Aku masuk menuju tempat yang sudah kami janjikan. Sebuah pendopo yang letaknya berada di sebelah taman rumah sakit ini.Tamannya berada di tengah-tengah bangunan yang mewah dan bertingkat.Nyaman sebenarnya berlama-lama disini. Selain tempatnya yang teduh dan sejuk karena di tumbuhi pohon-pohon yang rindang, juga terlihat sangat indah dan eksotis.Rumah sakit ini tergolong unik menurutku. Dibangun di daerah dataran tinggi nan curam. Dengan ke piawaian tangan-tangan manusia yang handal bisa di sulap menjadi tempat yang menarik.Bangunan rumah sakit ada di dataran tinggi sebelah barat. dan taman ada di bawah di tempat yang curam. Dan disebelah timur merupakan bangunan untuk Akademi keperawatan dan kebidanan. Disanalah Ratna menimba ilmu dulunya.Untuk sampai disini, kita harus melewati gerbang utama yang terletak diatas. Terus turun kebawah melalui tangga-tangga yang sudah di bangun sedemikian rupa. Berbelok-belok bentuk tangganya.Banyak para kerabat yang menunggui pasien beristirahat da
"Terus, kamu bilang apa?""Sudah, kamu tidak usah khawatir. Pokoknya aku jamin, dia tidak akan lagi mengganggu acara lamaran kamu nanti."Syukurlah, jika semua itu bukan menjadi masalah lagi. Semua dugaanku ternyata salah. Ratna masih tetap menjadi sahabatku yang dulu. Tadinya aku sempat berpikiran yang bukan bukan, kini aku harus percaya saja kepadanya.Walaupun dalam hati masih ada yang mengganjal. Entah lupa ataukah sengaja, dia tidak menceritakan tentang mereka yang pergi berkencan tempo hari. Bukan hak ku memang untuk ikut campur. Tapi kenapa Ratna masih juga tertutup.Haruskah kuceritakan niatan Dokter Indra ingin melamarku seperti yang di ceritakan Bapak kemarin, hanya untuk mengasuh anak-anaknya saja? Apakah dia nantinya akan melamar Ratna, juga hanya untuk jadi pengasuh. Ah, entahlah. Aku jadi bingung harus mengatakannya atau tidak. ********"Sudah Nay, kamu fokus sama acara kamu saja dulu. Percayakan saja pada Ratna tentang urusan pribadinya. Nanti, kalau dia kesu
Mbak lusi terlihat sabar menjawab dan menjelaskan tentang apa yang di tanya Alta padanya. Walaupun ku tahu tak semua yang dia katakan itu benar. Tapi, bukankah lebih baik berbohong jika tujuannya untuk kebaikan bersama.Biarlah Alta akan tahu seiring berjalannya waktu. Saat dia dewasa nanti, dia bisa lebih mengerti dan memahami apa yang di rasakan dan dialami oleh orang tuanya dulu."Mama, kenapa Mama menangis?" Kulihat Mbak Lusi menyeka matanya yang berair."Mata Mama perih karena mengupas bawang, sayang." Jawab Mbak Lusi dengan lembut.Kulihat Alta menatap wajah Mbak Lusi dalam, seperti mengerti apa yang sedang dirasakan ibu kandung nya itu saat ini. Begitupun denganku, aku yang sedang menggoreng kerupuk ikut terharu melihat kedekatan mereka berdua.Kadang terasa nyeri di dalam ulu hati. Mengingat jika harus berpisah dengan Alta kelak.tapi sakit juga rasanya saat melihat Mbak Lusi yang butuh seorang teman, mengingat sekarang dia masih sendiri.Ya. Allah. Apa yang harus aku perbuat.
"Sudah siap berdandannya, Nay? Nak Rafi dan keluarganya sudah datang. Tidak enak kalau terlalu lama dibiarkan menunggu. Cepat keluar, ya! "Ibu mendorong sedikit daun pintu, sambil memasukkan kepalanya."Iya, Bu. Sebentar lagi juga selesai, kok." Kupegangi dadaku yang bergerak naik turun, berdebar-debar saking gugupnya. Seolah-olah kejadian ini baru sekali kualami.Ternyata meski sudah berpengalaman, namun dengan orang yang berbeda, perasaan gugup itu masih juga terasa. Terbayang juga apa yang kini tengan dirasakan oleh Mas Rafi. Apalagi dia menderita gugup akut lebih dari aku.Ada perasaan geli juga memikirkan kalau Mas Rafi juga sedang berkeringat dingin menghadapi malam ini, sama sepertiku. Atau memang hanya kami yang merasakan hal itu?"Mbak Nay kenapa? Jantungan, ya?" ledek Rina yang sedang membantuku merias wajah sambil tersenyum."Tahu saja sih kamu. Mbak gugup ini. Tapi ya tidak sampai kena serangan jantung juga." sanggahku, sambil terus memegangi dada.Dulu Rina dan Fani sempa
"Bisakah kita mulai acaranya?" terdengar suara Pak Ramli dari pengeras suara, sudah mulai membuka acara. Bapak yang minta supaya Pak Ramli sebagai perwakilan dari pihak keluarga kami. Selain orangnya pandai bicara dan berpendidikan tinggi, dia juga adalah seorang kepala ligkungan di daerah pertokoan ini."Waalaikum salam warahmatulullahi wabarakaatuh." Terdengar suara sambutan dari para tamu yang sudah hadir, menyambut salam yang tadi di ucapkan Pak Ramli sebelum bertanya.Ku dengarkan tausyiah dari Pak Ramli kata demi kata secara seksama. Kata-kata yang sarat akan makna sebagai pembuka lembaran baru, tentang kisah cintaku dan Mas Rafi sebelum memasuki ke jenjang yang lebih tinggi.Terdengar juga suara yang begitu antusias dari para kerabat dan juga beberapa tetangga yang kami undang, mereka juga larut dan ikut merasakan kebahagiaan yang sama seperti yang kurasa saat ini.Terpikir kembali betapa bahagianya hati kedua orang tua, saat mendengar anaknya akan segera menikah. Suka dan cita
"Kalau sudah mau sama mau, langsung menikah saja. Tidak usah lamaran, kemudian bertunangan dan harus menunggu lama-lama lagi. Biar tidak timbul fitnah juga kalau kesana kemari." Begitu pinta ibu dulu.Tapi karena pihak keluarga Mas Rafi ingin acara seperti ini, mau bagaimana lagi. Kita hanya bisa menerima permintaan mereka. Lagipula, Mas Rafi adalah putra satu-satunya, jadi setiap acara, harus berkesan dan diramaikan. Apalagi dia adalah anak pemilik perusahaan, tentu banyak hal yang harus dipersiapkan demi berlangsungnya acara yang mewah.Kulihat juga banyak bawaan yang mereka bawa sebagai barang hantaran, berupa parcel, dan juga bingkisan-bingkisan."Bunda, Bunda cantik sekali." Alta mendekat dan menciumku dengan lembut."Benarkah, sayang?" aku balas mencium pipi Alta."Benar, Bunda. Alta tidak bohong." dia menatapku dengan wajah serius. "Om Rafi juga keren," sambungnya sambil mengacungkan dua ibu jarinya. **********Para tamu undangan sudah pulang ke rumah masing
Kurebahkan tubuh diranjang, lelah rasanya seharian mempersiapkan segala hal dari yang kecil sampai yang besar. Sekarang sudah begitu lega, setelah acara berjalan sesuai yang diharapkan. 'Nay sedang apa?' Kubaca pesan whatsapp dari Mas Rafi setelah mendengar bunyi notifikasi. 'Sedang rebahan saja Mas. Mas Rafi sudah sampai?' Segera kubalas pesannya tadi. 'Sudah, barusan. Nay lelah ya?' Balasnya kemudian. 'Iya Mas, Nay sangat lelah. Memangnya Mas Rafi tidak?''Kalau buat Nay, Mas tidak akan pernah lelah, Sayang' 'Dih, sudah pandai menggombal, ya.' Sambil senyum-senyum sendiri. Merasa tersanjung dengan panggilan itu. 'Kan kita sudah naik level. Jadi, mulai sekarang harus pakai Sayang, ya.''Iya, terserah Mas saja.' Balasku dengan hati berbunga-bunga. Kulihat Mas Rafi sudah tidak aktif lagi. Mungkin dia juga sudah kelelahan disana dan tanpa sengaja sudah tertidur. Sama halnya sepertiku. Begitu lelah dengan acara tadi. Namun lelah yang kurasa, sebanding dengan kebahagiaan yang kuda
Ingin rasanya memberitahukan masalah ini pada Mas Rafi segera, agar dia bisa mencarikan solusinya. Namun, niatku tadi untuk menghubungi Mas Rafi urung kulakukan karena merasa sungkan jika harus terus menerus melibatkannya lagi dalam masalah keluargaku dimasa lampau. Biarlah Mas Rafi bernapas sejenak, Mas Rafi juga berhak bahagia. Baiklah Mas Ilham. Jika kamu masih saja ingin mengusik kebahagiaanku, akan kuladeni. Hanya saja, jangan menyesal jika nanti hidupmu yang akan hancur untuk kedua kalinya. ********"Kamu kok lemes begitu, Nay. Wajah kamu terlihat letih? Bukannya setelah Ratna pulang semalam, kamu bilang mau langsung tidur?" Ibu curiga melihat perawakanku. "Tidak apa-apa, Buk. Nay hanya lelah," jawabku mengelak. "Kalau lelah istirahat saja dulu. Kan toko masih tutup sampai besok," Ibu mengingat kan kalau hari ini kami masih libur. Kulihat Ibu membersihkan segala pekakas yang belum sempat dicuci tadi malam. Dia terlihat masih bersemangat sampai detik ini. Akupun seharusnya b
Kamipun sampai di sebuah klinik yang tidak jauh dari rumah aku bersama Mas Rafi. Sengaja aku tak ingin pergi ke rumah sakit besar, selain malas untuk mengantri, kurasa penyakitku ini tidak terlalu parah dan juga berbahaya."Selamat ya, buat Ibu dan juga Bapak," seru seorang Dokter setelah tadi memeriksaku dengan senyuman."Selamat apa ya, Dok?" Mas Rafi bergantian memandangi kami."istri Bapak saat ini sedang mengandung. Usia kandungan sudah memasuki usia lima minggu. Selamat, karena sebentar lagi Bapak akan menjadi seorang Ayah."Kulihat binar matanya memancarkan kebahagiaan. Matanya berkaca-kaca, merasa antara percaya dan tidak percaya. Di tatapnya wajahku secara seksama, kemudian kembali ke arah Dokter itu."Benar Dokter? Istri saya hamil?" dia meyakinkan. Dokter muda itu pun mengangguk sambil tersenyum."Alhamdulillah... " ucap aku dan Mas Rafi bersamaan..Mas Rafi tak henti-hentinya menggenggam tanganku. Merasa berbahagia karena telah berhasil mengandung dari buah cinta kami. Kin
Aku duduk di sofa ruang tamu lantai dua. Ruangan ini menjadi lebih luas setelah menyelesaikan renovasi. Bangunan yang tadinya bersekat tembok yang tinggi, kini telah menyatu dan menjadi luas. Karyawan di lantai bawah pun sudah bertambah dua orang lagi, sehingga mengurangi lelahnya Ibu dalam mengurus toko."Ibu masak bubur kacang hijau lho, Nay," ujar Ibu. "Pakai durian lagi. Sengaja Ibu buatkan makanan kesukaan kamu," lanjutnya lagi."Nanti Nay ambil sendiri saja, Bu," ucapku yang agak malas untuk bangkit, tanpa kutahu tiba-tiba saja Ibu sudah berjalan membawa nampan berisi mangkuk.Mendadak aku pusing, tenggorokanku rasanya penuh, hingga memaksaku untuk bergegas ke kamar mandi untuk mengeluarkan segala yang kumakan pagi tadi."Nay, kamu kenapa?" kudengar panggilan Ibu sambil mengetuk pintu. Aku terus saja memuntahkan apa yang ada, hingga tubuh ini jadi seperti tak bertenaga."Tidak tahu, Buk. Mungkin masuk angin," aku berjalan kembali ke sofa setelah membukakan pintu. Kulihat Ibu ber
Akhirnya hari bahagia itu datang juga. Seperti sebuah mimpi, kini aku benar-benar telah mengakhiri masa kesendirianku. Status yang masih menjadi momok yang menakutkan bagiku itu, terlepas sudah. Entah bagaimana caraku mengungkapkannya.Pagi tadi, dengan menggenggam erat tangan Bapak, Mas Rafi mengucapkan lafaz dengan begitu lantang, hanya dengan satu tarikan nafas saja. Membuat semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dengan begitu antusias dan bersemangat.Sebuah pesta sederhana dilanjutkan dengan sebuah hiburan berupa musik dari orkestra yang biasa diadakan di kampung kami.Aku tidak perduli bagaimana dengan tanggapan keluarga Mas Rafi nantinya, yang selalu terbiasa dengan musik-musik nan elegan yang sering aku lihat di pesta-pesta kalangan orang kaya. Itupun aku tonton dari infotainment para artis.Tapi, sempat kulihat tangan Papa mertua ikut bergoyang juga, menikmati musik dangdut yang dinyanyikan sang biduan.Para sanak famili dan juga sahabat hampir semuanya hadir. Tak terkecu
"Banyak rekan-rekan yang sudah melapor sama Mas, kalau akun Mas diretas orang. Mas curiga itu Viona.jadi, kamu jangan sampai terkecoh jika ada pesan-pesan seperti itu, ya. Mas tidak akan mungkin tega meminta uang sama kamu dengan jalan seperti itu. Melihat kamu menjaga Alta sebaik ini saja, Mas sudah sangat berterima kasih." Ucapannya terdengar tulus dan tidak mengada-ada. Alhamdulillah, ternyata jawaban dari semua beban pikiranku sudah terjawab tuntas tanpa aku menanyakannya.Ternyata Mas Rafi benar juga, bahwa mimpi itu cerminan dari hati dan pikiran..Mobil kembali melaju pelan. Kulihat Alta sudah kembali akrab dengan Mas Rafi. Seakan-akan kejadian malam tadi tidak pernah terjadi. Atau mungkin dia bahagia karena sudah bertemu dengan ayahnya."Mas, tadi Mas Rafi ngomong apa saja sama Mas Ilham, kok jadi akrab?" Aku memberanikan diri untuk bertanya. Sebelum pulang tadi, kulihat Mas Rafi berbicara empat mata dengan Mas Ilham dan diakhiri dengan berjabat tangan dan... berpelukan. Ane
Aku menceritakan semua apa yang kulihat dalam mimpi tersebut. Tentang semua kejadian yang erat sekali berkaitan dengan dirinya. Mas Rafi terlihat serius dalam mendengarkan ceritaku. Malu juga sebenarnya.tapi, karena Mas Rafi terus memaksa, akhirnya aku bersikap jujur saja. Lagipula, kami sudah sepakat akan terbuka satu sama lain seperti janji kami tempo hari. Mas Rafi tersenyum sambil meraih jemariku. Menggenggamnya dengan berusaha untuk menenangkan. "Itu artinya, kamu takut kehilangan Alta dan juga Mas. Iya, kan?" senyumnya semakin mengembang. Terlihat manis dan juga mendebarkan. Eh? Kenapa pipiku jadi panas?"Mas Rafi ge er, ya!" Aku berusaha mengelak dengan menepiskan genggamannya. Mencoba menyamarkan rasa gugup dan debaran di dada. "Biasanya mimpi itu cerminan dari hati, Nay. Saat hati kita bersih, maka mimpi baiklah yang kita lihat. Tapi saat hati kita kotor dan ketakutan, maka mimpi buruk lah yang akan datang. Bukankah hati itu seperti cermin?" Mas Rafi terlihat serius. Tak b
Hari masih terlalu pagi, Ibu sudah menggedor-gedor pintu kamarku. Jantung ini rasanya mau copot saja, bertanya-tanya apa gerangan yang sedang terjadi di luar sana. Bergegas aku beranjak dari tempat tidur, dan segera membukakan pintu untuknya. "Nay, Nak Rafi sedang menunggu di bawah itu. Katanya mau mengajak kamu dan Alta ke pantai." Sejenak aku berpikir. Masih pagi begini, Mas Rafi datang dan tiba-tiba mengajak pergi. Ada apa gerangan. "Ouh, Iya, Buk. Sebentar lagi, Nay turun." Aku menghela nafas. Baru ingat pesan whatsapp yang dikirimkan Mas Rafi malam tadi. Aku hanya sempat membaca, belum ada niatan untuk membalas dan mengiyakan ajakannya. "Memangnya kalian sudah janjian mau kepantai?" terlihat wajah Ibu sedikit cemas.Mungkin merasa khawatir kalau aku tidak sedang baik-baik saja untuk saat ini. Apalagi dia belum menanyakan mimpi apa yang menghantuiku malam tadi. "Nay sendiri lupa, Buk. Mungkin Mas Rafi mau bayar janjinya kemarin sama Alta," terangku yang hanya menduga-duga sa
Degh.... Jantungku serasa mau copot. Saat menyadari orang yang ada di sebelah mas Rafi ialah Viona. Mereka sedang mengawasi Diana_anaknya Viona_bermain. Darahku serasa mendidih. Kenapa Viona lagi-lagi hadir dalam hidupku. Setelah Mas Ilham, sekarang dia ingin merebut Mas Rafi juga dariku. Oh,tidak semudah itu Ferguso. Dengan berapi-api, aku langsung menghampiri mereka berdua. Entah kekuatan apa yang mendorong tubuhku untuk segera memberi pelajaran pada wanita tidak tahu diri itu. Apa Dia pikir Aku ini lemah, dan ingin mencuri apapun yang kumiliki. Oh, aku benar-benar marah dan tak bisa lagi mengendalikan diri. Emosiku kini telah menggunung hingga keubun-ubun. "Mas, sedang apa di sini? " Aku langsung menegur Mas Rafi. Mungkin dia belum menyadari kehadiranku di sini. "Nay? Kamu kenapa di sini? Tadi kamu bilang Alta sudah tidur." Jawabnya gugup. "Jadi ini, alasan Mas Rafi membatalkan acara kita?" Aku langsung memotong pembicaraannya.Tak ingin mendengar alasan apapun yang ingin dia
"Sudah Nay, biarkan saja dulu. Mungkin Alta terlalu kecewa sampai merajuk seperti itu," Ibu mencoba menenangkanku. "Namanya juga Anak kecil. Paling nanti baik sendiri." Ibu menimpali ucapannya. Setengah jam kami menunggu, pintu tak kunjung terbuka. Akhirnya Bapak berinisiatif untuk mendobrak paksa dari luar. Walaupun sudah diusia lanjut, Namun Bapak masih memiliki tenaga yang cukup kuat jika hanya untuk mendobrak sebuah pintu. "Apa Bapak kuat mendobraknya sendiri Bu. Kalau tidak kuat, biar Nay minta tolong sama Dokter Indra saja biar ikut membantu." Aku meminta izin pada Ibu.Siapa lagi yang bisa kami mintai tolong selain Dokter Indra. Sebab, dialah satu-satunya tetangga di sekitar sini yang selalu siap menawari bantuan untuk kami. "Tidak usah nay, Bapak sudah ahli dan banyak tehnik nya juga. Iya kan, Pak?" Ibu memberi semangat kepada Bapak. Mungkin ibu juga segan jika terus menerus minta bantuan kepada Dokter Indra. "Iya, kalau cuma begini, ya kecil, Nay." Bapak terlihat yakin da
Malam ini, Mas Rafi berjanji akan menjemput kami dan membawa kami jalan-jalan keliling kota. Dia melakukan itu mengingat beberapa hari lagi, kami sekeluarga akan pulang ke kampung halaman untuk mempersiapkan acara pesta di sana. Hari dan tanggal sudah kami tentukan. Beberapa surat undanganpun sudah disebar luaskan. Jadi, malam ini kami sekalian ingin mencari pernak-pernik ucapan terimakasih untuk para tamu undangan besok. "Om Rafi kok lama ya, Bunda." Alta terlihat gelisah dan bolak-balik bertanya. "Bukan Om Rafinya yang lama, Tapi Alta yang kecepatan berhiasnya, sayang." Aku menariknya ke dalam dekapan. Sedari tadi Alta sudah sibuk berhias. Dia tak mau kalah dari bundanya agar terlihat cantik di depan mata Mas Rafi. Dia juga memilihkan baju yang pas untuk kupakai. Baju yang senada dengan warna bajunya. Kulirik jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Namun tanda-tanda Mas Rafi datang belum juga terlihat. Ada rasa cemas dan khawatir menghantui. Kenapa gawainya tidak bisa dihubung