“Berhenti, Areta!” teriak seseorang mengejutkanku.Aku langsung menoleh ke arah sumber suara, mataku langsung saja membola.Kenapa ibu mertuaku melihat kami? Aku bergegas masuk ke dalam taksi. “Cepat, Pak, Cepat!” pintaku pada sopir taksi itu, “jangan sampai dia mengejar kami, Pak. Dia ingin membunuh adik saya!”“Baik, Nona,” kata sopir taksi itu. Syukurlah dia mengikuti permintaanku. Aku melihat ke arah belakang, ternyata mobil ibu mertuaku mengejar kami, ada rasa takut dalam hatiku. Jujur saja, dari hasil CCTV yang aku pindahkan ke flashdisk tadi, membuatku merinding melihat kekejaman ibu mertuaku.Dia menyiksa Siska seperti seekor binatang. Walaupun Siska hanya anak sambung, tetapi tidak sepantasnya Ibu memperlakukannya seperti itu. Aku terus melihat ke belakang, mobil ibu mertuaku ternyata masih mengejar taksi yang kami tumpangi.“Kamu tenang, ya, Dek. Jangan khawatir. Apapun yang akan terjadi Kakak akan tetap melindungimu,” ucapku menenangkannya, walaupun sebenarnya aku juga le
Sedangkan di kediaman Pratama tepatnya di ruang keluarga, Ida yang gagal mengejar Areta mengamuk di rumah tersebut. Kemarahan yang sejak tadi ditahan dia luapkan sepuasnya di kediaman Pratama. Semua barang habis berserakan, begitupun dengan barang pecah belah yang sudah hancur lebur.“Aaakh, Sialan kamu, Areta!” teriak Ida, “akan ku bunuh kalian semua, sedikit lagi aku akan mendapatkan harta keluarga Sanjaya, kenapa harus sekarang Areta tahu keadaan Siska, Aaakh!”“Aku akan menghabiskan mu tanpa harus menggunakan tanganku sendiri,” ucap Ida lagi.Tangannya terulur mengambil ponsel yang ada di tas bahu miliknya, tidak lama dia mengetik sebuah nama yang bisa membantunya untuk membalas apa yang sudah direncanakan oleh mereka, lalu dia menekan tombol hijau untuk menghubungi orang tersebut.“Areta sudah pergi membawa Siska, jangan sampai anak sialan itu menceritakan semuanya pada Areta. Kalau sampai itu terjadi, gagal sudah rencana kita. Cari tahu di mana Areta membawa Siska, jika sudah ke
Malam harinya aku masih berada di rumah sakit tepatnya di ruangan Siska. Yang mana ruangan Siska dan Keyra aku jadikan satu, dengan alasan agar aku bisa merawat mereka sekaligus. Tidak lupa juga Pria yang menarik tanganku di taman kota itu selalu menemaniku. Aku heran, kenapa dia selalu ada di waktu yang tepat, bahkan dia dan sahabatnya yang menyelamatkan putriku sendiri. Sungguh aku sangat berhutang budi padanya. Bukan hanya itu, ternyata sopir taksi yang aku tumpangi itu juga merupakan sahabatnya. Apakah ini memang disengaja atau hanya kebetulan saja.Aku duduk di sofa yang ada di ruangan itu, melihat putriku dan juga Siska yang sudah terlelap menuju alam mimpi. Yang aku syukuri mereka tidak menggunakan benda tajam untuk melukai putriku, sedangkan Siska, aku tidak menyangka mertuaku memberikan beberapa sayatan pada tubuhnya. Bagaimana dia bisa bertahan untuk menahan rasa sakit di tubuhnya, belum lagi ditambah racun yang diberikan ibu mertuaku untuknya. Sungguh mereka tidak bisa d
Aku pun langsung menerima map tersebut dan membacanya. Mataku langsung membola setelah mengetahui isi dari map tersebut. Apa-apaan ini, kenapa aku baru tau semuanya. Kalau…Aku langsung menatap ke arah Mas Cakra, dan berkata, “Apakah informasi ini asli? Dari mana Mas Cakra mendapatkan informasi sepenting ini?” tanyaku tidak sepenuhnya percayaDia hanya menatapku dalam tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Aku Menarik nafas dalam, lalu aku hembuskan dengan kasar dan berkata, “Yang aku tau Bunda tidak memiliki saudara, Mas. Lalu bagaimana bisa aku percaya akan hal ini?”“Justru itu yang harus kita cari tahu, Areta. Aku rasa, ibu mertuamu terlalu banyak menyimpan rahasia,” ucapnya padaku. “Mas, tadi aku mendengar Ibu mengatakan kalau dia menyekap Bunda hanya karena ingin mendapatkan surat wasiat. Namun, sampai sekarang Ibu belum tahu surat wasiat itu di mana. Mungkin sampai sekarang Bunda masih menyimpan surat wasiat itu,” ucapku dengan penuh semangat menceritakan semuanya.Mas Cakra hany
Sinar di pagi hari membangunkan seorang Pria dengan wajah tampan yang begitu sempurna. Saat membuka mata dia melihat seorang wanita masa kecilnya tidur dengan begitu nyenyak. Siapa lagi kalau bukan Cakra Adimarta yang terus menatap wajah cantik dan manis milik Areta Permata Sari. Gadis yang begitu tangguh dan baik ini masih tetap saja bisa memikat hati Cakra Adimarta. Tangan Cakra terulur mengelus lembut pipi Areta, dia tersenyum saat mengingat ucapan Areta yang akan menggugat cerai suaminya sendiri. Yah, Cakra mendengar semua apa yang Areta bicarakan dengan Lina. Walaupun Areta menghindar darinya. Namun, masih tetap bisa didengar oleh Cakra sendiri. Cakra bangun dari tidurnya menuju kamar mandi untuk mencuci wajahnya, setelah itu dia keluar membeli sarapan untuk Areta, Keyra dan Siska. Tanpa Cakra sadari, apa yang dia lakukan selalu diperhatikan oleh Siska. Siska tersenyum melihat kakak iparnya ada yang melindungi. Tidak sengaja Siska menoleh ke arah samping tidurnya. Dia terkeju
Sedangkan Cakra yang baru balik dari rumah sakit langsung menuju kediaman Pradipta, yang mana dia sudah ada janji dengan papanya untuk menemui tawanan yang disekap satu minggu yang lalu.Saat sampai di kediaman Adimarta, seperti biasanya Angel langsung bertanya pada putra tunggalnya itu, “Akhirnya, kamu pulang juga Cakra. Bunda begitu khawatir denganmu.”Cakra mendekat dan mencium tangan serta kedua pipi Angel. sedangkan dengan Adimarta cakra mencium tangan papanya saja.“Putra kita akan tetap baik-baik saja, Bunda,” ucap Adimarta memeluk istrinya dari samping.sedangkan Angel yang mendengar suaminya berkata seperti itu membuatnya sedikit kesal, dia pun berkata, “Ya, tetap sajalah, Pa, Bunda khawatir sama Cakra. Apalagi sekarang wanita licik itu sudah berkeliaran kesana kemari. Bunda takut dia berbuat nekat pada Cakra.”Cakra menghembuskan nafas dengan kasar, lalu berkata pada ibunya, “Aku bukan anak kecil lagi, Bunda.”“Tuh, dengar kata putramu, Sayang.” ucap Adimarta membela Cakra.
“Kau …,” ucap Adimarta yang baru memasuki sel tahanan tersebut langsung saja membeku, dia menatap Pria paruh baya yang ada di depannya ini dengan nyalang, bahkan tangannya mengepal kuat. Sedangkan Pria paruh baya yang duduk di kursi usang dengan tubuh yang di ikat secara keseluruhan hanya tersenyum smirk ke arah Adimarta. “Hay, Adimarta. Kita bertemu lagi,” ucap Pria Paruh baya tersebut yang seumuran dengan dirinya. Bahkan dia menampilkan. Senyum mengejek pada Adimarta. “Prayoga, ternyata lo masih sama seperti dulu. Masih tetap menjadi lelaki bodoh untuk wanita rendahan seperti Ida Sanjaya,” ucap Adimarta yang mencoba menahan emosi agar tetap terkendali. “Jaga bicara lo, Adimarta!” teriak Prayoga yang sudah mulai tersulut emosi, karena wanita yang dia cintai di hina begitu saja. Sedangkan Adimarta yang melihat reaksi Prayoga masih sama seperti dulu membuat dia membuka kepalan tangannya.Adimarta berjalan mendekat, lalu tangannya terulur mencekram dagu Prayoga dengan sekuat tenaga
"Mama! Mama! Mama!” panggil gadis kecil berusia sembilan tahun itu, dia berlari dari arah gerbang menuju pintu utama dan berlari menuju ruang keluarga di mana Areta sedang menikmati siaran televisi."Eh, Sayang, Putri kecil Mama sudah pulang ternyata, Papa mana?" aku mencium kening dan kedua pipi Keyra, aku memangkunya di pangkuanku dan memeluknya sebentar saja."Kata Papa lagi buru-buru, Ma," jawab Keyra anakku"Ya sudah, mungkin Papa lagi ada kerjaan, Sayang." Aku menurunkan keyra dari pangkuanku, dan mendudukkannya di sampingku"Mama, Keyra menemukan foto Papa,” kata Keyra "Keyra, dapat dari mana foto Papa, Sayang?" Tanganku merapikan rambutnya yang sedikit berantakan akibat berlari saat pulang sekolah tadi."Mobil Papa, Ma, tetapi kok di foto itu bukan Mama yang pakai gaun pengantin?" Tanganku tiba-tiba saja terhenti saat merapikan rambutnya.DegGaun pengantin? Ucapku dalam hati."Mama memang tidak pakai gaun saat menikah dengan Papa dulu, Sayang," jawabku mencoba berfikir pos
“Kau …,” ucap Adimarta yang baru memasuki sel tahanan tersebut langsung saja membeku, dia menatap Pria paruh baya yang ada di depannya ini dengan nyalang, bahkan tangannya mengepal kuat. Sedangkan Pria paruh baya yang duduk di kursi usang dengan tubuh yang di ikat secara keseluruhan hanya tersenyum smirk ke arah Adimarta. “Hay, Adimarta. Kita bertemu lagi,” ucap Pria Paruh baya tersebut yang seumuran dengan dirinya. Bahkan dia menampilkan. Senyum mengejek pada Adimarta. “Prayoga, ternyata lo masih sama seperti dulu. Masih tetap menjadi lelaki bodoh untuk wanita rendahan seperti Ida Sanjaya,” ucap Adimarta yang mencoba menahan emosi agar tetap terkendali. “Jaga bicara lo, Adimarta!” teriak Prayoga yang sudah mulai tersulut emosi, karena wanita yang dia cintai di hina begitu saja. Sedangkan Adimarta yang melihat reaksi Prayoga masih sama seperti dulu membuat dia membuka kepalan tangannya.Adimarta berjalan mendekat, lalu tangannya terulur mencekram dagu Prayoga dengan sekuat tenaga
Sedangkan Cakra yang baru balik dari rumah sakit langsung menuju kediaman Pradipta, yang mana dia sudah ada janji dengan papanya untuk menemui tawanan yang disekap satu minggu yang lalu.Saat sampai di kediaman Adimarta, seperti biasanya Angel langsung bertanya pada putra tunggalnya itu, “Akhirnya, kamu pulang juga Cakra. Bunda begitu khawatir denganmu.”Cakra mendekat dan mencium tangan serta kedua pipi Angel. sedangkan dengan Adimarta cakra mencium tangan papanya saja.“Putra kita akan tetap baik-baik saja, Bunda,” ucap Adimarta memeluk istrinya dari samping.sedangkan Angel yang mendengar suaminya berkata seperti itu membuatnya sedikit kesal, dia pun berkata, “Ya, tetap sajalah, Pa, Bunda khawatir sama Cakra. Apalagi sekarang wanita licik itu sudah berkeliaran kesana kemari. Bunda takut dia berbuat nekat pada Cakra.”Cakra menghembuskan nafas dengan kasar, lalu berkata pada ibunya, “Aku bukan anak kecil lagi, Bunda.”“Tuh, dengar kata putramu, Sayang.” ucap Adimarta membela Cakra.
Sinar di pagi hari membangunkan seorang Pria dengan wajah tampan yang begitu sempurna. Saat membuka mata dia melihat seorang wanita masa kecilnya tidur dengan begitu nyenyak. Siapa lagi kalau bukan Cakra Adimarta yang terus menatap wajah cantik dan manis milik Areta Permata Sari. Gadis yang begitu tangguh dan baik ini masih tetap saja bisa memikat hati Cakra Adimarta. Tangan Cakra terulur mengelus lembut pipi Areta, dia tersenyum saat mengingat ucapan Areta yang akan menggugat cerai suaminya sendiri. Yah, Cakra mendengar semua apa yang Areta bicarakan dengan Lina. Walaupun Areta menghindar darinya. Namun, masih tetap bisa didengar oleh Cakra sendiri. Cakra bangun dari tidurnya menuju kamar mandi untuk mencuci wajahnya, setelah itu dia keluar membeli sarapan untuk Areta, Keyra dan Siska. Tanpa Cakra sadari, apa yang dia lakukan selalu diperhatikan oleh Siska. Siska tersenyum melihat kakak iparnya ada yang melindungi. Tidak sengaja Siska menoleh ke arah samping tidurnya. Dia terkeju
Aku pun langsung menerima map tersebut dan membacanya. Mataku langsung membola setelah mengetahui isi dari map tersebut. Apa-apaan ini, kenapa aku baru tau semuanya. Kalau…Aku langsung menatap ke arah Mas Cakra, dan berkata, “Apakah informasi ini asli? Dari mana Mas Cakra mendapatkan informasi sepenting ini?” tanyaku tidak sepenuhnya percayaDia hanya menatapku dalam tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Aku Menarik nafas dalam, lalu aku hembuskan dengan kasar dan berkata, “Yang aku tau Bunda tidak memiliki saudara, Mas. Lalu bagaimana bisa aku percaya akan hal ini?”“Justru itu yang harus kita cari tahu, Areta. Aku rasa, ibu mertuamu terlalu banyak menyimpan rahasia,” ucapnya padaku. “Mas, tadi aku mendengar Ibu mengatakan kalau dia menyekap Bunda hanya karena ingin mendapatkan surat wasiat. Namun, sampai sekarang Ibu belum tahu surat wasiat itu di mana. Mungkin sampai sekarang Bunda masih menyimpan surat wasiat itu,” ucapku dengan penuh semangat menceritakan semuanya.Mas Cakra hany
Malam harinya aku masih berada di rumah sakit tepatnya di ruangan Siska. Yang mana ruangan Siska dan Keyra aku jadikan satu, dengan alasan agar aku bisa merawat mereka sekaligus. Tidak lupa juga Pria yang menarik tanganku di taman kota itu selalu menemaniku. Aku heran, kenapa dia selalu ada di waktu yang tepat, bahkan dia dan sahabatnya yang menyelamatkan putriku sendiri. Sungguh aku sangat berhutang budi padanya. Bukan hanya itu, ternyata sopir taksi yang aku tumpangi itu juga merupakan sahabatnya. Apakah ini memang disengaja atau hanya kebetulan saja.Aku duduk di sofa yang ada di ruangan itu, melihat putriku dan juga Siska yang sudah terlelap menuju alam mimpi. Yang aku syukuri mereka tidak menggunakan benda tajam untuk melukai putriku, sedangkan Siska, aku tidak menyangka mertuaku memberikan beberapa sayatan pada tubuhnya. Bagaimana dia bisa bertahan untuk menahan rasa sakit di tubuhnya, belum lagi ditambah racun yang diberikan ibu mertuaku untuknya. Sungguh mereka tidak bisa d
Sedangkan di kediaman Pratama tepatnya di ruang keluarga, Ida yang gagal mengejar Areta mengamuk di rumah tersebut. Kemarahan yang sejak tadi ditahan dia luapkan sepuasnya di kediaman Pratama. Semua barang habis berserakan, begitupun dengan barang pecah belah yang sudah hancur lebur.“Aaakh, Sialan kamu, Areta!” teriak Ida, “akan ku bunuh kalian semua, sedikit lagi aku akan mendapatkan harta keluarga Sanjaya, kenapa harus sekarang Areta tahu keadaan Siska, Aaakh!”“Aku akan menghabiskan mu tanpa harus menggunakan tanganku sendiri,” ucap Ida lagi.Tangannya terulur mengambil ponsel yang ada di tas bahu miliknya, tidak lama dia mengetik sebuah nama yang bisa membantunya untuk membalas apa yang sudah direncanakan oleh mereka, lalu dia menekan tombol hijau untuk menghubungi orang tersebut.“Areta sudah pergi membawa Siska, jangan sampai anak sialan itu menceritakan semuanya pada Areta. Kalau sampai itu terjadi, gagal sudah rencana kita. Cari tahu di mana Areta membawa Siska, jika sudah ke
“Berhenti, Areta!” teriak seseorang mengejutkanku.Aku langsung menoleh ke arah sumber suara, mataku langsung saja membola.Kenapa ibu mertuaku melihat kami? Aku bergegas masuk ke dalam taksi. “Cepat, Pak, Cepat!” pintaku pada sopir taksi itu, “jangan sampai dia mengejar kami, Pak. Dia ingin membunuh adik saya!”“Baik, Nona,” kata sopir taksi itu. Syukurlah dia mengikuti permintaanku. Aku melihat ke arah belakang, ternyata mobil ibu mertuaku mengejar kami, ada rasa takut dalam hatiku. Jujur saja, dari hasil CCTV yang aku pindahkan ke flashdisk tadi, membuatku merinding melihat kekejaman ibu mertuaku.Dia menyiksa Siska seperti seekor binatang. Walaupun Siska hanya anak sambung, tetapi tidak sepantasnya Ibu memperlakukannya seperti itu. Aku terus melihat ke belakang, mobil ibu mertuaku ternyata masih mengejar taksi yang kami tumpangi.“Kamu tenang, ya, Dek. Jangan khawatir. Apapun yang akan terjadi Kakak akan tetap melindungimu,” ucapku menenangkannya, walaupun sebenarnya aku juga le
Dia hanya menggeleng, dia terus memperhatikan wajahku, tidak lama dia pun berkata, “Kak, cepatlah pergi dari rumah ini, bawa Keyra jauh dari sini. Kalau Kakak tidak pergi. Bisa-bisa …,”Dia menghentikan ucapannya dan melirik ke arah pintu kamar miliknya yang terbuka. Mungkin saja dia takut kalau ibu mertuaku datang secara tiba-tiba. Aku melihat tubuhnya gemetar hebat. Ya Allah, apakah mentalnya baik-baik saja? Apa yang telah dilakukan ibu mertuaku pada gadis manis yang selalu ceria ini. Aku melihat ada ketakutan pada dirinya, tubuhnya yang lebih kurus, bahkan tulang belulangnya sangat jelas terlihat. Tidak mungkin seseorang hanya sakit biasa selama satu Minggu bisa mengubah perubahan badan begitu drastis seperti Siska saat ini. Apa yang telah dilakukan ibu mertuaku padanya. Apakah Mas Abian mengetahui semua ini? Sepertinya dia tidak mengetahui keadaan adiknya sendiri.“Ceritakan semuanya sama Kakak, Siska. Apa yang Ibu lakukan padamu?” tanyaku padanya, “kenapa badanmu begitu kurus s
Sepulang dari pertemuanku dengan Sintia tadi, aku bergegas menancapkan motor butut itu menuju rumah kediaman suamiku.Disetiap jalan butiran bening itu terus saja mengalir tanpa diminta. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana takutnya putriku saat ini.Yah, Sintia benar aku harus memberitahukan Mas Abian kalau Keyra diculik. Tidak mungkin juga dia yang menculik anak kandungnya sendiri.Sampai di rumah, aku memanggil suamiku. Namun tidak ada jawaban yang aku dapatkan. Mungkin semuanya sudah bubar setelah makan bersama istri baru suamiku itu. Saat aku ingin berlari menuju kamar tiba-tiba langkahku terhenti mendengar suara tawa yang menggelegar. Aku mencoba sembunyi di bawah tangga. Tawa itu semakin jelas kudengar. Bahkan suara kaki yang menuruni tangga sangat jelas aku dengar juga. Tidak lama orang tersebut bicara, itu seperti suara ibu mertuaku. Yah, suara itu memang milik ibu mertuaku.“Sekap saja anak kecil itu, bahkan Abian sebagai ayahnya saja setuju untuk menculik anaknya sendiri,”