Karena terlalu fokus, Fatma tidak menyadari kalau seseorang membalas tatapannya, "Apa kamu baru saja mengagumiku?" Omar terkekeh melihat gestur yang ditunjukkan Fatma. Si kucing liar itu gelagapan membenarkan scarf yang ia kenakan untuk mengalihkan rasa gugup. Hal itu membuat Omar semakin gemas dengan melihat tingkah polah Fatma yang jengah dengan tuduhan yang ia berikan.
Panas matahari berganti senja yang memerah di langit kota yang disebut-sebut tak pernah tidur ini. Menjadi salah satu kota tersibuk setelah kota Madrid, Barcelona memiliki keistimewaan tersendiri bagi sebagian orang. Iklim hangat yang disajikan salah satu kota terbesar di Spanyol ini memiliki perbedaan dari kota lainnya. Fatma masih dengan kekaguman yang terukir di wajahnya. Tak begitu jauh dari posisi mereka terlihat sebuah bangunan dengan bentuk yang sangat unik dan megah.
"Bangunan yang kamu lihat itu adalah Gereja Katholik Roma." Menyadari Omar yang mengajaknya berbicara, Fatma menoleh
Reaksi apa yang diinginkan Fatma dari seorang pria yang baru saja mendengar pernyataannya? Dia ingin Omar terkejut? Marah? Kecewa? Atau mungkin meninggalkannya begitu saja? Apa Fatma berpikir jika Omar akan merasa jijik kepadanya, karena dengan suka rela menolong hingga sejauh ini hanya untuk seorang wanita muda yang sedang mengandung, entah dari bibit pria mana? Jika Fatma berharap akan kemungkinan itu, maka dugaannya salah. Satu menit. Dua Menit. Tiga menit. Pria itu menoleh dengan wajah yang tenang, "Jika apa yang kamu ucapkan itu benar, maka akulah ayah dari bayi yang kamu kandung." "Eh, apa aku tidak salah dengar?" batin Fatma. Kini Fatma-lah yang menunjukkan ekspresi terkejut maksimal. Saat Omar selesai dengan ucapannya, Fatma meremas pakaiannya dalam diam. Dia kesal karena pria itu sempat-sempatnya mengucapkan lelucon saat Fatma berusaha untuk membahas hal yang serius. Suara empuk seorang remaja laki-laki hadir di antar
Tidak ada masalah dengan kondisi Fatma yang sedang mengandung, juga sama halnya dengan statusnya sebagai wanita bersuami. Bahkan andaipun Fatma adalah seorang wanita malam, Omar tidak memedulikan hal itu. Pertemuan singkat mereka membuat Omar enggan untuk membiarkan Fatma pergi dari pandangannya. Sejak awal, dia kerap kali merasakan ada yang tidak beres dengan dirinya sendiri. Setiap menatap mata Fatma, jantungnya berdebar lebih cepat. Rasa yang tidak pernah dia alami sebelum bertemu dengan si kucing liar. Kini ia mengerti, cinta pada pandangan pertama bukanlah sebuah mitos. Dengan menekan kedua tangan di pinggiran kursi, Omar merasakan sakit di hatinya. Bukan terhadap Fatma, melainkan orang-orang yang terlibat atas penderitaan yang dialami wanita itu. "Sudahlah, ayo kembali ke dalam mobil." ucap Omar dengan suara parau. Malam itu mereka memutuskan untuk tidur di dalam mobil. Membiarkan kaca jendela sedikit terbuka. Keduanya memang sama-sama butuh istirahat.
"Anda sudah dapat memeriksa email yang saya kirimkan, Tuan. Semua informasi yang Anda butuhkan ada di sana." seseorang menghubungi Omar dari sambungan telpon genggam. Ketika mereka berada di Barcelona, saat itu Fatma sedang tertidur, Omar menghubungi seseorang untuk mencari tahu informasi tentang Tuan Ridwan. Dan dalam waktu singkat, semua informasi yang dia butuhkan sudah berada di dalam genggaman. Dia memutuskan sambungan telpon dan memasukkan benda itu ke dalam saku bersamaan dengan senyum yang terukir di wajah. "Bagaimana Fatma? Apa kamu menikmati perjalanan ini? Inilah kota Paris. Apa kamu pernah bermimpi berada di sini sebelumnya?" ujar Omar. Dia menangkap bayangan Fatma yang sedang mengagumi tiap sudut kota yang terlihat memukau. Tanpa menoleh, Fatma memberikan gelengan kepala sebagai jawaban dari pertanyaan Omar. Mobil yang sudah puluhan jam membelah jalanan kota Marbella hingga ke Paris itu berhenti tepat di depan sebuah bangunan mewah
Semenjak Omar meninggalkan dirinya di dalam kamar, Fatma mencoba mencerna setiap kejadian demi kejadian yang dia alami bersama pria itu. Pria yang entah memiliki motif apa sehingga bersikeras untuk menjadi ayah dari bayi yang ia kandung. Namun, yang terjadi padanya saat ini adalah layaknya seperti kisah-kisah fantasi. Di mana seorang gadis malang yang bertemu dengan seorang pangeran berkuda. Fatma selalu berpikir dengan rasional, bahwa tidak ada pria sempurna yang begitu saja mencintai wanita dengan serba kekurangan sepertinya. Akan tetapi tiap kali Fatma mencoba mencari setitik kebohongan di mata Omar, dia tidak menemukan apapun di sana. Dan, kisah fantasi itu benar-benar terjadi di dalam kehidupannya saat ini. Tidak, Fatma tidak bisa mengingkari bahwa dia tidak memiliki sedikitpun perasaan kepada pria itu meski dia sempat mengagumi. Di dalam kamar, Fatma kembali mengedarkan pandangan. Rasa takjub lagi-lagi membuatnya ternganga untuk ke sekian kali. Semua fasi
Omar menatap tajam saudara kembarnya yang terlihat berantakan. Dia sempat melihat Omran bertandang ke mansionnya beberapa waktu yang lalu. Akan tetapi, dia justru pergi begitu saja sebelum mengucapkan apapun kepada Omar. Sebelumnya, mereka sempat berkomunikasi melalui sambungan telpon. Karena itulah Omar segera menyusul Omran tanpa memberi tahu Fatma terlebih dahulu. Omar merampas gelas wine yang berada di atas meja lalu melepaskannya hingga serpihan kaca gelas yang pecah menyebar ke permukaan lantai. "Apa hanya dengan cara ini kamu menghabiskan waktu?" ucap Omar dengan wajah lelahnya. "Apa pedulimu? Pantas saja kamu tidak mendapatkan jantung itu untukku. Rupanya kamu sedang bersenang-senang dengan wanita murahan." Omran menatap sinis saudara kembarnya, " Cih! Aku pikir kamu peduli." Suasana club malam tiba-tiba menjadi sepi. Padahal sebelumnya terdengar riuh dengan dentuman-dentuman musik pengiring. Petugas keamanan bahkan menyuruh semua pe
Denting sendok dan garpu terdengar bersahutan di dalam ruang makan. Fatma dan Omar menikmati makan malam berdua dalam hening. Sesekali Omar memandang wajah Fatma yang sedang fokus dengan apa yang dia kunyah. Pria itu merasakan ada raut yang berbeda muncul di wajah Fatma. Si kucing liarnya terlihat lebih tenang dari pada sebelumnya. "Makanan ini ... Kamu yang memasaknya?" Omar membuka percakapan setelah keduanya selesai dengan piring mereka masing-masing. Tanpa memberikan jawaban, Fatma menaikkan kedua alisnya dengan wajah datar. "Aku rasa, aku baru saja menikmati hidangan dari restauran ternama," ucap Omar dengan jujur. "Jangan berlebihan, aku hanya sedikit membantu pekerjaan Bibi Halima." Omar tersenyum kecil, wanita cantik yang membalas ucapannya itu masih saja bersikap ketus. Akan tetapi, Omar bisa memastikan jika suasana hati Fatma saat ini dalam keadaan baik. Terlihat dari raut wajahnya yang tenang. Beberapa saat setelahnya ... "F
"Kamu tersenyum karenanya?" Bibi Halima membuat Fatma menghentikan lamunannya. Fatma gelagapan karena terlihat memandangi punggung Omar yang semakin menjauh. Namun , dia sudah terlambat menyembunyikan ekspresi wajahnya di hadapan wanita paruh baya itu. Ia masih teringat bagaiman sikap Omar yang acap kali mencari perhatian di hadapan Fatma seperti yang baru saja terjadi sebelumnya, "Eh ... Bibi, emm... Aku ..." "Bibi rasa Tuan Omar adalah pria yang sangat tampan dan baik, ya?" Jauh di lubuk hatinya, Fatma membenarkan perkataan Bibi Halima itu. Akan tetapi mulutnya terlalu egois untuk mengakui. Trauma di masa lalu membuat Fatma agak sulit untuk membuka hati untuk siapapun. "Aku belum mengenalnya lebih jauh, jadi aku belum bisa menyimpulkan." balas Fatma. "Masih ada waktu untuk kalian saling mengenal. Bibi dulu juga begitu." Bibi Halima menghampiri Fatma yang masih berdiri di depan pintu. Memberikan afeksi di perut Fatma yang masih datar. "Dia pasti akan
Di klinik kandungan. Wajah Fatma berbinar saat layar monitor di hadapannya menampakkan titik hitam yang menurut dokter itu adalah janin yang dia kandung saat ini. Meskipun masih terlihat hanya sebesar kacang hijau, Fatma merasakan kebahagiaan yang begitu besar. Tuan Ridwan, pria kejam yang sudah pergi untuk selama-lamanya itu meninggalkan sesosok makhluk suci untuk menemani hidup Fatma. Seberkas senyuman terbit di wajah cantiknya. Seolah sinar yang membuat wajahnya terlihat cerah. "Apa ada keluhan yang Anda rasakan, Nyonya?" Dokter Liona yang menangani Fatma bertanya sementara tangannya sibuk membersihkan permukaan kulit perut wanita itu dari sisa-sisa clear ultrasound gel. Fatma menggeleng. Jawaban jujur dari gesture yang ia tunjukkan. Ia tersenyum tulus. Binar kebahagiaan tergambar jelas di wajahnya kini menjadi perhatian bagi Omar. Seolah rasa itu menular, Omar ikut mengulas senyum yang sama. "Tidak ada keluhan. Ta