Aku keluar dari kamar menuju dapur untuk sarapan. Setelah menata piring dan makanan, Bapak dan Alta pulang. "Eh, Alta olah raga, ya. Tumben," sapa ku."Iya, Bunda. Kata Om Dokter biar sehat. Iya kan, Kek?" sahut Alta. Bapak tersenyum dan mengangguk. Ternyata Alta memang benar-benar terpengaruh dengan apapun yang Dokter Indra katakan. Aku juga menanyakan kepada Ibu apakah tadi malam saat aku pergi dengan Mas Rafi, apakah Dokter Indra datang untuk menemui Alta. Ibu bilang, Bapak melihat Dokter Indra baru pulang dan kemudian menawarinya makan malam. Dokter Indra setuju dan akhirnya dia mengajak Alta untuk ikut ke klinik nya usai makan malam. Mungkin dari situlah Dokter Indra merasa bahwa perkataan Alta semuanya benar. Tanpa dia tahu bahwa semua itu murni kesalahan dari Mas Ilham dan Viona. Bagaimana caranya aku menyampaikan kepada Alta, agar jangan lagi terlalu dekat dan beramah tamah kepada dokter Indra. Aku hanya tak ingin Mas Rafi merasa di nomor duakan oleh Alta. Seharusnya, Ma
Aku kaget bukan kepalang. Kenapa tengah hari begini, Dokter Indra sudah datang ke rumah. Apakah dia sudah lupa dengan kejadian kemarin. Dan tidakkah dia sadar apa yang dia lakukan kemarin itu salah?"Ada apa Dokter ke sini?" tanyaku kebingungan. Bukankah biasanya jam segini dia harusnya berada di klinik? "Maaf, Nay, kalau saya mengganggu. Saya hanya ingin minta maaf atas kejadian kemarin," dia tertunduk lesu merasa sungkan kepadaku. "Kalau Nay tidak apa-apa sih, Dok. Seharusnya Dokter minta maaf ke Mas Rafi saja." Akupun merasa sungkan dan sebenarnya masih malas berhubungan dengannya mengingat kejadian kemarin malam. "Saya juga merasa perlu meminta maaf ke kamu Nay, mungkin saja saya sudah menyinggung perasaan kamu." Dokter Indra masih terlihat sungkan dan menunduk. Kenapa dia terlihat sangat takut ataupun merasa bersalah seperti ini, bukankah kemarin malam dia sendiri yang merasa paling benar, hingga susah untuk dihentikan. "Sudah Nay bilang, Dokter tidak perlu meminta maaf lagi
"Loh, ada tamu rupanya, mari Dokter, kita makan siang bersama." Ibu keluar dari dapur dan melihat Dokter Indra ada bersamaku. "Bapak kemana, Buk? Kok belum turun? aku merasa khawatir. "Bapak tidak enak badan Nay, mungkin kelelahan.""Kan sudah Nay bilang, jangan terlalu banyak pikiran, kalau sudah sakit begini,kan jadi repot.""Boleh saya cek keadaan Bapak, Bu?" dengan ramah Dokter Indra menawarkan bantuan. Aku mendelik ke arah Ibu, memberi kode agar Ibu tidak mengijinkannya."Tidak usah Nak Indra, Bapak biasa begitu kalau lagi banyak pikiran. Setelah istirahat dan minum vitamin juga akan langsung baikan," Ibu beralasan. "Oh, ya sudah, Bu. Saya pamit dulu, nanti kalau terjadi sesuatu, jangan sungkan untuk datang ke rumah,ya." Dokter Indra menawari dan mungkin dia mulai sadar bahwa kehadiran nya kali ini tak begitu diharapkan. Aku menarik nafas dalam-dalam, merasa lega akhirnya Dokter Indra angkat kaki juga. Kutanyakan pada Ibu, kenapa Dokter Indra selancang itu dan terkesan terla
Apakah dia bermaksud ingin mengambil hati Alta yang sudah dikotori oleh racun dari Mas Ilham dan Viona. Baru kali ini juga Mas Rafi menawari agar membawa seluruh keluargaku. Apakah kepercayaan diri nya sudah tumbuh besar, karena aku sudah menerima lamarannya. "Kenapa Mas Rafi tidak pernah mengajak keluarga Nay sebelumnya?. Apakah Mas malu mengakui keberadaan mereka?" godaku."Bukan begitu, Nay. Mas hanya tidak percaya diri jika terlalu banyak orang di sini," jawabnya gugup. Bukankah dia seorang pengusaha dan pemimpin perusahaan yang seharusnya penuh rasa percaya diri dan pandai berbicara. Aku kurang puas dengan jawaban itu. Karena terus kudesak, akhirnya Mas Rafi mengakui bahwa dia bukan tipe orang yang percaya diri dan pandai bicara. Sebab, di dalam perusahaan pun Mas Rafi dulunya bukanlah pemimpin perusahaan, namun hanya seorang pengawas yang mengawasi secara diam-diam. Untuk urusan lobi-melobi dan humas perusahaan diserahkan kepada Mas Ilham yang notabenenya memiliki rasa perca
Aku sungguh terkejut melihat pemandangan yang baru saja aku saksikan. Berulang-ulang kali meyakinkan mata ini, dan jawabannya tetaplah sama. Dari sudut manapun terlihat, meski dari kejauhan, aku tak mungkin salah. Itu memanglah mereka. Sedang apa mereka disini. Berdua, seperti pasangan muda-mudi yang baru selesai berkencan dengan menonton film romantis di bioskop. Seribu tanda tanya berkecamuk dalam pikiran. Ingin rasanya ke sana dan menghampiri mereka, tepatnya Ratna. Ya. Itu Ratna dan Dokter Indra. Aneh bukan? Mereka yang notabenenya belum saling mengenal, bisa berjalan seakrab itu. Namun, terbersit juga di hati ini, apakah ini bagian dari skenario yang Ratna rencanakan tempo hari. Cepat kurangkul tangan Alta dan Mas Rafi, sembari membawa mereka pergi. Segera menjauh dari tempat ini. Aku khawatir mas Rafi salah paham dan kembali kesal begitu melihat wajah Dokter Indra lagi, kemudian mengacaukan segalanya. "Ada apa, Nay, kok tergesa-gesa?" tanya Ibu. Mungkin Ibu merasa aneh atas
"Ratna sudah tahu Bu! Kemarin Nay sudah cerita. Tapi belum Nay undang secara resmi. Besok saja Nay mampir ke rumahnya sehabis menjemput Alta di sekolah. Tidak enak kalau mengundangnya lewat hape.""Iya, Ibu cuma mengingatkan. Takutnya kamu kelupaan." Ibu sebenarnya belum tahu kalau aku melihat Ratna dan Dokter Indra di mall tempo hari. "Oh iya Buk, kok sudah beberapa hari ini Nay tidak melihat Dokter Indra, ya?" aku mencoba mengorek informasi dari Ibu. "Oh iya juga, ya. Kok Ibu juga jadi jarang melihatnya. Apa mungkin Dokter Indra sedang piknik atau keluar kota ya, Nay." Ternyata ibu juga baru sadar kalau Dokter Indra tidak pernah terlihat lagi beberapa hari kebelakang. "Tidak mungkin, Bu. Kan kliniknya buka terus kok seperti biasa. Mungkin dia nya saja yang jarang kemari.""Setiap hari Bapak melihatnya, kok. Dokter Indra masih sering lari pagi." Bapak yang mendengar percakapan kami mencoba menimpali."Cuma Dokter Indra agak aneh sekarang." sambung Bapak lagi. Aku yang semakin pe
Sakit sebenarnya mendengar ucapan Bapak barusan. Bahwasanya Dokter Indra mencoba dan terkesan memaksaku untuk menerima lamaran darinya. Hanya untuk dijadikan seorang pengasuh. Lalu apa bedanya dia dengan Mas Ilham yang hanya ingin aku mengasuh putri semata wayangnya itu. Mungkin itu jugalah penyebab Bapak enggan membicarakannya dengan kami. Bapak merasa tidak tega jika putri satu-satunya kembali menikah dengan seorang duda. "Sudah Nay, tak usah lagi kamu beramah-tamah sama dia." Raut wajah ibu terlihat marah. . Malam ini aku mengajak Ibu untuk bicara lagi. Tentu saja setelah Alta tidur dan tidak berisik. Banyak hal yang ingin kutanyakan dan meminta pendapatnya. Bukankah sedari dulu aku memang selalu meminta bantuan orang lain, atas segala masalah yang aku hadapi. Sejak dulu, Ratna lah yang selalu berhasil memecahkan semua masalah yang sedang kuhadapi dan dialah satu-satunya orang yang paling aku percayai. Tapi sekarang, aku mulai meragukannya. Apakah dia telah
Aku masuk menuju tempat yang sudah kami janjikan. Sebuah pendopo yang letaknya berada di sebelah taman rumah sakit ini.Tamannya berada di tengah-tengah bangunan yang mewah dan bertingkat.Nyaman sebenarnya berlama-lama disini. Selain tempatnya yang teduh dan sejuk karena di tumbuhi pohon-pohon yang rindang, juga terlihat sangat indah dan eksotis.Rumah sakit ini tergolong unik menurutku. Dibangun di daerah dataran tinggi nan curam. Dengan ke piawaian tangan-tangan manusia yang handal bisa di sulap menjadi tempat yang menarik.Bangunan rumah sakit ada di dataran tinggi sebelah barat. dan taman ada di bawah di tempat yang curam. Dan disebelah timur merupakan bangunan untuk Akademi keperawatan dan kebidanan. Disanalah Ratna menimba ilmu dulunya.Untuk sampai disini, kita harus melewati gerbang utama yang terletak diatas. Terus turun kebawah melalui tangga-tangga yang sudah di bangun sedemikian rupa. Berbelok-belok bentuk tangganya.Banyak para kerabat yang menunggui pasien beristirahat da
Kamipun sampai di sebuah klinik yang tidak jauh dari rumah aku bersama Mas Rafi. Sengaja aku tak ingin pergi ke rumah sakit besar, selain malas untuk mengantri, kurasa penyakitku ini tidak terlalu parah dan juga berbahaya."Selamat ya, buat Ibu dan juga Bapak," seru seorang Dokter setelah tadi memeriksaku dengan senyuman."Selamat apa ya, Dok?" Mas Rafi bergantian memandangi kami."istri Bapak saat ini sedang mengandung. Usia kandungan sudah memasuki usia lima minggu. Selamat, karena sebentar lagi Bapak akan menjadi seorang Ayah."Kulihat binar matanya memancarkan kebahagiaan. Matanya berkaca-kaca, merasa antara percaya dan tidak percaya. Di tatapnya wajahku secara seksama, kemudian kembali ke arah Dokter itu."Benar Dokter? Istri saya hamil?" dia meyakinkan. Dokter muda itu pun mengangguk sambil tersenyum."Alhamdulillah... " ucap aku dan Mas Rafi bersamaan..Mas Rafi tak henti-hentinya menggenggam tanganku. Merasa berbahagia karena telah berhasil mengandung dari buah cinta kami. Kin
Aku duduk di sofa ruang tamu lantai dua. Ruangan ini menjadi lebih luas setelah menyelesaikan renovasi. Bangunan yang tadinya bersekat tembok yang tinggi, kini telah menyatu dan menjadi luas. Karyawan di lantai bawah pun sudah bertambah dua orang lagi, sehingga mengurangi lelahnya Ibu dalam mengurus toko."Ibu masak bubur kacang hijau lho, Nay," ujar Ibu. "Pakai durian lagi. Sengaja Ibu buatkan makanan kesukaan kamu," lanjutnya lagi."Nanti Nay ambil sendiri saja, Bu," ucapku yang agak malas untuk bangkit, tanpa kutahu tiba-tiba saja Ibu sudah berjalan membawa nampan berisi mangkuk.Mendadak aku pusing, tenggorokanku rasanya penuh, hingga memaksaku untuk bergegas ke kamar mandi untuk mengeluarkan segala yang kumakan pagi tadi."Nay, kamu kenapa?" kudengar panggilan Ibu sambil mengetuk pintu. Aku terus saja memuntahkan apa yang ada, hingga tubuh ini jadi seperti tak bertenaga."Tidak tahu, Buk. Mungkin masuk angin," aku berjalan kembali ke sofa setelah membukakan pintu. Kulihat Ibu ber
Akhirnya hari bahagia itu datang juga. Seperti sebuah mimpi, kini aku benar-benar telah mengakhiri masa kesendirianku. Status yang masih menjadi momok yang menakutkan bagiku itu, terlepas sudah. Entah bagaimana caraku mengungkapkannya.Pagi tadi, dengan menggenggam erat tangan Bapak, Mas Rafi mengucapkan lafaz dengan begitu lantang, hanya dengan satu tarikan nafas saja. Membuat semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dengan begitu antusias dan bersemangat.Sebuah pesta sederhana dilanjutkan dengan sebuah hiburan berupa musik dari orkestra yang biasa diadakan di kampung kami.Aku tidak perduli bagaimana dengan tanggapan keluarga Mas Rafi nantinya, yang selalu terbiasa dengan musik-musik nan elegan yang sering aku lihat di pesta-pesta kalangan orang kaya. Itupun aku tonton dari infotainment para artis.Tapi, sempat kulihat tangan Papa mertua ikut bergoyang juga, menikmati musik dangdut yang dinyanyikan sang biduan.Para sanak famili dan juga sahabat hampir semuanya hadir. Tak terkecu
"Banyak rekan-rekan yang sudah melapor sama Mas, kalau akun Mas diretas orang. Mas curiga itu Viona.jadi, kamu jangan sampai terkecoh jika ada pesan-pesan seperti itu, ya. Mas tidak akan mungkin tega meminta uang sama kamu dengan jalan seperti itu. Melihat kamu menjaga Alta sebaik ini saja, Mas sudah sangat berterima kasih." Ucapannya terdengar tulus dan tidak mengada-ada. Alhamdulillah, ternyata jawaban dari semua beban pikiranku sudah terjawab tuntas tanpa aku menanyakannya.Ternyata Mas Rafi benar juga, bahwa mimpi itu cerminan dari hati dan pikiran..Mobil kembali melaju pelan. Kulihat Alta sudah kembali akrab dengan Mas Rafi. Seakan-akan kejadian malam tadi tidak pernah terjadi. Atau mungkin dia bahagia karena sudah bertemu dengan ayahnya."Mas, tadi Mas Rafi ngomong apa saja sama Mas Ilham, kok jadi akrab?" Aku memberanikan diri untuk bertanya. Sebelum pulang tadi, kulihat Mas Rafi berbicara empat mata dengan Mas Ilham dan diakhiri dengan berjabat tangan dan... berpelukan. Ane
Aku menceritakan semua apa yang kulihat dalam mimpi tersebut. Tentang semua kejadian yang erat sekali berkaitan dengan dirinya. Mas Rafi terlihat serius dalam mendengarkan ceritaku. Malu juga sebenarnya.tapi, karena Mas Rafi terus memaksa, akhirnya aku bersikap jujur saja. Lagipula, kami sudah sepakat akan terbuka satu sama lain seperti janji kami tempo hari. Mas Rafi tersenyum sambil meraih jemariku. Menggenggamnya dengan berusaha untuk menenangkan. "Itu artinya, kamu takut kehilangan Alta dan juga Mas. Iya, kan?" senyumnya semakin mengembang. Terlihat manis dan juga mendebarkan. Eh? Kenapa pipiku jadi panas?"Mas Rafi ge er, ya!" Aku berusaha mengelak dengan menepiskan genggamannya. Mencoba menyamarkan rasa gugup dan debaran di dada. "Biasanya mimpi itu cerminan dari hati, Nay. Saat hati kita bersih, maka mimpi baiklah yang kita lihat. Tapi saat hati kita kotor dan ketakutan, maka mimpi buruk lah yang akan datang. Bukankah hati itu seperti cermin?" Mas Rafi terlihat serius. Tak b
Hari masih terlalu pagi, Ibu sudah menggedor-gedor pintu kamarku. Jantung ini rasanya mau copot saja, bertanya-tanya apa gerangan yang sedang terjadi di luar sana. Bergegas aku beranjak dari tempat tidur, dan segera membukakan pintu untuknya. "Nay, Nak Rafi sedang menunggu di bawah itu. Katanya mau mengajak kamu dan Alta ke pantai." Sejenak aku berpikir. Masih pagi begini, Mas Rafi datang dan tiba-tiba mengajak pergi. Ada apa gerangan. "Ouh, Iya, Buk. Sebentar lagi, Nay turun." Aku menghela nafas. Baru ingat pesan whatsapp yang dikirimkan Mas Rafi malam tadi. Aku hanya sempat membaca, belum ada niatan untuk membalas dan mengiyakan ajakannya. "Memangnya kalian sudah janjian mau kepantai?" terlihat wajah Ibu sedikit cemas.Mungkin merasa khawatir kalau aku tidak sedang baik-baik saja untuk saat ini. Apalagi dia belum menanyakan mimpi apa yang menghantuiku malam tadi. "Nay sendiri lupa, Buk. Mungkin Mas Rafi mau bayar janjinya kemarin sama Alta," terangku yang hanya menduga-duga sa
Degh.... Jantungku serasa mau copot. Saat menyadari orang yang ada di sebelah mas Rafi ialah Viona. Mereka sedang mengawasi Diana_anaknya Viona_bermain. Darahku serasa mendidih. Kenapa Viona lagi-lagi hadir dalam hidupku. Setelah Mas Ilham, sekarang dia ingin merebut Mas Rafi juga dariku. Oh,tidak semudah itu Ferguso. Dengan berapi-api, aku langsung menghampiri mereka berdua. Entah kekuatan apa yang mendorong tubuhku untuk segera memberi pelajaran pada wanita tidak tahu diri itu. Apa Dia pikir Aku ini lemah, dan ingin mencuri apapun yang kumiliki. Oh, aku benar-benar marah dan tak bisa lagi mengendalikan diri. Emosiku kini telah menggunung hingga keubun-ubun. "Mas, sedang apa di sini? " Aku langsung menegur Mas Rafi. Mungkin dia belum menyadari kehadiranku di sini. "Nay? Kamu kenapa di sini? Tadi kamu bilang Alta sudah tidur." Jawabnya gugup. "Jadi ini, alasan Mas Rafi membatalkan acara kita?" Aku langsung memotong pembicaraannya.Tak ingin mendengar alasan apapun yang ingin dia
"Sudah Nay, biarkan saja dulu. Mungkin Alta terlalu kecewa sampai merajuk seperti itu," Ibu mencoba menenangkanku. "Namanya juga Anak kecil. Paling nanti baik sendiri." Ibu menimpali ucapannya. Setengah jam kami menunggu, pintu tak kunjung terbuka. Akhirnya Bapak berinisiatif untuk mendobrak paksa dari luar. Walaupun sudah diusia lanjut, Namun Bapak masih memiliki tenaga yang cukup kuat jika hanya untuk mendobrak sebuah pintu. "Apa Bapak kuat mendobraknya sendiri Bu. Kalau tidak kuat, biar Nay minta tolong sama Dokter Indra saja biar ikut membantu." Aku meminta izin pada Ibu.Siapa lagi yang bisa kami mintai tolong selain Dokter Indra. Sebab, dialah satu-satunya tetangga di sekitar sini yang selalu siap menawari bantuan untuk kami. "Tidak usah nay, Bapak sudah ahli dan banyak tehnik nya juga. Iya kan, Pak?" Ibu memberi semangat kepada Bapak. Mungkin ibu juga segan jika terus menerus minta bantuan kepada Dokter Indra. "Iya, kalau cuma begini, ya kecil, Nay." Bapak terlihat yakin da
Malam ini, Mas Rafi berjanji akan menjemput kami dan membawa kami jalan-jalan keliling kota. Dia melakukan itu mengingat beberapa hari lagi, kami sekeluarga akan pulang ke kampung halaman untuk mempersiapkan acara pesta di sana. Hari dan tanggal sudah kami tentukan. Beberapa surat undanganpun sudah disebar luaskan. Jadi, malam ini kami sekalian ingin mencari pernak-pernik ucapan terimakasih untuk para tamu undangan besok. "Om Rafi kok lama ya, Bunda." Alta terlihat gelisah dan bolak-balik bertanya. "Bukan Om Rafinya yang lama, Tapi Alta yang kecepatan berhiasnya, sayang." Aku menariknya ke dalam dekapan. Sedari tadi Alta sudah sibuk berhias. Dia tak mau kalah dari bundanya agar terlihat cantik di depan mata Mas Rafi. Dia juga memilihkan baju yang pas untuk kupakai. Baju yang senada dengan warna bajunya. Kulirik jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Namun tanda-tanda Mas Rafi datang belum juga terlihat. Ada rasa cemas dan khawatir menghantui. Kenapa gawainya tidak bisa dihubung