Dia menepuk bahuku untuk memberikan semangat. Aku melihat senyum getir bertengger di bibirnya. Kemudian dia pergi setelah sempat mengucapkan, "berbahagialah sampai akhir hayat," dan ketika dia sudah pergi aku membalasnya dengan kata-kata yang mungkin tidak lagi terdengar di telinganya, "aku bahagia hingga akhir hayat," ucapku pelan.
Dengan mantap aku mengenakan tuxedo yang dipilih langsung oleh Fatma beberapa hari lalu di sebuah butik yang tidak begitu terkenal di kota ini. Tidak ada yang menyangka kostum yang aku kenakan itu harganya tidak lebih dari dua ratus Euro. Aku tidak menyangka jika wanitaku ini memiliki selera yang baik dalam berpakaian. Padahal dia berasal dari kota kecil dan hidup memprihatinkan sebelumnya. Saat itu aku bertanya kepadanya bagaimana dia bisa memilih tuxedo sebagus ini. Dia menjawab, "aku pernah melihat seseorang mengenakan model yang hampir sama seperti ini di masa lalu, di hari pernikahanku bersama mendiang Tuan Ridwan. Seseorang itu kutemui sesa
"Omar!!! Sayang, jawab aku! Jawab!" Fatma histeris saat terbangun dari tidurnya. Semalam entah mengapa dia merasakan matanya yang terlalu berat untuk dibuka saat berada di dalam pelukan sang suami yang menenangkan. Kini, pria yang baru saja menjadi suaminya itu justru tidak bergerak sama sekali dengan wajah yang sangat pucat. Tangannya masih melingkar di perut Fatma, tanda jika pria itu memeluknya semalaman. Fatma menempelkan telinganya tepat di atas dada Omar. Deguban jantung pria itu masih terdengar, namun tidak seperti semalam. Wanita itu kemudian memeriksa hembusan napas sang suami yang terasa pelan dan hangat. Tubuh pria itu juga terasa sama hangatnya. Pantas saja semalam Fatma merasa begitu nyaman berada di dalam dekapan Omar saat musim dingin seperti ini. "Sayang! Jawab aku. Kau mendengarku 'kan?" Fatma semakin panik karena ucapannya tidak mendapatkan jawaban sama sekali. Dia kemudian mengganti pakaian dengan asal-asalan, kemudian berlari menyusuri tangg
Langkah kaki yang terdengar cepat menggema di koridor rumah sakit yang tidak ramai seperti biasanya. Hari ini warga Paris merayakan hari besar keagamaan sehingga pengunjung dan pasien di rumah sakit hanya terlihat beberapa orang. Mereka yang berada di jalan bersorak sorai dengan kegembiraan. Sementara di rumah sakit itu beberapa orang nyaris kehilangan harapannya. Rombongan keluarga memenuhi sudut-sudut koridor rumah sakit setelah Omran mengabari mereka tentang apa yang menimpa Omar. Baik Nyonya Adeline dan Tuan Khaleed berlari menuju tempat di mana Omar sedang ditangani. Bisa dibayangkan seperti apa reaksi seorang ibu yang tiba-tiba saja mendengar kabar buruk tentang putranya. Sebagai wanita yang telah melahirkannya, Nyonya Adeline bahkan tidak pernah bersiap untuk menghadapi hari ini. Selama ini Omar tidak pernah menunjukkan bahwa dirinya mengidap penyakit tertentu. Justru pada Omran-lah mereka menaruh perhatian. Tidak ada raut kebahagiaan yang tergambar dari wajah
Tuan Ayyoub bergegas meraih tubuh putrinya yang tidak sadarkan diri, dibantu oleh beberapa tenaga kesehatan yang secara kebetulan ikut menyaksikan kejadian itu. Demikian halnya Tuan Khaleed yang juga mengambil alih tubuh sang istri dan menggendongnya menuju unit gawat darurat. Di dalam ruang itu keduanya dibaringkan bersebelahan dengan brankar di mana Omar sedang berada di alam mimpi terdalamnya. Namun, tak satu pun bisa melihat kondisi pria itu akibat tirai yang menghalangi pandangan. Tuan Khaleed dan Tuan Ayyoub kembali ke luar ruangan sementara Fatma dan Nyonya Adeline ditangani oleh beberapa orang dokter yang sedang piket di dalam. Di luar sana Omran terlihat mematung dengan surat wasiat yang berada di tangan. Surat wasiat dari Omar yang membuat dua wanita penting di kehidupannya kehilangan kesadaran. Tuan Khaleed mendekat, matanya menangkap tulisan yang sangat jelas tercetak di atas kertas itu. Sesaat kemudian dia menghembuskan napas kasar beberapa k
Penantian yang panjang tak selalu berakhir dengan kebahagiaan, tak juga selalu berakhir dengan kesedihan. Demikianlah yang terjadi dengan Omran. Ini bukan masalah waktu yang dia habiskan untuk mencintai Fatma dalam diam. Tapi ini perihal hati. Tentu Omran ingin cintanya berakhir bahagia, tapi bukan berbahagia di atas penderitaan orang lain, terlebih lagi orang yang dimaksud adalah saudaranya sendiri. Rasa dilema yang memuncak ketika kembali mengingat seragkaian tulisan yang tercetak di atas kertas wasiat itu. Omar menuliskan bahwa tidak ada satu orang pun yang boleh menggagalkan pengorbanannya ini. Haruskah Omran menerima hadiah terbesar yang berasal dari saudara kembarnya itu. Jika ya, maka apa bedanya dia dengan seorang pembunuh. Lalu, jika jawabannya tidak, maka dia menjadi alasan pengorbanan Omar berakhir sia-sia. Dia sempat berkonsultasi dengan dokter yang menangani penyakit Omar, bahwa saudara kembarnya itu memiliki kemungkinan kecil untuk sembuh. Bahkan bisa d
Di kediaman baru Sabrina, saat ini wanita ular itu sedang tersenyum puas. Dendamnya terhadap keluarga Benmoussa dan Ahbity akhirnya hampir terbalaskan. Jangan pikir jika Sabrina tidak punya andil dengan apa yang terjadi saat ini.Asia, dia menjatuhkan pilihan untuk bersembunyi di salah satu negara yang berada di benua itu. Bukan tanpa sebab, Sabrina bertemu dengan seseorang, kemudian memutuskan untuk merencanakan sesuatu yang baru.Apa yang sempat mengganggu pikiran Soraya ada hubungannya dengan keterlibatan Sabrina. Dokter Charles, pria itu ternyata adalah kekasih Sabrina yang tidak seorang pun tahu. Dokter yang selama ini 'katanya' membantu Omran untuk kembali mendapatkan kesehatannya. Pada kenyataannya, Omran tidak menderita penyakit itu sama sekali. Dia benar-benar seorang pria yang sehat. Obat-obatan yang diberikan Doketer Charles kepada Omran justru membuat Omran kehilangan kemampuan seksualnya. Tentu ada tujuan di balik itu. Sabrina tidak ingin Omran memiliki ke
Dapat dia rasakan betapa hangatnya berada di dalam dekapan pria itu. Omar melingkarkan kedua tangannya ke tubuh sang istri yang menempelkan kepalanya ke atas dada Omar. "Sayang ...," ucap Omar dengan lembut. "Hm?" Fatma membalasnya dengan mata terpejam. Meresapi rasa hangat yang tercipta dari dekapan kasih sayang pria yang begitu dia cintai. Sungguh Fatma tidak ingin waktu segera berlalu dan menghentikan rasa nyaman ini, sebisa mungkin dirinya untuk tetap tersadar bahwa apa yang sedang terjadi benar-benar sebuah rasa yang nyata. "Aku sangat mencintaimu Fatma." "Aku juga," balas Fatma. Sentuhan tangan Omar dapat dia rasakan membelai rambutnya yang terurai hingga menyentuh permukaan tempat tidur. Sementara napas hangat dari sang suami sangat jelas berhembus di permukaan kulit pipinya. Pria itu terdengar membisikkan sesuatu. "Berbahagialah. Hari ini sudah tiba, Sayang. Tersenyumlah untukku mulai hari ini. Karena aku bangga menjadikan kamu sebagai
Soraya merupakan salah satu perawat yang ditugasi untuk menjemput Omar berkali-kali melihat jarum jam dinding yang semakin menunjukkan jika mereka sudah tidak bisa mengulur waktu lagi. Di dalam ruang operasi sudah ada Omran menunggu. "Fatma ... berdoalah agar operasi suamimu berhasil. Aku tahu Omar memilihmu karena dia yakin kamu adalah wanita yang kuat," ucap Soraya mencoba untuk meyakinkan Fatma. Meskipun jauh di lubuk hatinya sendiri, dia tidak yakin dengan apa yang akan terjadi hari ini. Bukan hanya Fatma dan anggota keluarga yang lain, Soraya pun diliputi perasaan yang tidak tenang. Dia tidak bisa membayangkan jika sesuatu terjadi tidak sesuai dengan apa yang diharapkan nantinya. Dengan berat hati Fatma mengangguki ucapan Soraya. Dia akhirnya memberi jarak pada tubuh sang suami. Saat ini adalah momen yang berat bagi Fatma. Dia tahu orang-orang menginginkan yang terbaik bagi Omar. Tapi, entah dorongan apa yang membuat Fatma menyangkal untuk membenarkan keputusan ini. "Ayah ..."
Fatma tersenyum sambil memejamkan kedua matanya. Di sisinya Omar dengan wajah yang tampan itu memberikan kecupan perpisahan yang bisa dirasakan oleh Fatma dengan mata terpejam. "Tersenyumlah lebih dari ini," bisik Omar yang dirasakan oleh Fatma. Saat itu juga Fatma melebarkan senyumnya. Wanita itu kemudian perlahan membuka mata. Pandangannya terfokus pada pintu operasi yang terbuka, sementara di sisi pintu sekelabat bayangan Omar yang tersenyum kini semakin menjauh dan perlahan hilang dari pandangan. Rasa penasaran menyelimuti seluruh anggota keluarga yang menyaksikan reaksi Fatma ketika membaca surat yang berada di tangannya. Namun, rasa penasaran itu teralihkan dengan kehadiran Dokter Charles yang menunjukkan raut sedih. Pria itu menyeka peluh yang terlihat membasahi permukaan dahinya. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Raut muram yang dia tunjukkan sudah cukup membuat seluruh keluarga berpikir hanya pada satu kemungkinan. Tanpa ada seorang pun yang mengucapkan