Suasana di dalam ruangan seolah tidak berpenghuni. Semua orang yang berada di sana membisu dan disibukkan oleh pikiran mereka masing-masing. Mereka tidak pernah menyangka jika selama bertahun-tahun telah tertipu dengan kepolosan Sabrina. Namun, orang yang lebih terpukul di antara mereka adalah Paman Abbas. Tubuhnya luruh di lantai dengan perasaan yang sulit digambarkan. Jika memang apa yang ditunjukkan Omar adalah sebuah kebenaran.
Maka, selama ini bukankah dia telah bersusah-susah merawat dan menyayangi anak dari selingkuhan mantan istrinya. Padahal, sebelum memutuskan untuk tinggal di Paris, Sabrina selalu diperlakukan layaknya seorang putri raja di kediaman keluarga Benmoussa. Bahkan, semua keinginannya dipenuhi meskipun sering kali wanita itu meminta hal-hal yang tidak masuk akal.
Tuan Besar Benmoussa menghembuskan napas kasar. Jika boleh jujur, dia ingin sekali menyeret Meryem dan Tuan Gamal beserta putri mereka Sabrina sekarang juga. Bukan hanya menipu seluruh
"Ini semua karena kebodohan yang kamu turunkan kepada putrimu itu! Bertahun-tahun aku berusaha agar tidak ada yang bisa membongkar kedok kita, tapi semuanya sia-sia hanya dalam waktu singkat!" Meryem meninggikan intonasi suaranya kepada Tuan Gamal yang saat ini sedang berbenah untuk pelarian yang akan mereka lakukan. Ucapan pedas dari mulut wanita itu membuat Tuan Gamal yang sejak tadi dilanda kepanikan, justru membuatnya merasa semakin kesal. Terlebih lagi, Meryem tanpa beban mengucapakan kata-kata itu kepadanya yang sudah berkorban begitu banyak. "Dengar Meryem! Aku sudah berusaha semampuku. Kamu hanya tidak tahu saja gara-gara anak sialannya si Ayyoub itu, aku hampir membusuk di ruang bawah tanah dan menerima penyiksaan dari si Breng**k Tuan Ridwan." Sempat terlintas penyesalan di mata Tuan Gamal. Dia berpikir, seharusnya dia tidak perlu membesarkan Fatma. Andai saja sejak dulu wanita itu dilenyapkan, mungkin kesialan yang mereka alami saat ini tidak akan pernah terjadi.
Dear Readers, masih jadi pembaca setia Kisah Cinta Fatma Boussetta, kan? Author cuma mau pesanin ke kalian semua. Karena karya ini sempat direvisi beberapa kali, bagi pembaca setia yang sudah ngikutin kisah ini dari awal, yuk intip kembali di Chapter 1 sebelum lanjut baca chapter di bawah ini, biar gak gagal paham. Oooops ... Maksudnya, ada sedikit tambahan informasi di sana ya Readers. Jangan lupa untuk tetap memberikan VOTE serta KOMENTAR POSITIF beserta BINTANG 5 supaya Author tambah semangat melanjutkan cerita keasayangan kalian. Author juga mau ngingatin, selain mengangkat real story Fatma Boussetta ini, masih ada karya Author dengan judul yang lain yang nggak kalah menarik. Happy reading ^_^
Atas saran Tuan Khaleed, sebelum ke rumah sakit keempat pria itu memilih untuk singgah ke sebuah restaurant khas Timur Tengah yang berada tidak jauh dari bandara. Mengingat sejak berada di Tangier, tak satupun dari mereka menyantap makanan untuk mengganjal perut. Dengan berat hati, Omar dan Tuan Ayyoub menyetujui saran Tuan Khaleed. Meskipun rasa rindu dan khawatir hadir dalam waktu yang bersamaan, membuat mereka ingin segera bertemu Fatma. Namun, menundanya sejenak mungkin bukanlah masalah besar. Toh setelah ini mereka akan langsung ke sana. *** Di Rumah Sakit. Tidak seorang pun mampu menyelami pikiran Omran saat ini. Pria yang berhati dingin seperti bongkahan dari gunung es itu selalu memberi kesan angkuh di hadapan semua orang. Wajah tampannya menyiratkan bahwa dia bukanlah orang sembarangan yang mudah menjalin keseriusan dengan seorang wanita. Selama ini Omran tidak pernah diketahui memiliki kekasih, kecuali wanita-wanita yang menemaninya untuk sekedar me
Keempat pria yang baru saja tiba di rumah sakit itu terlihat bingung menyaksikan kepanikan yang nampak jelas di wajah setiap orang yang berada di lorong bangsal. Hal itu membuat Omar mencoba memahami keadaan. Seketika rasa panik itu menularinya hingga membuat Omar merasa tidak nyaman. Dia yakin sesuatu telah terjadi dengan Fatma di dalam sana. Saat itu juga Omar berlari menghampiri ruangan tempat di mana Fatma sedang dirawat. "Bibi Halima!" ucapnya dengan suara bergetar. "Tu-tuan ... kau datang?" Melihat penampilan Omar yang berbeda dari pria yang sebelumnya datang, Bibi Halima semakin yakin jika yang datang tadi adalah saudara kembar Omar--Omran. Namun, ia tidak ingin membahas hal itu di hadapan Omar. Diam adalah cara yang terbaik, karena semalam Soraya menelponnya dan mengatakan bahwa Omar dan Omran sedang tidak akur. "Apa yang terjadi?" Mata Omar memindai ruangan yang tertutup. Dokter meminta tak seorang pun masuk untuk saat ini, setidaknya selama be
Fatma menatap wajah pria yang sedang berdiri menunduk tersenyum kepadanya. Dia sempat melihat wajah itu ketika dirinya masih berada di alam mimpi, seolah-olah terlihat begitu familiar. Segala macam tatapan dan pikiran terpaku ke arah Omar. Fatma mencari sisi lain dari diri pria itu. Sisi lain yang Fatma sendiri pun tidak mengetahuinya. Yang Fatma tahu, Omar begitu mencintainya. Pria itu seakan-akan menjadi satu-satunya alasan mengapa Fatma masih berada di dunia ini. Cinta itulah yang membuat Fatma yakin jika Omar adalah orang yang tepat untuk dijadikan sebagai pelindung. "Aku merindukanmu," ucap Omar dengan rona wajah yang bergitu bahagia. Kata-kata itu kembali membuat Fatma melihat sebuah adegan yang sempat ia saksikan di dalam mimpinya. Dalam mimpi panjangnya beberapa waktu yang lalu, ia merasa seseorang telah menggenggam tangannya dengan penuh kerinduan yang bahkan dapat ia rasakan hangat meresap hingga ke dalam hati. Fatma kembali tertegun memandangi wajah kekasihnya yan
"Kamu pergi begitu saja. Jangan membuatku memberikan sebuah tuduhan kepadamu, Omran," Di tengah koridor rumah sakit, Soraya menghentikan langkah Omar yang sejak tadi dia tunggu. Soraya sempat terkesiap dengan reaksi yang ditampakkan oleh pria bermata dua warna itu ketika dirinya membahas tentang kondisi Fatma. "Aku hanya ingin memastikan jika calon istri saudara kembarku baik-baik saja," jawab Omran tanpa mau membalas tatapan yang dilayangkan Soraya. "Lalu?" tanya wanita itu. "Dia baik-baik saja, jawab Omran singkat. Soraya tidak percaya begitu saja dengan ucapan Omran. Matanya menatap nyalang seakan-akan sedang mengintimidasi pria tampan yang terlihat bersikap kikuk itu. "Tapi kamu yang terlihat tidak baik-baik saja." "..." "Kamu bisa mengelabui orang lain, tapi jangan pikir aku bisa dengan mudah mempercayaimu, Omran. Kita saling mengenal cukup lama, jika kamu lupa!" Soraya kembali menekan Omran. *** Di dalam rua
Kehadiran Tuan Ayyoub yang tiba-tiba mungkin cukup mengejutkan, akan tetapi ucapan Bibi Halima justru jauh lebih mengejutkan. Tubuh Fatma belum mampu bereaksi dengan baik. Andai saja dirinya dalam keadaan sehat, mungkin Fatma akan berteriak histeris saat ini juga. Karena apapun yang dia dengar saat ini tidak lebih seperti sebuah omong kosong. Tuan Ayyoub dan Omar sama-sama menunjukkan rasa khawatir terhadap reaksi yang akan ditunjukkan Fatma. Ucapan Bibi Halima tentu saja membuat mereka merutuki kebodohan yang sudah mereka lakukan. Setidaknya kenyataan itu bisa diungkap setelah Fatma benar-benar dalam keadaan pulih. Tapi, semuanya sudah terlanjur. Fatma tersenyum kecut menoleh ke arah Bibi Halima. Dia kemudian menatap Tuan Ayyoub dan Omar secara bergantian dengan kerlingan matanya yang terlihat sayu. "Hm ... ternyata mimpiku masih berlanjut," ucap Fatma sambil menutupkan kedua matanya. Ketiga manusia yang berada di dalam kamar dan menyaksikan kejadian itu sama-sama t
Di tempat yang berbeda, Bibi Halima melebarkan kedua matanya setelah Soraya menguak sebuah fakta baru. "Dia sangat beruntung, Bu. Begitu banyak pria yang menginginkan Fatma, termasuk Omran dan Omar." Wajah Soraya murung, bukan karena dia merasa iri terhadap Fatma. Melainkan karena tiba-tiba saja bayangan Dokter Farouk kembali mengganggu pikirannya. Soraya sudah berusaha sebisa mungkin untuk membebaskan sosok itu dari jeratan pikirannya. Namun, ternyata usahanya tidak semudah itu. Pria yang dia cintai itu juga memiliki perasaan spesial terhadap Fatma. Dan karena alasan itulah Soraya pernah melakukan kebodohan di masa lalu, dan kini dia sungguh menyesal, bahkan tidak mampu menampakkan wajahnya di hadapan Fatma lagi. "Pantas saja tadi ibu melihat gelagat aneh dari Omran. Dan yang lebih aneh lagi setelah dia pergi, Fatma menemukan kesadarannya. Aneh, bukan?" balas Bibi Halima. Soraya terdiam sejenak. Sejak Omar bersikap aneh, dia sudah menyangka ada sesuatu
Assalamu'alaykum Warahmatullah Wabarakatuh ... Salam Sejahtera ... Dear, Sahabat Readers. Terima kasih atas kesediaan kalian mengikuti kisah FATMA BOUSSETTA ini dari awal hingga akhir. Semoga ada banyak pesan moral yang bisa kalian ambil dari kisah ini. Kisah ini sebagian besar diambil dari kisah nyata kehidupan milik mertua Author yang berasal dari Negara Maroko (Maghriby). Fatma Boussetta kini sudah berusia 87 tahun dan masih terlihat bugar, meskipun saat ini hidupnya ditunjang dengan pacemaker (sebuah alat pacu jantung yang menggunakan tenaga baterai yang ditanamkan melalui pembedahan ke dalam dada). Mohon kiranya Sahabat Readers berkenan meluangkan waktu untuk memberikan doa kepada beliau agar memiliki kesehatan serta umur yang panjang. Kisah ini sudah mendapatkan persetujuan dari beliau untuk dipublikasikan oleh Author. Semoga para Sahabat Readers menyukai kisah ini dan jangan lupa untuk terus memberikan dukungan d
"Maju satu langkah lagi, maka aku akan melenyapkan nyawa istrimu." Tuan Gamal memberikan ancaman yang serius. Ujung kayu itu sudah menyentuh perut tawanannya. Dia siap menghujamkan benda itu jika dirinya merasa terancam. Salah satu penjaga mendekati Tuan Gamal, kemudian membisikkan sesuatu. "Bagus, kau sudah menyiapkan helikopter itu." Tuan Gamal tersenyum puas, dengan satu kibasan tangan dia mengisyaratkan penjaga itu untuk berdiri tepat di belakang tubuh tawanannya. "Brengs**k!" umpat Omran. Tidak ada yang bisa dia lakukan, selain mengikuti kemauan Tuan Gamal. "Jangan banyak mengulur waktu, lepaskan cucuku sekarang juga!" ucap Tuan Besar Benmoussa. Matanya melirik ke arah wanita yang bersimbah darah terduduk dan terikat di kursi tua itu. Tuan Benmoussa tidak bisa membayangkan betapa sakit yang dirasakan cucu kesayangannya. Tapi dia bisa memastikan wanita itu masih bergerak. Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala saat ujung kayu terasa menyentuh perutnya. Se
["Bu, aku tidak bisa menemuimu, ada banyak orang-orang suruhan Keluarga Benmoussa sedang berkeliran mencari keberadaanku."] Pesan singkat diterima oleh Meryem yang berasal dari ponsel milik Sabrina. Sebenarnya Meryem ingin menyiksa Fatma secara bergantian bersama Sabrina--putri kesayangannya. Namun, sepertinya hal itu tidak memungkinkan saat ini."Ibu akan memastikan kamu mendapatkan apa yang semestinya kamu dapatkan, Sayang." Maryem kemudian mengirimkan video rekaman penyiksaan yang dia lakukan terhadap tawanannya.["Aku serahkan semuanya kepadamu, Bu. Aku menyesal tidak bisa membalaskan dendam itu dengan tanganku sendiri. Maafkan aku."]"Tenanglah, Sayang ... Sepertinya Keluarga Ahbity dan Benmoussa sudah masuk ke dalam perangkap, sebentar lagi ayahmu akan bernegosiasi dengan mereka. Ibu bisa pastikan setelah ini kita bisa hidup bebas." Meryem begitu bangga dengan pencapaiannya hari ini. Suara ringisan dan penyiksaan itu seolah membuatnya semakin bersemangat m
Tuan Khaleed segera menghubungi Tuan Ayyoub melalui sambungan telepon untuk memastikan bahwa Fatma sudah tiba di kediaman mereka. Namun, sayangnya Tuan Ayyoub justru mengatakan bahwa putrinya dan Faissal tidak dapat dihubungi, setelah tadi Fatma sempat menghubunginya dan mengatakan bahwa mereka baru saja mendarat melalui bandara yang berada di Tangier.Kegelisahan tiba-tiba saja membuat semua orang kini tidak mampu mengenyahkan pikiran buruk mereka tentang Fatma. Sabrina mungkin belum lari terlalu jauh. Tapi, tidak menutup kemungkinan dia bisa melancarkan aksinya melalui orang lain.Kepanikan semakin menyerang membabi buta di dalam benak Omran kala cuaca buruk tiba-tiba saja menyelimuti langit Paris, sehingga tidak memungkinkan bagi Omran dan kedua orang tuanya untuk segera menyusul Fatma menggunakan jet pribadi yang mereka miliki. Waktu seolah tidak berpihak pada mereka. Di kala Fatma sedang terancam, seolah langkah mereka harus berhenti tanpa bisa melakukan apa-apa s
"Apa kamu tidak sedang bercanda, Omar?" tanya Nyonya Adeline yang kini merasakan sendi-sendinya melemah sehingga dia seolah tidak lagi mampu berpijak. "Maaf, Ma ... Kami memiliki sebuah alasan menyembunyikannya yang kini alasan itu sudah tidak penting lagi." Omran menatap ke arah Sabrina yang kikuk, secepat mungkin wanita itu merubah raut wajahnya seolah terlihat bersalah, sehingga Omran yakin untuk tidak perlu membuka jati diri Sabrina yang menyamar sebagai Cassandra. "Kami benar-benar menikah sejak beberapa bulan yang lalu." Omran meneruskan ucapannya. "Ja-jadi ... Fatma mengandung janin siapa?" tanya Nyonya Adeline. "Janin si brengsek ini!" Omran menoleh kasar ke arah Dokter Farouk. "... Dia pasti sudah menjebak Fatma, karena aku yakin Fatma tidak serendah itu jika bukan karena dijebak," lanjutnya. "Benarkah itu, Dok?" tanya Soraya berusaha tegar. "Ibu sering melihat kebersamaan mereka di kantin." Bibi Halima menegaskan opini yang belum dipastikan kebe
"Wanita itu meninggalkanku," ucap Omran dengan suara yang lemah."Wanita itu meninggalkanku!" Dia mengulangi kalimat itu dengan suara yang sedikit lebih keras. Sesaat kemudian dia bangkit sambil meneriakkan kalimat yang sama, " Wanita itu meninggalkanku!" Kali ini suara Omran terdengar lebih keras lagi, bersamaan dengan kerasnya suara pecahan kaca meja rias yang baru saya dia pukul menggunakan genggaman tangannya."Aaaakh ..." Nyonya Adeline yang terkejut ikut berteriak histeris sambil memejamkan mata dengan kedua tangan mengepal menutupi wajah. Ketika matanya terbuka, dia harus kembali berteriak untuk kedua kali. Darah segar mengalir dari kepalan tangan Omran. Namun, pria itu seolah-olah tidak merasakan sakit sama sekali. Tentu, jika dibandingkan dengan luka itu, hatinya merasakan sakit yang jauh lebih besar.Tuan Khaleed refleks memeluk Nyonya Adeline yang terlihat syok."Omran! Kamu sadar apa yang baru saja kamu lakukan?" Tuan Khaleed meninggikan inton
***"Faissal, sepertinya rencana akan sedikit berubah. Aku pikir ada baiknya kita kembali ke Tangier bersama," ucap Fatma setelah membiarkan keheningan di antara mereka beberapa saat. Bukan tanpa sebab dia memutuskan ini. Dia sempat tersulut oleh sikap Sabrina sehingga harus memberikan beberapa petunjuk bagi wanita ular itu lebih cepat dari apa yang sudah dia rencanakan. Fatma yakin, Sabrina sudah bertindak dengan melibatkan Tuan Gamal dan Meryem dalam persoalan ini. Semestinya dia bisa menunda memberikan petunjuk, setidaknya sampai benar-benar siap. Namun, yang terpenting sekarang adalah berada satu langkah lebih cepat dari Sabrina dan kedua orang tuanya."Aku mengerti," jawab Faissal. Saat itu juga mereka menuju bandara. Ada beberapa itinerary yang dirubah melalui pemesanan tiket khusus yang dilakukan oleh Fatma. Sebenarnya ada cara yang lebih praktis, yakni dengan menggunakan jet pribadi milik Keluarga Besar Benmoussa, tapi sepertinya hal itu justru menjadi keputusa
"Apa? Aku berkata yang sesungguhnya, 'kan? Dengar Fatma, aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih egois dari pada kamu selama aku hidup. Jadi kamu pikir, dengan meminta perpisahan maka kamu akan bahagia?" Omran tak kuasa untuk mengungkapkan segala beban di dalam hatinya. Keberanian itu muncul begitu saja sejak dia mendengar pengakuan Fatma di hadapan kedua orang tuanya, meskipun mereka tidak mampu mencerna ucapan wanita itu.Sementara Fatma menutup kedua telinganya, Omran masih terus mencercanya dengan kenyataan yang tidak bisa terelakkan."Kamu berkhianat! Itu alasannya. Mari kita permudah ini, Omran! Hiduplah dengan normal bersama wanita ular itu.""... Kamu tahu kesalahanmu, kamu tahu siapa dia, dan kamu tahu semua ini tidak benar, lalu kamu dengan mudah melakukannya. Kamu tidak pantas untuk menerima cintaku!" Fatma menatap Omran dengan tatapan nyalang, seolah membuat lidah pria itu terkunci. Dia tahu, kesalahannya terhadap sang istri sulit untuk dimaafk
Wajah Sabrina memerah dengan rasa panik yang menguasai dirinya. Wanita itu merasa kecolongan dengan kenyataan yang baru saja dia dengar. Pantas saja sikap Omran terlihat berbeda ketika bersinggungan dengan Fatma. Rupanya mereka sudah merahasiakan pernikahan itu. Namun, hal yang masih belum dimengerti oleh Sabrina adalah bagaimana bisa Omran membiarkan istrinya yang sedang hamil pergi meninggalkan Paris. Tidak diragukan lagi bahwa Omran mengetahui kondisi Fatma yang sedang hamil. Akan tetapi, tampaknya pria itu tidak terlihat bahagia. Ada begitu banyak spekulasi di dalam kepala Sabrina, salah satunya adalah dugaan bahwa Omran tidak tahu bahwa janin yang dikandung Fatma adalah darah dagingnya sendiri. Meskipun selalu memandang rendah Fatma, hati kecil Sabrina tidak bisa mengelak bahwa Fatma tidak mungkin hamil dari pria lain selain dari suami sah nya. Kesetiaan wanita itu dalam ikatan pernikahan tidak bisa diragukan. Dugaan itulah yang paling masuk akal di antara dugaan-