"Kamu pergi begitu saja. Jangan membuatku memberikan sebuah tuduhan kepadamu, Omran," Di tengah koridor rumah sakit, Soraya menghentikan langkah Omar yang sejak tadi dia tunggu. Soraya sempat terkesiap dengan reaksi yang ditampakkan oleh pria bermata dua warna itu ketika dirinya membahas tentang kondisi Fatma.
"Aku hanya ingin memastikan jika calon istri saudara kembarku baik-baik saja," jawab Omran tanpa mau membalas tatapan yang dilayangkan Soraya.
"Lalu?" tanya wanita itu.
"Dia baik-baik saja, jawab Omran singkat.
Soraya tidak percaya begitu saja dengan ucapan Omran. Matanya menatap nyalang seakan-akan sedang mengintimidasi pria tampan yang terlihat bersikap kikuk itu. "Tapi kamu yang terlihat tidak baik-baik saja."
"..."
"Kamu bisa mengelabui orang lain, tapi jangan pikir aku bisa dengan mudah mempercayaimu, Omran. Kita saling mengenal cukup lama, jika kamu lupa!" Soraya kembali menekan Omran.
***
Di dalam rua
Kehadiran Tuan Ayyoub yang tiba-tiba mungkin cukup mengejutkan, akan tetapi ucapan Bibi Halima justru jauh lebih mengejutkan. Tubuh Fatma belum mampu bereaksi dengan baik. Andai saja dirinya dalam keadaan sehat, mungkin Fatma akan berteriak histeris saat ini juga. Karena apapun yang dia dengar saat ini tidak lebih seperti sebuah omong kosong. Tuan Ayyoub dan Omar sama-sama menunjukkan rasa khawatir terhadap reaksi yang akan ditunjukkan Fatma. Ucapan Bibi Halima tentu saja membuat mereka merutuki kebodohan yang sudah mereka lakukan. Setidaknya kenyataan itu bisa diungkap setelah Fatma benar-benar dalam keadaan pulih. Tapi, semuanya sudah terlanjur. Fatma tersenyum kecut menoleh ke arah Bibi Halima. Dia kemudian menatap Tuan Ayyoub dan Omar secara bergantian dengan kerlingan matanya yang terlihat sayu. "Hm ... ternyata mimpiku masih berlanjut," ucap Fatma sambil menutupkan kedua matanya. Ketiga manusia yang berada di dalam kamar dan menyaksikan kejadian itu sama-sama t
Di tempat yang berbeda, Bibi Halima melebarkan kedua matanya setelah Soraya menguak sebuah fakta baru. "Dia sangat beruntung, Bu. Begitu banyak pria yang menginginkan Fatma, termasuk Omran dan Omar." Wajah Soraya murung, bukan karena dia merasa iri terhadap Fatma. Melainkan karena tiba-tiba saja bayangan Dokter Farouk kembali mengganggu pikirannya. Soraya sudah berusaha sebisa mungkin untuk membebaskan sosok itu dari jeratan pikirannya. Namun, ternyata usahanya tidak semudah itu. Pria yang dia cintai itu juga memiliki perasaan spesial terhadap Fatma. Dan karena alasan itulah Soraya pernah melakukan kebodohan di masa lalu, dan kini dia sungguh menyesal, bahkan tidak mampu menampakkan wajahnya di hadapan Fatma lagi. "Pantas saja tadi ibu melihat gelagat aneh dari Omran. Dan yang lebih aneh lagi setelah dia pergi, Fatma menemukan kesadarannya. Aneh, bukan?" balas Bibi Halima. Soraya terdiam sejenak. Sejak Omar bersikap aneh, dia sudah menyangka ada sesuatu
"Berhenti, Sayang. Berhentilah, aku tidak sanggup mendengarnya lagi." Omar memeluk Fatma dengan tangisan yang membanjiri pipinya. Berbanding terbalik dengan Fatma, wanita itu bahkan tidak sedikitpun meneteskan air mata sama sekali. Mungkin karena sudah terlalu terbiasa dengan rasa sedih yang tak ada henti-hentinya terjadi di sepanjang hidup wanita malang itu. Sesaat kemudian, Fatma melonggarkan pelukan Omar. "Kau menyakitiku," candanya dengan kekehan yang menunjukkan deretan giginya yang berjejer rapi. "Oh, maafkan aku." Omar memberikan jarak antara tubuhnya dengan tubuh Fatma. "Jadi, apa kamu akan menjelaskannya kepadaku? Benar Tuan Ayyoub itu ayahku?" tanya Fatma yang terlihat tenang. Omar berusaha menjawab dengan susah payah. Tenggorokannya tercekat dengan diliputi rasa khawatir jika apa yang akan didengar Fatma, justru akan semakin membebani pikiran wanita itu. "Kamu tidak perlu ragu untuk mengatakannya. Aku sudah pernah mengalami ke
Seperti yang dia janjikan semalam, Tuan Ayyoub akan mengunjungi putrinya. Pagi-pagi sekali pria itu tiba di rumah sakit. Jika saja tidak memikirkan resiko yang akan dialami Fatma akibat kehadirannya, dia sudah pasti akan berjaga semalaman di ruang perawatan itu. Saat dia tiba di rumah sakit, dia melihat Omar dan Fatma masih dalam keadaan sama-sama tertidur. Ada beberapa alat bantu yang tadinya terpasang di tubuh Fatma kini sudah tidak terlihat lagi. "Tuan, Mummy ..." Bibi Halima menjadi satu-satunya orang yang menyapa kedatangan pria itu. Sepertinya nama 'Tuan Mummy' sudah sangat melekat di mulut mantan chef rumah sakit yang dia temui di Marrakech ini. Tuan Ayyoub hanya tertawa kecil mendengar panggilan dari Bibi Halima. Wanita tua itu memiliki peran besar atas hidup mereka berdua. Jadi, bagi Tuan Ayyoub Bibi Halima bukan sekedar orang asing yang dia kenal secara tidak sengaja, melainkan sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga mereka. "Bagaimana putriku?" t
"Hanya ada tiga kemungkinan ... Mendapatkan donor dari orang sehat yang memiliki potensi mendonorkan, atau korban kecelakaan. Atau ..." Dokter itu menghentikan ucapannya. "Atau apa?" tanya Omar penasaran. Apapun akan dia usahakan agar bisa bertahan. Fatma adalah semangt hidupnya. Karena itulah Omar sebisa mungkin untuk tetap bernapas afgar bisa selalu mendampingi wanita yang dia cintai. "Atau pasien yang memiliki kemungkinan hidup yang kecil karena menderita suatu penyakit tertentu, yang tidak ada hubungannya dengan kesehatan ginjalnya. Fungsi Ginjal Anda sudah menurun sebanyak 35 persen, dan itu bukan hal yang wajar," lanjut sang dokter kemudian. Omar mengepalkan kedua tangannya yang tersembunyi di bawah meja. Dia merutuki dirinya sendiri yang tanpa tahu diri langsung saja memikirkan saudara kembarnya sendiri. Hidup dengan sabuah ginjal tidak akan membuat Omran mati jika pria itu mau berbaik hati menyumbangkan salah satu ginjalnya kepada Omar. Akan tet
Keduanya melangkah menuju ke arah kantin yang terletak di lantai dasar. Setelah tiba di tempat itu, keduanya memilih untuk duduk tepat di sisi jendela kaca yang menampakkan pemandangan taman rumah sakit. "Jadi, kamu memang sunguh-sungguh melakukan ini untuk Fatma?" tanya Soraya sambil membenarkan posisi duduknya. Demikian halnya dengan Omran, pria itu duduk dengan santai berhadapan dengan sang sahabat. Pertanyaan itu kembali diucapkan Soraya untuk meyakinkan dirinya sendiri. Jika memang itulah alasan Omran, maka bisa dipastikan pria itu benar-benar mencintai Fatma dan menjadikan wanita itu sebagai alasan terbesarnya untuk memiliki semangat hidup kembali. "Ya, bisa dibilang seperti itu. Meskipun jika aku bertahan hidup nanti, aku harus berusaha ikhlas karena wanita yang aku cintai hidup bersama saudara kandungku sendiri." Wajah Omran terlihat menunjukkan raut sedih, tapi berusaha dia tutupi dengan seulas senyum palsu. "Tapi bukankah kamu tidak memiliki pasangan? Bagai
"Aku kadang berpikir, kenapa dia bisa sangat beruntung jika dibandingkan denganku. Bahkan dia memiliki kecerdasaan di atasku, sehingga setiap pulang sekolah kedua orang tuaku selalu memuji-mujinya yang mendapatkan nilai bagus. Bagi mereka Omar pantas untuk meneruskan kepemimpinan perusahaan di masa depan. Sementara aku, kamu tahu sendiri, kan? Mungkin mereka tidak bermaksud untuk membanding-bandingkan aku dengan Omar, tapi aku merasa terlalu lemah saat itu." Omran terkekeh. Soraya adalah orang yang paling tahu seperti apa pria itu di masa sekolah dulu. Seorang siswa yang memiliki kadar ketampanan di atas rata-rata, tapi sayangnya berbanding terbalik dengan kemampuan akademisnya. Berbeda dengan Omar. Selain tampan, dia juga memiliki kecerdasan yang luar biasa. Soraya tidak tahu harus bersikap seperti apa menanggapi ucapan Omran yang tidak sadar jika Omar berada di balik tubuhnya. Kata-kata Omran terdengar seolah-olah Omar memiliki nasib yang mujur, dan sebaliknya dialah tokoh
Di bawah guyuran shower, Omar merasakan tiap tetes air yang menyentuh kulitnya seperti butiran-butiran salju yang menyiksa. Entah mengapa sejak terapi tadi berakhir, dia merasakan tubuhnya menggigil. Namun, Omar berusaha melawan rasa tidak nyaman itu. Bibirnya terlihat kebiruan. Omar bahkan tidak dapat merasakan telapak tangannya yang semakin berkerut. Merasa ada yang tidak beres, pria itu dengan cepat mengakhiri ritualnya di kamar mandi. Dia segera memposisikan diri di samping penghangat ruangan untuk menetralkan suhu di beberapa bagian tubuhnya. Omar tahu apa yang dia rasakan saat ini bukanlah hal yang wajar. Meskipun di beberapa bagian tubuh sedingin es, namun kedua kelopak matanya terasa terbakar oleh suhu tubuh tinggi di bagian kepala.Rasa itu memang sakit, tapi Omar merasakan sebuah penguatan yang tiba-tiba muncul saat dirinya membayangkan senyuman Fatma terakhir kali. Satu kata yang Omar pikirkan saat ini adalah berjuang. Tidak ada yang salah dengan keinginan it
Assalamu'alaykum Warahmatullah Wabarakatuh ... Salam Sejahtera ... Dear, Sahabat Readers. Terima kasih atas kesediaan kalian mengikuti kisah FATMA BOUSSETTA ini dari awal hingga akhir. Semoga ada banyak pesan moral yang bisa kalian ambil dari kisah ini. Kisah ini sebagian besar diambil dari kisah nyata kehidupan milik mertua Author yang berasal dari Negara Maroko (Maghriby). Fatma Boussetta kini sudah berusia 87 tahun dan masih terlihat bugar, meskipun saat ini hidupnya ditunjang dengan pacemaker (sebuah alat pacu jantung yang menggunakan tenaga baterai yang ditanamkan melalui pembedahan ke dalam dada). Mohon kiranya Sahabat Readers berkenan meluangkan waktu untuk memberikan doa kepada beliau agar memiliki kesehatan serta umur yang panjang. Kisah ini sudah mendapatkan persetujuan dari beliau untuk dipublikasikan oleh Author. Semoga para Sahabat Readers menyukai kisah ini dan jangan lupa untuk terus memberikan dukungan d
"Maju satu langkah lagi, maka aku akan melenyapkan nyawa istrimu." Tuan Gamal memberikan ancaman yang serius. Ujung kayu itu sudah menyentuh perut tawanannya. Dia siap menghujamkan benda itu jika dirinya merasa terancam. Salah satu penjaga mendekati Tuan Gamal, kemudian membisikkan sesuatu. "Bagus, kau sudah menyiapkan helikopter itu." Tuan Gamal tersenyum puas, dengan satu kibasan tangan dia mengisyaratkan penjaga itu untuk berdiri tepat di belakang tubuh tawanannya. "Brengs**k!" umpat Omran. Tidak ada yang bisa dia lakukan, selain mengikuti kemauan Tuan Gamal. "Jangan banyak mengulur waktu, lepaskan cucuku sekarang juga!" ucap Tuan Besar Benmoussa. Matanya melirik ke arah wanita yang bersimbah darah terduduk dan terikat di kursi tua itu. Tuan Benmoussa tidak bisa membayangkan betapa sakit yang dirasakan cucu kesayangannya. Tapi dia bisa memastikan wanita itu masih bergerak. Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala saat ujung kayu terasa menyentuh perutnya. Se
["Bu, aku tidak bisa menemuimu, ada banyak orang-orang suruhan Keluarga Benmoussa sedang berkeliran mencari keberadaanku."] Pesan singkat diterima oleh Meryem yang berasal dari ponsel milik Sabrina. Sebenarnya Meryem ingin menyiksa Fatma secara bergantian bersama Sabrina--putri kesayangannya. Namun, sepertinya hal itu tidak memungkinkan saat ini."Ibu akan memastikan kamu mendapatkan apa yang semestinya kamu dapatkan, Sayang." Maryem kemudian mengirimkan video rekaman penyiksaan yang dia lakukan terhadap tawanannya.["Aku serahkan semuanya kepadamu, Bu. Aku menyesal tidak bisa membalaskan dendam itu dengan tanganku sendiri. Maafkan aku."]"Tenanglah, Sayang ... Sepertinya Keluarga Ahbity dan Benmoussa sudah masuk ke dalam perangkap, sebentar lagi ayahmu akan bernegosiasi dengan mereka. Ibu bisa pastikan setelah ini kita bisa hidup bebas." Meryem begitu bangga dengan pencapaiannya hari ini. Suara ringisan dan penyiksaan itu seolah membuatnya semakin bersemangat m
Tuan Khaleed segera menghubungi Tuan Ayyoub melalui sambungan telepon untuk memastikan bahwa Fatma sudah tiba di kediaman mereka. Namun, sayangnya Tuan Ayyoub justru mengatakan bahwa putrinya dan Faissal tidak dapat dihubungi, setelah tadi Fatma sempat menghubunginya dan mengatakan bahwa mereka baru saja mendarat melalui bandara yang berada di Tangier.Kegelisahan tiba-tiba saja membuat semua orang kini tidak mampu mengenyahkan pikiran buruk mereka tentang Fatma. Sabrina mungkin belum lari terlalu jauh. Tapi, tidak menutup kemungkinan dia bisa melancarkan aksinya melalui orang lain.Kepanikan semakin menyerang membabi buta di dalam benak Omran kala cuaca buruk tiba-tiba saja menyelimuti langit Paris, sehingga tidak memungkinkan bagi Omran dan kedua orang tuanya untuk segera menyusul Fatma menggunakan jet pribadi yang mereka miliki. Waktu seolah tidak berpihak pada mereka. Di kala Fatma sedang terancam, seolah langkah mereka harus berhenti tanpa bisa melakukan apa-apa s
"Apa kamu tidak sedang bercanda, Omar?" tanya Nyonya Adeline yang kini merasakan sendi-sendinya melemah sehingga dia seolah tidak lagi mampu berpijak. "Maaf, Ma ... Kami memiliki sebuah alasan menyembunyikannya yang kini alasan itu sudah tidak penting lagi." Omran menatap ke arah Sabrina yang kikuk, secepat mungkin wanita itu merubah raut wajahnya seolah terlihat bersalah, sehingga Omran yakin untuk tidak perlu membuka jati diri Sabrina yang menyamar sebagai Cassandra. "Kami benar-benar menikah sejak beberapa bulan yang lalu." Omran meneruskan ucapannya. "Ja-jadi ... Fatma mengandung janin siapa?" tanya Nyonya Adeline. "Janin si brengsek ini!" Omran menoleh kasar ke arah Dokter Farouk. "... Dia pasti sudah menjebak Fatma, karena aku yakin Fatma tidak serendah itu jika bukan karena dijebak," lanjutnya. "Benarkah itu, Dok?" tanya Soraya berusaha tegar. "Ibu sering melihat kebersamaan mereka di kantin." Bibi Halima menegaskan opini yang belum dipastikan kebe
"Wanita itu meninggalkanku," ucap Omran dengan suara yang lemah."Wanita itu meninggalkanku!" Dia mengulangi kalimat itu dengan suara yang sedikit lebih keras. Sesaat kemudian dia bangkit sambil meneriakkan kalimat yang sama, " Wanita itu meninggalkanku!" Kali ini suara Omran terdengar lebih keras lagi, bersamaan dengan kerasnya suara pecahan kaca meja rias yang baru saya dia pukul menggunakan genggaman tangannya."Aaaakh ..." Nyonya Adeline yang terkejut ikut berteriak histeris sambil memejamkan mata dengan kedua tangan mengepal menutupi wajah. Ketika matanya terbuka, dia harus kembali berteriak untuk kedua kali. Darah segar mengalir dari kepalan tangan Omran. Namun, pria itu seolah-olah tidak merasakan sakit sama sekali. Tentu, jika dibandingkan dengan luka itu, hatinya merasakan sakit yang jauh lebih besar.Tuan Khaleed refleks memeluk Nyonya Adeline yang terlihat syok."Omran! Kamu sadar apa yang baru saja kamu lakukan?" Tuan Khaleed meninggikan inton
***"Faissal, sepertinya rencana akan sedikit berubah. Aku pikir ada baiknya kita kembali ke Tangier bersama," ucap Fatma setelah membiarkan keheningan di antara mereka beberapa saat. Bukan tanpa sebab dia memutuskan ini. Dia sempat tersulut oleh sikap Sabrina sehingga harus memberikan beberapa petunjuk bagi wanita ular itu lebih cepat dari apa yang sudah dia rencanakan. Fatma yakin, Sabrina sudah bertindak dengan melibatkan Tuan Gamal dan Meryem dalam persoalan ini. Semestinya dia bisa menunda memberikan petunjuk, setidaknya sampai benar-benar siap. Namun, yang terpenting sekarang adalah berada satu langkah lebih cepat dari Sabrina dan kedua orang tuanya."Aku mengerti," jawab Faissal. Saat itu juga mereka menuju bandara. Ada beberapa itinerary yang dirubah melalui pemesanan tiket khusus yang dilakukan oleh Fatma. Sebenarnya ada cara yang lebih praktis, yakni dengan menggunakan jet pribadi milik Keluarga Besar Benmoussa, tapi sepertinya hal itu justru menjadi keputusa
"Apa? Aku berkata yang sesungguhnya, 'kan? Dengar Fatma, aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih egois dari pada kamu selama aku hidup. Jadi kamu pikir, dengan meminta perpisahan maka kamu akan bahagia?" Omran tak kuasa untuk mengungkapkan segala beban di dalam hatinya. Keberanian itu muncul begitu saja sejak dia mendengar pengakuan Fatma di hadapan kedua orang tuanya, meskipun mereka tidak mampu mencerna ucapan wanita itu.Sementara Fatma menutup kedua telinganya, Omran masih terus mencercanya dengan kenyataan yang tidak bisa terelakkan."Kamu berkhianat! Itu alasannya. Mari kita permudah ini, Omran! Hiduplah dengan normal bersama wanita ular itu.""... Kamu tahu kesalahanmu, kamu tahu siapa dia, dan kamu tahu semua ini tidak benar, lalu kamu dengan mudah melakukannya. Kamu tidak pantas untuk menerima cintaku!" Fatma menatap Omran dengan tatapan nyalang, seolah membuat lidah pria itu terkunci. Dia tahu, kesalahannya terhadap sang istri sulit untuk dimaafk
Wajah Sabrina memerah dengan rasa panik yang menguasai dirinya. Wanita itu merasa kecolongan dengan kenyataan yang baru saja dia dengar. Pantas saja sikap Omran terlihat berbeda ketika bersinggungan dengan Fatma. Rupanya mereka sudah merahasiakan pernikahan itu. Namun, hal yang masih belum dimengerti oleh Sabrina adalah bagaimana bisa Omran membiarkan istrinya yang sedang hamil pergi meninggalkan Paris. Tidak diragukan lagi bahwa Omran mengetahui kondisi Fatma yang sedang hamil. Akan tetapi, tampaknya pria itu tidak terlihat bahagia. Ada begitu banyak spekulasi di dalam kepala Sabrina, salah satunya adalah dugaan bahwa Omran tidak tahu bahwa janin yang dikandung Fatma adalah darah dagingnya sendiri. Meskipun selalu memandang rendah Fatma, hati kecil Sabrina tidak bisa mengelak bahwa Fatma tidak mungkin hamil dari pria lain selain dari suami sah nya. Kesetiaan wanita itu dalam ikatan pernikahan tidak bisa diragukan. Dugaan itulah yang paling masuk akal di antara dugaan-