"Eh, iya, dok. Terima kasih, ya?" ucapku tulus. Dokter Indra mengangguk sambil tersenyum.Bagaimana ini? Bukannya si Viona itu pintar membolak-balikkan kata? Bagaimana jika Mas Rafi sampai termakan ucapannya dan marah kepadaku? Apakah nanti tidak akan menjadi masalah? Tapi aku sudah terlanjur berhutang budi pada dokter Indra. Tidak mungkin secara tiba-tiba aku menjauhi dan langsung menjaga jarak dengannya. Apa nanti yang akan dikatakannya tentang keluarga kami? Dia bahkan tidak meminta bayaran saat konsultasi Alta kemarin. ***********Malam ini Alta bercerita panjang lebar usai diajak bepergian dengan Mbak Lusi. Dia terlihat ceria, tak lagi tampak ketakutan dan cemas. Mereka juga tampak mulai akrab dan banyak bicara saat tadi Mbak Lusi mengantarnya ke rumah. Aku turut bahagia melihatnya, walaupun hati kecilku sedikit merasa perih melihatnya. Aku takut suatu hari mereka akan semakin akrab dan melupakan aku. Mungkinkah hal tersebut dapat terjadi? Tapi sepert
Aku terkejut kala mendengar status dokter Indra yang ternyata adalah seorang duda. Pantas saja anak dan istrinya tidak pernah terlihat dari awal dia pindah ke sini. Bahkan disaat acara pembukaan klinik tempat prakteknya tempo hari."Dokter juga bercerai?" aku semakin penasaran. Jangan-jangan dokter Indra juga laki-laki hidung belang yang doyan berselingkuh dengan wanita.Bukankah itu adalah alasan bagi sebagian wanita memilih bercerai dari suaminya. Tidak mungkin pernikahan orang ini kandas begitu saja disebabkan permasalan ekonomi, melihat jenis profesi dan kehidupannya yang mapan itu.Lagipula jika penyebab perceraiannya adalah perselingkuhan dokter Indra, maka dengan begitu aku bisa mewanti-wanti agar menjauhi dan mengurungkan niat untuk memperkenalkannya pada Ratna."Istri saya meninggal saat melahirkan anak ke tiga kami," ujarnya yang membuatku terkejut. "Ibu dan bayinya tidak dapat di selamatkan. Dan itu sudah terjadi tiga tahun yang lalu," terangnya.Oh, ternyata aku salah paha
Mataku mendelik menatapnya, dengan cepat dia mengalihkan langsung kepada Alta sambil mengedipkan sebelah matanya kepada gadis kecil itu."Siap Om dokter," Alta tersenyum manis sambil membentuk huruf O dengan jari telunjuk dan ibu jarinya. Ada-ada saja tingkah mereka. Sejak kapan mereka terlihat akrab seperti itu?.Pagi-pagi sekali Mas Rafi datang hanya sekedar untuk menyapaku. Dia bilang entah kenapa tiba-tiba saja rindu dan ingin bertemu. Wajahku bersemu merah mendengar ucapannya.Teringat juga soal ancaman Viona tempo hari. Bagaimana kalau Viona tiba-tiba muncul dan mengatakan hal yang bukan-bukan padanya. Apakah nantinya Mas Rafi akan percaya begitu saja dan lantas akan marah kepadaku?Kenapa juga aku harus berurusan dengan dokter Indra di saat-saat seperti ini. Semoga nantinya tidak akan menambah masalah lagi dan memperkeruh suasana hubunganku dengan Mas Rafi.Kulihat pagi ini dokter Indra baru saja membuka pintu kliniknya. Sepertinya suster yang kemarin belum datang. Karena biasa
"Mas selalu percaya, kok. Hanya saja... ""Hanya saja apa?" aku sedikit takut mendengar ucapannya yang sedikit ragu-ragu itu. Kenapa tidak langsung dia ucapkan saja."Hanya saja Mas tidak percaya pada si dokter duda itu!" dia setengah berbisik di telingaku. Membuat aku terkejut dan sedikit tersipu dengan bibirnya yang hampir menyentuh telingaku itu. Kemudian dia kembali mengacak-acak rambutku."Mas Rafi tahu dari mana kalau dokter Indra itu seorang duda?" aku memberanikan diri bertanya. Ah, untuk apa juga aku bertanya. Bukankah Mas Rafi seperti mafia, yang punya banyak mata-mata untuk mengetahui segala sesuatu yang membuatnya penasaran. Pastilah dia sudah menyelidiki latar belakang tetanggaku itu, sesaat setelah mendengar ceritaku waktu itu.Aku tertunduk diam, tak berani lagi bertanya. Mungkinpun dia lebih banyak tahu ketimbang aku perihal duda yang ditinggal mati istrinya tersebut."Tahu begini, Mas tidak mau menjual ruko itu padanya!" keluhnya lagi. Namun tetap saja dia berbicara d
Aku bersiap-siap untuk mengantar Alta ke sekolah. Gegas aku langsung masuk ke mobil tanpa mendongak ke atas, lantai dua klinik dokter Indra. Kini aku tahu bahwa setiap pagi dia pasti memperhatikan kegiatan kami dari atas sana. Alta sudah tak nampak murung lagi sejak berkonsultasi dengan dokter Indra. Sepertinya mereka cocok dan sangat akrab. Aku tak boleh terlalu membiarkan situasi seperti ini terus terjadi. Jangan sampai Alta semakin terikat dengannya dan terus minta untuk selalu di antar ke sana. Aku mencium kedua pipi dan kening gadis mungilku ini saat telah sampai di pintu gerbang sekolah.Bergegas aku masuk ke mobil dan menuju tempat yang telah di sepakati. Sengaja aku memakai masker wajah agar tak mudah dikenali. Aku menunggu di meja yang letaknya cukup strategis. Tak lama Mbak Lusi muncul. Dia melihatku kemudian mengangguk. Dia duduk tepat di belakang kursiku. Kami duduk saling memunggungi agar pembicaraan mereka mudah untuk aku dengarkan. Kulihat Viona muncul dari pintu ka
"Tapi Mbak sudah berjanji. Aku membutuhkan Alta secepatnya. Kalau begitu besok Mbak bawa saja dia ke rumahku. Bilang kalau Mbak ingin menginap bersamanya. Orang tua Mas Ilham akan segera datang. Dan mereka sama sekali tidak tahu perihal hak asuh Alta yang sampai jatuh ke tangan Naya. Jelas-jelas dia bukan Ibu kandungnya.""Maaf, Viona. Aku tidak bisa melakukannya.""Tapi aku butuh uang, Mbak. Malah Mas Ilham di penjara tidak meninggalkan apa-apa. Tinggalpun masih menumpang di rumah peninggalan mantan suamiku. Kalau begini, aku jadi menyesal menikah dengannya.""Itu salah kamu sendiri." Aku bangkit dan menunjukkan diri kepada mereka berdua. "Naya? Kamu?" dia terperangah heran."Kenapa? Kamu terkejut karena aku sudah mendengar semua kebusukan kamu?"Viona secara bergantian melihat ke arahku dan Mbak Lusi. "Kalian bekerja sama untuk menjebakku? Kurang ajar kalian ya. Berani-beraninya mempermainkan aku.""Aku juga sudah merekam semua rencana yang ingin kamu lakukan untuk membohongi oran
Gara-gara Mas Rafi juga mereka kehilangan rumah dan harus segera pindah dari sana. Belum lagi saat ini dia sering melihat Mas Rafi datang mengunjungiku. Tidaklah salah apa yang dia dengar dari Ayahnya itu. Aku jelas bersedih mendengar semua ini, tapi di sisi lain aku ikut senang karena sudah terjalin kedekatan diantara Ibu dan anak itu. Setidaknya kini Alta mau berterus terang dan berbagi cerita dengan wanita yang benar-benar tulus menyayanginya."Kamu kenapa, Nay? Kok melamun?" tegur Mas Rafi saat mobil sudah berhenti. "Eh, tidak kok, Mas. Nay tidak melamun. Kita sudah sampai, ya?" jawabku tergugup. "Tidak melamun kok malah tidak sadar mobil sudah berhenti dari tadi," ledeknya. "Masa iya? Sudah lama ya?"Mas Rafi tertawa kecil. "Tidak kok. Kita baru saja sampai.""Tuh, kan. Mas Rafi suka sekali menggoda Nay," rajukku. Dia kembali tertawa sambil mengusap lembut rambutku. Lagi-lagi kami memasuki restoran mewah untuk makan malam. Padahal sudah sering kukatakan bahwa aku lebih suka
Mobil melaju membelah jalanan yang penuh dengan kemacetan. Aku memandangi lampu-lampu kendaraan yang menyilaukan mata saat memandangnya. Teringat kembali, saat Mas rafi mengeluarkan kotak kecil dan meletakkannya di atas meja."Apa ini, Mas?" Kusentuh kotak mungil itu dan mengangkatnya."I..itu buat kamu, Nay," jawabnya gugup.Aku memandang dan memegangnya sepintas, lalu kembali meletakkan benda itu di atas meja, berharap jika itu memang untukku.Andaipun saat ini pikiranku benar, Bukankah Mas Rafi sendiri yang akan memasangkannya seperti di film-film romantis yang pernah aku tonton? Lantas, kenapa diberikan sama kotak-kotaknya segala?"Kenapa dikembalikan lagi, Nay? Apa kamu tidak mau menerimanya?" Dia terlihat gugup dan bahkan sangat gugup. Dahinya sedikit berkeringat, padahal saat itu udara sangat dingin karena ace ruangan masih menyala."Bukannya Nay tidak mau menerima, Mas, tapikan Nay belum tau apa isi kotak itu," jawabku beralasan.Bukannya aku tidak bisa menebak apa yang ada di
Kamipun sampai di sebuah klinik yang tidak jauh dari rumah aku bersama Mas Rafi. Sengaja aku tak ingin pergi ke rumah sakit besar, selain malas untuk mengantri, kurasa penyakitku ini tidak terlalu parah dan juga berbahaya."Selamat ya, buat Ibu dan juga Bapak," seru seorang Dokter setelah tadi memeriksaku dengan senyuman."Selamat apa ya, Dok?" Mas Rafi bergantian memandangi kami."istri Bapak saat ini sedang mengandung. Usia kandungan sudah memasuki usia lima minggu. Selamat, karena sebentar lagi Bapak akan menjadi seorang Ayah."Kulihat binar matanya memancarkan kebahagiaan. Matanya berkaca-kaca, merasa antara percaya dan tidak percaya. Di tatapnya wajahku secara seksama, kemudian kembali ke arah Dokter itu."Benar Dokter? Istri saya hamil?" dia meyakinkan. Dokter muda itu pun mengangguk sambil tersenyum."Alhamdulillah... " ucap aku dan Mas Rafi bersamaan..Mas Rafi tak henti-hentinya menggenggam tanganku. Merasa berbahagia karena telah berhasil mengandung dari buah cinta kami. Kin
Aku duduk di sofa ruang tamu lantai dua. Ruangan ini menjadi lebih luas setelah menyelesaikan renovasi. Bangunan yang tadinya bersekat tembok yang tinggi, kini telah menyatu dan menjadi luas. Karyawan di lantai bawah pun sudah bertambah dua orang lagi, sehingga mengurangi lelahnya Ibu dalam mengurus toko."Ibu masak bubur kacang hijau lho, Nay," ujar Ibu. "Pakai durian lagi. Sengaja Ibu buatkan makanan kesukaan kamu," lanjutnya lagi."Nanti Nay ambil sendiri saja, Bu," ucapku yang agak malas untuk bangkit, tanpa kutahu tiba-tiba saja Ibu sudah berjalan membawa nampan berisi mangkuk.Mendadak aku pusing, tenggorokanku rasanya penuh, hingga memaksaku untuk bergegas ke kamar mandi untuk mengeluarkan segala yang kumakan pagi tadi."Nay, kamu kenapa?" kudengar panggilan Ibu sambil mengetuk pintu. Aku terus saja memuntahkan apa yang ada, hingga tubuh ini jadi seperti tak bertenaga."Tidak tahu, Buk. Mungkin masuk angin," aku berjalan kembali ke sofa setelah membukakan pintu. Kulihat Ibu ber
Akhirnya hari bahagia itu datang juga. Seperti sebuah mimpi, kini aku benar-benar telah mengakhiri masa kesendirianku. Status yang masih menjadi momok yang menakutkan bagiku itu, terlepas sudah. Entah bagaimana caraku mengungkapkannya.Pagi tadi, dengan menggenggam erat tangan Bapak, Mas Rafi mengucapkan lafaz dengan begitu lantang, hanya dengan satu tarikan nafas saja. Membuat semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dengan begitu antusias dan bersemangat.Sebuah pesta sederhana dilanjutkan dengan sebuah hiburan berupa musik dari orkestra yang biasa diadakan di kampung kami.Aku tidak perduli bagaimana dengan tanggapan keluarga Mas Rafi nantinya, yang selalu terbiasa dengan musik-musik nan elegan yang sering aku lihat di pesta-pesta kalangan orang kaya. Itupun aku tonton dari infotainment para artis.Tapi, sempat kulihat tangan Papa mertua ikut bergoyang juga, menikmati musik dangdut yang dinyanyikan sang biduan.Para sanak famili dan juga sahabat hampir semuanya hadir. Tak terkecu
"Banyak rekan-rekan yang sudah melapor sama Mas, kalau akun Mas diretas orang. Mas curiga itu Viona.jadi, kamu jangan sampai terkecoh jika ada pesan-pesan seperti itu, ya. Mas tidak akan mungkin tega meminta uang sama kamu dengan jalan seperti itu. Melihat kamu menjaga Alta sebaik ini saja, Mas sudah sangat berterima kasih." Ucapannya terdengar tulus dan tidak mengada-ada. Alhamdulillah, ternyata jawaban dari semua beban pikiranku sudah terjawab tuntas tanpa aku menanyakannya.Ternyata Mas Rafi benar juga, bahwa mimpi itu cerminan dari hati dan pikiran..Mobil kembali melaju pelan. Kulihat Alta sudah kembali akrab dengan Mas Rafi. Seakan-akan kejadian malam tadi tidak pernah terjadi. Atau mungkin dia bahagia karena sudah bertemu dengan ayahnya."Mas, tadi Mas Rafi ngomong apa saja sama Mas Ilham, kok jadi akrab?" Aku memberanikan diri untuk bertanya. Sebelum pulang tadi, kulihat Mas Rafi berbicara empat mata dengan Mas Ilham dan diakhiri dengan berjabat tangan dan... berpelukan. Ane
Aku menceritakan semua apa yang kulihat dalam mimpi tersebut. Tentang semua kejadian yang erat sekali berkaitan dengan dirinya. Mas Rafi terlihat serius dalam mendengarkan ceritaku. Malu juga sebenarnya.tapi, karena Mas Rafi terus memaksa, akhirnya aku bersikap jujur saja. Lagipula, kami sudah sepakat akan terbuka satu sama lain seperti janji kami tempo hari. Mas Rafi tersenyum sambil meraih jemariku. Menggenggamnya dengan berusaha untuk menenangkan. "Itu artinya, kamu takut kehilangan Alta dan juga Mas. Iya, kan?" senyumnya semakin mengembang. Terlihat manis dan juga mendebarkan. Eh? Kenapa pipiku jadi panas?"Mas Rafi ge er, ya!" Aku berusaha mengelak dengan menepiskan genggamannya. Mencoba menyamarkan rasa gugup dan debaran di dada. "Biasanya mimpi itu cerminan dari hati, Nay. Saat hati kita bersih, maka mimpi baiklah yang kita lihat. Tapi saat hati kita kotor dan ketakutan, maka mimpi buruk lah yang akan datang. Bukankah hati itu seperti cermin?" Mas Rafi terlihat serius. Tak b
Hari masih terlalu pagi, Ibu sudah menggedor-gedor pintu kamarku. Jantung ini rasanya mau copot saja, bertanya-tanya apa gerangan yang sedang terjadi di luar sana. Bergegas aku beranjak dari tempat tidur, dan segera membukakan pintu untuknya. "Nay, Nak Rafi sedang menunggu di bawah itu. Katanya mau mengajak kamu dan Alta ke pantai." Sejenak aku berpikir. Masih pagi begini, Mas Rafi datang dan tiba-tiba mengajak pergi. Ada apa gerangan. "Ouh, Iya, Buk. Sebentar lagi, Nay turun." Aku menghela nafas. Baru ingat pesan whatsapp yang dikirimkan Mas Rafi malam tadi. Aku hanya sempat membaca, belum ada niatan untuk membalas dan mengiyakan ajakannya. "Memangnya kalian sudah janjian mau kepantai?" terlihat wajah Ibu sedikit cemas.Mungkin merasa khawatir kalau aku tidak sedang baik-baik saja untuk saat ini. Apalagi dia belum menanyakan mimpi apa yang menghantuiku malam tadi. "Nay sendiri lupa, Buk. Mungkin Mas Rafi mau bayar janjinya kemarin sama Alta," terangku yang hanya menduga-duga sa
Degh.... Jantungku serasa mau copot. Saat menyadari orang yang ada di sebelah mas Rafi ialah Viona. Mereka sedang mengawasi Diana_anaknya Viona_bermain. Darahku serasa mendidih. Kenapa Viona lagi-lagi hadir dalam hidupku. Setelah Mas Ilham, sekarang dia ingin merebut Mas Rafi juga dariku. Oh,tidak semudah itu Ferguso. Dengan berapi-api, aku langsung menghampiri mereka berdua. Entah kekuatan apa yang mendorong tubuhku untuk segera memberi pelajaran pada wanita tidak tahu diri itu. Apa Dia pikir Aku ini lemah, dan ingin mencuri apapun yang kumiliki. Oh, aku benar-benar marah dan tak bisa lagi mengendalikan diri. Emosiku kini telah menggunung hingga keubun-ubun. "Mas, sedang apa di sini? " Aku langsung menegur Mas Rafi. Mungkin dia belum menyadari kehadiranku di sini. "Nay? Kamu kenapa di sini? Tadi kamu bilang Alta sudah tidur." Jawabnya gugup. "Jadi ini, alasan Mas Rafi membatalkan acara kita?" Aku langsung memotong pembicaraannya.Tak ingin mendengar alasan apapun yang ingin dia
"Sudah Nay, biarkan saja dulu. Mungkin Alta terlalu kecewa sampai merajuk seperti itu," Ibu mencoba menenangkanku. "Namanya juga Anak kecil. Paling nanti baik sendiri." Ibu menimpali ucapannya. Setengah jam kami menunggu, pintu tak kunjung terbuka. Akhirnya Bapak berinisiatif untuk mendobrak paksa dari luar. Walaupun sudah diusia lanjut, Namun Bapak masih memiliki tenaga yang cukup kuat jika hanya untuk mendobrak sebuah pintu. "Apa Bapak kuat mendobraknya sendiri Bu. Kalau tidak kuat, biar Nay minta tolong sama Dokter Indra saja biar ikut membantu." Aku meminta izin pada Ibu.Siapa lagi yang bisa kami mintai tolong selain Dokter Indra. Sebab, dialah satu-satunya tetangga di sekitar sini yang selalu siap menawari bantuan untuk kami. "Tidak usah nay, Bapak sudah ahli dan banyak tehnik nya juga. Iya kan, Pak?" Ibu memberi semangat kepada Bapak. Mungkin ibu juga segan jika terus menerus minta bantuan kepada Dokter Indra. "Iya, kalau cuma begini, ya kecil, Nay." Bapak terlihat yakin da
Malam ini, Mas Rafi berjanji akan menjemput kami dan membawa kami jalan-jalan keliling kota. Dia melakukan itu mengingat beberapa hari lagi, kami sekeluarga akan pulang ke kampung halaman untuk mempersiapkan acara pesta di sana. Hari dan tanggal sudah kami tentukan. Beberapa surat undanganpun sudah disebar luaskan. Jadi, malam ini kami sekalian ingin mencari pernak-pernik ucapan terimakasih untuk para tamu undangan besok. "Om Rafi kok lama ya, Bunda." Alta terlihat gelisah dan bolak-balik bertanya. "Bukan Om Rafinya yang lama, Tapi Alta yang kecepatan berhiasnya, sayang." Aku menariknya ke dalam dekapan. Sedari tadi Alta sudah sibuk berhias. Dia tak mau kalah dari bundanya agar terlihat cantik di depan mata Mas Rafi. Dia juga memilihkan baju yang pas untuk kupakai. Baju yang senada dengan warna bajunya. Kulirik jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Namun tanda-tanda Mas Rafi datang belum juga terlihat. Ada rasa cemas dan khawatir menghantui. Kenapa gawainya tidak bisa dihubung