Satu minggu berlalu semenjak kematian Isaac. Bunga-bunga yang persembahan di depan rumahnya masih nampak segar sebab cuaca dingin sepertinya mengawetkan mereka. Tetapi tidak memungkiri bahwa beberapa ada yang sudah layu, dan Rosena tengah mengambil para bunga yang telah menyusut itu. Hari ini gadis itu menggunakan mantel cokelat muda, rambut pirangnya ia gelung, dan sepatu bootnya juga berganti warna menjadi hijau sama seperti iris matanya. Ia terus saja mengingat bagian di mana ia menemukan tubuh Isaaac yang sudah tergeletak di lantai dan pangkuan Yugo. Matanya kembali berair, ia merasa merindukan lelaki yang selalu menemaninya sejak kecil, sejak ia ditinggal pergi oleh anggota keluarganya yang meninggal secara bersamaan. Yah setidaknya di antara mereka berempat, Rosena sudah tidak menyandang status sebatang kara sendirian lagi sebab Yugo kini menemaninya.
“Hey Rosena, kamu sudah selesai?” Tanya Yugo yang baru saja keluar dari rumah. Lelaki itu kemudian menutup pintu, dan membenarkan tas di punggungnya.
Rosena meletakan keranjang berisi bunga-bunga layu, kemudian tersenyum sembari memangguk pada Yugo yang juga memakai mantel serupa warnanya dengan miliknya, hanya saja lelaki itu memakai celana hitam sebagai padu padannya.
“Ayo kita harus cepat!”
“Ini masih pagi, kenapa kita harus cepat-cepat?”
“Sudah tidak usah protes.” Kemudian lelaki bertubuh tegap tinggi berambut hitam itu menaiki kuda yang serupa warnanya dengan rambutnya yang ia beri nama Sanders.
Setelah Rosena menaiki Black, kudanya yang berwarna cokelat, keduanya kemudian keluar dari halaman rumah. Memacu dengan cepat menuju gerbang utama distrik untuk bertemu Dimitri dan Sean yang mungkin sudah tiba di sana. Ya memang, rumah Dimitri dan Sean berdekatan dan cukup jauh dari rumah Yugo juga rumah anak yang ditempati Rosena. Beberapa warga tersenyum ketika melihat cucu dari sesepuh yang telah tiada itu melewati mereka yang tengah berkebun atau melakukan aktifitas lainnya.
Rosena memasang tudung kepalanya, ia hanya tidak ingin udara dingin pagi ini menusuk kulitnya di tengah ia berkendara. Selepas memakan waktu belasan menit lamanya kedua orang itu akhirnya bertemu dengan Sean dan Dimitri yang memang sudah berdiri bersama kuda mereka masing-masing di gerbang utama. Tanpa turun dari kudanya, Yugo langsung memberi kode pada dua lelaki itu untuk langsung mengikutinya dan Rosena.
“Hoy tunggu!” teriak Dimitri kesal begitu melihat Yugo dan Rosena yang berlalu begitu saja.
“Cepat Dimi!” ujar Sean yang sudah melaju dengan kudanya, ia membawa sekarung sayur-mayur, sama seperti Dimitri.
Dimitri yang begitu terkejut karena kini ia tinggal sendirian, dengan tergesa-gesa menaiki Dieval dan memacunya untuk menyusul ketika sahabatnya.
“Hey pelankan sedikit!”
“Kau yang harus cepat Jack!” balas Rosena, kemudian ia tersenyum mengejek. Apalagi mengetahui raut wajah lelaki itu sudah berubah masam.
Selang beberapa waktu keempatnya akhirnya bisa memacu kuda mereka beriringan. Yugo paling depan, dibelakangnya Sean dan Rosena, dan yang terakhir tentu saja Dimitri. Keempatnya kini tengah melewati jalanan setapak yang di sisi kanan dan kirinya merupakan hutan. Mereka semua berjalan ke arah Barat, tepatnya menuju distrik Conse.
“Sean, kau minta persediaan lebih tidak pada paman Jason?”
“Tidak,” jawabnya pada Rosena.
“Haduh kau ini, harusnya kau minta kan lumayan untuk persediaan makanan nanti.”
“Sean punya tata krama dan malu, memangnya kau.”
“Heh diam kamu, Jack.”
Minggu ini memang mereka mengantar sayuran milik paman Jason ke camp tentara Limalora yang ada di distrik Conse. Selain itu tujuan mereka mendatangi distrik itu juga bukan hanya karena titipan dari pria bertubuh tambun yang sibuk berkebun itu, melainkan untuk bertemu seseorang dan mendiskusikan sesuatu hal yang krusial.
“Hey Yugo, kenapa kau tidak memberi tahu kita dulu apa yang akan nanti kita bicarakan pada seseorang yang akan kita temui?”
“Hm, benar juga kata Sena. Kamu harusnya memberi tahu kita dulu sejak kemarin-kemarin, jadi kita tidak akan terlihat bodoh di sana. Tapi kau hanya sok misterius saja setiap hari.”
“Kali ini aku setuju pada Dimitri.”
“Tahanlah rasa ingin tahu kalian. Kalian ini.” Sean geleng-geleng kepala di tengah kecepatan kudanya yang cukup melesat.
Yugo tersenyum hangat sembari menengokkan kepala ke belakang. “Pesan dari kakek seperti itu. Bersabarlah sedikit.”
Mereka pun diam dan melanjutkan perjalanan dalam diam, dengan terus menambah kecepatan kuda mereka masing-masing.
-Four Adventure-
Suara denting-denting besi bergemerincing sejak tadi menghinggapi indra pendengaran keempat remaja yang kini tengah duduk di suatu camp yang memiliki penghuni-penghuni perkasa yang dilatih untuk mempertahankan negeri ini.
“Hey kita sudah di sini sejak lama, kenapa belum ada yang datang juga. Mana lelaki ketua camp ini? Aku masih bisa mengingat wajahnya meski kita terakhir bertemu tiga bulan yang lalu.”
“Cerewet, bisa diam tidak?”
Rosena mengembuskan napasnya keras-keras. Ia kemudian mengamati sekelompok remaja seusinya yang seprtinya tengah melatih fisik mereka di sebuahl lapangan kecil yang kebetulan berada di depan matanya.
“Cuaca di sini hangat, rasanya aku jadi gerah dengan mantel ini.”
“Lepas saja,” saran Sean.
“Tidak mau, aku tidak mau menjadi objek pria-pria di sini.”
“Badan kamu tidak sebagus itu, kamu ini percaya diri sekali.”
Rosena hendak melayangkan pukulan pada Dimitri tapi seorang lelaki datang menghampiri mereka. Dia adalah lelaki yang tadi sempat Rosena perbincangkan. Sang pemimpin camp. Sontak keempat bocah remaja itu berdiri dari posisi duduknya.
“Sudah tidak apa-apa, duduklah,” ucapnya yang langsung dituruti keempatnya.
Sean pun menyodorkan karung-karung berisi sayuran. “Ini, silakan diambil.”
Lantas lelaki itu melambaikan tangannya, dan berbondong-bondong para orang dewasa yang memakai celemek penuh noda itu mengangkut karung-karung warna cokelat itu. Membawanya ke gudang persediaan, untuk kemudian diolah dan menjadi santapan para calon tentara dan tentara yang berada di camp ini. Camp ini bernama camp wildstrout, satu di antara puluhan camp lainnya yang menetap di distrik ini. Camp ini pula yang sudah di datangi keempat remaja itu, terutama Sean sejak kecil. Selepas mengantar titipan, biasanya mereka akan berkeliling di distrik ini dan mencoba mengikuti diklat singkat latihan bertarung atau menggunakan senjata. Tapi sepetinya hari ini mereka tidak akan melakukan itu, sebab ada hal lain yang lebih penting saat ini.
“Sebelumnya terima kasih sudah mengantarkannya kemari. Entah kapan kita akan merubah sistem kita menjadi mandiri, seperti menjemput sayuran dan palawija itu sendiri menggunakan orang-orang kami,” kata si lelaki berambut cepat dengan kumis tebal itu.
“Ah tidak apa-apa. Lagipula kami senang setiap kali kesini,” tutur Yugo. Lelaki itu kemudian mendekatkan tubuhnya pada si ketua camp dan membisikan sesuatu. “Apakah pria perak itu ada hari ini?” Si ketua camp itu pun mengangguk pelan.
“Datang saja ke toko periuk, tiga blok dari sini.”
“Baiklah, terima kasih. Kami semua pamit.”
Mereka pun kemudian langsung meninggalkan camp itu. Dengan kudanya yang melaju pelan mereka menuju toko periuk yang telah diinstruksikan oleh si ketua camp itu. Raut wajahkeempatnya kali ini begitu datar, meski begitu masing-masing dari mereka menyimpan banyak pertanyaan juga rasa penasaran yang menghinggap di benak keempatnya.
Setelah melewati tiga blok, benar saja ada toko periuk di sana. Mereka pun memutuskan untuk memarkir kudanya di gang kecil yang kebetulah kosong.
“Sebentar ya Black,” ucap Rosena sembari menepuk puncak kepala kudanya.
Mereka pun berjalan memasuki toko periuk itu, denting bel berbunyi seiring dengan pintu yang dibuka. Mata mereka disambut dengan tumpukan periuk berbagai ukuran. Banyak debu yang menghinggapi benda penanak nasi atau makanan itu. Tidak ada satupun pembeli di sini, bahkan seorang kasir pun tak ada.
“Permisi!” Sean bersuara cukup keras.
Seorang lelaki tua dengan pakaian dan aksesoris serba perak keluar dari balik sebuah tirai yang juga berwarna perak. Dimitri bahkan sempat berjengit karena keterkejutannya.
“Silakan dipilih-pilih saja dahulu,” ujarnya pelan sembari tersenyum, menampilkan giginya yang masih berderet rapih, tetapi ada tiga biji gigi yang lagi-lagi berwarna perak.
Yugo pun memimpin untuk menghampiri lelaki itu. Ketiga teman lainnya mengikuti dengan hati-hati.
“Maaf kami tidak berniat membeli periuk anda, kami di sini untuk menemui anda.”
Lelaki itu kemudian tertawa, tawanya begitu lepas sampai-sampai membuat keempat bocah itu saling menatap terheran-heran.
“Untuk apa menemuiku? Aku ini pria tidak waras. Sudahlah kalau tidak mau beli keluar saja.”
Sean dengan bergegas maju menghampiri pria itu. Yugo kini tekejut, sebab temannya itu sempat mendorongnya untuk mundur kebelakang.
“Kami di sini untuk menemuimu. Tapi entah kenapa sepertinya kami salah orang.”
“Tidak, kita tidak salah orang.” Yugo pun mendekati keduanya. “Mohon maaf sebelumnya, tapi kami memang ingin menemui anda, sebentar.” Dia kemudian merogoh tas ranselnya dan mengambil secarik kertas dengan cap tanaman bunga.
“Ini dari kakekku, Isaac.”
Lelaki perak itu kemudian mengambilnya dan mengamatinya. Tidak ada wjah jenaka yang mengesalkan, ia tampak berpikir keras. Setelahnya ia melipat kertas itu menjadi ukuran yang lebih kecil.
“Kenapa dia mati secepat itu?” gumamnya pelan, tetapi mereka, para remaja itu mendengarnya jelas dan membuat mata mereka nyaris keluar karena terkejut.
Bayangkan saja yang telah tiada adalah Isaac yang hanyalah sesepuh suatu distrik bukan para petinggi negeri yang akan membuat semua penduduk negeri dari segala penjuru mengetahuinya. Dan ini? Lelaki tua yang cukup aneh tiba-tiba saja berbicara fakta yang jelas sangat aneh jika mengetahuinya.
“Mari masuklah, aku percaya kalian ingin menemuiku.”
Lelaki itu masuk ke ruangan di balik tirai perak keabu-abuannya itu, Yugo dan ketiga temannya jug aikut mengikutinya. Mereka memasuki semacam ruang makan dengan segala ornament dan peralatan berwarna abu-abu keperekan. Mereka jelas yakin secara penuh bahwa lelaki ini memang yang disebut sebagai pria perak.
“Duduklah,” perintahnya, membuat mereka menduduki kursi abu-abu yang dilapisi kain beludru.
Lelaki itu kemudian menghilang sesaat, kemudian kembali dengan membawa sebuah buku lebar yang tidak terlalu tebal. Dia ikut duduk bersama para bocah itu, kemudian meletakkan buku using di atas meja kayu yang juga diberi warna abu-abu perak.
“Kau Yugo benar, cucu Isaac.”
Yugo mengangguk pelan. “Mengapa kau bisa tahu? Dan kenapa kau juga tahu bahwa kakekku telah meninggal.”
“Hah sayang sekali aku tidak menghadiri pemakamannya. Baiklah langsung saja.” Lelaki itu langsung membuka buku di hadapannya, membuat mereka lagi-lagi saling bertatapan sebab kebingungan karena lelaki itu tidak menjawab pertanyaan Yugo.
Lelaki itu focus membuka lembaran-lembaran buku tua itu. Di sela-sela itu dia juga menggumamkan kalimat-kalimat, seperti, “aku adalah teman sejawat kakekmu Yugo.”
“Dia selalu berkata suatu saat nanti aku akan menemui cucunya yang tampan, juga mungkin datang bersama dua lelaki lainnya yang sebaya dan tangguh, dan seorang perempuan cantic yang memiliki aura kuat.”
"Aku selalu bertanya kenapa pria tua yang gemar membuat sup itu selalu mengatakan hal seperti itu, dan dia selalu menjawab dengan umur pendek sependek ketika tangan kita menyobek lembar halaman dari buku.”
“Kalian tahu, pria itu selalu memujiku setiap kali kita bertemu. Terkadang memuji kualitas periukku atau bahkan rambutku yang berwarna perak.”
“Nah ini dia.” Dia berhenti di salah satu halaman buku yang kiranya telah dirobek.
Yugo, Sean, Rosena, dan Dimitri yang sedari tadi diam dan terkadang terkejut akibat kalimat gumaman lelaki itu kini dibuat makin menganga ketika kertas yang didapatnya dari Yugo itu, yang semula terlipat ia kembangkan lagi menjadi selembar penuh dan memasangnya pada buku itu. Kertas itu adalah halaman yang tersobek dari buku itu.
Lelaki itu kemudian tersenyum sembari menatap keempat remaja di depannya yang ternganga. “Sudahlah tidak usah terkejut. Buku ini adalah kunci dari segala kunci, hanya beberapa orang yang mengetahui.”
“Lalu apa yang harus kita lakukan setelah menemui? Hanya melihatmu merekatkan kembali halaman buku yang hilang?” tanya Dimitri.
“Kalian berempat kini kunci kedua setelah buku ini.”
“Maksudnya?” Alis Rosena menyatu penuh tanya.
Lelaki itu menyorongkan buku itu kehadapan mereka. Kemudian membuka halaman-halaman yang berurutan. “Ini adalah buku yang akan menjawabmu ketika kau bertanya tentang negeri Limalora baik di masa lalu atau masa depan.”
Ia menunjuk pada suatu halaman dengan sketsa asap putih. “Kita tahu salah satu distrik ini baru saja mengalami suatu fenomena yang disebut sebagai “roh keluar.” Itu bukanlah peristiwa biasanya, terbukti cuaca di distrikmu menjadi berubah bukan?” Lelaki itu menatap mantel yang dikenakan mereka.
“Itu adalah tanda bahwa negeri ini akan segera berakhir. Asap putih yang keluar dari pegunungan aalah inti yang dimiliki dari negeri ini. Yang terpendam jauh di bawah sana. Ia sudah keluar tandanya inti dari negeri ini akan habis dan tidak ada lagi yang menopang negeri kita tercinta, dengan kata lain negeri ini akan hancur dan runtuh.”
Mereka membelalakkan mata begitu mendengarnya. Sungguh tidak percaya pada sebuah akhir yang begitu mengenaskan. Mereka pun kembali menyimak pria yang bahkan sampai sekarang tidak diketahui namanya itu. Pria itu kembali dengan halaman lain di bukunya.
“Tetapi setiap masalah ada solusinya bukan? Tentu saja untuk hal ini pun ada, dan inilah jawabannya.” Jari telnjuknya mengarah pada halaman yang tersobek, itu adalah kertas yang Yugo bawa dari rumah yang tadi ia serahkan pada pria itu.
“Apa itu? Semacam tanaman?” tanya Sean sembari memincingkan matanya, memastikan.
“Ya benar. Tanaman ini adalah Vine Jeweria. Tanaman ajaib yang akan memngembalikan inti negeri ini, dan menahan keruntuhan negeri ini jika kita bisa membawanya ke sini dan menanamnya di puncak pegununngan Distrik Greenfit.
“Jika kita bisa membawanya? Tanaman itu memang tidak ada di sini, lantas ada di mana?” Yugo mengerutkan dahinya.
Lelaki itu tertawa lantas membalikan halaman lain. Dan mereka berempat kini terkejut kembali. Tidak hanya satu, adala halaman lain yang disobek.
“Halaman ini adalah peta yang akan menuntun si pencari Vine Jeweria. Tapi telah diambil oleh pihak lain. Hah aku harap kalian bisa menemukannya.”
“Bagaimana mungkin?” Rosena sepertinya hampir marah, itu hal mustahil.
“Yah biar kuberi tahu. Ingatlah ingat dia yang pernah meracau di masa lampau. Dia yang dianggap hilang, tapi sebenarnya hanya mendekam. Dia gila tapi dia punya rahasia. Tempat tidurnya gelap, padahal dia ada di tempat yang paling gemerlap. ”
“Apa maksudmu? Tanya Sean.
Lelaki itu berdiri meninggalkan keempatnya. “Jangan ikuti aku, lebih baik kalian pergi mencarinya. Lebih cepat lebih baik bukan?”
“Untuk apa kita membeli pedang dan peraltan tarung dari besi seperti ini?” Rosena memandangi pedang mengilap di tangannya.“Kau tahu, lelaki itu jelas memberi tahu kita bahwa kita harus memerjuangkan negeri ini. Dia bilang kita kunci kedua bukan?” Ujar Sean yang ditanggapi dengan raut wajah kebingungan Dimitri dan Rosena.“Ada banyak tentara yang dimiliki negeri ini, kenapa harus kita? Ada para petinggi negeri yang juga memiliki pengawal tangguh kenapa harus kita?”
Grusak Grusuk. Suara daun-daun kering yang ikut berjatuhan bersamaan dengan seseorang yang baru saja turun ke tepi gorong-gorong, tempat sekumpulan remaja asing yang habis menyelinap keluar. Orang itu memandang penuh perhatian pada tiga laki-laki dan satu perempuan. Sementara itu Dimitri, Yugo, dan Sean berusaha tenang karena dihadapannya ada penjaga luar istana, terlihat dari pakaian perakna yang di desain seperti zirah tapi bukan dari besi.
“Ayah,” panggil Jo pada pria yang tengah berdiri menghadap jendela kaca besar di lantai lima. Dia sendirian, persis seperti yang diharapkannya. Lelaki itu sempat membalikkan badannya ketika suara putrinya masuk ke indra pendengarannya. Tetapi ia kembali memandangi langit malam dari balik kaca jendela itu.“Ayah aku ingin bertanya.”
“Selamat pagi, Prajurit!”“Pagi!!” Jawab serentak orang-orang yang berpakaian perak itu.Mereka berbaris rapi dengan kudanya masing-masing. Corny Huffle, didampingi Negia dan Celestia di sampingnya terus mengingatkan intruksi pada para prajurit. Nantinya Negia dan Celestia akan dibawa menggunakan tandu mewah kerajaan.
“Sean berhenti!!” Teriak Yugo yang terus mengejar temannya itu.Sementara itu Dimitri dan Rosena menyusul Yugo dengan langkah cepat mereka. Atmosfir yang semula tenang, kini berubah menjadi tegang. Rosena terus saja meneguk ludahnya,ia tahu apa yang dilihat Sean bukanlah fatamorgana karena mereka saat ini sedang tidak ada di gurun. Yang Sean liaht adalah mindtrost. Sungguh sangat tidak disangka perwujudan makhluk itu ternyata begitu menarik, tidak ada buruk rupa sepertinya. Di mata Sean, mindtrost itu kiranya seperti ibunya. Ibu Sean memanglah cantic, tapi kali ini lelaki itu salah sangka.
Ratusan langkah telah berlalu, mereka akhirnya terbebas dari lembah Trost, tepatnya terbebas dari lahan tempat tinggal mindtrost. Sungguh, mereka berempat sangat lega menyadari satu mimpi buruk telah mereka lewati. Entah mimpi buruk apalagi yang akan mereka hadapi. Kini keempatnya tepat berada di tepi sungai. Duduk diatas bebatuan kerikil, dan tengah memberi air sungai pada Sean. Lelaki itu masih memiliki tangan dan kaki yang terikat, karena memang baru tiba di tepi sungai ini.Dimitri terus memasukkan air sungai pada mulut Sean, ini semua atas perintah Yugo. Lelaki itu bilang pengaruh mindtrost akan hilang jika memang kita berada di luar area tanah hitam itu sekaligus meminum air y
Rosena menyalakan obor sebagai penerangan untuk mala mini. Keadaan yang tadinya begitu gelap gulita kini mendadak menjadi terang. Mereka berempat baru saja makan malam, tentunya selain dengan bekal yang dibawa Yugo, juga dari hadil tangkapan ikan Dimitri yang dengan beruntung bisa mendapat empat ekor.Rosena yang semula duduk di bagian belakang kini pindah ke bagian depan, tepatnya di dekat Sean. Lelaki itu maish betah dan mesih belum merasa capai dengan posisinya yang tengah mendayung. Rosena terus memegangi obor itu, sekaligus mempertajam penglihatannya, karena sampai saat ini mereka belummelihat persimpangan cabang sungai ini.
Hap!Rosena dan ketiga temannya baru saja menapakkan kakinya di tanah kembali setelah berjam-jam mengarungi aliran sungai. Mereka cukup senang, meskipun perjalanan kali ini memaka cukup banyak waktu tapi setidaknya tidak ada gangguan apapaun selama mereka melakukannya. Kini mereka tengah berdiri sembari melihat-lihat pemandangan sekitar. Terlihat banyak tanaman rimbun berwarna hijau menempati area ini. Di sinilah perjalanan mereka selanjutnya akan dimulai, Hutan Wraud.
Beberapa saat yang lalu Sean, Dimitri, dan Rosena baru saja melewati gerbang masuk distrik mereka. Cuaca benar-benar seperti ingin membekukan mereka. Rosena sempat khawatir pada tanaman yang ia peluk, takut bahwa tanaman itu akan terpengaruh oleh cuaca ekstrim yang saat ini mereka rasakan. Namun, hal itu ternyata tidak berdampak apa-apa. Gadis itupun menghela napas lega.Indera penglihatan mereka kini menangkap bahwa pemandangan di kiri dan kanan mereka bukan lagi perkebunan atau pepohonan melainkan rumah-rumah warga. Rasanya mereka seperti sudah lama sekali meninggalkan tempat itu, sampai-sampai m
Suara aliran sungai masih menemani mereka hingga sore ini. Dimitri kini sudah terduduk, tak lagi berdiri. Matanya juga terpejam menahan lukanya yang kali ini benar-benar membuat permukaan bagian depan kain lilitanya sudah berwarna merah. Sebenarnya Rosena begitu khawatir, tetapi dia tidak tidak tahu harus melakukan apa, sebab tangannya sedang disibukkan dengan memegang Vine Jeweria. Selain itu, kini mereka tidak memiliki apa-apa lagi.Sean terus mendayung, meski kali ini rasanya tangannya seperti ingin lepas dari bahunya. Ia sempat melirik luka di kedua bahunya. Baret itu semakin menganga dengan pancaran yang tidak lagi semerah sewaktu mereka
“Hati-hati Rosena!”“Tenang saja Dimi,” balasnya sembari terus berjalan dan sesekali melongok ke bawah agar ia tidak terporosok, sementara tangannya terus memeluk Vine Jeweria.Rasanya ada beban yang terlepas begitu mereka telah mendatkan tanaman itu di tangan mereka. Rosena sendiri masih tidak percaya bahwa benda ajaib itu ada pad mereka, terutama di tangannya. Ketiganya terus menuruni bukit dengan kecepatan yang bisa dibilang lebih baik dari
Cahaya matahari kini sepenuhnya menimpa tubuh Rosena, Dimitri, dan Sean. Mereka telah sampai di tepi hutan, keluar dari arean yang sudah membuat mereka mengenal kematian, sebab dua orang terekat mereka tewas seketika di hadapan ketiganya. Rosena sudah berhenti menangisi Yugo, Sean dan Dimitri pun sudah berusaha merelakan kawan baik mereka itu. Entah apa yang akan mereka katakan pada orang-orang di distrik ketika mereka pulang dan mengetahui bahwa ada salah seorang penduduk yang telah tewas. Mereka bertiga kini memandangi bukit di hadapan mereka. Bukit yang tidak terlalu tinggi, tetapi jelas akan menguras tenaga mereka. Jujur saja, jika mereka
“Hei, apa kalian mendengar sesuatu?”Mereka bertiga berhenti sejenak setelah Rosena melontarkan pertanyaan. Keempatnya pun berhenti sejenak untuk menajamkan indra pendengaran masing-masing. Memang ada banyak bunyi serangga, juga semak belukan yang terseok karena dilewati hewan mamalia atau reptile besar. Tapi sesaat kemudian, mereka memang mendengar bunyi raungan.“Seperti raungan? Apa mungkin ada harimau di sini?”
“Arrgghh!!” Louis berteriak geram, sembari memegangi luka sayatan di dadanya.Ketika tadi ia bertekuk lutut sebab terkejut dengan lukanya, dan melihat perempuan yang telah dibebaskan Joana berteriak kencang menghdapnya, Louis juga mengikuti arah pandang gadis itu. Dan betapa terkejutnya dia mendapati Joana yang telah bersimbah darah karena perut dan dadanya telah terluka.Serena, perempuan itu hanya menampilkan wajah datarnya. Pedangnya masih berlumuran d
Hari yang terus berganti terus membawa suasana di negeri Limalora ini semakin tidak kondusif. Para penduduk terus saja mengkhwatirkan keruntuhan negeri ini, juga ingin sekali segera memeboikot petinggi mereka yang tengah pergi untuk melakukan misi yang begitu egois dan hanya untuk kepentingan diri sendiri. Di sore ini banyak para penduduk yang tengah berkemas-kemas, sebenarnya ini sudah banyak dilakukan para masyarakat semenjak selebaran yang di buat oleh Leon Dwayne itu tersebar. Entah akan pergi kemana mereka, yang jelas mereka bersiap-siap terlebih dahulu.Langit di saat ini juga tertutup gas pu
Sean, Yugo, Rosenna, dan Dimitri agaknya sedikit menjauh dari suara yang mereka duga adalah pasukan istana. Mengapa mereka bisa berpikiran begitu? Jelas karena suara itu terlalu brutal jika diserahkan pada binatan. Sean sadar suara itu adalah pedang yang menghunus kesana kemari. Mereka semua jadi berpikir, bagaimana mungkin jika memang mereka bisa menyusul? Apakah mereka menggunakan sihir? Tapi kenapa tidak sejak lama, misalnya sejak mereka masih di lembah?“Hey di sini ternyata!!!” teriak seorang lelaki berambut hitam dari atas pepohonan.
“Terus ke arah Barat Daya!!” teriak Corny ketika dirinya dan sekelompok prajurit telah memasuki wilayah hutan.Mereka memang sudah tiba di tepi sungai dekat hutan beberapa waktu yang lalu. Setelah meninggalkan perahu mereka kini mereka kembali berjalan, bahkan seorang Negia dan Celestia pun terpaksa berjalan karena tandu singgasana mereka ditinggal ketika terjadi kekacauan di lembah. Yah, sejujurnya kedua orang itu sangat tidak ingin melakukan ini, tapi mau bagaiman lagi.