Denting sendok dan garpu terdengar bersahutan di dalam ruang makan. Fatma dan Omar menikmati makan malam berdua dalam hening. Sesekali Omar memandang wajah Fatma yang sedang fokus dengan apa yang dia kunyah. Pria itu merasakan ada raut yang berbeda muncul di wajah Fatma. Si kucing liarnya terlihat lebih tenang dari pada sebelumnya.
"Makanan ini ... Kamu yang memasaknya?" Omar membuka percakapan setelah keduanya selesai dengan piring mereka masing-masing. Tanpa memberikan jawaban, Fatma menaikkan kedua alisnya dengan wajah datar.
"Aku rasa, aku baru saja menikmati hidangan dari restauran ternama," ucap Omar dengan jujur.
"Jangan berlebihan, aku hanya sedikit membantu pekerjaan Bibi Halima."
Omar tersenyum kecil, wanita cantik yang membalas ucapannya itu masih saja bersikap ketus. Akan tetapi, Omar bisa memastikan jika suasana hati Fatma saat ini dalam keadaan baik. Terlihat dari raut wajahnya yang tenang.
Beberapa saat setelahnya ...
"F
"Kamu tersenyum karenanya?" Bibi Halima membuat Fatma menghentikan lamunannya. Fatma gelagapan karena terlihat memandangi punggung Omar yang semakin menjauh. Namun , dia sudah terlambat menyembunyikan ekspresi wajahnya di hadapan wanita paruh baya itu. Ia masih teringat bagaiman sikap Omar yang acap kali mencari perhatian di hadapan Fatma seperti yang baru saja terjadi sebelumnya, "Eh ... Bibi, emm... Aku ..." "Bibi rasa Tuan Omar adalah pria yang sangat tampan dan baik, ya?" Jauh di lubuk hatinya, Fatma membenarkan perkataan Bibi Halima itu. Akan tetapi mulutnya terlalu egois untuk mengakui. Trauma di masa lalu membuat Fatma agak sulit untuk membuka hati untuk siapapun. "Aku belum mengenalnya lebih jauh, jadi aku belum bisa menyimpulkan." balas Fatma. "Masih ada waktu untuk kalian saling mengenal. Bibi dulu juga begitu." Bibi Halima menghampiri Fatma yang masih berdiri di depan pintu. Memberikan afeksi di perut Fatma yang masih datar. "Dia pasti akan
Di klinik kandungan. Wajah Fatma berbinar saat layar monitor di hadapannya menampakkan titik hitam yang menurut dokter itu adalah janin yang dia kandung saat ini. Meskipun masih terlihat hanya sebesar kacang hijau, Fatma merasakan kebahagiaan yang begitu besar. Tuan Ridwan, pria kejam yang sudah pergi untuk selama-lamanya itu meninggalkan sesosok makhluk suci untuk menemani hidup Fatma. Seberkas senyuman terbit di wajah cantiknya. Seolah sinar yang membuat wajahnya terlihat cerah. "Apa ada keluhan yang Anda rasakan, Nyonya?" Dokter Liona yang menangani Fatma bertanya sementara tangannya sibuk membersihkan permukaan kulit perut wanita itu dari sisa-sisa clear ultrasound gel. Fatma menggeleng. Jawaban jujur dari gesture yang ia tunjukkan. Ia tersenyum tulus. Binar kebahagiaan tergambar jelas di wajahnya kini menjadi perhatian bagi Omar. Seolah rasa itu menular, Omar ikut mengulas senyum yang sama. "Tidak ada keluhan. Ta
Fatma merasa bersalah atas sikapnya sendiri. Dia tidak habis pikir jika akhir-akhir ini mulutnya lebih sering mengatakan kata-kata pedas terhadap Omar. Pria berhati tulus yang tidak semestinya dipelakukan demikian. Justru berkat Omar-lah Fatma masih bisa menghirup udara kebebasan hingga detik ini. Jika tidak memiliki perasaan yang sama seperti yang Omar miliki, paling tidak dia bisa bersikap baik dengan pria itu. Tidak, Fatma merasa pasti ada yang salah dengan kepribadiannya dan sungguh, dia membenci itu. Sikap yang muncul entah sejak kapan. Namun, dia menyadari perubahan emosionalnya hadir seiring waktu di mana ia berkali-kali disakiti orang-orang terdekat. Kemana hilangnya sikap lemah lembut yang selalu menjadi ciri khas Fatma? Fatma ingin melawan rasa itu. Rasa yang membuatnya selalu merasa benci melihat sosok pria. Sekian lama wanita itu merenung hingga tanpa terasa langit Paris berangsur-angsur menghitam. Dia berkali-kali keluar masuk kamar hanya untuk memeriksa
"Anda bisa membawa istri Anda ke tempat-tempat yang indah untuk menghilangkan traumanya," ucap dokter yang menangani masalah gangguan emosional Fatma. "Kamu dengar itu Fatma? Bagaimana jika kita mencobanya?" Tatapan sayang Omar berikan untuk wanita di sampingnya. Entah sejak kapan, rasa nyaman semakin menjadi-jadi dirasakan oleh Fatma terhadap perhatian yang diberikan oleh Omar. Dia mengangguk, membiarkan Omar menggenggam tangannya ke luar ruang konsultasi. Tidak ada penolakan lagi, tidak ada kata-kata ketus lagi. Sepertinya wanita itu berhasil untuk mengontrol dirinya sendiri. Karena dia tahu sikapnya selama ini salah, meskipun Omar selalu mendapatkan sikap buruk darinya selalu memaklumi dan tetap bersabar. Setelah membelah jalanan sejak kepulangan mereka dari klinik konsultasi, Omar membawa Fatma ke Jembatan Les Pont des Art, tempat di mana setiap pasangan kekasih biasanya datang untuk menautkan gembok cinta ke sisi pagar jembatan. Namun, sayangnya, saa
Malam telah mendekap bumi sepenuhnya. Kembali ke mansion adalah sebuah pilihan yang masuk akal, terlebih lagi Fatma sudah tidak memungkinkan untuk dibawa ke tempat lain sementara dirinya sudah tertidur lelap. Omar memperhatikan wajah Fatma yang terlelap di kursi penumpang. Bola mata besarnya menonjol, terkesan seperti sedang mengintip di balik kelopak mata yang sedikit terbuka, dan dipagari rambut-rambut halus yang tumbuh melengkung di sana. Omar terkekeh mengingat bagaimana wanita itu berada di atas gendongannya tadi. Entah sadar atau tidak, Fatma menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Omar sambil mengeratkan pelukan di leher pria itu. Namun dengan mata yang terpejam dan napas tenang seperti itu, Omar yakin jika reaksi tubuh Fatma menunjukkan insting semata. Omar menyibak rambut Fatma yang terserak hampir menutupi setengah wajahnya. Memandangi sejenak wanita yang akan menjadi istrinya itu. Satu-satunya wanita yang pernah hadir di dalam hidupnya. Atau ... mungkin menja
Sejak dua minggu pekerjaan di Perusahaan Ahbity Group sedikit terbengkalai karena salah satu petingginya disibukkan dengan urusan pribadi. Ya, sudah dua minggu berlalu Omar berusaha menemukan pendonor jantung untuk saudara kembarnya, Omran. Kini tiba saatnya ia harus kembali fokus dengan kemajuan perusahaan, meskipun pada kenyataannya pikiran Omar masih saja mengkhawatirkan nasib Omran di masa mendatang. Namun kehadiran Fatma seolah menjadi penyejuk di saat-saat suasana hatinya tidak nyaman. Sebagai seorang pimpinan, Omar terkenal dengan sikap ramah terhadap semua karyawannya. Meski mereka berasal dari jabatan terendah sekalipun. Beda halnya dengan Omran, yang terkenal dengan sebutan pria berwajah datar di kalangan karyawan-karyawan yang gemar bergosip. Pria itu bahkan sangat jarang terlihat mengurusi perusahaan. Seperti hari ini, Omar tak sekalipun menemukan kehadiran saudara kembarnya di dalam ruang rapat direksi. Padahal, di saat seperti itu semestinya Omran hadir bagaima
"F-fatma ... jangan salah paham. A-aku ..." Omar berusaha meraih tangan Fatma, namun Fatma menolak dengan mengibaskan tangannya. "Makan siangmu, aku sangaja membuatkannya. Ah, ya... Aku baru tahu kamu sudah punya makan siang yang lebih nikmat." Fatma menunjuk papper bag yang sempat ditinggalkan Sabrina di atas meja. Namun, matanya justru menelisik dada Omar yang terekspos dan sangat terlihat jelas terdapat sisa kecupan kemerahan yang sempat ditinggalkan Sabrina di sana. Entah apa maksud dari kata 'nikmat' yang Fatma ucapkan. Mungkin saja itu adalah sebuah sindiran untuk Omar, jika dia mengerti. Senyum miring dia tunjukkan kepada Omar, "Sebaiknya aku pulang sekarang." "Fatma!" Omar ingin meluruskan kesalah pahaman yang baru saja terjadi, akan tetapi tenggorokannya terasa kering dan lidahnya terasa kaku. Tidak ada reaksi yang ditunjukkan Fatma seperti wanita-wanita kebanyakan. Wanita yang biasanya marah atau mengamuk setelah menyaks
Di dalam ruang CEO. Omar merapikan penampilannya yang sempat terlihat acak-acakan. Di depan kaca yang berada di dalam toilet pribadinya, dia mengamati tanda kemerahan yang diberikan oleh Sabrina. Brak!!! "Breng**k!" Omar meninju cermin dan mengumpat dengan keras. Urat-urat di wajahnya menegang. Dia yakin jika Fatma sudah melihat tanda kemerahan itu dengan jelas. Dan pastinya wanita itu akan semakin salah paham. Semakin dilanda rasa frustasi, Omar menjambak rambutnya dan merutuki kebodohannya yang tidak mampu mengelak dari godaan Sabrina. Dia membasuh wajah yang seolah terasa panas akibat terbakar amarah, untuk memberikan sedikit efek sejuk. Dengan langkah tak bersemangat dia kemudian kembali ke ruang kerja dan menemukan Omran sudah duduk di atas sofa dengan begitu santai. Melihat siluet Omar yang semakin jelas, Omran kembali memperhatikan raut wajah Omar yang matanya terlihat memerah. Ini untuk pertama kalinya Omar menampakkan raut wajah seper