Mobil melaju membelah jalanan yang penuh dengan kemacetan. Aku memandangi lampu-lampu kendaraan yang menyilaukan mata saat memandangnya. Teringat kembali, saat Mas rafi mengeluarkan kotak kecil dan meletakkannya di atas meja."Apa ini, Mas?" Kusentuh kotak mungil itu dan mengangkatnya."I..itu buat kamu, Nay," jawabnya gugup.Aku memandang dan memegangnya sepintas, lalu kembali meletakkan benda itu di atas meja, berharap jika itu memang untukku.Andaipun saat ini pikiranku benar, Bukankah Mas Rafi sendiri yang akan memasangkannya seperti di film-film romantis yang pernah aku tonton? Lantas, kenapa diberikan sama kotak-kotaknya segala?"Kenapa dikembalikan lagi, Nay? Apa kamu tidak mau menerimanya?" Dia terlihat gugup dan bahkan sangat gugup. Dahinya sedikit berkeringat, padahal saat itu udara sangat dingin karena ace ruangan masih menyala."Bukannya Nay tidak mau menerima, Mas, tapikan Nay belum tau apa isi kotak itu," jawabku beralasan.Bukannya aku tidak bisa menebak apa yang ada di
Apalagi, Mas Ilham adalah laki-laki pertama yang berani mengungkapkan perasaan sekaligus memintaku untuk menikah dengannya tanpa berlama-lama. Tidakkah dulu dia terlihat serius dan benar-benar takut kehilanganku?Aku tersenyum manakala teringat akan hal itu. Apakah apa yang ku alami dan ku rasakan saat itu sedang dirasakan Mas rafi saat ini? Entahlah, yang ku tahu saat itu aku benar-benar gugup.Kulihat Mas Rafi berjalan terburu-buru dari kejauhan sambil berkali-kali mengelap mukanya dengan tisu yang mungkin dia bawa dari toilet. Kulihat jam yang melekat ditanganku sudah pukul sembilan. Ya ampun, ternyata baru ku sadari Mas Rafi sudah setengah jam ada di sana."Mas kenapa? Apa Mas diare?" Tanyaku berbasa basi."Tidak Nay, Mas tidak apa apa, kok," sahutnya "Mas kelamaan, ya? Kalo begitu kita pulang saja, ya. Nanti kemalaman, tidak enak sama Bapak dan Ibu di rumah."Dasar Mas Rafi. Pantas saja sampai saat ini kamu belum menikah, ternyata mentalnya hanya sampai seperti ini. Lalu bagaiman
"Nay..., Mas... ""Iya, Mas. Nay mau," sahutku sebelum Mas Rafi meneruskan kata-katanya.Terlihat senyum mengembang dari bibirnya. Raut wajah kecewa tadi kini berubah sudah. Gurat kebahagiaan terpancar dari wajah tampannya."Benar, kamu mau?" dia meyakinkan."Iya, Mas," sahutku membalas senyumannya. Dia mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Kemudian meraih jemariku dan menyematkan cincin bertahtakan permata berwarna putih itu.Apa ini yang dinamakan berlian? Mengingat seumur-umur Mas Ilham tak pernah membelikanku barang seperti ini. Bahkan saat terakhir kali aku morotin uangnya, perhiasan yang kubeli hanya emas biasa berwarna kuning.Kini cincin itu mengikat sempurna di jari manisku. Matanya berkilauan diterpa cahaya bulan yang kini tengah bersinar terang tepat di atas kami. Mas Rafi kemudian menggenggam erat jemariku tadi."Terima kasih ya, sayang," ucapnya. Aku mengangguk mengiyakan. Kamipun larut dalam pandangan satu sama lain."Ehem... ehem...," suara dokter Indra lagi-lagi mem
Aku memekik sembari menutup mulut. Wajah Mas Rafi terlihat begitu memendam amarah. Tangannya masih kuat menggenggam seperti belum merasa puas dengan pukulannya tadi. Dokter Indra bangun sembari mengusap sudut bibirnya. Lalu menepuk-nepuk kedua tangannya membersihkan pasir yang melekat saat menahan berat tubuhnya saat terjatuh tadi. Mas Rafi kembali mendekat, hendak mendaratkan pukulan serupa. Sontak aku berlari dan langsung mencegahnya. Aku berdiri di hadapannya membelakangi Dokter Indra. Berharap Mas Rafi menghentikan perbuatannya. Bukannya aku membela Mas Rafi, hanya saja kali ini Dokter Indra memang keterlaluan. Dia hanya memandang masalah dari sebelah pihak saja. Dia bahkan tidak tahu kalau pikiran Alta adalah racun yang diselipkan oleh Mas Ilham dan juga Viona. Terang saja Mas Rafi marah dan juga emosi. Selama ini Mas Rafi yang sudah mati-matian membela dan menyelamatkanku dari Mas Ilham. Walaupun perbuatannya itu memang didasari karena memiliki perasaan khusus terhadapku. T
Aku memekik sembari menutup mulut. Wajah Mas Rafi terlihat begitu memendam amarah. Tangannya masih kuat menggenggam seperti belum merasa puas dengan pukulannya tadi. Dokter Indra bangun sembari mengusap sudut bibirnya. Lalu menepuk-nepuk kedua tangannya membersihkan pasir yang melekat saat menahan berat tubuhnya saat terjatuh tadi. Mas Rafi kembali mendekat, hendak mendaratkan pukulan serupa. Sontak aku berlari dan langsung mencegahnya. Aku berdiri di hadapannya membelakangi Dokter Indra. Berharap Mas Rafi menghentikan perbuatannya. Bukannya aku membela Mas Rafi, hanya saja kali ini Dokter Indra memang keterlaluan. Dia hanya memandang masalah dari sebelah pihak saja. Dia bahkan tidak tahu kalau pikiran Alta adalah racun yang diselipkan oleh Mas Ilham dan juga Viona. Terang saja Mas Rafi marah dan juga emosi. Selama ini Mas Rafi yang sudah mati-matian membela dan menyelamatkanku dari Mas Ilham. Walaupun perbuatannya itu memang didasari karena memiliki perasaan khusus terhadapku. T
"Kamu masuk duluan, ya?""Tidak mau.""Lho... ""Nanti Mas Rafi tidak jadi pulang dan malah singgah lagi ke klinik Dokter Indra," aku mulai sewot. "Dih, buat apa?" godanya. "Ya buat berkelahi lagi," balasku. Dia tertawa kecil."Mas tidak akan melakukannya lagi. Kamu berada di pihak Mas saja, itu sudah cukup.""Benar? Mas Rafi akan langsung pulang, kan?""Tentu saja. Mas juga sudah tidak sabar untuk memberitahukan kepada orang tua Mas bahwa kamu menerima lamaran Mas tadi."Aku kembali tersenyum. Merasa bahagia karena ternyata orang tua Mas Rafi tidak keberatan dengan hubungan kami. Terlebih lagi, mereka juga senang, karena setelah sekian lama, akhirnya Mas Rafi memutuskan untuk berhubungan serius dan segera menikah. Mas Rafi juga bilang, kalau mereka juga tidak keberatan dengan statusku yang sekarang ini. Aku sangat bersyukur, bisa dipertemukan dengan Mas Rafi dan keluarganya. Teringat saat kemarin aku sempat meragukan hubungan kami. Aku mengatakan pada Ratna bahwa aku takut jika s
Aku keluar dari kamar menuju dapur untuk sarapan. Setelah menata piring dan makanan, Bapak dan Alta pulang. "Eh, Alta olah raga, ya. Tumben," sapa ku."Iya, Bunda. Kata Om Dokter biar sehat. Iya kan, Kek?" sahut Alta. Bapak tersenyum dan mengangguk. Ternyata Alta memang benar-benar terpengaruh dengan apapun yang Dokter Indra katakan. Aku juga menanyakan kepada Ibu apakah tadi malam saat aku pergi dengan Mas Rafi, apakah Dokter Indra datang untuk menemui Alta. Ibu bilang, Bapak melihat Dokter Indra baru pulang dan kemudian menawarinya makan malam. Dokter Indra setuju dan akhirnya dia mengajak Alta untuk ikut ke klinik nya usai makan malam. Mungkin dari situlah Dokter Indra merasa bahwa perkataan Alta semuanya benar. Tanpa dia tahu bahwa semua itu murni kesalahan dari Mas Ilham dan Viona. Bagaimana caranya aku menyampaikan kepada Alta, agar jangan lagi terlalu dekat dan beramah tamah kepada dokter Indra. Aku hanya tak ingin Mas Rafi merasa di nomor duakan oleh Alta. Seharusnya, Ma
Aku kaget bukan kepalang. Kenapa tengah hari begini, Dokter Indra sudah datang ke rumah. Apakah dia sudah lupa dengan kejadian kemarin. Dan tidakkah dia sadar apa yang dia lakukan kemarin itu salah?"Ada apa Dokter ke sini?" tanyaku kebingungan. Bukankah biasanya jam segini dia harusnya berada di klinik? "Maaf, Nay, kalau saya mengganggu. Saya hanya ingin minta maaf atas kejadian kemarin," dia tertunduk lesu merasa sungkan kepadaku. "Kalau Nay tidak apa-apa sih, Dok. Seharusnya Dokter minta maaf ke Mas Rafi saja." Akupun merasa sungkan dan sebenarnya masih malas berhubungan dengannya mengingat kejadian kemarin malam. "Saya juga merasa perlu meminta maaf ke kamu Nay, mungkin saja saya sudah menyinggung perasaan kamu." Dokter Indra masih terlihat sungkan dan menunduk. Kenapa dia terlihat sangat takut ataupun merasa bersalah seperti ini, bukankah kemarin malam dia sendiri yang merasa paling benar, hingga susah untuk dihentikan. "Sudah Nay bilang, Dokter tidak perlu meminta maaf lagi
Kamipun sampai di sebuah klinik yang tidak jauh dari rumah aku bersama Mas Rafi. Sengaja aku tak ingin pergi ke rumah sakit besar, selain malas untuk mengantri, kurasa penyakitku ini tidak terlalu parah dan juga berbahaya."Selamat ya, buat Ibu dan juga Bapak," seru seorang Dokter setelah tadi memeriksaku dengan senyuman."Selamat apa ya, Dok?" Mas Rafi bergantian memandangi kami."istri Bapak saat ini sedang mengandung. Usia kandungan sudah memasuki usia lima minggu. Selamat, karena sebentar lagi Bapak akan menjadi seorang Ayah."Kulihat binar matanya memancarkan kebahagiaan. Matanya berkaca-kaca, merasa antara percaya dan tidak percaya. Di tatapnya wajahku secara seksama, kemudian kembali ke arah Dokter itu."Benar Dokter? Istri saya hamil?" dia meyakinkan. Dokter muda itu pun mengangguk sambil tersenyum."Alhamdulillah... " ucap aku dan Mas Rafi bersamaan..Mas Rafi tak henti-hentinya menggenggam tanganku. Merasa berbahagia karena telah berhasil mengandung dari buah cinta kami. Kin
Aku duduk di sofa ruang tamu lantai dua. Ruangan ini menjadi lebih luas setelah menyelesaikan renovasi. Bangunan yang tadinya bersekat tembok yang tinggi, kini telah menyatu dan menjadi luas. Karyawan di lantai bawah pun sudah bertambah dua orang lagi, sehingga mengurangi lelahnya Ibu dalam mengurus toko."Ibu masak bubur kacang hijau lho, Nay," ujar Ibu. "Pakai durian lagi. Sengaja Ibu buatkan makanan kesukaan kamu," lanjutnya lagi."Nanti Nay ambil sendiri saja, Bu," ucapku yang agak malas untuk bangkit, tanpa kutahu tiba-tiba saja Ibu sudah berjalan membawa nampan berisi mangkuk.Mendadak aku pusing, tenggorokanku rasanya penuh, hingga memaksaku untuk bergegas ke kamar mandi untuk mengeluarkan segala yang kumakan pagi tadi."Nay, kamu kenapa?" kudengar panggilan Ibu sambil mengetuk pintu. Aku terus saja memuntahkan apa yang ada, hingga tubuh ini jadi seperti tak bertenaga."Tidak tahu, Buk. Mungkin masuk angin," aku berjalan kembali ke sofa setelah membukakan pintu. Kulihat Ibu ber
Akhirnya hari bahagia itu datang juga. Seperti sebuah mimpi, kini aku benar-benar telah mengakhiri masa kesendirianku. Status yang masih menjadi momok yang menakutkan bagiku itu, terlepas sudah. Entah bagaimana caraku mengungkapkannya.Pagi tadi, dengan menggenggam erat tangan Bapak, Mas Rafi mengucapkan lafaz dengan begitu lantang, hanya dengan satu tarikan nafas saja. Membuat semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dengan begitu antusias dan bersemangat.Sebuah pesta sederhana dilanjutkan dengan sebuah hiburan berupa musik dari orkestra yang biasa diadakan di kampung kami.Aku tidak perduli bagaimana dengan tanggapan keluarga Mas Rafi nantinya, yang selalu terbiasa dengan musik-musik nan elegan yang sering aku lihat di pesta-pesta kalangan orang kaya. Itupun aku tonton dari infotainment para artis.Tapi, sempat kulihat tangan Papa mertua ikut bergoyang juga, menikmati musik dangdut yang dinyanyikan sang biduan.Para sanak famili dan juga sahabat hampir semuanya hadir. Tak terkecu
"Banyak rekan-rekan yang sudah melapor sama Mas, kalau akun Mas diretas orang. Mas curiga itu Viona.jadi, kamu jangan sampai terkecoh jika ada pesan-pesan seperti itu, ya. Mas tidak akan mungkin tega meminta uang sama kamu dengan jalan seperti itu. Melihat kamu menjaga Alta sebaik ini saja, Mas sudah sangat berterima kasih." Ucapannya terdengar tulus dan tidak mengada-ada. Alhamdulillah, ternyata jawaban dari semua beban pikiranku sudah terjawab tuntas tanpa aku menanyakannya.Ternyata Mas Rafi benar juga, bahwa mimpi itu cerminan dari hati dan pikiran..Mobil kembali melaju pelan. Kulihat Alta sudah kembali akrab dengan Mas Rafi. Seakan-akan kejadian malam tadi tidak pernah terjadi. Atau mungkin dia bahagia karena sudah bertemu dengan ayahnya."Mas, tadi Mas Rafi ngomong apa saja sama Mas Ilham, kok jadi akrab?" Aku memberanikan diri untuk bertanya. Sebelum pulang tadi, kulihat Mas Rafi berbicara empat mata dengan Mas Ilham dan diakhiri dengan berjabat tangan dan... berpelukan. Ane
Aku menceritakan semua apa yang kulihat dalam mimpi tersebut. Tentang semua kejadian yang erat sekali berkaitan dengan dirinya. Mas Rafi terlihat serius dalam mendengarkan ceritaku. Malu juga sebenarnya.tapi, karena Mas Rafi terus memaksa, akhirnya aku bersikap jujur saja. Lagipula, kami sudah sepakat akan terbuka satu sama lain seperti janji kami tempo hari. Mas Rafi tersenyum sambil meraih jemariku. Menggenggamnya dengan berusaha untuk menenangkan. "Itu artinya, kamu takut kehilangan Alta dan juga Mas. Iya, kan?" senyumnya semakin mengembang. Terlihat manis dan juga mendebarkan. Eh? Kenapa pipiku jadi panas?"Mas Rafi ge er, ya!" Aku berusaha mengelak dengan menepiskan genggamannya. Mencoba menyamarkan rasa gugup dan debaran di dada. "Biasanya mimpi itu cerminan dari hati, Nay. Saat hati kita bersih, maka mimpi baiklah yang kita lihat. Tapi saat hati kita kotor dan ketakutan, maka mimpi buruk lah yang akan datang. Bukankah hati itu seperti cermin?" Mas Rafi terlihat serius. Tak b
Hari masih terlalu pagi, Ibu sudah menggedor-gedor pintu kamarku. Jantung ini rasanya mau copot saja, bertanya-tanya apa gerangan yang sedang terjadi di luar sana. Bergegas aku beranjak dari tempat tidur, dan segera membukakan pintu untuknya. "Nay, Nak Rafi sedang menunggu di bawah itu. Katanya mau mengajak kamu dan Alta ke pantai." Sejenak aku berpikir. Masih pagi begini, Mas Rafi datang dan tiba-tiba mengajak pergi. Ada apa gerangan. "Ouh, Iya, Buk. Sebentar lagi, Nay turun." Aku menghela nafas. Baru ingat pesan whatsapp yang dikirimkan Mas Rafi malam tadi. Aku hanya sempat membaca, belum ada niatan untuk membalas dan mengiyakan ajakannya. "Memangnya kalian sudah janjian mau kepantai?" terlihat wajah Ibu sedikit cemas.Mungkin merasa khawatir kalau aku tidak sedang baik-baik saja untuk saat ini. Apalagi dia belum menanyakan mimpi apa yang menghantuiku malam tadi. "Nay sendiri lupa, Buk. Mungkin Mas Rafi mau bayar janjinya kemarin sama Alta," terangku yang hanya menduga-duga sa
Degh.... Jantungku serasa mau copot. Saat menyadari orang yang ada di sebelah mas Rafi ialah Viona. Mereka sedang mengawasi Diana_anaknya Viona_bermain. Darahku serasa mendidih. Kenapa Viona lagi-lagi hadir dalam hidupku. Setelah Mas Ilham, sekarang dia ingin merebut Mas Rafi juga dariku. Oh,tidak semudah itu Ferguso. Dengan berapi-api, aku langsung menghampiri mereka berdua. Entah kekuatan apa yang mendorong tubuhku untuk segera memberi pelajaran pada wanita tidak tahu diri itu. Apa Dia pikir Aku ini lemah, dan ingin mencuri apapun yang kumiliki. Oh, aku benar-benar marah dan tak bisa lagi mengendalikan diri. Emosiku kini telah menggunung hingga keubun-ubun. "Mas, sedang apa di sini? " Aku langsung menegur Mas Rafi. Mungkin dia belum menyadari kehadiranku di sini. "Nay? Kamu kenapa di sini? Tadi kamu bilang Alta sudah tidur." Jawabnya gugup. "Jadi ini, alasan Mas Rafi membatalkan acara kita?" Aku langsung memotong pembicaraannya.Tak ingin mendengar alasan apapun yang ingin dia
"Sudah Nay, biarkan saja dulu. Mungkin Alta terlalu kecewa sampai merajuk seperti itu," Ibu mencoba menenangkanku. "Namanya juga Anak kecil. Paling nanti baik sendiri." Ibu menimpali ucapannya. Setengah jam kami menunggu, pintu tak kunjung terbuka. Akhirnya Bapak berinisiatif untuk mendobrak paksa dari luar. Walaupun sudah diusia lanjut, Namun Bapak masih memiliki tenaga yang cukup kuat jika hanya untuk mendobrak sebuah pintu. "Apa Bapak kuat mendobraknya sendiri Bu. Kalau tidak kuat, biar Nay minta tolong sama Dokter Indra saja biar ikut membantu." Aku meminta izin pada Ibu.Siapa lagi yang bisa kami mintai tolong selain Dokter Indra. Sebab, dialah satu-satunya tetangga di sekitar sini yang selalu siap menawari bantuan untuk kami. "Tidak usah nay, Bapak sudah ahli dan banyak tehnik nya juga. Iya kan, Pak?" Ibu memberi semangat kepada Bapak. Mungkin ibu juga segan jika terus menerus minta bantuan kepada Dokter Indra. "Iya, kalau cuma begini, ya kecil, Nay." Bapak terlihat yakin da
Malam ini, Mas Rafi berjanji akan menjemput kami dan membawa kami jalan-jalan keliling kota. Dia melakukan itu mengingat beberapa hari lagi, kami sekeluarga akan pulang ke kampung halaman untuk mempersiapkan acara pesta di sana. Hari dan tanggal sudah kami tentukan. Beberapa surat undanganpun sudah disebar luaskan. Jadi, malam ini kami sekalian ingin mencari pernak-pernik ucapan terimakasih untuk para tamu undangan besok. "Om Rafi kok lama ya, Bunda." Alta terlihat gelisah dan bolak-balik bertanya. "Bukan Om Rafinya yang lama, Tapi Alta yang kecepatan berhiasnya, sayang." Aku menariknya ke dalam dekapan. Sedari tadi Alta sudah sibuk berhias. Dia tak mau kalah dari bundanya agar terlihat cantik di depan mata Mas Rafi. Dia juga memilihkan baju yang pas untuk kupakai. Baju yang senada dengan warna bajunya. Kulirik jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Namun tanda-tanda Mas Rafi datang belum juga terlihat. Ada rasa cemas dan khawatir menghantui. Kenapa gawainya tidak bisa dihubung