Fatma enggan beranjak dari tempat itu. Ini adalah saat-saat terakhir baginya dapat melihat wajah sang suami. "Yah, izinkan aku tetap di sini," pintanya kepada Tuan Ayyoub yang sudah mendekat. Tuan Ayyoub yang mengerti dengan perasaan sang putri hanya mengangguk. Di seberangnya, Tuan Khaleed medekati jenzah Omar dengan tegar. Penutup wajah itu kembali dibuka.
"Jagoan Papa!" Pria itu tersenyum. "Kamu benar-benar membanggakan, Nak. Bahkan ketika hidupmu sudah berakhir, kamu masih memberi manfaat untuk saudaramu sendiri. Jika kamu bertemu Tuhan nanti, katakan padaNya papa merindukanmu. Jika papa boleh meminta, tunggu papa di sana dan kita akan berkumpul kembali." Ucapan itu terdengar seperti kata-kata sederhana, akan tetapi siapa pun yang mendengar bisa merasakan kesedihan di diri Tuan Khaleed. Bahkan Tuan Besar Benmoussa pun tidak bisa membohongi dirinya sendiri untuk mengakui bahwa hatinya sungguh terluka menyaksikan itu. Dia kemudian menatap wajah Tuan Ayyoub sejenak. Di
Buliran salju jatuh perlahan ke permukaan bumi. Warna putih itu mendominasi kota Paris saat ini. Begitu dingin, hingga menusuk ke dalam tulang. Terlebih lagi ini adalah pertama kalinya bagi Fatma merasakan itu. Dingin yang dia rasakan di kulitnya, tidak sebanding dengan perasaan yang menghujam jantungnya. Deru angin bersamaan dengan jatuhnya salju yang semakin deras membuat suasana menjadi semakin menyedihkan. Mata hari sudah beranjak pergi. Langit akan kembali menggelap. Dan di sinilah dia berada. Aroma tanah yang basah menandakan baru saja seseorang telah pergi menghadap Sang Khalik dan meninggalkan orang-orang yang dicintai. Suaminya tercinta kini berada di dalam sana membawa kenangan indah yang telah mereka ukir. Fatma berdiri tegar untuk mengucapkan selamat tinggal. Tidak butuh waktu lama, setelah kepergian Omar, seluruh keluarga memutuskan untuk melaksanakan pemakaman hari itu juga. Begitu cepat waktu berlalu. Fatma masih dengan jelas merasakan pelukan hangat s
Brug!!! Seorang pria berlari hingga tersungkur dengan lututnya. Sontak saja Dokter Farouk yang terkejut melihat kejadian itu, dengan sigap menangkap seseorang yang sedang digendong oleh pria itu."To-tolong, Dok! Tolong putraku! Anda Dokter Charles, 'kan?" ucap pria itu dengan wajahnya yang dipenuhi keringat. Pakaiannya yang lusuh menjelaskan status sosialnya yang bisa dipastikan beradsal dari kalangan bawah. Dia kemudian mengambil alih putranya yang tidak berdaya dari gendongan Dokter Farouk.Dokter Charles mengerutkan dahi dan mendekat dengan santai. "Kenapa?" jawabnya singkat."Mereka bilang Dokter Spesialis Jantung di rumah sakit ini sedang tidak berada di sini, dan aku menemukanmu di sini. Putraku butuh pertolongan Dok. Kumohon ..." pinta pria itu dengan tatapan memelas."Seharusnya Anda mencari Doktes Spesialis Anak, bukan saya, Tuan. Maaf, saya baru saja menangani operasi berat, saya masih harus melakukan hal yang lain," pungkas Dokter Charle
~Terkadang takdir terasa begitu kejam, tak peduli seberapa rapuhnya hati setelah badai yang diciptakannya menerpa. Namun, itu sudah tertulis dalam naskah Sang Khalik yang tidak mungkin berakhir sia-sia.~ *** Setelah sepekan di mana kematian Omar sudah berlalu, Fatma memutuskan untuk tetap berada di mansion milik mendiang suaminya. Dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan mengurung diri di kamar, memandangi turunnya salju yang begitu indah menempel di ranting-ranting pohon. Musim yang mungkin tidak akan pernah dia lupakan seumur hidup. Karena saat itulah dirinya kehilangan sosok pria yang paling dia cintai. Sesekali Fatma akan bergabung dengan keluarga Ahbity untuk sekedar menyapa, dan kembali lagi ke tempat di mana dia bisa merasakan ketenangan. Wanita itu menggenggam liontin berbentuk gembok yang tergantung di lehernya. Liontin yang pernah Omar berikan saat mereka berada di jembatan Les Pont des Art di masa lalu. Dia memejamkan mata, meresapi bayangan yang t
~Cinta tidak pernah salah dalam memilih kepada siapa dia akan singgah. Bagi cinta, tidak mengenal kata siapa, mengapa, kapan, dan di mana. Rasa itu hadir bagai misteri. Kapanpun dia akan datang, maka dia akan menyapa. Entah bertahan, atau pergi setelahnya. ~***Musim dingin semakin membuat situasi kota Paris terlihat sepi. Tumpukan salju yang menggunung membuat jalan-jalan ibu kota sedikit sulit untuk dilalui. Pagi-pagi sekali Dokter Farouk pergi menuju rumah sakit untuk memecahkan rasa penasarannya. Sejak terakhir kali dia bertemu dengan Dokter Charles, tidak ada sekalipun kabar yang diberikan oleh pria itu. Dokter Charles tiba-tiba saja menghilang. Dengan demikian, mau tidak mau Dokter Farouk menerima tawaran Dokter Paul untuk menggantikan posisi Dokter Charles. Bukan tanpa alasan, Selain ingin memastikan keberadaan Soraya, di samping itu Dokter Paul juga berkali-kali menghubunginya untuk mempertimbangkan tawaran itu.Begitu besar keinginan pria itu untuk men
"Ekhem, Tuan silakan pesan apa yang membuat Anda tertarik." Joseph menyerahkan buku daftar menu kepada Dokter Farouk sambil mengedipkan sebelah matanya. Bibi Halima yang melihat itu terkekeh perlahan, sementara Dokter Farouk menelan kasar ludahnya dan meremang seketika."Jossy, kami akan memanggilmu jika Dokter Farouk sudah menentukan pilihannya. Kau boleh pergi," pinta Bibi Halima yang mengerti perubahan wajah Dokter Farouk."Ah, jadi Anda adalah seorang Dokter?" Joseph mengerucutkan bibirnya ke atas bersamaan dengan kedua mata yang juga mengerling ke atas. Jari telunjuknya membentuk lengkungan yang dia topangkan di antara dagu dan pipi. "Apa Anda adalah dokter yang merawat Nona Soraya? Kalau dokternya seperti Anda, aku pun rela menjadi pasien Anda meskipun depresi seperti Soraya," godanya disertai dengan kekehan yang justru membuat Bibi Halima harus menahan napasnya sejenak. Hal itu ditanggapi oleh Dokter Farouk dengan tatapan penuh tanya. Alisnya sedikit berke
Musim dingin adalah salah satu moment indah yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang. Tidak hanya masyarakat lokal, melainkan pelancong dari luar pun berdatangan untuk menghabiskan liburan natal mereka. Salah satu hal yang menarik di kota Paris yakni Chrismas Illumination, di mana kota itu terlihat gemerlap dengan ribuan lampu dan api pijar menghiasi jalan-jalan bersalju. Seharusnya ini adalah moment yang dapat mengukir sejarah kehidupan Fatma bersama Omar. Ada banyak mimpi-mimpi yang ingin diraih sebelum tragedi itu merampas kebahagiaan yang telah mereka tata rapi di dalam diary masa depan.Tanah pemakaman terlihat putih bersalju di beberapa bagian. Tidak ada rerumputan yang membalut peristirahatan terakhir seorang yang meninggalkan luka menganga di hati setiap orang yang ditinggalkannya. Di dalam sana, Omar telah mendapatkan tempat terbaik. Pria yang memiliki wajah serupa dengannya saat ini berdiri tepat di hadapan pembaringan abadi itu. Omran mendongak ke arah langit, membia
Beberapa bulan telah berlalu. Seperti yang diinginkan oleh Tuan Farouk, Soraya bisa tetap menjalani perawatan di rumah sakit di mana dia mengabdi. Seiring berjalannya waktu, Soraya menunjukkan kemajuan yang cukup memuaskan. Meski dia masih belum sepenuhnya bersikap normal, akan tetapi wanita itu sudah bisa berinteraksi dengan setiap orang secara normal. Di akan meminta makan ketika lapar, menuju ke toilet jika membutuhkan itu. Bahkan Soraya merasa risih jika tubuhnya terasa kotor. Dia sudah bisa berinisiatif untuk membersihkan dirinya sendiri. Kehadiran Dokter Farouk rupanya memberikan efek positif bagi Soraya. Bagi Dokter Farouk sendiri, momen merawat wanita itu justru memberikan rasa nyaman tersendiri yang sebelumnya tidak dia sadari. Sementara Bibi Halima sudah bisa kembali bekerja paruh waktu di kediaman Fatma. *** Berbulan-bulan setelah kepergian Omar, hingga tiba musim semi, selama itu juga jarang terjadi interaksi di antara Omran dan Fatma. Entah sebesar
Fatma menyentuh sisi telinga yang ditutupi oleh rambutnya yang kini semakin panjang. Sesaat dia memejamkan mata dengan menunduk, sebelum beberapa saat kemudian matanya terbuka lebar seiring senyum miring yang terbit di wajah. "Waktunya hampir tiba," ucap Fatma yang kemudian diangguki oleh pria itu.***"Mama tidak mau tahu, kamu harus menikahi Fatma!" Tiba-tiba saja Nyonya Adeline mengucapkan kata-kata itu setelah pintu ruangan ditutupnya dari dalam.Omran yang sedang berada di ruang CEO, tempat di mana dulu menjadi ruang kerja mendiang saudara kembarnya, seketika mengerutkan alis. Kedatangan Nyonya Adeline secara tiba-tiba membuatnya merasa aneh. Terlebih lagi ketika kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut sang mama."Duduklah, Ma. Ceritakan apa masalah Mama?" pinta Omran.Dengan wajah gelisah, Nyonya Adeline menyadarkan tubuhnya di sofa. "Mama ingin kamu menikahi Fatma sebelum pria lain merebutnya dari kita."Omran kembali mengernyit.