"Aku kadang berpikir, kenapa dia bisa sangat beruntung jika dibandingkan denganku. Bahkan dia memiliki kecerdasaan di atasku, sehingga setiap pulang sekolah kedua orang tuaku selalu memuji-mujinya yang mendapatkan nilai bagus. Bagi mereka Omar pantas untuk meneruskan kepemimpinan perusahaan di masa depan. Sementara aku, kamu tahu sendiri, kan? Mungkin mereka tidak bermaksud untuk membanding-bandingkan aku dengan Omar, tapi aku merasa terlalu lemah saat itu." Omran terkekeh. Soraya adalah orang yang paling tahu seperti apa pria itu di masa sekolah dulu. Seorang siswa yang memiliki kadar ketampanan di atas rata-rata, tapi sayangnya berbanding terbalik dengan kemampuan akademisnya. Berbeda dengan Omar. Selain tampan, dia juga memiliki kecerdasan yang luar biasa.
Soraya tidak tahu harus bersikap seperti apa menanggapi ucapan Omran yang tidak sadar jika Omar berada di balik tubuhnya. Kata-kata Omran terdengar seolah-olah Omar memiliki nasib yang mujur, dan sebaliknya dialah tokoh
Hayoooo siapa di sini yang kangen sama pelukan seorang ayah? Bersyukur buat kalian yang masih bisa merasakan pelukan ayah. Yang sudah ditinggalkan, jangan larut dalam kesedihan yaaaa ... BTW, pantengin terus kisah Fatma Boussetta. Author si Ratu Typo mohon maaf dan maklum jika tulisan-tulisan Author banyak ditemui kesalahan ^_^
Di bawah guyuran shower, Omar merasakan tiap tetes air yang menyentuh kulitnya seperti butiran-butiran salju yang menyiksa. Entah mengapa sejak terapi tadi berakhir, dia merasakan tubuhnya menggigil. Namun, Omar berusaha melawan rasa tidak nyaman itu. Bibirnya terlihat kebiruan. Omar bahkan tidak dapat merasakan telapak tangannya yang semakin berkerut. Merasa ada yang tidak beres, pria itu dengan cepat mengakhiri ritualnya di kamar mandi. Dia segera memposisikan diri di samping penghangat ruangan untuk menetralkan suhu di beberapa bagian tubuhnya. Omar tahu apa yang dia rasakan saat ini bukanlah hal yang wajar. Meskipun di beberapa bagian tubuh sedingin es, namun kedua kelopak matanya terasa terbakar oleh suhu tubuh tinggi di bagian kepala.Rasa itu memang sakit, tapi Omar merasakan sebuah penguatan yang tiba-tiba muncul saat dirinya membayangkan senyuman Fatma terakhir kali. Satu kata yang Omar pikirkan saat ini adalah berjuang. Tidak ada yang salah dengan keinginan it
Benar saja! Suara itu bersumber dari arah tangga yang menghubungkan lantai dasar menuju lantai ke dua. Tempat di mana Omar berdiri tadi. Pecahan guci di lantai membuktikan bahwa sesuatu telah terjadi. Omar tergeletak tak sadarkan diri di atas ubn yang menampakkan percikan darah. Di saat yang bersamaan, Bibi Halima semakin menjerit histeris. Saat ini mereka hanya berdua di dalam mansion itu. Bangunan sebesar itu memang masih baru, sehingga Omar belum memikirkan untuk mencari beberapa orang yang dapat diandalkan untuk membantu pekerjaan Bibi Halima untuk sementara waktu, sampai Fatma kembali ke tempat itu nanti.Terdengar suara tapak kaki yang cukup keras berlari ke arah Bibi Halima dan Omar yang sudah tidak menunjukkan pergerakan sama sekali. Beruntung tepat setelah kejadian itu, Omran yang tadinya ingin menemui Omar untuk meminta maaf, justru dikagetkan dengan suara jeritan Bibi Halima. Merasa ada yang tidak beres, Omran berlari setelahnya.Dan, apa yang dia saksikan s
Prak!!! Di dalam ruangan bernuansa putih, Fatma menjatuhkan gelas kaca yang berada di atas nakas, bersamaan dengan terbukanya pintu kamar. Fatma terkejut bukan main dengan suara yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Tuan Ayyoub yang baru saja kembali dari kantin rumah sakit tiba-tiba datang dan dikejutkan oleh serpihan kaca yang terserak hingga mengenai kakinya. Pria itu kemudian mempercepat langkah untuk menghampiri Fatma. "Aku haus," ucap Fatma merasa bersalah. Akibat gelas yang tidak sengaja dia jatuhkan tadi, menghasilkan goresan di kaki sang ayah. Dia merasa tidak berguna sama sekali dengan keadaan seperti ini. Tuan Ayyoub tersenyum tulus sambil memberikan gelas pengganti untuk putri tercintanya. "Sebentar lagi ada seseorang yang akan mengunjungimu," ucapnya. "Omar?" Wajah Fatma menampakkan semburat kemerahan. Dia sangat merindukan pria itu. Padahal baru beberapa jam Omar tidak berada di sisinya. Tuan Ayyoub kembali mengulas s
"Fatma ..." Sosok itu mengngkat wajah sendu dengan luapan kesedihan yang ditahan. Dia melangkah lambat menuju ke arah Fatma dan Tuan Ayyoub. Tuan Ayyoub yang sempat terkejut karena terlalu melamun tadi, kini tersenyum ke arah pria itu. "Omran ... Aku pikir tadi yang datang adalah saudara kembarmu. Untung saja matamu itu bisa aku kenali." Tuan Ayyoub tersenyum ramah menyambut kehadiran Omran. Dengan meninggikan leher, Tuan Ayyoub mengintip ke belakang tubuh Omran. "Tadi dia bilang akan segera ke sini. Mungkin sebentar lagi dia datang," ucap Tuan Ayyoub sambil memperhatikan jarm jam yang melingkar di tangannya. "Dia ada di sini, Paman." Nada suara Omran seperti menyiratkan kesedihan. "Hm ...?" Tuan Ayyoub mengernyit. Omran menghela napasnya sesaat, kemudian dia bergeser ke samping dan membuka lebar pintu ruang perawatan. Pria itu memejamkan matanya ketika sebuah brankar didorong masuk ke dalam ruangan. Pertama-tama yang terli
Hanya Omar yang secara diam-diam memperhatikan saudaranya. Seolah mengabaikan, Omar bersikap justru terlihat seperti seorang pemenang. Dia tahu jika Omran-lah yang berjasa telah membawanya ke rumah sakit sehingga lukanya bisa ditangani dengan cepat. Meskipun kehilangan banyak darah, beruntung cidera yang dia alami tidak sampai menyebabkan luka dalam. Setelah sadar, Omar mendapati Omran yang sedang menungguinya di sisi brankar. Omran sempat meminta maaf atas sikapnya akhir-akhir ini. Mereka mungkin sudah bisa dikatakan berbaikan, akan tetapi sikap Omar sedikit berbeda dari sebelumnya. Entah mengapa, hanya Omar yang tahu. Kejadian yang baru saja menimpa Omar membuat Omran merasakan ketakutan yang belum pernah dia bayangkan. Sekarang, Omran bisa memahami segalanya dari perspektif yang berbeda. Kadang manusia belum tahu seberapa penting seseorang bagi mereka sebelum mereka merasakan yang namanya kehilangan. Dia merasakan perbedaan yang mencolok di mata Omar ketika menatapnya. Ti
Ketika masa sekolah dulu, seseorang pernah mengatakan kepada Omar, 'wanita itu adalah makhluk yang nasibnya harus dikejar-kejar kaum pria'. Maka,sekarang Omar setuju dengan kalimat itu. Seandainya dia menyerah untuk mendapatkan hati Fatma, mungkin hari bahagia ini tidak akan pernah tiba di dalam kehidupannya.Pukul 08.45, Omar mengulurkan tangannya untuk memberikan pegangan bagi Fatma, sang pengantin yang terlihat seperti seorang putri dari negeri dongeng dengan gaun putih yang menyapu lantai. Wajah bahagianya menyiratkan jika dia benar-benar merasa seperti seorang ratu yang telah menemukan rajanya. Fatma kemudian meraih uluran tangan Omar dengan senyum yang mengembang hingga membuat matanya terlihat mengecil. Tangannya kemudian melingkari lengan Omar yang terjulur di sisi tubuh tegak milik pria itu. Pria yang terlihat sangat tampan dengan balutan tuxedo berwarna hitam. Mereka bersama menuju ke ruang utama mansion tempat mereka berbagi atap selama ini. Keduanya berjalan menap
Dalam kekhidmatan pernikahan, Tuan Ayooub menunduk dangan punggung yang terlihat bergetar. Tunai sudah keinginannya untuk menjadi wali pernikahan putri satu-satunya yang dia miliki. Ini adalah hari bahagia, akan tetapi di balik itu ada luka yang kembali menganga saat dirinya terkenang masa yang telah berlalu. 'Fatima, putrimu secantik dirimu. Jika kamu berada di sini, mungkin aku tidak akan bersedih seperti ini,' lirihnya di dalam hati. Tuan Ayyoub cepat-cepat mengangkat wajahnya sebelum dirinya menjadi pusat perhatian. Dia memandangi sepasang pengantin yang baru saja berikrar di hadapannya. Tampak jelas rona bahagia itu mendominasi suasana, sehingga meskipun saat ini sudah masuk musim dingin, akan tetapi perasaan seluruh keluarga begitu hangat. "Mulai hari ini, berjanjilah untuk tidak bersedih lagi," pinta Omar kepada pengantinnya sambil membelai pipi yang seputih susu itu. Dia kemudian tanpa malu-malu memeluk tubuh sang istri dengan erat, seolah tidak
Dia menepuk bahuku untuk memberikan semangat. Aku melihat senyum getir bertengger di bibirnya. Kemudian dia pergi setelah sempat mengucapkan, "berbahagialah sampai akhir hayat," dan ketika dia sudah pergi aku membalasnya dengan kata-kata yang mungkin tidak lagi terdengar di telinganya, "aku bahagia hingga akhir hayat," ucapku pelan. Dengan mantap aku mengenakan tuxedo yang dipilih langsung oleh Fatma beberapa hari lalu di sebuah butik yang tidak begitu terkenal di kota ini. Tidak ada yang menyangka kostum yang aku kenakan itu harganya tidak lebih dari dua ratus Euro. Aku tidak menyangka jika wanitaku ini memiliki selera yang baik dalam berpakaian. Padahal dia berasal dari kota kecil dan hidup memprihatinkan sebelumnya. Saat itu aku bertanya kepadanya bagaimana dia bisa memilih tuxedo sebagus ini. Dia menjawab, "aku pernah melihat seseorang mengenakan model yang hampir sama seperti ini di masa lalu, di hari pernikahanku bersama mendiang Tuan Ridwan. Seseorang itu kutemui sesa