cukup terkejut dengan ucapan Celestia. Kepalanya terus saja bolak-bolak ke kiri dan ke kanan untuk membuat matanya bisa menangkap gestur dari pemimpinnya juga wanita yang cukup dikenal sebagai peramal ini.
Sementara itu, Negia mengusap dagunya pelan. Matanya memincing. Hal-hal yang Celestia sebutkan adalah hal yang paling tidak disukai Negia. Dia sudah berjuang keras untuk menduduki posisi saat ini, dia juga bekerja keras menjadipemimpin yang setidaknya membawa kedamaian di negeri ini. Dia bukanlah pemimpin yang tamak, atau tak berbelas kasihan. Dia merasa dia sudah menjadi pemimpin yang baik selama kurun waktu satu dekade ini, dan seorang Negia sangat benci akan suatu hal tidak dihargai.
“Hey Celestia, lalu pasti ada cara untuk menghentikannya bukan?” Corny angkat bicara, dia tidak tahan dengan kesunyian di ruang pertemuanyang luas ini.
Celestia tersenyum lagi-lagi, perbedaannya kali ini adalah senyum yang angkuh.
“Kenapa kau harus senyum seperti itu.”
“Aku ingin mengatakannya, tapi aku juga butuh imbalan.”
“Katakan saja,” ujar Negia. Dia cukup penasaran.
“Ada satu benda yang bisa menyelamatkan negeri ini, dan benda itu tidak hanya menyelamatkan negeri ini. Benda itu juga akan membuat siapaun yang berhasil mengambilnya menjadikan manusia paling kuat juga paling berpengaruh di suatu tempat, dalam hal ini jelas Negeri Limalora.”
Ketiga lelaki itu menahan napasnya masing-masing, bahkan mata Leon sampai begitu berbinar. “Apa benar ada benda seperti itu?”
“Bacalah dan pahami isinya.” Celestia mendorong kertas usang yang tadi ia letakkan di meja.
Cepat-cepat Leon mengambilnya dan mengamati tulisan yang terukir di sana. Sementara itu Celestia kemudian menatap hikmat pada Negia.
“Untuk imbalan, aku ingin menjadi pengganti lelaki ini.” Tangannya menunjuk pada Leon, laki-laki dengan rambut ikal berwarna hitam dan kumis tipis yang menghiasi wajahnya.
“A-apa maksudmu?” Leon tergagap.
Tanpa berpikir panjang, Negia mengangguk dengan tenang. “Ya baiklah.
“Hah Negia? Kau bermaksud mengisi jabatan Leon saat ini dengan wanita itu kelak? Kau gila?” Corny mulai bercucuran keringat, sadar bahwa Leon yang masih belum menecerna segalanya itu semacam ingin langsung mencekik Celestia
Celestia kemudian bangkit dari posisi duduknya. “Kalau begitu kita harus menemui seseorang yang akan menuntunmu ke bagian selanjutnya. ”Kakinya melangkah dengan pelan, gaunnya yang menyapu lantai itu terus saja bergerak menuju ruang bawah tanah.
Corny hanya bisa memandang naas Leon yang kini meremas kertas yang diberikan Celestia sebelumnya. Lelaki itu marah sekaligus kebingungan.
“Corny, kenapa aku?”
– Four Adventure –
“Huwaaaaaaaaaaaa!” Teriak Rosena di ambang pintu pondok kakek.
Sepatu boot hitamnya yang penuh lumpur kering itu maju secara tertatih-tatih untuk mendekati objek di depannya.
“A-apa yang terjadi Yugo?” tanya Sean yang masih kebingungan.
Yugo, lelaki berkulit putih dengan rambut hitam kelam itu mendongakkan kepalanya. Matanya berair di tengah posisinya yang telah bertekuk lutut dan memegangi tubuh kakeknya yang tak lain dan tak bukan adalah Isaac Anderson.
“A-aku tidak tahu. Sedari tadi kami berbincang untuk menunggu kalian. Tapi beberapa saat yang lalu aku memutuskan untuk memberi makan ternak di belakang. Saat… saat aku kembali… dia sudah seperti ini.”
Kepala lelaki itu menunduk dalam menatap sepatu kulit hitamnya. Air matanya meluncur, sementara itu tangannya terus saja memegangi tubuh Isaac yang sudah tak bernyawa. Ya, Isaac telah meninggal sesaat sebelum sebuah rapat kecil-kecilan akan dimulai.
Rosena yang semula bergeming langsung mendekati Yugo dan memeluk lelaki itu. Yugo melepas tubuh Isaac dan balas memeluk sahabatnya itu sembari menenggelamkan kepalanya pada pundak Rosena dan menangis sejadi-jadinya. Lalu, Dimitri menengokkan kepala pada Sean yang berdiri di sampingnya, menaruh tatapan yang Sean artikan sebagai tanda tanya akan langkah apa yang akan mereka lakukan setelah ini.
“Dimitri panggil sesepuh distrik yang lain. Mereka berhak tahu, selanjutnya mereka mungkin akan langsung menyiapkan upacara pemakaman untuknya.” Perintahnya yang langsung dituruti Dimitri.
Begitu Dimitri keluar dari pondok, Sean langsung mengangkat tubuh Isaac yang semula terbaring di ruang keluarga itu untuk diletakkan di kasur kamarnya. Rosena pun berusaha mengangkat tubuh Yugo, menuntun lelaki itu untuk ikut masuk ke kamar kakeknya.
Suasana kali ini begitu suram. Ada berbagai macam buntalan pertanyaan di benak mereka masing-masing, tak ayal membuat mereka tidak bisa melakukan apa-apa hingga saat ini. Kesedihan yang kiranya berlarut malam ini juga begitu kentara. Bagaimana bisa lelaki itu pergi begitu saja?
Suara berisik yang datang dari para sesepuh distrik dan beberapa penduduk kini memberantas sunyi. Satu persatu dari mereka memasuki pondok rumah Isaac, bahkan kini para sesepuh itu telah sampai di kamar kakek tua itu. Respon mereka sama saja seperti keempat remaja yang pertama kali melihat peristiwa ini. Terkejut dan terenyuh dalam satu waktu, bahkan bibi Tery, seorang perempuan yang merupakan isrti dari sesepuh distrik, Jeremy Tery itu telah menitikan air mata sejak tadi. Keempat remaja yang mengelilingi ranjang Isaac itu menatap penuh harap pada dua pria dan satu wanita yang tak lain dan tak bukan adalah sesepuh Jeremy, sesepuh Oscar, dan bibi Tery.
“Paman, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Dimitri, yang tubuhnya bersandar di jendela.
“Apa sebaiknya kita melakukan penyelidikan dulu mengapa kakek bisa meninggal?” Sean ikut berpendapat.
“Oh Isaac, sungguh sangat disayangkan kau pergi begitu saja,” ujar Oscar yang kemudian berjalan mendekati mayat Isaac. Tangannya yang bergandeng di belakang punggung semakin erat saja untuk menahan segala rasa sakit dan ketidakpercayaan bahwa teman sejawatnya telah meninggalkannya lebih dulu.
“Sebaiknya kita langsung saja melaksanakan upacara pemakaman malam ini. Tidak ada untungnya juga kita menyelidiki kematiannya, karena memang tidak terlihat aneh bukan? Dan lagi pula tidak ada kejanggalan yang memasuki distrik kita sejak kemarin.” Lelaki dengan jubah cokelat dan janggut putih sedada, Jeremy, mengusulkan hal itu karena ia kasihan pada tubuh Isaac
Bibi Tery kemudian mendekati Yugo yang terduduk sendiri, tidak seperti yang lainnya.
“Yugo, lebih baik kita cepat melakukannya. Kasian tubuh Isaac jika terlalu lama di diamkan sementara rohnya entah telah pergi kemana.” Tangannya mengusap pundak lelaki yang masih meneteskan air mata itu.
“Baiklah. Langsung saja siapkan upacaranya malam ini,” kata Yugo menyetujui.
Rosena, Sean, dan Dimitri pun saling menatap dan kemudian mengangguk bersama. Mereka lantas berpencar untuk menyiapkan segala perihal tata pemakaman. Mulai dari air suci, peti, dan lahan yang akan dijadikan tempat persemayaman Isaac yang terakhir.
Malam itu, di tengah suasana dingin yang mencekam serta dipenuhi kabut yang cukup tebal, para penduduk distrik Greenfit keluar dari pondok rumahnya masing-masing. Mereka semua sama terkejutnya dengan orang-orang yang pertama kali melihat kematian orang yang memiliki peran penting di distrik itu.
Bisik-bisik para penduduk pun tak bisa dihindari, di tengah sunyinya sang malam mereka terus saja mendengungkan pertanyaan mengapa semua ini terjadi?
“Kasihan sekali dia, padahal aku berharap dia berumur panjang.”
“Aku takut akan terjadi sesuatu, minggu-minggu kemarin insiden asap dan gas yang keluar dari pegunungan dan membuat kita semua terjebak di salam situasi seperti ini masih menjadi beban pikiranku. Ku kira dia akan menyelesaikannya, tapi entah kenapa dia meninggalkan kita.”
“Apakah dia benar-benar meninggal dengan sendirinya?”
“Menurut Tery memang seperti itu.”
Upacara berlangsung hikmat kemudian. Mereka mempersembahkan banyak makanan dan bunga di depan rumah Isaac. Selepas itu lagu-lagu persembahan ramai-ramai dinyanyikan dengan penuh penghayatan di hadapan peti kayu yang di dalamnya Isaac telah berbaring setelah dibasuh air suci oleh para sesepuh. Kabut-kabut tebal itu tentu tidak bisa menyembunyikan raut wajah kesedihan dari masing-masing penduduk, bahkan beberapa dari mereka terus saja menangis meski air mata mereka berubah menjadi dingin.
Yugo terus saja terdiam, menyadari kini ia harus hidup sebatang kara terlebih sebelum kematian sang kakek pria itu menitipkan sesuatu yang penting padanya. Sesuatu yang bisa membawa kemaslahatan atau mungkin kehancuran negeri ini nantinya.
Satu minggu berlalu semenjak kematian Isaac. Bunga-bunga yang persembahan di depan rumahnya masih nampak segar sebab cuaca dingin sepertinya mengawetkan mereka. Tetapi tidak memungkiri bahwa beberapa ada yang sudah layu, dan Rosena tengah mengambil para bunga yang telah menyusut itu. Hari ini gadis itu menggunakan mantel cokelat muda, rambut pirangnya ia gelung, dan sepatu bootnya juga berganti warna menjadi hijau sama seperti iris matanya. Ia terus saja mengingat bagian di mana ia menemukan tubuh Isaaac yang sudah tergeletak di lantai dan pangkuan Yugo. Matanya kembali berair, ia merasa merindukan lelaki yang selalu menemaninya sejak kecil, sejak ia ditinggal pergi oleh anggota keluarganya yang meninggal secara bersamaan. Yah setidaknya di antara mereka berempat, Rosena sudah tidak menyandang status sebatang kara sendirian lagi sebab Yugo
“Untuk apa kita membeli pedang dan peraltan tarung dari besi seperti ini?” Rosena memandangi pedang mengilap di tangannya.“Kau tahu, lelaki itu jelas memberi tahu kita bahwa kita harus memerjuangkan negeri ini. Dia bilang kita kunci kedua bukan?” Ujar Sean yang ditanggapi dengan raut wajah kebingungan Dimitri dan Rosena.“Ada banyak tentara yang dimiliki negeri ini, kenapa harus kita? Ada para petinggi negeri yang juga memiliki pengawal tangguh kenapa harus kita?”
Grusak Grusuk. Suara daun-daun kering yang ikut berjatuhan bersamaan dengan seseorang yang baru saja turun ke tepi gorong-gorong, tempat sekumpulan remaja asing yang habis menyelinap keluar. Orang itu memandang penuh perhatian pada tiga laki-laki dan satu perempuan. Sementara itu Dimitri, Yugo, dan Sean berusaha tenang karena dihadapannya ada penjaga luar istana, terlihat dari pakaian perakna yang di desain seperti zirah tapi bukan dari besi.
“Ayah,” panggil Jo pada pria yang tengah berdiri menghadap jendela kaca besar di lantai lima. Dia sendirian, persis seperti yang diharapkannya. Lelaki itu sempat membalikkan badannya ketika suara putrinya masuk ke indra pendengarannya. Tetapi ia kembali memandangi langit malam dari balik kaca jendela itu.“Ayah aku ingin bertanya.”
“Selamat pagi, Prajurit!”“Pagi!!” Jawab serentak orang-orang yang berpakaian perak itu.Mereka berbaris rapi dengan kudanya masing-masing. Corny Huffle, didampingi Negia dan Celestia di sampingnya terus mengingatkan intruksi pada para prajurit. Nantinya Negia dan Celestia akan dibawa menggunakan tandu mewah kerajaan.
“Sean berhenti!!” Teriak Yugo yang terus mengejar temannya itu.Sementara itu Dimitri dan Rosena menyusul Yugo dengan langkah cepat mereka. Atmosfir yang semula tenang, kini berubah menjadi tegang. Rosena terus saja meneguk ludahnya,ia tahu apa yang dilihat Sean bukanlah fatamorgana karena mereka saat ini sedang tidak ada di gurun. Yang Sean liaht adalah mindtrost. Sungguh sangat tidak disangka perwujudan makhluk itu ternyata begitu menarik, tidak ada buruk rupa sepertinya. Di mata Sean, mindtrost itu kiranya seperti ibunya. Ibu Sean memanglah cantic, tapi kali ini lelaki itu salah sangka.
Ratusan langkah telah berlalu, mereka akhirnya terbebas dari lembah Trost, tepatnya terbebas dari lahan tempat tinggal mindtrost. Sungguh, mereka berempat sangat lega menyadari satu mimpi buruk telah mereka lewati. Entah mimpi buruk apalagi yang akan mereka hadapi. Kini keempatnya tepat berada di tepi sungai. Duduk diatas bebatuan kerikil, dan tengah memberi air sungai pada Sean. Lelaki itu masih memiliki tangan dan kaki yang terikat, karena memang baru tiba di tepi sungai ini.Dimitri terus memasukkan air sungai pada mulut Sean, ini semua atas perintah Yugo. Lelaki itu bilang pengaruh mindtrost akan hilang jika memang kita berada di luar area tanah hitam itu sekaligus meminum air y
Rosena menyalakan obor sebagai penerangan untuk mala mini. Keadaan yang tadinya begitu gelap gulita kini mendadak menjadi terang. Mereka berempat baru saja makan malam, tentunya selain dengan bekal yang dibawa Yugo, juga dari hadil tangkapan ikan Dimitri yang dengan beruntung bisa mendapat empat ekor.Rosena yang semula duduk di bagian belakang kini pindah ke bagian depan, tepatnya di dekat Sean. Lelaki itu maish betah dan mesih belum merasa capai dengan posisinya yang tengah mendayung. Rosena terus memegangi obor itu, sekaligus mempertajam penglihatannya, karena sampai saat ini mereka belummelihat persimpangan cabang sungai ini.
Beberapa saat yang lalu Sean, Dimitri, dan Rosena baru saja melewati gerbang masuk distrik mereka. Cuaca benar-benar seperti ingin membekukan mereka. Rosena sempat khawatir pada tanaman yang ia peluk, takut bahwa tanaman itu akan terpengaruh oleh cuaca ekstrim yang saat ini mereka rasakan. Namun, hal itu ternyata tidak berdampak apa-apa. Gadis itupun menghela napas lega.Indera penglihatan mereka kini menangkap bahwa pemandangan di kiri dan kanan mereka bukan lagi perkebunan atau pepohonan melainkan rumah-rumah warga. Rasanya mereka seperti sudah lama sekali meninggalkan tempat itu, sampai-sampai m
Suara aliran sungai masih menemani mereka hingga sore ini. Dimitri kini sudah terduduk, tak lagi berdiri. Matanya juga terpejam menahan lukanya yang kali ini benar-benar membuat permukaan bagian depan kain lilitanya sudah berwarna merah. Sebenarnya Rosena begitu khawatir, tetapi dia tidak tidak tahu harus melakukan apa, sebab tangannya sedang disibukkan dengan memegang Vine Jeweria. Selain itu, kini mereka tidak memiliki apa-apa lagi.Sean terus mendayung, meski kali ini rasanya tangannya seperti ingin lepas dari bahunya. Ia sempat melirik luka di kedua bahunya. Baret itu semakin menganga dengan pancaran yang tidak lagi semerah sewaktu mereka
“Hati-hati Rosena!”“Tenang saja Dimi,” balasnya sembari terus berjalan dan sesekali melongok ke bawah agar ia tidak terporosok, sementara tangannya terus memeluk Vine Jeweria.Rasanya ada beban yang terlepas begitu mereka telah mendatkan tanaman itu di tangan mereka. Rosena sendiri masih tidak percaya bahwa benda ajaib itu ada pad mereka, terutama di tangannya. Ketiganya terus menuruni bukit dengan kecepatan yang bisa dibilang lebih baik dari
Cahaya matahari kini sepenuhnya menimpa tubuh Rosena, Dimitri, dan Sean. Mereka telah sampai di tepi hutan, keluar dari arean yang sudah membuat mereka mengenal kematian, sebab dua orang terekat mereka tewas seketika di hadapan ketiganya. Rosena sudah berhenti menangisi Yugo, Sean dan Dimitri pun sudah berusaha merelakan kawan baik mereka itu. Entah apa yang akan mereka katakan pada orang-orang di distrik ketika mereka pulang dan mengetahui bahwa ada salah seorang penduduk yang telah tewas. Mereka bertiga kini memandangi bukit di hadapan mereka. Bukit yang tidak terlalu tinggi, tetapi jelas akan menguras tenaga mereka. Jujur saja, jika mereka
“Hei, apa kalian mendengar sesuatu?”Mereka bertiga berhenti sejenak setelah Rosena melontarkan pertanyaan. Keempatnya pun berhenti sejenak untuk menajamkan indra pendengaran masing-masing. Memang ada banyak bunyi serangga, juga semak belukan yang terseok karena dilewati hewan mamalia atau reptile besar. Tapi sesaat kemudian, mereka memang mendengar bunyi raungan.“Seperti raungan? Apa mungkin ada harimau di sini?”
“Arrgghh!!” Louis berteriak geram, sembari memegangi luka sayatan di dadanya.Ketika tadi ia bertekuk lutut sebab terkejut dengan lukanya, dan melihat perempuan yang telah dibebaskan Joana berteriak kencang menghdapnya, Louis juga mengikuti arah pandang gadis itu. Dan betapa terkejutnya dia mendapati Joana yang telah bersimbah darah karena perut dan dadanya telah terluka.Serena, perempuan itu hanya menampilkan wajah datarnya. Pedangnya masih berlumuran d
Hari yang terus berganti terus membawa suasana di negeri Limalora ini semakin tidak kondusif. Para penduduk terus saja mengkhwatirkan keruntuhan negeri ini, juga ingin sekali segera memeboikot petinggi mereka yang tengah pergi untuk melakukan misi yang begitu egois dan hanya untuk kepentingan diri sendiri. Di sore ini banyak para penduduk yang tengah berkemas-kemas, sebenarnya ini sudah banyak dilakukan para masyarakat semenjak selebaran yang di buat oleh Leon Dwayne itu tersebar. Entah akan pergi kemana mereka, yang jelas mereka bersiap-siap terlebih dahulu.Langit di saat ini juga tertutup gas pu
Sean, Yugo, Rosenna, dan Dimitri agaknya sedikit menjauh dari suara yang mereka duga adalah pasukan istana. Mengapa mereka bisa berpikiran begitu? Jelas karena suara itu terlalu brutal jika diserahkan pada binatan. Sean sadar suara itu adalah pedang yang menghunus kesana kemari. Mereka semua jadi berpikir, bagaimana mungkin jika memang mereka bisa menyusul? Apakah mereka menggunakan sihir? Tapi kenapa tidak sejak lama, misalnya sejak mereka masih di lembah?“Hey di sini ternyata!!!” teriak seorang lelaki berambut hitam dari atas pepohonan.
“Terus ke arah Barat Daya!!” teriak Corny ketika dirinya dan sekelompok prajurit telah memasuki wilayah hutan.Mereka memang sudah tiba di tepi sungai dekat hutan beberapa waktu yang lalu. Setelah meninggalkan perahu mereka kini mereka kembali berjalan, bahkan seorang Negia dan Celestia pun terpaksa berjalan karena tandu singgasana mereka ditinggal ketika terjadi kekacauan di lembah. Yah, sejujurnya kedua orang itu sangat tidak ingin melakukan ini, tapi mau bagaiman lagi.