"Fatma ..."
Sosok itu mengngkat wajah sendu dengan luapan kesedihan yang ditahan. Dia melangkah lambat menuju ke arah Fatma dan Tuan Ayyoub.
Tuan Ayyoub yang sempat terkejut karena terlalu melamun tadi, kini tersenyum ke arah pria itu. "Omran ... Aku pikir tadi yang datang adalah saudara kembarmu. Untung saja matamu itu bisa aku kenali." Tuan Ayyoub tersenyum ramah menyambut kehadiran Omran.
Dengan meninggikan leher, Tuan Ayyoub mengintip ke belakang tubuh Omran. "Tadi dia bilang akan segera ke sini. Mungkin sebentar lagi dia datang," ucap Tuan Ayyoub sambil memperhatikan jarm jam yang melingkar di tangannya.
"Dia ada di sini, Paman." Nada suara Omran seperti menyiratkan kesedihan.
"Hm ...?" Tuan Ayyoub mengernyit.
Omran menghela napasnya sesaat, kemudian dia bergeser ke samping dan membuka lebar pintu ruang perawatan. Pria itu memejamkan matanya ketika sebuah brankar didorong masuk ke dalam ruangan. Pertama-tama yang terli
Hanya Omar yang secara diam-diam memperhatikan saudaranya. Seolah mengabaikan, Omar bersikap justru terlihat seperti seorang pemenang. Dia tahu jika Omran-lah yang berjasa telah membawanya ke rumah sakit sehingga lukanya bisa ditangani dengan cepat. Meskipun kehilangan banyak darah, beruntung cidera yang dia alami tidak sampai menyebabkan luka dalam. Setelah sadar, Omar mendapati Omran yang sedang menungguinya di sisi brankar. Omran sempat meminta maaf atas sikapnya akhir-akhir ini. Mereka mungkin sudah bisa dikatakan berbaikan, akan tetapi sikap Omar sedikit berbeda dari sebelumnya. Entah mengapa, hanya Omar yang tahu. Kejadian yang baru saja menimpa Omar membuat Omran merasakan ketakutan yang belum pernah dia bayangkan. Sekarang, Omran bisa memahami segalanya dari perspektif yang berbeda. Kadang manusia belum tahu seberapa penting seseorang bagi mereka sebelum mereka merasakan yang namanya kehilangan. Dia merasakan perbedaan yang mencolok di mata Omar ketika menatapnya. Ti
Ketika masa sekolah dulu, seseorang pernah mengatakan kepada Omar, 'wanita itu adalah makhluk yang nasibnya harus dikejar-kejar kaum pria'. Maka,sekarang Omar setuju dengan kalimat itu. Seandainya dia menyerah untuk mendapatkan hati Fatma, mungkin hari bahagia ini tidak akan pernah tiba di dalam kehidupannya.Pukul 08.45, Omar mengulurkan tangannya untuk memberikan pegangan bagi Fatma, sang pengantin yang terlihat seperti seorang putri dari negeri dongeng dengan gaun putih yang menyapu lantai. Wajah bahagianya menyiratkan jika dia benar-benar merasa seperti seorang ratu yang telah menemukan rajanya. Fatma kemudian meraih uluran tangan Omar dengan senyum yang mengembang hingga membuat matanya terlihat mengecil. Tangannya kemudian melingkari lengan Omar yang terjulur di sisi tubuh tegak milik pria itu. Pria yang terlihat sangat tampan dengan balutan tuxedo berwarna hitam. Mereka bersama menuju ke ruang utama mansion tempat mereka berbagi atap selama ini. Keduanya berjalan menap
Dalam kekhidmatan pernikahan, Tuan Ayooub menunduk dangan punggung yang terlihat bergetar. Tunai sudah keinginannya untuk menjadi wali pernikahan putri satu-satunya yang dia miliki. Ini adalah hari bahagia, akan tetapi di balik itu ada luka yang kembali menganga saat dirinya terkenang masa yang telah berlalu. 'Fatima, putrimu secantik dirimu. Jika kamu berada di sini, mungkin aku tidak akan bersedih seperti ini,' lirihnya di dalam hati. Tuan Ayyoub cepat-cepat mengangkat wajahnya sebelum dirinya menjadi pusat perhatian. Dia memandangi sepasang pengantin yang baru saja berikrar di hadapannya. Tampak jelas rona bahagia itu mendominasi suasana, sehingga meskipun saat ini sudah masuk musim dingin, akan tetapi perasaan seluruh keluarga begitu hangat. "Mulai hari ini, berjanjilah untuk tidak bersedih lagi," pinta Omar kepada pengantinnya sambil membelai pipi yang seputih susu itu. Dia kemudian tanpa malu-malu memeluk tubuh sang istri dengan erat, seolah tidak
Dia menepuk bahuku untuk memberikan semangat. Aku melihat senyum getir bertengger di bibirnya. Kemudian dia pergi setelah sempat mengucapkan, "berbahagialah sampai akhir hayat," dan ketika dia sudah pergi aku membalasnya dengan kata-kata yang mungkin tidak lagi terdengar di telinganya, "aku bahagia hingga akhir hayat," ucapku pelan. Dengan mantap aku mengenakan tuxedo yang dipilih langsung oleh Fatma beberapa hari lalu di sebuah butik yang tidak begitu terkenal di kota ini. Tidak ada yang menyangka kostum yang aku kenakan itu harganya tidak lebih dari dua ratus Euro. Aku tidak menyangka jika wanitaku ini memiliki selera yang baik dalam berpakaian. Padahal dia berasal dari kota kecil dan hidup memprihatinkan sebelumnya. Saat itu aku bertanya kepadanya bagaimana dia bisa memilih tuxedo sebagus ini. Dia menjawab, "aku pernah melihat seseorang mengenakan model yang hampir sama seperti ini di masa lalu, di hari pernikahanku bersama mendiang Tuan Ridwan. Seseorang itu kutemui sesa
"Omar!!! Sayang, jawab aku! Jawab!" Fatma histeris saat terbangun dari tidurnya. Semalam entah mengapa dia merasakan matanya yang terlalu berat untuk dibuka saat berada di dalam pelukan sang suami yang menenangkan. Kini, pria yang baru saja menjadi suaminya itu justru tidak bergerak sama sekali dengan wajah yang sangat pucat. Tangannya masih melingkar di perut Fatma, tanda jika pria itu memeluknya semalaman. Fatma menempelkan telinganya tepat di atas dada Omar. Deguban jantung pria itu masih terdengar, namun tidak seperti semalam. Wanita itu kemudian memeriksa hembusan napas sang suami yang terasa pelan dan hangat. Tubuh pria itu juga terasa sama hangatnya. Pantas saja semalam Fatma merasa begitu nyaman berada di dalam dekapan Omar saat musim dingin seperti ini. "Sayang! Jawab aku. Kau mendengarku 'kan?" Fatma semakin panik karena ucapannya tidak mendapatkan jawaban sama sekali. Dia kemudian mengganti pakaian dengan asal-asalan, kemudian berlari menyusuri tangg
Langkah kaki yang terdengar cepat menggema di koridor rumah sakit yang tidak ramai seperti biasanya. Hari ini warga Paris merayakan hari besar keagamaan sehingga pengunjung dan pasien di rumah sakit hanya terlihat beberapa orang. Mereka yang berada di jalan bersorak sorai dengan kegembiraan. Sementara di rumah sakit itu beberapa orang nyaris kehilangan harapannya. Rombongan keluarga memenuhi sudut-sudut koridor rumah sakit setelah Omran mengabari mereka tentang apa yang menimpa Omar. Baik Nyonya Adeline dan Tuan Khaleed berlari menuju tempat di mana Omar sedang ditangani. Bisa dibayangkan seperti apa reaksi seorang ibu yang tiba-tiba saja mendengar kabar buruk tentang putranya. Sebagai wanita yang telah melahirkannya, Nyonya Adeline bahkan tidak pernah bersiap untuk menghadapi hari ini. Selama ini Omar tidak pernah menunjukkan bahwa dirinya mengidap penyakit tertentu. Justru pada Omran-lah mereka menaruh perhatian. Tidak ada raut kebahagiaan yang tergambar dari wajah
Tuan Ayyoub bergegas meraih tubuh putrinya yang tidak sadarkan diri, dibantu oleh beberapa tenaga kesehatan yang secara kebetulan ikut menyaksikan kejadian itu. Demikian halnya Tuan Khaleed yang juga mengambil alih tubuh sang istri dan menggendongnya menuju unit gawat darurat. Di dalam ruang itu keduanya dibaringkan bersebelahan dengan brankar di mana Omar sedang berada di alam mimpi terdalamnya. Namun, tak satu pun bisa melihat kondisi pria itu akibat tirai yang menghalangi pandangan. Tuan Khaleed dan Tuan Ayyoub kembali ke luar ruangan sementara Fatma dan Nyonya Adeline ditangani oleh beberapa orang dokter yang sedang piket di dalam. Di luar sana Omran terlihat mematung dengan surat wasiat yang berada di tangan. Surat wasiat dari Omar yang membuat dua wanita penting di kehidupannya kehilangan kesadaran. Tuan Khaleed mendekat, matanya menangkap tulisan yang sangat jelas tercetak di atas kertas itu. Sesaat kemudian dia menghembuskan napas kasar beberapa k
Penantian yang panjang tak selalu berakhir dengan kebahagiaan, tak juga selalu berakhir dengan kesedihan. Demikianlah yang terjadi dengan Omran. Ini bukan masalah waktu yang dia habiskan untuk mencintai Fatma dalam diam. Tapi ini perihal hati. Tentu Omran ingin cintanya berakhir bahagia, tapi bukan berbahagia di atas penderitaan orang lain, terlebih lagi orang yang dimaksud adalah saudaranya sendiri. Rasa dilema yang memuncak ketika kembali mengingat seragkaian tulisan yang tercetak di atas kertas wasiat itu. Omar menuliskan bahwa tidak ada satu orang pun yang boleh menggagalkan pengorbanannya ini. Haruskah Omran menerima hadiah terbesar yang berasal dari saudara kembarnya itu. Jika ya, maka apa bedanya dia dengan seorang pembunuh. Lalu, jika jawabannya tidak, maka dia menjadi alasan pengorbanan Omar berakhir sia-sia. Dia sempat berkonsultasi dengan dokter yang menangani penyakit Omar, bahwa saudara kembarnya itu memiliki kemungkinan kecil untuk sembuh. Bahkan bisa d