Dapat dia rasakan betapa hangatnya berada di dalam dekapan pria itu. Omar melingkarkan kedua tangannya ke tubuh sang istri yang menempelkan kepalanya ke atas dada Omar.
"Sayang ...," ucap Omar dengan lembut.
"Hm?" Fatma membalasnya dengan mata terpejam. Meresapi rasa hangat yang tercipta dari dekapan kasih sayang pria yang begitu dia cintai. Sungguh Fatma tidak ingin waktu segera berlalu dan menghentikan rasa nyaman ini, sebisa mungkin dirinya untuk tetap tersadar bahwa apa yang sedang terjadi benar-benar sebuah rasa yang nyata.
"Aku sangat mencintaimu Fatma."
"Aku juga," balas Fatma.
Sentuhan tangan Omar dapat dia rasakan membelai rambutnya yang terurai hingga menyentuh permukaan tempat tidur. Sementara napas hangat dari sang suami sangat jelas berhembus di permukaan kulit pipinya. Pria itu terdengar membisikkan sesuatu. "Berbahagialah. Hari ini sudah tiba, Sayang. Tersenyumlah untukku mulai hari ini. Karena aku bangga menjadikan kamu sebagai
Fuuuuh ... Author ikutan nyesek. Seberapa sedih kalian saat membaca part ini? Kali ini Author gak nagih VOTE dulu deh. Tapi kalau Readers pengen ngasih VOTE ya Author bisa bilang apa. Jangan lupa tambahin tissue-nya sebelum scroll ke bawah.
Soraya merupakan salah satu perawat yang ditugasi untuk menjemput Omar berkali-kali melihat jarum jam dinding yang semakin menunjukkan jika mereka sudah tidak bisa mengulur waktu lagi. Di dalam ruang operasi sudah ada Omran menunggu. "Fatma ... berdoalah agar operasi suamimu berhasil. Aku tahu Omar memilihmu karena dia yakin kamu adalah wanita yang kuat," ucap Soraya mencoba untuk meyakinkan Fatma. Meskipun jauh di lubuk hatinya sendiri, dia tidak yakin dengan apa yang akan terjadi hari ini. Bukan hanya Fatma dan anggota keluarga yang lain, Soraya pun diliputi perasaan yang tidak tenang. Dia tidak bisa membayangkan jika sesuatu terjadi tidak sesuai dengan apa yang diharapkan nantinya. Dengan berat hati Fatma mengangguki ucapan Soraya. Dia akhirnya memberi jarak pada tubuh sang suami. Saat ini adalah momen yang berat bagi Fatma. Dia tahu orang-orang menginginkan yang terbaik bagi Omar. Tapi, entah dorongan apa yang membuat Fatma menyangkal untuk membenarkan keputusan ini. "Ayah ..."
Fatma tersenyum sambil memejamkan kedua matanya. Di sisinya Omar dengan wajah yang tampan itu memberikan kecupan perpisahan yang bisa dirasakan oleh Fatma dengan mata terpejam. "Tersenyumlah lebih dari ini," bisik Omar yang dirasakan oleh Fatma. Saat itu juga Fatma melebarkan senyumnya. Wanita itu kemudian perlahan membuka mata. Pandangannya terfokus pada pintu operasi yang terbuka, sementara di sisi pintu sekelabat bayangan Omar yang tersenyum kini semakin menjauh dan perlahan hilang dari pandangan. Rasa penasaran menyelimuti seluruh anggota keluarga yang menyaksikan reaksi Fatma ketika membaca surat yang berada di tangannya. Namun, rasa penasaran itu teralihkan dengan kehadiran Dokter Charles yang menunjukkan raut sedih. Pria itu menyeka peluh yang terlihat membasahi permukaan dahinya. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Raut muram yang dia tunjukkan sudah cukup membuat seluruh keluarga berpikir hanya pada satu kemungkinan. Tanpa ada seorang pun yang mengucapkan
Fatma enggan beranjak dari tempat itu. Ini adalah saat-saat terakhir baginya dapat melihat wajah sang suami. "Yah, izinkan aku tetap di sini," pintanya kepada Tuan Ayyoub yang sudah mendekat. Tuan Ayyoub yang mengerti dengan perasaan sang putri hanya mengangguk. Di seberangnya, Tuan Khaleed medekati jenzah Omar dengan tegar. Penutup wajah itu kembali dibuka."Jagoan Papa!" Pria itu tersenyum. "Kamu benar-benar membanggakan, Nak. Bahkan ketika hidupmu sudah berakhir, kamu masih memberi manfaat untuk saudaramu sendiri. Jika kamu bertemu Tuhan nanti, katakan padaNya papa merindukanmu. Jika papa boleh meminta, tunggu papa di sana dan kita akan berkumpul kembali." Ucapan itu terdengar seperti kata-kata sederhana, akan tetapi siapa pun yang mendengar bisa merasakan kesedihan di diri Tuan Khaleed. Bahkan Tuan Besar Benmoussa pun tidak bisa membohongi dirinya sendiri untuk mengakui bahwa hatinya sungguh terluka menyaksikan itu. Dia kemudian menatap wajah Tuan Ayyoub sejenak. Di
Buliran salju jatuh perlahan ke permukaan bumi. Warna putih itu mendominasi kota Paris saat ini. Begitu dingin, hingga menusuk ke dalam tulang. Terlebih lagi ini adalah pertama kalinya bagi Fatma merasakan itu. Dingin yang dia rasakan di kulitnya, tidak sebanding dengan perasaan yang menghujam jantungnya. Deru angin bersamaan dengan jatuhnya salju yang semakin deras membuat suasana menjadi semakin menyedihkan. Mata hari sudah beranjak pergi. Langit akan kembali menggelap. Dan di sinilah dia berada. Aroma tanah yang basah menandakan baru saja seseorang telah pergi menghadap Sang Khalik dan meninggalkan orang-orang yang dicintai. Suaminya tercinta kini berada di dalam sana membawa kenangan indah yang telah mereka ukir. Fatma berdiri tegar untuk mengucapkan selamat tinggal. Tidak butuh waktu lama, setelah kepergian Omar, seluruh keluarga memutuskan untuk melaksanakan pemakaman hari itu juga. Begitu cepat waktu berlalu. Fatma masih dengan jelas merasakan pelukan hangat s
Brug!!! Seorang pria berlari hingga tersungkur dengan lututnya. Sontak saja Dokter Farouk yang terkejut melihat kejadian itu, dengan sigap menangkap seseorang yang sedang digendong oleh pria itu."To-tolong, Dok! Tolong putraku! Anda Dokter Charles, 'kan?" ucap pria itu dengan wajahnya yang dipenuhi keringat. Pakaiannya yang lusuh menjelaskan status sosialnya yang bisa dipastikan beradsal dari kalangan bawah. Dia kemudian mengambil alih putranya yang tidak berdaya dari gendongan Dokter Farouk.Dokter Charles mengerutkan dahi dan mendekat dengan santai. "Kenapa?" jawabnya singkat."Mereka bilang Dokter Spesialis Jantung di rumah sakit ini sedang tidak berada di sini, dan aku menemukanmu di sini. Putraku butuh pertolongan Dok. Kumohon ..." pinta pria itu dengan tatapan memelas."Seharusnya Anda mencari Doktes Spesialis Anak, bukan saya, Tuan. Maaf, saya baru saja menangani operasi berat, saya masih harus melakukan hal yang lain," pungkas Dokter Charle
~Terkadang takdir terasa begitu kejam, tak peduli seberapa rapuhnya hati setelah badai yang diciptakannya menerpa. Namun, itu sudah tertulis dalam naskah Sang Khalik yang tidak mungkin berakhir sia-sia.~ *** Setelah sepekan di mana kematian Omar sudah berlalu, Fatma memutuskan untuk tetap berada di mansion milik mendiang suaminya. Dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan mengurung diri di kamar, memandangi turunnya salju yang begitu indah menempel di ranting-ranting pohon. Musim yang mungkin tidak akan pernah dia lupakan seumur hidup. Karena saat itulah dirinya kehilangan sosok pria yang paling dia cintai. Sesekali Fatma akan bergabung dengan keluarga Ahbity untuk sekedar menyapa, dan kembali lagi ke tempat di mana dia bisa merasakan ketenangan. Wanita itu menggenggam liontin berbentuk gembok yang tergantung di lehernya. Liontin yang pernah Omar berikan saat mereka berada di jembatan Les Pont des Art di masa lalu. Dia memejamkan mata, meresapi bayangan yang t
~Cinta tidak pernah salah dalam memilih kepada siapa dia akan singgah. Bagi cinta, tidak mengenal kata siapa, mengapa, kapan, dan di mana. Rasa itu hadir bagai misteri. Kapanpun dia akan datang, maka dia akan menyapa. Entah bertahan, atau pergi setelahnya. ~***Musim dingin semakin membuat situasi kota Paris terlihat sepi. Tumpukan salju yang menggunung membuat jalan-jalan ibu kota sedikit sulit untuk dilalui. Pagi-pagi sekali Dokter Farouk pergi menuju rumah sakit untuk memecahkan rasa penasarannya. Sejak terakhir kali dia bertemu dengan Dokter Charles, tidak ada sekalipun kabar yang diberikan oleh pria itu. Dokter Charles tiba-tiba saja menghilang. Dengan demikian, mau tidak mau Dokter Farouk menerima tawaran Dokter Paul untuk menggantikan posisi Dokter Charles. Bukan tanpa alasan, Selain ingin memastikan keberadaan Soraya, di samping itu Dokter Paul juga berkali-kali menghubunginya untuk mempertimbangkan tawaran itu.Begitu besar keinginan pria itu untuk men
"Ekhem, Tuan silakan pesan apa yang membuat Anda tertarik." Joseph menyerahkan buku daftar menu kepada Dokter Farouk sambil mengedipkan sebelah matanya. Bibi Halima yang melihat itu terkekeh perlahan, sementara Dokter Farouk menelan kasar ludahnya dan meremang seketika."Jossy, kami akan memanggilmu jika Dokter Farouk sudah menentukan pilihannya. Kau boleh pergi," pinta Bibi Halima yang mengerti perubahan wajah Dokter Farouk."Ah, jadi Anda adalah seorang Dokter?" Joseph mengerucutkan bibirnya ke atas bersamaan dengan kedua mata yang juga mengerling ke atas. Jari telunjuknya membentuk lengkungan yang dia topangkan di antara dagu dan pipi. "Apa Anda adalah dokter yang merawat Nona Soraya? Kalau dokternya seperti Anda, aku pun rela menjadi pasien Anda meskipun depresi seperti Soraya," godanya disertai dengan kekehan yang justru membuat Bibi Halima harus menahan napasnya sejenak. Hal itu ditanggapi oleh Dokter Farouk dengan tatapan penuh tanya. Alisnya sedikit berke
Assalamu'alaykum Warahmatullah Wabarakatuh ... Salam Sejahtera ... Dear, Sahabat Readers. Terima kasih atas kesediaan kalian mengikuti kisah FATMA BOUSSETTA ini dari awal hingga akhir. Semoga ada banyak pesan moral yang bisa kalian ambil dari kisah ini. Kisah ini sebagian besar diambil dari kisah nyata kehidupan milik mertua Author yang berasal dari Negara Maroko (Maghriby). Fatma Boussetta kini sudah berusia 87 tahun dan masih terlihat bugar, meskipun saat ini hidupnya ditunjang dengan pacemaker (sebuah alat pacu jantung yang menggunakan tenaga baterai yang ditanamkan melalui pembedahan ke dalam dada). Mohon kiranya Sahabat Readers berkenan meluangkan waktu untuk memberikan doa kepada beliau agar memiliki kesehatan serta umur yang panjang. Kisah ini sudah mendapatkan persetujuan dari beliau untuk dipublikasikan oleh Author. Semoga para Sahabat Readers menyukai kisah ini dan jangan lupa untuk terus memberikan dukungan d
"Maju satu langkah lagi, maka aku akan melenyapkan nyawa istrimu." Tuan Gamal memberikan ancaman yang serius. Ujung kayu itu sudah menyentuh perut tawanannya. Dia siap menghujamkan benda itu jika dirinya merasa terancam. Salah satu penjaga mendekati Tuan Gamal, kemudian membisikkan sesuatu. "Bagus, kau sudah menyiapkan helikopter itu." Tuan Gamal tersenyum puas, dengan satu kibasan tangan dia mengisyaratkan penjaga itu untuk berdiri tepat di belakang tubuh tawanannya. "Brengs**k!" umpat Omran. Tidak ada yang bisa dia lakukan, selain mengikuti kemauan Tuan Gamal. "Jangan banyak mengulur waktu, lepaskan cucuku sekarang juga!" ucap Tuan Besar Benmoussa. Matanya melirik ke arah wanita yang bersimbah darah terduduk dan terikat di kursi tua itu. Tuan Benmoussa tidak bisa membayangkan betapa sakit yang dirasakan cucu kesayangannya. Tapi dia bisa memastikan wanita itu masih bergerak. Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala saat ujung kayu terasa menyentuh perutnya. Se
["Bu, aku tidak bisa menemuimu, ada banyak orang-orang suruhan Keluarga Benmoussa sedang berkeliran mencari keberadaanku."] Pesan singkat diterima oleh Meryem yang berasal dari ponsel milik Sabrina. Sebenarnya Meryem ingin menyiksa Fatma secara bergantian bersama Sabrina--putri kesayangannya. Namun, sepertinya hal itu tidak memungkinkan saat ini."Ibu akan memastikan kamu mendapatkan apa yang semestinya kamu dapatkan, Sayang." Maryem kemudian mengirimkan video rekaman penyiksaan yang dia lakukan terhadap tawanannya.["Aku serahkan semuanya kepadamu, Bu. Aku menyesal tidak bisa membalaskan dendam itu dengan tanganku sendiri. Maafkan aku."]"Tenanglah, Sayang ... Sepertinya Keluarga Ahbity dan Benmoussa sudah masuk ke dalam perangkap, sebentar lagi ayahmu akan bernegosiasi dengan mereka. Ibu bisa pastikan setelah ini kita bisa hidup bebas." Meryem begitu bangga dengan pencapaiannya hari ini. Suara ringisan dan penyiksaan itu seolah membuatnya semakin bersemangat m
Tuan Khaleed segera menghubungi Tuan Ayyoub melalui sambungan telepon untuk memastikan bahwa Fatma sudah tiba di kediaman mereka. Namun, sayangnya Tuan Ayyoub justru mengatakan bahwa putrinya dan Faissal tidak dapat dihubungi, setelah tadi Fatma sempat menghubunginya dan mengatakan bahwa mereka baru saja mendarat melalui bandara yang berada di Tangier.Kegelisahan tiba-tiba saja membuat semua orang kini tidak mampu mengenyahkan pikiran buruk mereka tentang Fatma. Sabrina mungkin belum lari terlalu jauh. Tapi, tidak menutup kemungkinan dia bisa melancarkan aksinya melalui orang lain.Kepanikan semakin menyerang membabi buta di dalam benak Omran kala cuaca buruk tiba-tiba saja menyelimuti langit Paris, sehingga tidak memungkinkan bagi Omran dan kedua orang tuanya untuk segera menyusul Fatma menggunakan jet pribadi yang mereka miliki. Waktu seolah tidak berpihak pada mereka. Di kala Fatma sedang terancam, seolah langkah mereka harus berhenti tanpa bisa melakukan apa-apa s
"Apa kamu tidak sedang bercanda, Omar?" tanya Nyonya Adeline yang kini merasakan sendi-sendinya melemah sehingga dia seolah tidak lagi mampu berpijak. "Maaf, Ma ... Kami memiliki sebuah alasan menyembunyikannya yang kini alasan itu sudah tidak penting lagi." Omran menatap ke arah Sabrina yang kikuk, secepat mungkin wanita itu merubah raut wajahnya seolah terlihat bersalah, sehingga Omran yakin untuk tidak perlu membuka jati diri Sabrina yang menyamar sebagai Cassandra. "Kami benar-benar menikah sejak beberapa bulan yang lalu." Omran meneruskan ucapannya. "Ja-jadi ... Fatma mengandung janin siapa?" tanya Nyonya Adeline. "Janin si brengsek ini!" Omran menoleh kasar ke arah Dokter Farouk. "... Dia pasti sudah menjebak Fatma, karena aku yakin Fatma tidak serendah itu jika bukan karena dijebak," lanjutnya. "Benarkah itu, Dok?" tanya Soraya berusaha tegar. "Ibu sering melihat kebersamaan mereka di kantin." Bibi Halima menegaskan opini yang belum dipastikan kebe
"Wanita itu meninggalkanku," ucap Omran dengan suara yang lemah."Wanita itu meninggalkanku!" Dia mengulangi kalimat itu dengan suara yang sedikit lebih keras. Sesaat kemudian dia bangkit sambil meneriakkan kalimat yang sama, " Wanita itu meninggalkanku!" Kali ini suara Omran terdengar lebih keras lagi, bersamaan dengan kerasnya suara pecahan kaca meja rias yang baru saya dia pukul menggunakan genggaman tangannya."Aaaakh ..." Nyonya Adeline yang terkejut ikut berteriak histeris sambil memejamkan mata dengan kedua tangan mengepal menutupi wajah. Ketika matanya terbuka, dia harus kembali berteriak untuk kedua kali. Darah segar mengalir dari kepalan tangan Omran. Namun, pria itu seolah-olah tidak merasakan sakit sama sekali. Tentu, jika dibandingkan dengan luka itu, hatinya merasakan sakit yang jauh lebih besar.Tuan Khaleed refleks memeluk Nyonya Adeline yang terlihat syok."Omran! Kamu sadar apa yang baru saja kamu lakukan?" Tuan Khaleed meninggikan inton
***"Faissal, sepertinya rencana akan sedikit berubah. Aku pikir ada baiknya kita kembali ke Tangier bersama," ucap Fatma setelah membiarkan keheningan di antara mereka beberapa saat. Bukan tanpa sebab dia memutuskan ini. Dia sempat tersulut oleh sikap Sabrina sehingga harus memberikan beberapa petunjuk bagi wanita ular itu lebih cepat dari apa yang sudah dia rencanakan. Fatma yakin, Sabrina sudah bertindak dengan melibatkan Tuan Gamal dan Meryem dalam persoalan ini. Semestinya dia bisa menunda memberikan petunjuk, setidaknya sampai benar-benar siap. Namun, yang terpenting sekarang adalah berada satu langkah lebih cepat dari Sabrina dan kedua orang tuanya."Aku mengerti," jawab Faissal. Saat itu juga mereka menuju bandara. Ada beberapa itinerary yang dirubah melalui pemesanan tiket khusus yang dilakukan oleh Fatma. Sebenarnya ada cara yang lebih praktis, yakni dengan menggunakan jet pribadi milik Keluarga Besar Benmoussa, tapi sepertinya hal itu justru menjadi keputusa
"Apa? Aku berkata yang sesungguhnya, 'kan? Dengar Fatma, aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih egois dari pada kamu selama aku hidup. Jadi kamu pikir, dengan meminta perpisahan maka kamu akan bahagia?" Omran tak kuasa untuk mengungkapkan segala beban di dalam hatinya. Keberanian itu muncul begitu saja sejak dia mendengar pengakuan Fatma di hadapan kedua orang tuanya, meskipun mereka tidak mampu mencerna ucapan wanita itu.Sementara Fatma menutup kedua telinganya, Omran masih terus mencercanya dengan kenyataan yang tidak bisa terelakkan."Kamu berkhianat! Itu alasannya. Mari kita permudah ini, Omran! Hiduplah dengan normal bersama wanita ular itu.""... Kamu tahu kesalahanmu, kamu tahu siapa dia, dan kamu tahu semua ini tidak benar, lalu kamu dengan mudah melakukannya. Kamu tidak pantas untuk menerima cintaku!" Fatma menatap Omran dengan tatapan nyalang, seolah membuat lidah pria itu terkunci. Dia tahu, kesalahannya terhadap sang istri sulit untuk dimaafk
Wajah Sabrina memerah dengan rasa panik yang menguasai dirinya. Wanita itu merasa kecolongan dengan kenyataan yang baru saja dia dengar. Pantas saja sikap Omran terlihat berbeda ketika bersinggungan dengan Fatma. Rupanya mereka sudah merahasiakan pernikahan itu. Namun, hal yang masih belum dimengerti oleh Sabrina adalah bagaimana bisa Omran membiarkan istrinya yang sedang hamil pergi meninggalkan Paris. Tidak diragukan lagi bahwa Omran mengetahui kondisi Fatma yang sedang hamil. Akan tetapi, tampaknya pria itu tidak terlihat bahagia. Ada begitu banyak spekulasi di dalam kepala Sabrina, salah satunya adalah dugaan bahwa Omran tidak tahu bahwa janin yang dikandung Fatma adalah darah dagingnya sendiri. Meskipun selalu memandang rendah Fatma, hati kecil Sabrina tidak bisa mengelak bahwa Fatma tidak mungkin hamil dari pria lain selain dari suami sah nya. Kesetiaan wanita itu dalam ikatan pernikahan tidak bisa diragukan. Dugaan itulah yang paling masuk akal di antara dugaan-