"Darimana kau tahu tempat aku bekerja?" tanyaku curiga pada Jason yang sedang menyetir di sebelahku. "Nah, kita sudah sampai." Ia berkata seolah tidak mendengar pertanyaanku.
Aku memandang berkeliling, "Kita ada di mana?" Ia menghentikan mobil di depan sebuah gerbang hitam yang tinggi menjulang. "Rumahku. " ia berkata santai sambil mengedikkan kepalanya ke arah pintu gerbang itu.
"Untuk apa kita mesti ke rumahmu segala, katakan saja apa yang mau kau bicarakan di sini," sahutku ketus. Jason memandang sekeliling sambil mengangkat kedua alisnya. "Di sini? Kau yakin? Maksudku mungkin saja para wartawan sedang mengintai rumahku sekarang ini."
"Aku sih tidak masalah kalau kau memang ingin kita terpergok lagi oleh mereka sedang berduaan." ia berkata sambil mengangkat bahu tak acuh. Aku melotot padanya.
Jason tersenyum kemudian membelokkan mobilnya ke arah pintu gerbang itu, yang entah bagaimana langsung berderit dan membuka perlahan begitu mobilnya mendekati gerbang.
Ia membawa mobilnya menyusuri jalan beraspal yang mengarah ke bangunan utama dengan halaman berumput yang amat luas di kiri dan kanan. Ada sebuah kolam besar berbentuk persegi yang sangat luas terletak di tengah-tengah halaman.
Aku bertanya-tanya apakah itu kolam renang, tapi sedikit merasa ragu. Karena umumnya orang akan membangun kolam renang di area belakang atau di dalam rumah.
"Itu bukan kolam renang." Jason berkata seolah bisa membaca pikiranku. Aku menoleh dan menyadari ternyata ia mengikuti arah pandanganku.
"Penata tamanku bersikeras menempatkan kolam ikan itu sebagai paripurna konsep estetika masa kini." dia berkata lalu mendengus. "Aku tidak peduli apa yang dia lakukan dengan halamanku, selama dia tidak menaruh rusa atau sejenisnya." gumamnya.
Jalan beraspal itu berakhir di putaran air mancur besar yang terletak tepat di seberang sebuah bangunan yang bagiku terlihat lebih mirip balai kota. Rumahnya benar-benar mewah.
Jason menghentikan mobil lalu mematikan mesin kemudian ia menoleh kepadaku.
"Ayo masuk," katanya. Lalu dia melepas sabuk pengaman dan melangkah keluar dari mobil.Aku menggerutu dalam hati tetapi bergegas mengikutinya juga, berjalan dengan setengah berlari untuk mengejar langkahnya. "Jason tunggu, aku tak bisa lama-lama, ibuku akan..."
"Tenang saja, kita tidak akan lama," dia memotong ucapanku. "...tergantung dari jawabanmu nanti." ujarnya sambil memberikan isyarat padaku untuk mengikutinya berjalan ke sisi kanan dari ambang pintu.
Dia membawaku melewati ruangan berukuran sedang yang terlihat seperti ruang tunggu dengan kursi-kursi kayu berbantalan beledu berjajar di kedua sisi dindingnya.
"Apa maksudmu?" tanyaku curiga. "Paul akan menjelaskan semuanya. Dia sudah menunggu di dalam," sahutnya santai.
"Siapa?" ulangku. "Manajerku, Paul." ia berkata saat kami sudah sampai di sebuah ruangan lain yang jauh lebih besar. Aku rasa yang ini adalah ruang tamu.
Ada deretan sofa kulit yang ditata melingkari meja kayu pendek di tengahnya.
Ruangan ini seluruh lantainya ditutupi oleh permadani tebal berwarna cokelat gelap dengan pola ukiran unik. Sebuah perapian dari batu bata warna merah di salah satu sisi dindingnya.Di atas salah satu sofa itu aku melihat seorang pria dengan setelan kasual tengah duduk dengan segelas minuman dan ponsel di tangan yang lain. Dia langsung menoleh begitu Jason memanggilnya. Pria itu berdiri kemudian beralih menatapku sejenak seperti sedang menilaiku. Kemudian senyumnya terkembang cerah di wajahnya, seolah merasa lega karena baru saja memecahkan soal matematika sulit di kepalanya. Dia berjalan menghampiriku.
"Kau pasti Mia," ujarnya ramah kemudian mengulurkan tangannya padaku.
Aku melirik tangannya sekilas sebelum menyambutnya dengan canggung. "Aku Paul, manager-nya Jason, " dia berkata sambil menjabat tanganku.Paul sangat jangkung, bahkan lebih tinggi dari Jason yang menurutku sudah jangkung. Aku menduga dia seumuran Tim, atau di bawahnya, tidak mungkin lebih tua.
"Ayo duduklah." dia mengarahkan tangannya memberi isyarat ke deretan sofa putih yang ada di dekat kami.
"Jadi aku meminta Jason mengajakmu ke sini untuk meminta maaf atas insiden semalam yang sudah melibatkanmu, Mia," ujarnya setelah kami masing-masing sudah duduk di sofa. Jason duduk di sofa single dan Paul di hadapanku.
Aku melirik sekilas pada Jason yang sedang menunduk menatap meja. Lalu Paul kembali melanjutkan, "Terkadang Jason memang suka bertidak ceroboh tanpa berpikir panjang hingga menyebabkan kericuhan dan memancing gosip-gosip yang tidak benar."
"Langsung saja intinya, Paul," sergah Jason tak sabaran sambil memandang Paul dengan raut wajah terganggu. "Tutup mulutmu, " kata Paul tajam.
"Kau pikir siapa biang kerok-nya di sini, hingga aku harus selalu membereskan kekacauan yang ada." Paul berbicara sambil mengatupkan rahang. Dia terlihat sangat kesal.
"Permisi," selaku "Apa kalian membawaku ke sini, hanya untuk minta maaf?" tanyaku sambil bergantian memandangi mereka. Paul menggeleng dengan cepat, "Tidak juga. Sebenarnya kami membutuhkan bantuanmu, Mia." ia berkata hati-hati.
"Aku tahu mungkin akan terdengar tidak masuk akal bagimu tapi aku berharap kau bersedia mempertimbangkannya."
Ia menghela napas lalu melanjutkan, "Jadi begini, saat ini Jason kebetulan sedang terlibat dalam mega proyek, sebuah film berskala internasional dan itu akan segera diluncurkan, masalahnya adalah produser dan agen kami tidak terlalu senang dengan berbagai skandal yang diciptakan olehnya," ujar Paul sambil melirik tajam pada Jason lalu kembali memandangku.
"Para wartawan itu mengeditnya," sahut Jason. "Kau tak diijinkan bicara dalam hal ini!" sergah Paul kesal. Jason mengangkat bahu lalu berpaling memandangku. Dan aku bersumpah melihat cengiran di wajahnya yang licik itu.
Aku mengabaikannya dan berpaling pada Paul, "Kau mengatakan semua ini padaku karena? "
"Karena insiden semalam. Agen kami berkata tak akan memperpanjang kontrak Jason begitu konten gosip-nya menuai review negatif dari para penggemar."
"Bahkan produser film sudah mengancam jika gara-gara skandal itu film-nya hancur di pasaran, dia akan menuntut Jason."
"Kalau begitu kau dalam masalah besar," ujarku sambil meliriknya. Jason langsung mendelik padaku.
"Jadi Mia, kami membutuhkan bantuanmu dalam hal ini, untuk memperbaiki imej Jason di depan semua orang." Paul berkata dengan perlahan. Sorot matanya penuh harap.
Aku memandangnya tak percaya. Apa aku tidak salah dengar? Setelah apa yang dilakukan Jason, tindakannya yang keterlaluan semalam, mereka ingin aku apa? Membantu memperbaiki imej Jason di depan semua orang?!
"Kau benar, " kataku emosional. "Ini sama sekali tidak masuk akal." Aku tak sanggup mendengar semua omong kosong ini. Aku langsung beranjak dari sofa tapi Paul dengan cepat menahanku. "Tunggu, tunggu dulu, Mia. Aku juga bisa menolongmu sebagai gantinya." ia berbicara cepat. Aku menyipitkan mata melihatnya.
"Bukankah kau mendaftar untuk teater Hemingway's tapi mereka berencana hendak menggantikanmu karena masalah ini?" tanyanya. "Aku bisa menolongmu, kalau kau mau."
"Ada beberapa orang yang kukenal dalam industri itu, mereka akan merekomendasikanmu pada Hemingway's dan aku akan menjamin kepada mereka bahwa kau sangat layak untuk ikut serta dalam pertunjukannya."
Aku tertegun mendengar perkataan Paul. Terlebih karena dia terlihat sangat yakin. Dan sebelum benar-benar menyadari tindakanku, aku mendapati diriku kembali duduk. "Bagaimana kau bisa tahu?" tanyaku curiga.
"Itu tidak penting. Aku hanya berharap kita bisa bekerja sama dalam hal ini." Harus kuakui tawarannya tentang Hemingway's memang menggiurkan. Aku memutar otak seharian mencari cara bagaimana meyakinkan mereka agar tidak menggantikanku.
Tapi menolong si brengsek itu adalah masalah lain yang tak bisa kutolerir. "Bagaimana kalau aku menolak? " Paul mengangkat sebelah bahu, "Yah, kurasa kami harus mencari cara lain."
"Tapi kau harus tahu, gosip seperti ini tak mudah hilang begitu saja mengingat Jason adalah aktor yang sedang naik daun." "Bila ada orang yang mengenalimu, kau harus mempersiapkan diri untuk menghadapi mereka."
"Kudengar kau bahkan membolos hari ini untuk menghindari para wartawan, bukankah itu sangat disayangkan?" pertanyaannya mengirimkan hawa dingin di sepanjang tulang belakangku.
Paul mencondongkan tubuhnya dan melihatku lekat-lekat, “Tapi bila kau berada di sisi kami, aku bisa jamin manajemen kami akan melakukan segala cara untuk melindungimu dari serangan media.”
Aku memerhatikan Paul yang tengah mengemudi di sebelahku sembari berbicara santai dengan seseorang lewat earphone-nya. Kemudian aku melirik lewat kaca spion pada Jason yang setengah rebahan di bangku belakang dengan kepala bersandar pada jok dan kedua mata terpejam. Apakah aku satu-satunya yang merasa cemas di sini? Kami bertiga sedang dalam perjalanan menuju Four Seasons karena manajemen mereka akan mengadakan konferensi pers pagi ini diballroomhotelnya. Paul berkata mereka telah mengundang wartawan dari berbagai tabloid, serta reporter dari beberapa stasiun televisi terkenal untuk meliput acara ini. Mengapa aku ikut? Karena akulah alasan mereka mengadakan konferensi pers ini. Sebab pada malam aku bertemu dengan Paul di rumah Jason waktu itu, aku telah membuat kesepakatan paling gila dalam hidupku demi pertunjukan Hemingway’s. Aku memang setengah mati menginginkan peran itu, dan rasanya tidak rela bila hanya gar
"Syukurlah acaranya sukses. Andy Phelps tadi sempat uring-uringan waktu CNET mengajukan pertanyaan di luar skrip." Paul melirik Jason yang duduk di kursi penumpang belakang lewat kaca spion di atas dashboard.“Itu berkat Mia, dia tenang sekali selama konferensi pers-nya. Orang-orang jadi gampang percaya, ya,‘kan?”Jason berkata sambil melirikku. Aku mengabaikannya dan berpaling keluar jendela memandangi deretan gedung sepanjang jalan yang kami lewati di Madison Ave.Kami baru saja menyelesaikan konferensi pers itu setengah jam yang lalu dan pers release tentang Jason dan aku telah dikeluarkan.Ceritanya adalah aku sebagai kekasih Jason merasa enggan identitasku diketahui banyak orang. Jadi selama ini kami sepakat menyembunyikan hubungan kami, hingga terpergok oleh wartawan di klub malam tempo hari.Semua gosip tentang kebiasaan buruk Jason selama ini sama sekali tidak benar. Sesungguhnya dia selalu pergi dengan
Ada kantung mata berupa memar keunguan di bawah mataku ketika aku bangun pagi ini. Sepanjang malam otakku tak bisa berhenti memutar momen yang terjadi di ballroom hotel itu, lagi dan lagi.Terasa sangat aneh saat aku memikirkannya kembali. Aku tak percaya telah bersekongkol dengan manajemen Jason untuk membuat kebohongan publik. Apa yang akan kulakukan bila nanti tiba-tiba terjadi sesuatu yang salah?Aku mengerang sambil memeluk lututku dan meringkuk seperti bayi. Ini bakal jadi tiga bulan yang sangat lama. Seharusnya aku tak pernah datang ke klub itu.Atau mengikuti Jason ke rumahnya kemudian membuat kesepakatan dengan manajernya. Mengapa Hemingway’s harus begitu penting hingga aku rela menuruti rencana mereka?Semua pikiran-pikiran itu terus saja membusuk di kepalaku hingga terdengar suara lantang yang sanggup merontokkan jantungku.Datangnya dari arah koridor. Ibuku!
“Hati-hati, pertengkaran kalian bisa kedengaran sampai radius satu mil,” kelakar Thomas. Ia mengenakan pakaian yang lebih formal daripada Jason. Setelan jas biru gelap di atas kemeja berwarna merah marun serta sepatu derby yang mengilap. "Thomas? Kenapa kau bisa ada di sini?" Ia berjalan menghampiri kami dengan senyum terkembang. "Tadinya aku sedang mencari auditorium, tapi sepertinya aku tersesat." "Tempat itu tepat di sebelah sana," sahut Jason dingin sambil menuding arah gedung auditorium. "Apa kau buta sampai tak bisa melihatnya saat pergi melewatinya tadi?" "Kau terlihat sangat cantik dengan gaunflorall-mu Mia." Thomas mengomentari penampilanku, terang-terangan mengabaikan Jason. "Uh, terima kasih." "Apa maumu Tom?" Thomas menoleh pada Jason yang tampak terganggu. Tatapannya mengejek. "Tenanglah, aku datang ke sini cuma untuk memenuhi undangan workshop di kampus kalian." "... sekaligus untuk melihat pacarmu,
Aku sedang membantu Joe mengerjakan tugas trigonometri di ruang keluarga saat bel pintu depan tiba-tiba berbunyi. "Biar aku saja!" seru Joe sambil melesat secepat peluru. Sedetik kemudian terdengar jeritan melengking yang membuat bulu kudukku berdiri. Buku yang kupegang sontak terlempar ke udara. Tanpa memedulikan kesopanan aku meloncat dari sofa lalu berlari tunggang langgang mengejarnya. "Kenapa?! Ada apa?!" seruku panik saat mencapai ruang tamu. "King Odyssey datang mencarimu!" Joe menoleh padaku dengan wajah berseri-seri, lalu ia memandang takjub pada Jasonyang berdiri di ambang pintu. Demi Tuhan, bocah ini benar-benar … “Apa kau akan tinggal lebih lama untuk membantuku mengerjakan pe-er?” Joe meraih tangan Jason, menariknya turun. “Mia bilang kau sangat pintar.” Aku ingin sekali membungkamnya. Jason tersenyum padanya. “Aku tidak akan menyangkalnya, tapi sayangnya aku kemari untuk menjemput kakakmu, mungkin lain kali, sobat.”
Aku menoleh dan mendapati Lauren sedang berusaha menyelip di antara kerumunan orang banyak. Dia tampak memukau dalam balutan gaun ketat berwarna hijau zamrud. Lauren melambai penuh semangat ke arah kami. Aku memandang Jason, mengucapkan terima kasih padanya tanpa suara. "Ada tempat kosong untuk satu undangan jadi kuminta Paul agar memasukkan nama Lauren." Ia berkata tak acuh. "Bukan masalah besar." “Selamat ulang tahun!" Lauren menghambur pada Jason ketika sudah sampai di hadapan kami. Dia melingkarkan kedua lengannya memeluk Jason kemudian menyodorkan sebuah kotak kecil berwarna silver dengan pita keemasan di bagian depannya. "Apa ini?" Jason mengangkat sebelah alis menatapnya sambil membuka penutup kado itu. ”Montblanc 1858?" ia mengeluarkan sebuah jam tangan mewah yang berkilauan dari dalamnya, bagian dalam jam serta permukaannya berlapis emas putih. "Walau itu mungkin hanya bakal jadi salah satu penghuni wardrobe-mu, tapi bisakah setidakn
Semuanya terlalu cepat hingga aku hanya bisa memejamkan mata sambil menunggu tangannya yang tak kunjung menyentuh wajahku. Aku membuka mata perlahan, dan melihat Jason sedang berdiri di sebelahku sambil mencengkeram tangan Amy di udara. Wajahnya tampak sangat marah. Dia melepaskan tangan Amy dengan kasar hingga gadis itu terhuyung mundur."Apa yang terjadi disini?!" dia berkata dengan nada tinggi. Para cewek itu langsung mengkeret mendengarnya. "Bukan apa-apa Jason, kami hanya sedang mengobrol." aku berusaha menenangkannya. Tapi Jason tetap memandangi Amy dengan tatapan tajam selagi gadis itu menggosok pergelangan tangannya yang baru dicengkeram oleh Jason. Ia tampak salah tingkah. Sejurus kemudian cewek-cewek yang lain buru-buru menarik Amy pergi. "Apa yang baru saja terjadi?" Jason bertanya padaku ketika para gadis itu sudah tidak kelihatan lagi. "Cuma percakapan antar cewek," kilahku. Jason masih memandangku dengan tatapan curiga. "Bagaimana
"Kenapa kau melakukannya?!"Aku memandang kesal pada Jason yang menyetir di sebelahku. Kami sedang dalam perjalanan pulang dari pesta ulang tahunnya. Untung saja dia tidak menuruti kawan-kawannya dan tinggal sampaiafter party-nya selesai hingga dini hari. Karena tak peduli betapa ibuku menyukai Jason, ia pasti akan membunuhku bila sampai pulang lewat dari tengah malam. "Apa?" Ia melirikku sekilas dengan sebelah alis terangkat. "Yang tadi!" ujarku gusar. "Waktu kau naik ke panggung. Saat kau tiba-tiba... " aku tak sanggup meneruskan perkataanku. "Kau bicara apa sih Mia? " ia bergumam tanpa memandangku. Tapi aku bisa melihat kilatan humor di matanya, yang berarti dia tahu maksudku! Kemudian Jason tersenyum meski ia langsung memalingkan wajah agar aku tak melihatnya. "Kau cuma ingin aku mengatakannya iya kan?!" tuduhku marah. Jason tergelak. Ia mengacak rambut belakang kepalanya dengan sebelah tangan. "Maksudmu waktu kita berciuman di
{Mia POV} Aku menggenggam tangan Jason yang menangkup wajahku sambil tersenyum haru."Thanks. Ini sangat berarti untukku." aku berkata kemudian mencodongkan tubuhku dan mencium pipinya. Jason melihatku dengan pandangan berbinar-binar."Ini adalah momen yang bagus Mia,” ujarnya dengan suara yang ditarik-tarik, senyum samar menghiasi bibirnya," dan sungguh, aku bisa melakukan ini seharian.""Kalau saja Joe tidak menonton kita dari tadi," imbuhnya kalem. Mataku melebar terkejut, aku menoleh dengan cepat dan mendapati Joe sedang berdiri tidak jauh dari mobilchevy.Ia tengah memperhatikan kami berdua tanpa berkedip. "Hai sobat, apa kabar?" Jason melambaikan tangannya dengan kasual pada Joe. Anak itu melihat ke arah chevy dengan pandangan terkesima. Melihat Jason lebih tepatnya. "Kau berhasil menghidupkan benda ini kembali." ekspresinya campuran ngeri dan takjub."Kukira dulu&n
Jason memejamkan matanya, terlihat gusar. Namun ketika ia membuka mata dan memandangku lagi, aku menangkap sorot geli di matanya, seolah ia mendapati diri sedang berada dalam situasi yang konyol dan tak terduga. “Tidak juga,” ujarnya. “Itu jawaban yang aneh,” gumamku bingung. “Lantas, untuk apa sebenarnya kunci yang ada di dalam kotak itu, aku tidak mengerti…” Ia merengkuh wajahku lalu menyandarkannya ke dadanya. “Jangan dipikirkan.” Ia menghembuskan napas panjang. “Ceritakan padaku tentang kontrak terbaru Blues, apa kau menerimanya?” Aku menggangguk pelan. “Dengan syarat-syarat seperti yang kau beritahukan kepadaku,” kataku teredam. “Siapa yang menyangka.” aku berkata lirih. Setelah pementasan teater Hemingway’s, lalu OST itu dan sekarang kontrak baru ini…” “Aku menyangkanya, kau yang terlalu memandang rendah dirimu sendiri.” Aku tersenyum di dadanya. “Bagaimana denganmu? Apa syutingnya berjalan lancar?” “Ya, sutradara
{Mia POV} “Kenapa aku tidak melihat ibuku dan Joe, atau Lauren malam ini?” aku bertanya seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling teater Delacorte selagi kami berjalan meninggalkan tribun. “Mereka pergi duluan.” Jason mengangguk kepada sopirnya yang menunggu, pria itu dengan cekatan segera membuka pintu belakang mobil dan menahannya untuk kami. “Aku ditunggu untuk makan malam bersama anggota yang lain,” kataku ketika Jason menggiringku masuk ke mobilnya. "Jean-Pierre mengadakan pesta untuk semua kru dan pemain di Forestier, aku wajib datang." aku mengingatkannya. "Kau tidak akan ke sana," sahut Jason ringan, ada jejak humor dalam suaranya. "Karena kau sedang diculik." *** Aku tertegun saat melihat di mana mobilnya berhenti. Jason tersenyum mengamati ekspresiku. "Kau menyukainya?" Dia membawa kami ke Montreal. Aku tertawa pelan lalu berpaling padanya. "Sepertinya kau
{Mia POV} Dua belas jam sebelum pertunjukan Delacorte “Kau ikut? Aku dan Joe ingin ke Forestier.” ibuku berhenti di ambang pintu kamar saat melihatku masih belum beranjak dari depan meja belajar. “Sebentar,” gumamku tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer. Aku sedang menyelesaikan balasan email yang akan kukirimkan pada Blues Record. Setelah kontrak OST yang terakhir kali mereka mengajukan penawaran lain dan aku memerlukan beberapa detailnya sebelum memutuskan. Kemarin aku telah memberitahu Jason tetang prospek tersebut, dan dia mengusulkan beberapa hal dalam klausul kontraknya bila aku memang ingin kembali bekerja sama dengan label mereka. Jason sangat terperinci. Aku harus bersyukur atas pengalamannya berurusan dengan banyak agensi dan manajemen artis sejak kecil, kini itu membantuku. Sudah satu bulan sejak dia berangkat ke Prancis, dan alih-alih berbicara dan saling menan
{Mia POV} Aku memusatkan pikiran, berusaha menghapal dialog yang sudah kuulangi sekitar seratus kali di kepalaku. Mencoba meredam suara-suara di sekitarku dengan berpikir lebih keras meskipun itu tak terlalu berhasil. Aku masih bisa mendengar Jean-Pierre berseru dengan lantang pada para pemain lain serta kru agar bersiap untuk adegan selanjutnya.Adegan penutup yang menentukan. Ini adalah hari terakhir dari rangkaian pertunjukan teater Hemingway's, "The Winter Snow".Sudah empat hari ini mereka mengadakan pertunjukannya di Delacorte. Bahkan malam ini penonton yang datang semakin membludak. Melihat lagi ke belakang, kupikir ini seperti mukjizat. Sampai sebulan yang lalu, aku masih berada dalam perawatan. Dokter yang memeriksaku secara teratur mengatakan meskipun luka tembak yang kualami tidak mengenai bagian yang vital, tapi trauma lukanya membuat tubuhku sempat sulit merespon obat-obatan.Mereka harus melakukan
{Mia POV} “Aku belum memutuskan apapun.” Jason berkata tenang. Ia mengusap punggung tanganku yang digenggamnya dengan ibu jari. “Aku ingin memberitahumu lebih dulu.” Aku menelan ludah dengan sudah payah. ”Itu tidak ada bedanya, kau tetap harus pergi.” Jason mengalihkan pandangannya diriku, tatapannya menekuri jalinan tangan kami di atas selimut. “Sebenarnya aku memiliki beberapa prioritas.” ia berkata lalu menatapku penuh arti. “… dan kekasih yang memerlukan kehadiranku ada di daftar teratas.” Dia ragu karena aku. Untuk sesaat hatiku diliputi kebahagiaan. Sampai perkataannya tersebut membuatku berpikir ulang tentang banyak kemungkinan, dan apa jadinya bila dia mengabaikan kesempatan dalam hidupnya demi aku. Jason telah melakukan banyak hal untukku, bukan saja mendukung namun dia juga menciptakan kesempatan-kesempatan hingga impianku menjadi penyanyi terwujud. Kesal dan frustasi karena sadar tidak mungkin m
{Mia POV} Aku mengerenyit membayangkan wajah Jason yang muram dilanda kecemasan tatkala menungguiku tidak sadarkan diri berkali-kali. Apa yang dia rasakan saat itu ketika mengira aku mungkin tidak akan selamat. Dan betapa kelamnya perasaan Jason saat itu. "Kupikir aku tak bisa membantahnya," gumamku pelan sambil memeluknya lebih erat."Dalam hal itu kita memiliki pikiran yang sama, Jason." Aku merasakan ia mengangguk di puncak kepalaku. "Bagus, kalau begitu kau tahu, kau tidak akan tampil dalam pertunjukan itu." ia berkata singkat. Aku melepaskan diri lalu mendongak melihatnya. "Apa? Tidak. Ibuku akhirnya tidak lagi menentangku dan dokter bilang aku punya peluang, kau tak bisa mencegahku." “Lagipula aku hanya … hanya bernyanyi, dan melakukan sedikit tarian di atas panggung, itu saja!” Jason memejamkan mata dan mendesah. “Ya Tuhan, “katanya letih. “Sebaiknya kita bicarakan masalah ini lagi nanti
{Jason POV} Malam itu kondisi Mia kembali menurun. Obat-obatan yang diberikan kepadanya tidak bekerja dan luka di punggungnya mengalami pembengkakan. Dia tidak sadarkan diri dan demam tinggi membuatnya mengigau nyaris sepanjang malam. Saat sedang cemas menunggui di luar kamar rawat Mia sementara para dokter menanganinya dalam ruangan isolasi untuk mencegah infeksi yang lebih parah, Emma Summers, ibu Mia menghampiri dan duduk di sampingku. “Transfusi darah baru saja selesai, mereka ingin mengetes Joe juga tapi kukatakan itu tidak perlu, mereka bisa mengambil jumlah darah yang mereka butuhkan diriku.” Aku mengangguk muram. Dia menghela napas panjang. “Saat para polisi menjemputku di bandara dan mengatakan apa yang telah terjadi pada putriku, aku tak bisa memercayainya.” Emma berkata tanpa menatapku. “Waktu itu kupikir mereka pasti salah orang. Bagaimana mungkin Mia, putri kecilku—” kata-katanya tersekat. Wajahnya e
{Jason POV} “Pergilah beristirahat, aku akan menjaga Mia.” aku mendengar Karen berbicara di belakangku, mencoba membujukku untuk yang kesekian kalinya sejak semalam agar mau beranjak dari sisi ranjang Mia. Karen datang setelah Grams dan kakekku pergi. Ia membawakan baju serta beberapa barang yang kuminta padanya, dan berkata dengan nada khawatir bila aku pasti juga butuh ditemani. Aku hanya membutuhkan satu hal. Aku menggenggam jemari Mia dengan kedua tangan dan menyurukkannya ke bawah dagu, mengamati matanya yang terpejam. “Apa yang terjadi setelah berita kecelakaanku di Meksiko waktu itu?” “Menurutmu?” sahut Karen heran. “Mia menunggumu pulang, Jason. Dia berharap kau akan datang, dan memberinya pelukan hangat di hari ulang tahunnya.” “Tapi kau memberinya bom, menghancurkannya berkeping-keping karena berita kematianmu,” ujarnya murung. Aku mengulurkan tangan untuk menyapu sejumput r