Keempat pria yang baru saja tiba di rumah sakit itu terlihat bingung menyaksikan kepanikan yang nampak jelas di wajah setiap orang yang berada di lorong bangsal. Hal itu membuat Omar mencoba memahami keadaan. Seketika rasa panik itu menularinya hingga membuat Omar merasa tidak nyaman. Dia yakin sesuatu telah terjadi dengan Fatma di dalam sana. Saat itu juga Omar berlari menghampiri ruangan tempat di mana Fatma sedang dirawat.
"Bibi Halima!" ucapnya dengan suara bergetar.
"Tu-tuan ... kau datang?" Melihat penampilan Omar yang berbeda dari pria yang sebelumnya datang, Bibi Halima semakin yakin jika yang datang tadi adalah saudara kembar Omar--Omran. Namun, ia tidak ingin membahas hal itu di hadapan Omar. Diam adalah cara yang terbaik, karena semalam Soraya menelponnya dan mengatakan bahwa Omar dan Omran sedang tidak akur.
"Apa yang terjadi?" Mata Omar memindai ruangan yang tertutup. Dokter meminta tak seorang pun masuk untuk saat ini, setidaknya selama be
Fatma menatap wajah pria yang sedang berdiri menunduk tersenyum kepadanya. Dia sempat melihat wajah itu ketika dirinya masih berada di alam mimpi, seolah-olah terlihat begitu familiar. Segala macam tatapan dan pikiran terpaku ke arah Omar. Fatma mencari sisi lain dari diri pria itu. Sisi lain yang Fatma sendiri pun tidak mengetahuinya. Yang Fatma tahu, Omar begitu mencintainya. Pria itu seakan-akan menjadi satu-satunya alasan mengapa Fatma masih berada di dunia ini. Cinta itulah yang membuat Fatma yakin jika Omar adalah orang yang tepat untuk dijadikan sebagai pelindung. "Aku merindukanmu," ucap Omar dengan rona wajah yang bergitu bahagia. Kata-kata itu kembali membuat Fatma melihat sebuah adegan yang sempat ia saksikan di dalam mimpinya. Dalam mimpi panjangnya beberapa waktu yang lalu, ia merasa seseorang telah menggenggam tangannya dengan penuh kerinduan yang bahkan dapat ia rasakan hangat meresap hingga ke dalam hati. Fatma kembali tertegun memandangi wajah kekasihnya yan
"Kamu pergi begitu saja. Jangan membuatku memberikan sebuah tuduhan kepadamu, Omran," Di tengah koridor rumah sakit, Soraya menghentikan langkah Omar yang sejak tadi dia tunggu. Soraya sempat terkesiap dengan reaksi yang ditampakkan oleh pria bermata dua warna itu ketika dirinya membahas tentang kondisi Fatma. "Aku hanya ingin memastikan jika calon istri saudara kembarku baik-baik saja," jawab Omran tanpa mau membalas tatapan yang dilayangkan Soraya. "Lalu?" tanya wanita itu. "Dia baik-baik saja, jawab Omran singkat. Soraya tidak percaya begitu saja dengan ucapan Omran. Matanya menatap nyalang seakan-akan sedang mengintimidasi pria tampan yang terlihat bersikap kikuk itu. "Tapi kamu yang terlihat tidak baik-baik saja." "..." "Kamu bisa mengelabui orang lain, tapi jangan pikir aku bisa dengan mudah mempercayaimu, Omran. Kita saling mengenal cukup lama, jika kamu lupa!" Soraya kembali menekan Omran. *** Di dalam rua
Kehadiran Tuan Ayyoub yang tiba-tiba mungkin cukup mengejutkan, akan tetapi ucapan Bibi Halima justru jauh lebih mengejutkan. Tubuh Fatma belum mampu bereaksi dengan baik. Andai saja dirinya dalam keadaan sehat, mungkin Fatma akan berteriak histeris saat ini juga. Karena apapun yang dia dengar saat ini tidak lebih seperti sebuah omong kosong. Tuan Ayyoub dan Omar sama-sama menunjukkan rasa khawatir terhadap reaksi yang akan ditunjukkan Fatma. Ucapan Bibi Halima tentu saja membuat mereka merutuki kebodohan yang sudah mereka lakukan. Setidaknya kenyataan itu bisa diungkap setelah Fatma benar-benar dalam keadaan pulih. Tapi, semuanya sudah terlanjur. Fatma tersenyum kecut menoleh ke arah Bibi Halima. Dia kemudian menatap Tuan Ayyoub dan Omar secara bergantian dengan kerlingan matanya yang terlihat sayu. "Hm ... ternyata mimpiku masih berlanjut," ucap Fatma sambil menutupkan kedua matanya. Ketiga manusia yang berada di dalam kamar dan menyaksikan kejadian itu sama-sama t
Di tempat yang berbeda, Bibi Halima melebarkan kedua matanya setelah Soraya menguak sebuah fakta baru. "Dia sangat beruntung, Bu. Begitu banyak pria yang menginginkan Fatma, termasuk Omran dan Omar." Wajah Soraya murung, bukan karena dia merasa iri terhadap Fatma. Melainkan karena tiba-tiba saja bayangan Dokter Farouk kembali mengganggu pikirannya. Soraya sudah berusaha sebisa mungkin untuk membebaskan sosok itu dari jeratan pikirannya. Namun, ternyata usahanya tidak semudah itu. Pria yang dia cintai itu juga memiliki perasaan spesial terhadap Fatma. Dan karena alasan itulah Soraya pernah melakukan kebodohan di masa lalu, dan kini dia sungguh menyesal, bahkan tidak mampu menampakkan wajahnya di hadapan Fatma lagi. "Pantas saja tadi ibu melihat gelagat aneh dari Omran. Dan yang lebih aneh lagi setelah dia pergi, Fatma menemukan kesadarannya. Aneh, bukan?" balas Bibi Halima. Soraya terdiam sejenak. Sejak Omar bersikap aneh, dia sudah menyangka ada sesuatu
"Berhenti, Sayang. Berhentilah, aku tidak sanggup mendengarnya lagi." Omar memeluk Fatma dengan tangisan yang membanjiri pipinya. Berbanding terbalik dengan Fatma, wanita itu bahkan tidak sedikitpun meneteskan air mata sama sekali. Mungkin karena sudah terlalu terbiasa dengan rasa sedih yang tak ada henti-hentinya terjadi di sepanjang hidup wanita malang itu. Sesaat kemudian, Fatma melonggarkan pelukan Omar. "Kau menyakitiku," candanya dengan kekehan yang menunjukkan deretan giginya yang berjejer rapi. "Oh, maafkan aku." Omar memberikan jarak antara tubuhnya dengan tubuh Fatma. "Jadi, apa kamu akan menjelaskannya kepadaku? Benar Tuan Ayyoub itu ayahku?" tanya Fatma yang terlihat tenang. Omar berusaha menjawab dengan susah payah. Tenggorokannya tercekat dengan diliputi rasa khawatir jika apa yang akan didengar Fatma, justru akan semakin membebani pikiran wanita itu. "Kamu tidak perlu ragu untuk mengatakannya. Aku sudah pernah mengalami ke
Seperti yang dia janjikan semalam, Tuan Ayyoub akan mengunjungi putrinya. Pagi-pagi sekali pria itu tiba di rumah sakit. Jika saja tidak memikirkan resiko yang akan dialami Fatma akibat kehadirannya, dia sudah pasti akan berjaga semalaman di ruang perawatan itu. Saat dia tiba di rumah sakit, dia melihat Omar dan Fatma masih dalam keadaan sama-sama tertidur. Ada beberapa alat bantu yang tadinya terpasang di tubuh Fatma kini sudah tidak terlihat lagi. "Tuan, Mummy ..." Bibi Halima menjadi satu-satunya orang yang menyapa kedatangan pria itu. Sepertinya nama 'Tuan Mummy' sudah sangat melekat di mulut mantan chef rumah sakit yang dia temui di Marrakech ini. Tuan Ayyoub hanya tertawa kecil mendengar panggilan dari Bibi Halima. Wanita tua itu memiliki peran besar atas hidup mereka berdua. Jadi, bagi Tuan Ayyoub Bibi Halima bukan sekedar orang asing yang dia kenal secara tidak sengaja, melainkan sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga mereka. "Bagaimana putriku?" t
"Hanya ada tiga kemungkinan ... Mendapatkan donor dari orang sehat yang memiliki potensi mendonorkan, atau korban kecelakaan. Atau ..." Dokter itu menghentikan ucapannya. "Atau apa?" tanya Omar penasaran. Apapun akan dia usahakan agar bisa bertahan. Fatma adalah semangt hidupnya. Karena itulah Omar sebisa mungkin untuk tetap bernapas afgar bisa selalu mendampingi wanita yang dia cintai. "Atau pasien yang memiliki kemungkinan hidup yang kecil karena menderita suatu penyakit tertentu, yang tidak ada hubungannya dengan kesehatan ginjalnya. Fungsi Ginjal Anda sudah menurun sebanyak 35 persen, dan itu bukan hal yang wajar," lanjut sang dokter kemudian. Omar mengepalkan kedua tangannya yang tersembunyi di bawah meja. Dia merutuki dirinya sendiri yang tanpa tahu diri langsung saja memikirkan saudara kembarnya sendiri. Hidup dengan sabuah ginjal tidak akan membuat Omran mati jika pria itu mau berbaik hati menyumbangkan salah satu ginjalnya kepada Omar. Akan tet
Keduanya melangkah menuju ke arah kantin yang terletak di lantai dasar. Setelah tiba di tempat itu, keduanya memilih untuk duduk tepat di sisi jendela kaca yang menampakkan pemandangan taman rumah sakit. "Jadi, kamu memang sunguh-sungguh melakukan ini untuk Fatma?" tanya Soraya sambil membenarkan posisi duduknya. Demikian halnya dengan Omran, pria itu duduk dengan santai berhadapan dengan sang sahabat. Pertanyaan itu kembali diucapkan Soraya untuk meyakinkan dirinya sendiri. Jika memang itulah alasan Omran, maka bisa dipastikan pria itu benar-benar mencintai Fatma dan menjadikan wanita itu sebagai alasan terbesarnya untuk memiliki semangat hidup kembali. "Ya, bisa dibilang seperti itu. Meskipun jika aku bertahan hidup nanti, aku harus berusaha ikhlas karena wanita yang aku cintai hidup bersama saudara kandungku sendiri." Wajah Omran terlihat menunjukkan raut sedih, tapi berusaha dia tutupi dengan seulas senyum palsu. "Tapi bukankah kamu tidak memiliki pasangan? Bagai