Seperti yang dia janjikan semalam, Tuan Ayyoub akan mengunjungi putrinya. Pagi-pagi sekali pria itu tiba di rumah sakit. Jika saja tidak memikirkan resiko yang akan dialami Fatma akibat kehadirannya, dia sudah pasti akan berjaga semalaman di ruang perawatan itu. Saat dia tiba di rumah sakit, dia melihat Omar dan Fatma masih dalam keadaan sama-sama tertidur. Ada beberapa alat bantu yang tadinya terpasang di tubuh Fatma kini sudah tidak terlihat lagi.
"Tuan, Mummy ..." Bibi Halima menjadi satu-satunya orang yang menyapa kedatangan pria itu. Sepertinya nama 'Tuan Mummy' sudah sangat melekat di mulut mantan chef rumah sakit yang dia temui di Marrakech ini. Tuan Ayyoub hanya tertawa kecil mendengar panggilan dari Bibi Halima. Wanita tua itu memiliki peran besar atas hidup mereka berdua. Jadi, bagi Tuan Ayyoub Bibi Halima bukan sekedar orang asing yang dia kenal secara tidak sengaja, melainkan sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga mereka.
"Bagaimana putriku?" t
"Hanya ada tiga kemungkinan ... Mendapatkan donor dari orang sehat yang memiliki potensi mendonorkan, atau korban kecelakaan. Atau ..." Dokter itu menghentikan ucapannya. "Atau apa?" tanya Omar penasaran. Apapun akan dia usahakan agar bisa bertahan. Fatma adalah semangt hidupnya. Karena itulah Omar sebisa mungkin untuk tetap bernapas afgar bisa selalu mendampingi wanita yang dia cintai. "Atau pasien yang memiliki kemungkinan hidup yang kecil karena menderita suatu penyakit tertentu, yang tidak ada hubungannya dengan kesehatan ginjalnya. Fungsi Ginjal Anda sudah menurun sebanyak 35 persen, dan itu bukan hal yang wajar," lanjut sang dokter kemudian. Omar mengepalkan kedua tangannya yang tersembunyi di bawah meja. Dia merutuki dirinya sendiri yang tanpa tahu diri langsung saja memikirkan saudara kembarnya sendiri. Hidup dengan sabuah ginjal tidak akan membuat Omran mati jika pria itu mau berbaik hati menyumbangkan salah satu ginjalnya kepada Omar. Akan tet
Keduanya melangkah menuju ke arah kantin yang terletak di lantai dasar. Setelah tiba di tempat itu, keduanya memilih untuk duduk tepat di sisi jendela kaca yang menampakkan pemandangan taman rumah sakit. "Jadi, kamu memang sunguh-sungguh melakukan ini untuk Fatma?" tanya Soraya sambil membenarkan posisi duduknya. Demikian halnya dengan Omran, pria itu duduk dengan santai berhadapan dengan sang sahabat. Pertanyaan itu kembali diucapkan Soraya untuk meyakinkan dirinya sendiri. Jika memang itulah alasan Omran, maka bisa dipastikan pria itu benar-benar mencintai Fatma dan menjadikan wanita itu sebagai alasan terbesarnya untuk memiliki semangat hidup kembali. "Ya, bisa dibilang seperti itu. Meskipun jika aku bertahan hidup nanti, aku harus berusaha ikhlas karena wanita yang aku cintai hidup bersama saudara kandungku sendiri." Wajah Omran terlihat menunjukkan raut sedih, tapi berusaha dia tutupi dengan seulas senyum palsu. "Tapi bukankah kamu tidak memiliki pasangan? Bagai
"Aku kadang berpikir, kenapa dia bisa sangat beruntung jika dibandingkan denganku. Bahkan dia memiliki kecerdasaan di atasku, sehingga setiap pulang sekolah kedua orang tuaku selalu memuji-mujinya yang mendapatkan nilai bagus. Bagi mereka Omar pantas untuk meneruskan kepemimpinan perusahaan di masa depan. Sementara aku, kamu tahu sendiri, kan? Mungkin mereka tidak bermaksud untuk membanding-bandingkan aku dengan Omar, tapi aku merasa terlalu lemah saat itu." Omran terkekeh. Soraya adalah orang yang paling tahu seperti apa pria itu di masa sekolah dulu. Seorang siswa yang memiliki kadar ketampanan di atas rata-rata, tapi sayangnya berbanding terbalik dengan kemampuan akademisnya. Berbeda dengan Omar. Selain tampan, dia juga memiliki kecerdasan yang luar biasa. Soraya tidak tahu harus bersikap seperti apa menanggapi ucapan Omran yang tidak sadar jika Omar berada di balik tubuhnya. Kata-kata Omran terdengar seolah-olah Omar memiliki nasib yang mujur, dan sebaliknya dialah tokoh
Di bawah guyuran shower, Omar merasakan tiap tetes air yang menyentuh kulitnya seperti butiran-butiran salju yang menyiksa. Entah mengapa sejak terapi tadi berakhir, dia merasakan tubuhnya menggigil. Namun, Omar berusaha melawan rasa tidak nyaman itu. Bibirnya terlihat kebiruan. Omar bahkan tidak dapat merasakan telapak tangannya yang semakin berkerut. Merasa ada yang tidak beres, pria itu dengan cepat mengakhiri ritualnya di kamar mandi. Dia segera memposisikan diri di samping penghangat ruangan untuk menetralkan suhu di beberapa bagian tubuhnya. Omar tahu apa yang dia rasakan saat ini bukanlah hal yang wajar. Meskipun di beberapa bagian tubuh sedingin es, namun kedua kelopak matanya terasa terbakar oleh suhu tubuh tinggi di bagian kepala.Rasa itu memang sakit, tapi Omar merasakan sebuah penguatan yang tiba-tiba muncul saat dirinya membayangkan senyuman Fatma terakhir kali. Satu kata yang Omar pikirkan saat ini adalah berjuang. Tidak ada yang salah dengan keinginan it
Benar saja! Suara itu bersumber dari arah tangga yang menghubungkan lantai dasar menuju lantai ke dua. Tempat di mana Omar berdiri tadi. Pecahan guci di lantai membuktikan bahwa sesuatu telah terjadi. Omar tergeletak tak sadarkan diri di atas ubn yang menampakkan percikan darah. Di saat yang bersamaan, Bibi Halima semakin menjerit histeris. Saat ini mereka hanya berdua di dalam mansion itu. Bangunan sebesar itu memang masih baru, sehingga Omar belum memikirkan untuk mencari beberapa orang yang dapat diandalkan untuk membantu pekerjaan Bibi Halima untuk sementara waktu, sampai Fatma kembali ke tempat itu nanti.Terdengar suara tapak kaki yang cukup keras berlari ke arah Bibi Halima dan Omar yang sudah tidak menunjukkan pergerakan sama sekali. Beruntung tepat setelah kejadian itu, Omran yang tadinya ingin menemui Omar untuk meminta maaf, justru dikagetkan dengan suara jeritan Bibi Halima. Merasa ada yang tidak beres, Omran berlari setelahnya.Dan, apa yang dia saksikan s
Prak!!! Di dalam ruangan bernuansa putih, Fatma menjatuhkan gelas kaca yang berada di atas nakas, bersamaan dengan terbukanya pintu kamar. Fatma terkejut bukan main dengan suara yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Tuan Ayyoub yang baru saja kembali dari kantin rumah sakit tiba-tiba datang dan dikejutkan oleh serpihan kaca yang terserak hingga mengenai kakinya. Pria itu kemudian mempercepat langkah untuk menghampiri Fatma. "Aku haus," ucap Fatma merasa bersalah. Akibat gelas yang tidak sengaja dia jatuhkan tadi, menghasilkan goresan di kaki sang ayah. Dia merasa tidak berguna sama sekali dengan keadaan seperti ini. Tuan Ayyoub tersenyum tulus sambil memberikan gelas pengganti untuk putri tercintanya. "Sebentar lagi ada seseorang yang akan mengunjungimu," ucapnya. "Omar?" Wajah Fatma menampakkan semburat kemerahan. Dia sangat merindukan pria itu. Padahal baru beberapa jam Omar tidak berada di sisinya. Tuan Ayyoub kembali mengulas s
"Fatma ..." Sosok itu mengngkat wajah sendu dengan luapan kesedihan yang ditahan. Dia melangkah lambat menuju ke arah Fatma dan Tuan Ayyoub. Tuan Ayyoub yang sempat terkejut karena terlalu melamun tadi, kini tersenyum ke arah pria itu. "Omran ... Aku pikir tadi yang datang adalah saudara kembarmu. Untung saja matamu itu bisa aku kenali." Tuan Ayyoub tersenyum ramah menyambut kehadiran Omran. Dengan meninggikan leher, Tuan Ayyoub mengintip ke belakang tubuh Omran. "Tadi dia bilang akan segera ke sini. Mungkin sebentar lagi dia datang," ucap Tuan Ayyoub sambil memperhatikan jarm jam yang melingkar di tangannya. "Dia ada di sini, Paman." Nada suara Omran seperti menyiratkan kesedihan. "Hm ...?" Tuan Ayyoub mengernyit. Omran menghela napasnya sesaat, kemudian dia bergeser ke samping dan membuka lebar pintu ruang perawatan. Pria itu memejamkan matanya ketika sebuah brankar didorong masuk ke dalam ruangan. Pertama-tama yang terli
Hanya Omar yang secara diam-diam memperhatikan saudaranya. Seolah mengabaikan, Omar bersikap justru terlihat seperti seorang pemenang. Dia tahu jika Omran-lah yang berjasa telah membawanya ke rumah sakit sehingga lukanya bisa ditangani dengan cepat. Meskipun kehilangan banyak darah, beruntung cidera yang dia alami tidak sampai menyebabkan luka dalam. Setelah sadar, Omar mendapati Omran yang sedang menungguinya di sisi brankar. Omran sempat meminta maaf atas sikapnya akhir-akhir ini. Mereka mungkin sudah bisa dikatakan berbaikan, akan tetapi sikap Omar sedikit berbeda dari sebelumnya. Entah mengapa, hanya Omar yang tahu. Kejadian yang baru saja menimpa Omar membuat Omran merasakan ketakutan yang belum pernah dia bayangkan. Sekarang, Omran bisa memahami segalanya dari perspektif yang berbeda. Kadang manusia belum tahu seberapa penting seseorang bagi mereka sebelum mereka merasakan yang namanya kehilangan. Dia merasakan perbedaan yang mencolok di mata Omar ketika menatapnya. Ti