"Dia membuat kampus ini seperti acara fan meeting setiap harinya." Lauren menggerutu padaku suatu pagi. Kami sedang menunggu jam kuliah berikutnya sembari mempelajari materi yang akan diujikan oleh dosen, namun kumpulan mahasiswi yang mengerumuni Jason untuk meminta foto bersamanya terlampau berisik hingga membuat kami sulit berkonsentrasi.
Aku hanya mengangguk lalu segera mengalihkan pandangan dari mereka. Sejak hari itu Jason tak pernah lagi bicara padaku, dia mengacuhkanku seperti aku mengabaikannya. Dan kecuali saat jam kuliah aku menghindari bertemu dengannya sebisa mungkin.
Ini cukup mudah, karena kemanapun dia pergi orang-orang akan mengerubunginya seperti lalat. Cewek-cewek groupies yang menjerit histeris, serta deretan mahasiswa yang mengantre untuk meminta tanda tangannya. Jadi di mana ada kehebohan aku tahu siapa yang sedang berada di situ.
Awalnya aku tidak mengerti kenapa Jason mau repot-repot masuk kuliah mengingat karir-nya kini sedang menanjak. Namun menurut desas-desus yang beredar, saat ini ia sedang menjadi sorotan media karena tingkah lakunya.
Lauren sempat bilang padaku akhir-akhir ini gosip negatif tentang Jason kerap bertebaran di berbagai kolom berita. Foto-foto Jason tengah clubbing dengan cewek yang berbeda tiap minggu, bahkan ada liputan ketika Jason beberapa kali kedapatan bersikap kasar kepada para wartawan yang mencoba mewawancarainya.
Artikel-artikel gosip itu menyebut Jason sebagai ‘Contoh buruk bagi generasi muda’, atau ‘Seorang idola yang sedang tenggelam dalam ketenarannya’. Aku tidak heran.
"Ah iya, bagaimana dengan audisimu Mia?" ucapan Lauren menarik pikiranku kembali. Ia menatapku penasaran, menunggu jawaban. Waktu aku memutuskan untuk mendaftar audisi Hemingway’s tempo hari Laurenlah orang pertama yang kuberitahu.
Dia menyemangatiku karena tahu betapa aku menginginkan peran dalam pertunjukan musikal itu. Lauren bahkan menemaniku ke tempat audisi. Dukungannya tidak sia-sia. Surat pemberitahuan hasil audisi yang kuterima pagi ini, ternyata berisi kabar baik.
Aku sengaja membuatnya berlama-lama menunggu jawabanku. Lauren mengangkat kedua alisnya saat melihat wajahku yang kini tak bisa lagi menahan senyum dan mulai berubah jadi seringai lebar. "Kau berhasil?! Ya Tuhaan! Kau berhasil! " Lauren memekik kegirangan sambil mengguncang-guncang bahuku.
Aku ikut tertawa, sambil memberi isyarat agar dia memelankan suaranya. "Ini sangat keren Mia, kurasa tampil di Broadway bukan sekedar mimpi buatmu sebentar lagi," ujar Lauren sambil nyengir lebar. Aku memutar bola mata mendengarnya.
Suasana kelas mendadak hening. Kumpulan groupies yang tadi satu persatu mulai membubarkan diri karena dosennya baru saja memasuki ruangan. Saat menggeser dudukku aku tak sengaja melihat Jason dan tertegun karena menyadari dia sedang mengamatiku. Namun ia langsung membuang pandangan tatkala dosennya mulai berbicara.
Lauren mengajakku ke rumahnya sepulang kuliah, dia bersikeras agar kami merayakan keberhasilanku lolos audisi. Ditambah lagi ia tahu hari ini aku libur kerja paruh waktu. Jadi ia punya ide pergi ke sebuah klub malam populer yang ada di Seventh Ave.
Lauren sering hangout ke sana dengan teman-temannya yang tinggal di Upper East Side. Katanya tempat itu keren dan asyik. Aku semacam mendapat gambaran seperti apa tempat itu. Sebuah klub mewah tempat anak orang kaya berpesta dan menghamburkan uang mereka.
Aku di sisi lain bahkan belum pernah pergi ke klub malam. Jadi saat aku mengingat-ingat, isi lemari pakaianku hanyalah beberapa gaun pesta atau setelan formal serta baju kasual yang kugunakan sehari-hari.
Lauren menggeleng dengan tegas waktu kubilang mau memakai blus dan jeans saja.
Dia kemudian membongkar koleksi baju-baju terbarunya lalu membuatku mengenakan salah satu mini black dress-nya yang baru dibelinya minggu lalu di Bronx.Aku mengerenyit ketika memandangi diriku di cermin. Gaun yang kupakai ini berpotongan high neck tanpa lengan berbahan elastik ketat warna hitam mengkilap dengan bagian bawah yang sangat pendek. Bagaimana aku bisa bergerak dengan baju seperti ini?
"Bisakah aku pakai salah satu gaun koktail-ku saja? Aku merasa konyol," gumamku ragu. Lauren langsung mendelik padaku, "Tidak mungkin." ia memberi isyarat agar aku duduk di sofa di sebelahnya. "Ayo sini."
Lauren sendiri sudah berganti dengan dress kulit halterneck berwarna merah dengan model cut out di bagian pinggang. Dia memakai make up bernuansa gothic dan menata rambut pirangnya jadi kuncir kuda yang elegan. "Kita bakal terlihat super duper keren malam ini," ujarnya sambil mulai mendandani wajahku.
"Sempurna," desah Lauren puas ketika ia sudah selesai mendandaniku. Dia menatapku dengan pandangan terkesima, seperti seorang desainer yang bangga melihat hasil karyanya masuk ke New York Fashion Week.
Aku berdiri dan tertegun mengamati bayangan diriku sendiri di depan kaca. Aku terlihat ...
"Kau terlihat luar biasa, Mia!" seru Lauren seperti menyelesaikan pikiranku.
"Kau seperti J-lo versi cewek country," celetuk Lauren. Kemudian kami tertawa bersama.Kalau saja waktu itu aku tahu apa yang akan terjadi, aku tak akan menginjakkan kakiku ke tempat itu.
Klub itu berada di lantai dua puluh hotel Skylite di pusat kota. Saat kami tiba di sana klub-nya sudah mulai ramai. Para cewek yang datang kebanyakan memakai baju yang jauh lebih ekstrim daripada yang kukenakan.
Lauren membawaku masuk ke ruang utama klub yang amat luas, di mana sebagian besar pengunjung berada di lantai dansa dan juga duduk di sekeliling meja bar panjang yang ada di pinggir ruangan.
Hentakan musik yang keras dan enerjik langsung menyambut begitu kami menginjakkan kaki ke dalam. Cahayanya agak temaram dengan pantulan lampu disko yang gemerlapan.
"Ayo kita sapa teman-temanku dulu Mia," ujar Lauren setengah berteriak mengatasi suara musik yang membahana. Aku mengangguk lalu mengikuti dia berjalan melewati lantai dansa menuju ke sebuah ruangan dengan pintu kaca buram yang bertuliskan VVIP pada sisi depannya. Kami pun masuk.
Ruangan yang satu ini cukup luas, mungkin ukurannya hampir separuh lantai dansa yang ada di luar. Begitu masuk suara musik yang keras tadi langsung menghilang dan berganti dengan alunan musik lain yang bernuansa lebih ringan.
Sebuah layar besar ada di ujung ruangan, deretan sofa kulit putih gading ada di hadapannya serta terdapat meja kaca rendah berisi botol minuman di sampingnya. Beberapa orang tampak duduk di deretan sofa itu. Lauren menggandengku berjalan ke sana.
Mereka semua langsung menoleh saat Lauren menyapa dan beberapa yang dekat memberikan high five padanya. Lauren menarikku untuk duduk. Mereka memberi ruang di tengah-tengah jadi aku duduk bersebelahan dengan seorang cowok tampan bermata cokelat.
Sepertinya aku pernah melihat cowok itu di salah satu acara tv. Kalau tidak salah dia membintangi sebuah serial yang sedang naik daun. Cowok itu memakai t-shirt hitam neck tee ketat di atas celana formal berwarna senada.
Kedua lengannya yang berotot dihiasi tato bergambar rumit, memanjang dari lengan atas hingga ke batas pergelangan tangannya. Dia langsung tersenyum ketika aku duduk di sebelahnya.
"Teman baru Lauren?" ia berkata sambil melirik Lauren yang ada di sampingku.
"Dia soulmate-ku, jangan macam-macam dengannya." ujar Lauren sambil memberikan tatapan memperingatkan.
Cowok itu langsung tertawa mendengarnya. Ia mengulurkan tangannya padaku, "Hai, aku Thomas Parker, apa kabar?" ia berkata sambil tersenyum.
Aku menyambut uluran tangannya dan membalas senyumnya, "Aku Mia Summers, teman sekampus Lauren," Thomas menggenggam tanganku erat, "Kau sangat cantik Mia, apa kau tidak sering pergi ke sini? Sepertinya aku belum pernah melihatmu sebelumnya." tanyanya sambil mencondongkan tubuhnya dan mengamatiku lebih dekat.
"Tidak, tidak juga," ujarku gugup. "Tidak sering? Atau tidak pernah?" desak Thomas. "Baiklah sudah cukup," Lauren tiba-tiba merenggut tangan Thomas dan menariknya lepas dari tanganku mengabaikan seruan protes dari cowok itu.
"Apa kau ibunya?" Thomas menggerutu sinis.Lauren memperkenalkan aku ke yang lainnya. Aku tak bisa mengingat semua nama mereka. Mungkin mereka juga selebriti, meskipun aku tidak terlalu yakin. Karena mereka semua rata-rata memiliki gaya dan dandanan yang sama mewahnya.
Aku mendengar alunan musik yang keras dari luar tiba-tiba menyeruak masuk, sepertinya ada orang yang membuka pintu dan masuk ke dalam. Thomas menyeringai senang sembari melambaikan tangan ke arah pintu masuk. Aku memutar kepalaku dan mengikuti arah pandangannya.
Oh hell ... Jason Marshall?!
Jason datang bersama seorang gadis cantik berpotongan pixie yang terus menggelayuti lengannya selagi mereka berjalan. Jason mengenakan t-shirt berwarna gelap dengan aksen robek di bagian dadanya di atas celana kulit cokelat burgundy. Ia hanya mengangkat dagu sekilas menanggapi sapaan Thomas sembari menuju ke tempat kami duduk. Kemudian pandangannya beralih padaku. Ia mengerutkan kening menatapku seolah aku adalah orang yang pernah dia temui namun tak dapat diingatnya, kemudian matanya melebar ketika ia mengenaliku. Jason mengangkat sebelah alisnya memandangiku, kemudian melirik pada Thomas, lalu Lauren. Ketika ia sampai di dekat sofa, dua orang cowok berdiri untuk memberinya tempat lalu mereka berjalan ke luar ruangan. Kini Jason duduk berseberangan denganku. Matanya menatapku tajam. "Kukira kau bakal absen malam ini karena semua artikel itu.” Thomas berbicara sambil menuangkan whiski ke dalam gelas kaca yang telah diisi bongkahan es batu ke
"Jangan ke kampus hari ini!!" Aku mengerutkan kening membaca pesan singkat dari Lauren pagi itu ketika hendak bersiap-siap pergi kuliah. "Kenapa?" balasku. Lalu ia menulis lagi, “GAWAT DARURAT!” tulisnya dengan huruf besar-besar, biasanya itu pertanda kalau ia sedang histeris. Aku bisa membayangkan ekspresi Lauren saat ini."Banyak sekali wartawan yang berkumpul di depan gedung utama dan mereka semua terlihat seperti barracuda, pokoknya jangan datang kemari!!" tambahnya lagi."Benar-benar sial…” aku mengerang seraya membentur-benturkan kepala ke meja. Ingatanku kembali kepada insiden kemarin malam. Ketika Jason Marshall si brengsek itu mempermalukanku di depan para wartawan.Kemarin aku dan Lauren sampai harus bersembunyi selama tiga jam di dalam toilet hanya untuk menunggu mereka semua membubarkan diri. Lalu kami mengendap-endap lewat pintu k
Jason Marshall?! Orang yang paling ingin kucekik seharian ini, sedang duduk dengan santai di sana sambil memandangiku dengan senyum memuakkan yang menghiasi wajahnya. Aku tidak tahan melihatnya dan langsung membuang muka.Setelah berpamitan pada Tim dengan alasan bahwa aku harus mengerjakan tugas penting dari kampus untuk besok, aku bergegas pergi ke loker-ku untuk mengambil jaket dan tas lalu keluar lewat pintu sampingSebenarnya aku benci selalu kabur seperti kucing ketakutan setiap kali melihatnya, tapi aku benar-benar tak ingin bertemu dengan dia, terutama sekarang. Kenapa juga dia bisa muncul di sini?Udara malam yang dingin langsung menyambutku begitu menginjakkan kaki di luar. Aku berjalan sambil merapatkan jaket dan menggosok-gosokkan kedua telapak tanganku, meniupnya sesekali untuk mengusir hawa dingin.Namun saat hendak berbelok ke126th street tanganku tiba-tiba dicekal dari belakang kemudian tu
"Darimana kau tahu tempat aku bekerja?" tanyaku curiga pada Jason yang sedang menyetir di sebelahku. "Nah, kita sudah sampai." Ia berkata seolah tidak mendengar pertanyaanku.Aku memandang berkeliling, "Kita ada di mana?" Ia menghentikan mobil di depan sebuah gerbang hitam yang tinggi menjulang. "Rumahku. " ia berkata santai sambil mengedikkan kepalanya ke arah pintu gerbang itu."Untuk apa kita mesti ke rumahmu segala, katakan saja apa yang mau kau bicarakandi sini," sahutku ketus. Jason memandang sekeliling sambil mengangkat kedua alisnya. "Di sini? Kau yakin? Maksudku mungkin saja para wartawan sedang mengintai rumahku sekarang ini.""Aku sih tidak masalah kalau kau memang ingin kita terpergok lagi oleh mereka sedang berduaan." ia berkata sambil mengangkat bahu tak acuh. Aku melotot padanya.Jason tersenyum kemudian membelokkan mobilnya ke arah pintu gerbang itu, yang entah bagaimana langsung berderit dan membuka perlahan begitu mo
Aku memerhatikan Paul yang tengah mengemudi di sebelahku sembari berbicara santai dengan seseorang lewat earphone-nya. Kemudian aku melirik lewat kaca spion pada Jason yang setengah rebahan di bangku belakang dengan kepala bersandar pada jok dan kedua mata terpejam. Apakah aku satu-satunya yang merasa cemas di sini? Kami bertiga sedang dalam perjalanan menuju Four Seasons karena manajemen mereka akan mengadakan konferensi pers pagi ini diballroomhotelnya. Paul berkata mereka telah mengundang wartawan dari berbagai tabloid, serta reporter dari beberapa stasiun televisi terkenal untuk meliput acara ini. Mengapa aku ikut? Karena akulah alasan mereka mengadakan konferensi pers ini. Sebab pada malam aku bertemu dengan Paul di rumah Jason waktu itu, aku telah membuat kesepakatan paling gila dalam hidupku demi pertunjukan Hemingway’s. Aku memang setengah mati menginginkan peran itu, dan rasanya tidak rela bila hanya gar
"Syukurlah acaranya sukses. Andy Phelps tadi sempat uring-uringan waktu CNET mengajukan pertanyaan di luar skrip." Paul melirik Jason yang duduk di kursi penumpang belakang lewat kaca spion di atas dashboard.“Itu berkat Mia, dia tenang sekali selama konferensi pers-nya. Orang-orang jadi gampang percaya, ya,‘kan?”Jason berkata sambil melirikku. Aku mengabaikannya dan berpaling keluar jendela memandangi deretan gedung sepanjang jalan yang kami lewati di Madison Ave.Kami baru saja menyelesaikan konferensi pers itu setengah jam yang lalu dan pers release tentang Jason dan aku telah dikeluarkan.Ceritanya adalah aku sebagai kekasih Jason merasa enggan identitasku diketahui banyak orang. Jadi selama ini kami sepakat menyembunyikan hubungan kami, hingga terpergok oleh wartawan di klub malam tempo hari.Semua gosip tentang kebiasaan buruk Jason selama ini sama sekali tidak benar. Sesungguhnya dia selalu pergi dengan
Ada kantung mata berupa memar keunguan di bawah mataku ketika aku bangun pagi ini. Sepanjang malam otakku tak bisa berhenti memutar momen yang terjadi di ballroom hotel itu, lagi dan lagi.Terasa sangat aneh saat aku memikirkannya kembali. Aku tak percaya telah bersekongkol dengan manajemen Jason untuk membuat kebohongan publik. Apa yang akan kulakukan bila nanti tiba-tiba terjadi sesuatu yang salah?Aku mengerang sambil memeluk lututku dan meringkuk seperti bayi. Ini bakal jadi tiga bulan yang sangat lama. Seharusnya aku tak pernah datang ke klub itu.Atau mengikuti Jason ke rumahnya kemudian membuat kesepakatan dengan manajernya. Mengapa Hemingway’s harus begitu penting hingga aku rela menuruti rencana mereka?Semua pikiran-pikiran itu terus saja membusuk di kepalaku hingga terdengar suara lantang yang sanggup merontokkan jantungku.Datangnya dari arah koridor. Ibuku!
“Hati-hati, pertengkaran kalian bisa kedengaran sampai radius satu mil,” kelakar Thomas. Ia mengenakan pakaian yang lebih formal daripada Jason. Setelan jas biru gelap di atas kemeja berwarna merah marun serta sepatu derby yang mengilap. "Thomas? Kenapa kau bisa ada di sini?" Ia berjalan menghampiri kami dengan senyum terkembang. "Tadinya aku sedang mencari auditorium, tapi sepertinya aku tersesat." "Tempat itu tepat di sebelah sana," sahut Jason dingin sambil menuding arah gedung auditorium. "Apa kau buta sampai tak bisa melihatnya saat pergi melewatinya tadi?" "Kau terlihat sangat cantik dengan gaunflorall-mu Mia." Thomas mengomentari penampilanku, terang-terangan mengabaikan Jason. "Uh, terima kasih." "Apa maumu Tom?" Thomas menoleh pada Jason yang tampak terganggu. Tatapannya mengejek. "Tenanglah, aku datang ke sini cuma untuk memenuhi undangan workshop di kampus kalian." "... sekaligus untuk melihat pacarmu,
{Mia POV} Aku menggenggam tangan Jason yang menangkup wajahku sambil tersenyum haru."Thanks. Ini sangat berarti untukku." aku berkata kemudian mencodongkan tubuhku dan mencium pipinya. Jason melihatku dengan pandangan berbinar-binar."Ini adalah momen yang bagus Mia,” ujarnya dengan suara yang ditarik-tarik, senyum samar menghiasi bibirnya," dan sungguh, aku bisa melakukan ini seharian.""Kalau saja Joe tidak menonton kita dari tadi," imbuhnya kalem. Mataku melebar terkejut, aku menoleh dengan cepat dan mendapati Joe sedang berdiri tidak jauh dari mobilchevy.Ia tengah memperhatikan kami berdua tanpa berkedip. "Hai sobat, apa kabar?" Jason melambaikan tangannya dengan kasual pada Joe. Anak itu melihat ke arah chevy dengan pandangan terkesima. Melihat Jason lebih tepatnya. "Kau berhasil menghidupkan benda ini kembali." ekspresinya campuran ngeri dan takjub."Kukira dulu&n
Jason memejamkan matanya, terlihat gusar. Namun ketika ia membuka mata dan memandangku lagi, aku menangkap sorot geli di matanya, seolah ia mendapati diri sedang berada dalam situasi yang konyol dan tak terduga. “Tidak juga,” ujarnya. “Itu jawaban yang aneh,” gumamku bingung. “Lantas, untuk apa sebenarnya kunci yang ada di dalam kotak itu, aku tidak mengerti…” Ia merengkuh wajahku lalu menyandarkannya ke dadanya. “Jangan dipikirkan.” Ia menghembuskan napas panjang. “Ceritakan padaku tentang kontrak terbaru Blues, apa kau menerimanya?” Aku menggangguk pelan. “Dengan syarat-syarat seperti yang kau beritahukan kepadaku,” kataku teredam. “Siapa yang menyangka.” aku berkata lirih. Setelah pementasan teater Hemingway’s, lalu OST itu dan sekarang kontrak baru ini…” “Aku menyangkanya, kau yang terlalu memandang rendah dirimu sendiri.” Aku tersenyum di dadanya. “Bagaimana denganmu? Apa syutingnya berjalan lancar?” “Ya, sutradara
{Mia POV} “Kenapa aku tidak melihat ibuku dan Joe, atau Lauren malam ini?” aku bertanya seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling teater Delacorte selagi kami berjalan meninggalkan tribun. “Mereka pergi duluan.” Jason mengangguk kepada sopirnya yang menunggu, pria itu dengan cekatan segera membuka pintu belakang mobil dan menahannya untuk kami. “Aku ditunggu untuk makan malam bersama anggota yang lain,” kataku ketika Jason menggiringku masuk ke mobilnya. "Jean-Pierre mengadakan pesta untuk semua kru dan pemain di Forestier, aku wajib datang." aku mengingatkannya. "Kau tidak akan ke sana," sahut Jason ringan, ada jejak humor dalam suaranya. "Karena kau sedang diculik." *** Aku tertegun saat melihat di mana mobilnya berhenti. Jason tersenyum mengamati ekspresiku. "Kau menyukainya?" Dia membawa kami ke Montreal. Aku tertawa pelan lalu berpaling padanya. "Sepertinya kau
{Mia POV} Dua belas jam sebelum pertunjukan Delacorte “Kau ikut? Aku dan Joe ingin ke Forestier.” ibuku berhenti di ambang pintu kamar saat melihatku masih belum beranjak dari depan meja belajar. “Sebentar,” gumamku tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer. Aku sedang menyelesaikan balasan email yang akan kukirimkan pada Blues Record. Setelah kontrak OST yang terakhir kali mereka mengajukan penawaran lain dan aku memerlukan beberapa detailnya sebelum memutuskan. Kemarin aku telah memberitahu Jason tetang prospek tersebut, dan dia mengusulkan beberapa hal dalam klausul kontraknya bila aku memang ingin kembali bekerja sama dengan label mereka. Jason sangat terperinci. Aku harus bersyukur atas pengalamannya berurusan dengan banyak agensi dan manajemen artis sejak kecil, kini itu membantuku. Sudah satu bulan sejak dia berangkat ke Prancis, dan alih-alih berbicara dan saling menan
{Mia POV} Aku memusatkan pikiran, berusaha menghapal dialog yang sudah kuulangi sekitar seratus kali di kepalaku. Mencoba meredam suara-suara di sekitarku dengan berpikir lebih keras meskipun itu tak terlalu berhasil. Aku masih bisa mendengar Jean-Pierre berseru dengan lantang pada para pemain lain serta kru agar bersiap untuk adegan selanjutnya.Adegan penutup yang menentukan. Ini adalah hari terakhir dari rangkaian pertunjukan teater Hemingway's, "The Winter Snow".Sudah empat hari ini mereka mengadakan pertunjukannya di Delacorte. Bahkan malam ini penonton yang datang semakin membludak. Melihat lagi ke belakang, kupikir ini seperti mukjizat. Sampai sebulan yang lalu, aku masih berada dalam perawatan. Dokter yang memeriksaku secara teratur mengatakan meskipun luka tembak yang kualami tidak mengenai bagian yang vital, tapi trauma lukanya membuat tubuhku sempat sulit merespon obat-obatan.Mereka harus melakukan
{Mia POV} “Aku belum memutuskan apapun.” Jason berkata tenang. Ia mengusap punggung tanganku yang digenggamnya dengan ibu jari. “Aku ingin memberitahumu lebih dulu.” Aku menelan ludah dengan sudah payah. ”Itu tidak ada bedanya, kau tetap harus pergi.” Jason mengalihkan pandangannya diriku, tatapannya menekuri jalinan tangan kami di atas selimut. “Sebenarnya aku memiliki beberapa prioritas.” ia berkata lalu menatapku penuh arti. “… dan kekasih yang memerlukan kehadiranku ada di daftar teratas.” Dia ragu karena aku. Untuk sesaat hatiku diliputi kebahagiaan. Sampai perkataannya tersebut membuatku berpikir ulang tentang banyak kemungkinan, dan apa jadinya bila dia mengabaikan kesempatan dalam hidupnya demi aku. Jason telah melakukan banyak hal untukku, bukan saja mendukung namun dia juga menciptakan kesempatan-kesempatan hingga impianku menjadi penyanyi terwujud. Kesal dan frustasi karena sadar tidak mungkin m
{Mia POV} Aku mengerenyit membayangkan wajah Jason yang muram dilanda kecemasan tatkala menungguiku tidak sadarkan diri berkali-kali. Apa yang dia rasakan saat itu ketika mengira aku mungkin tidak akan selamat. Dan betapa kelamnya perasaan Jason saat itu. "Kupikir aku tak bisa membantahnya," gumamku pelan sambil memeluknya lebih erat."Dalam hal itu kita memiliki pikiran yang sama, Jason." Aku merasakan ia mengangguk di puncak kepalaku. "Bagus, kalau begitu kau tahu, kau tidak akan tampil dalam pertunjukan itu." ia berkata singkat. Aku melepaskan diri lalu mendongak melihatnya. "Apa? Tidak. Ibuku akhirnya tidak lagi menentangku dan dokter bilang aku punya peluang, kau tak bisa mencegahku." “Lagipula aku hanya … hanya bernyanyi, dan melakukan sedikit tarian di atas panggung, itu saja!” Jason memejamkan mata dan mendesah. “Ya Tuhan, “katanya letih. “Sebaiknya kita bicarakan masalah ini lagi nanti
{Jason POV} Malam itu kondisi Mia kembali menurun. Obat-obatan yang diberikan kepadanya tidak bekerja dan luka di punggungnya mengalami pembengkakan. Dia tidak sadarkan diri dan demam tinggi membuatnya mengigau nyaris sepanjang malam. Saat sedang cemas menunggui di luar kamar rawat Mia sementara para dokter menanganinya dalam ruangan isolasi untuk mencegah infeksi yang lebih parah, Emma Summers, ibu Mia menghampiri dan duduk di sampingku. “Transfusi darah baru saja selesai, mereka ingin mengetes Joe juga tapi kukatakan itu tidak perlu, mereka bisa mengambil jumlah darah yang mereka butuhkan diriku.” Aku mengangguk muram. Dia menghela napas panjang. “Saat para polisi menjemputku di bandara dan mengatakan apa yang telah terjadi pada putriku, aku tak bisa memercayainya.” Emma berkata tanpa menatapku. “Waktu itu kupikir mereka pasti salah orang. Bagaimana mungkin Mia, putri kecilku—” kata-katanya tersekat. Wajahnya e
{Jason POV} “Pergilah beristirahat, aku akan menjaga Mia.” aku mendengar Karen berbicara di belakangku, mencoba membujukku untuk yang kesekian kalinya sejak semalam agar mau beranjak dari sisi ranjang Mia. Karen datang setelah Grams dan kakekku pergi. Ia membawakan baju serta beberapa barang yang kuminta padanya, dan berkata dengan nada khawatir bila aku pasti juga butuh ditemani. Aku hanya membutuhkan satu hal. Aku menggenggam jemari Mia dengan kedua tangan dan menyurukkannya ke bawah dagu, mengamati matanya yang terpejam. “Apa yang terjadi setelah berita kecelakaanku di Meksiko waktu itu?” “Menurutmu?” sahut Karen heran. “Mia menunggumu pulang, Jason. Dia berharap kau akan datang, dan memberinya pelukan hangat di hari ulang tahunnya.” “Tapi kau memberinya bom, menghancurkannya berkeping-keping karena berita kematianmu,” ujarnya murung. Aku mengulurkan tangan untuk menyapu sejumput r