Aku memerhatikan Paul yang tengah mengemudi di sebelahku sembari berbicara santai dengan seseorang lewat earphone-nya. Kemudian aku melirik lewat kaca spion pada Jason yang setengah rebahan di bangku belakang dengan kepala bersandar pada jok dan kedua mata terpejam.
Apakah aku satu-satunya yang merasa cemas di sini?
Kami bertiga sedang dalam perjalanan menuju Four Seasons karena manajemen mereka akan mengadakan konferensi pers pagi ini di ballroom hotelnya. Paul berkata mereka telah mengundang wartawan dari berbagai tabloid, serta reporter dari beberapa stasiun televisi terkenal untuk meliput acara ini.
Mengapa aku ikut? Karena akulah alasan mereka mengadakan konferensi pers ini. Sebab pada malam aku bertemu dengan Paul di rumah Jason waktu itu, aku telah membuat kesepakatan paling gila dalam hidupku demi pertunjukan Hemingway’s.
Aku memang setengah mati menginginkan peran itu, dan rasanya tidak rela bila hanya gara-gara ulah Jason aku harus kehilangan kesempatan untuk bermain dalam pertunjukan pertamaku. Namun sekarang aku justru meragukan keputusanku.
Malam itu Paul menjelaskan padaku bahwa manajemen bermaksud menghentikan semua gosip miring yang beredar tentang Jason agar dia kembali menjadi idola yang disukai oleh semua orang, karenanya mereka membutuhkan alibi.
Supaya orang-orang percaya bahwa Jason sebenarnya tidak seburuk yang ditulis oleh media. Karenanya mereka memerlukan seseorang yang dapat meyakinkan masyarakat akan hal itu. Aku.
Paul berkata bahwa aku punya profil yang sempurna. Aku seorang mahasiswi teladan peraih beasiswa di salah satu kampus Ivy League, serta berasal dari keluarga baik-baik, dan juga aku dan Jason telah lama saling mengenal sejak SMU.
Jadi mereka memintaku untuk menjadi pasangan Jason di depan umum. Karena mereka yakin para penggemar akan menyukai kisah yang manis tentang seorang idola yang jatuh cinta kepada teman sekolahnya, seperti dalam film-film drama.
Waktu itu aku memandangi Paul seolah ia sudah gila. Kemudian ia buru-buru menambahkan bahwa hal ini hanya untuk tiga bulan. Waktu yang cukup untuk meredakan semua gosip yang beredar sehingga Jason bisa mempromosikan film terbarunya.
Sedangkan Paul menjanjikan kalau aku bakal mendapatkan kembali peranku di Hemingway's. Dengan begitu semua orang akan mendapatkan keinginannya.
Tiga bulan waktu rehearsal-nya sebelum rangkaian pertunjukan musim panas Hemingway’s dimulai. Jadi sekalipun saat itu kesepakatan kami sudah berakhirpun aku dipastikan tetap akan tampil dalam pertunjukannya.
Aku sempat memikirkan kemungkinan lain jika aku menolak tawaran itu. Selain kehilangan kesempatan bergabung di Hemingway's, aku juga mesti menghadapi para wartawan, lalu teman-teman kampusku, untuk menjelaskan tentang foto itu. Dan tentu saja ibuku.
Paul memberitahuku, jika kami tidak segera melakukan klarifikasi lebih dulu, maka para media cepat atau lambat akan memberitakan hal-hal dari sudut pandang mereka sendiri, a.k.a skandal, karena berita-berita semacam itu dapat mendongkrak popularitas berita mereka.
Kupikir bila nanti mereka sampai tahu identitasku lalu mulai memberitakan yang aneh-aneh tentangku, habis lah sudah. Bayangan tentang reaksi ibuku saat hal itu benar-benar terjadi jauh lebih mengerikan ketimbang menerima tawaran Paul.
"Kau baik-baik saja?" suara Paul menarik pikiranku kembali. Aku menghela napas dalam-dalam. “Apakah kau yakin benar-benar tak ada jalan lain?” tanyaku putus asa.
Paul tersenyum minta maaf, pandangan matanya seolah berharap aku memahami situasinya. “Hanya konferensi pers ini dan sesekali menampilkan diri kalian di depan publik agar masyarakat percaya, itu saja.” ia berkata. Perutku langsung mulas mendengarnya.
“Jangan membuatnya gugup Paul." aku mendengar Jason berbicara dengan nada mengantuk dari kursi belakang. Aku melirik garang kepadanya melalui kaca spion di atas dashboard.
"Ada dua hal yang pasti akan terjadi setelah hari ini, Mia." Jason berbicara kembali. "Pertama karena kau mengekspose dirimu, maka para wartawan akan berusaha untuk mewawancaraimu."
"Kedua, para fans-ku pasti bakal mengincarmu, mereka akan menilaimu, jadi nanti jangan mengeluh. Karena kau tahu semua cewek menginginkan posisimu saat ini."
Aku mendengus sinis mendengar kalimat terakhirnya. Dia masih saja bersikap arogan dan sok, bahkan ketika ia membutuhkan bantuanku!
"Kau tak perlu mencemaskan wartawan dan para fans, karena manajemen akan mengatasinya. Fokus saja agar kau tidak berbuat kesalahan yang membuat orang-orang curiga tentang rencana kita."
"Dan yang terpenting, jangan katakan tentang hal ini kepada siapapun," ujar Jason tajam. Aku menyipitkan mata memandangnya lewat kaca spion.
"Bahkan Lauren? Dia sahabatku," tukasku. "Terutama dia," gumam Jason kemudian kembali memejamkan matanya. Aku menghela napas kemudian mengalihkan pandangan keluar jendela.
"Jangan kuatir, semua akan baik-baik saja." Paul menenangkanku. Aku meliriknya lalu tersenyum sekilas. Bagaimana mungkin akan baik-baik saja…
Saat kami tiba beberapa pria dengan dandanan bodyguard tampak bersiaga di depan lobi hotel. Ketika Paul menghentikan mobil salah seorang di antara mereka bergegas menghampiri mobil kami kemudian membukakan pintu penumpang bagian belakang untuk Jason.
Aku menggenggam sabuk pengaman erat-erat, seakan itu adalah pegangan hidupku.
Kupalingkan wajah memandang Paul yang sedang berbicara dengan salah seorang pria di luar. Aku menelan ludah dengan gugup,"Kau yakin ini akan berhasil?" aku bertanya ketika Paul mengemasi barangnya dari atas dashboard. "Maksudku bagaimana kalau keadaaan justru menjadi semakin buruk?" tanyaku parau.
Paul mengangkat wajahnya dan mengamatiku sejenak, "Jangan khawatir selama kita melakukan semua seperti rencana tak akan ada masalah," ujarnya menenangkan.
Sebuah ketukan di jendela membuatku terlonjak, Aku memalingkan wajah ke luar jendela mobil dan melihat Jason berdiri di sana.
Jason membuka pintu mobil lebar-lebar dan menungguku melangkah keluar. Rasanya kakiku agak gemetar. Aku masih berharap dengan sia-sia mereka akan membatalkan semua ini. Tentu saja itu tidak terjadi.
"Kau terlihat sempurna," bisik Jason ketika aku telah melangkah keluar, sebelum ia menutup pintu mobil di belakangku.
Aku menatap sekilas pada pakaian yang kukenakan. Ini pertama kalinya aku memakai baju rancangan seorang desainer. Jason bersikeras agar aku berpenampilan seperti salah satu tamu yang kulihat dalam acara Met Gala tahunan di televisi.
"Ini benar-benar tidak perlu," protesku saat salah satu asisten wanita di butik menyodorkan gaun one shoulder model Yunani dari bahan duchesse warna salem yang bagian bawahnya menjuntai hingga mata kakiku.
Mereka juga membuatku memakai sepasang sepatu decoltish Louboutin serta satu set perhiasan berwarna senada. Jujur saja aku merasa aneh, seperti bukan diriku.
"Ayo masuk." Jason berkata seraya menyodorkan lengannya. Aku menelan ludah dengan susah payah lalu mengaitkan tanganku pada lengannya kemudian kami berjalan bersama memasuki tempat itu.
"Gugup?" bisiknya di dekat telingaku saat kami menyusuri anak tangga yang terbuat dari kaca mengarah ke lantai dua ballroom. "Jangan khawatir, aku ada di sampingmu." ia berbisik seraya tersenyum padaku. Aku menatapnya sengit.
Dia pikir gara-gara siapa aku sampai harus melakukan semua ini? Dasar menyebalkan. "Urus saja urusanmu sendiri!" bentakku dengan suara pelan.
Jason tertawa pelan kemudian tiba-tiba ia menghentikan langkahnya sehingga membuatku kehilangan keseimbangan. Aku memekik kaget dan berusaha meraih pegangan, tepat saat dia mengulurkan tangannya yang lain untuk menangkap pinggangku sebelum aku jatuh tersungkur.
"Hati-hati, sayang. Kau selalu saja ceroboh. Apa jadinya kalau aku tak ada di sampingmu?" ia berkata dengan nada lembut yang dibuat-buat. Aku ternganga tak percaya melihatnya.
Jason menatapku dengan sebelah alis terangkat seolah menantangku. "Terima kasih kembali," ujarnya enteng kemudian kembali memalingkan wajahnya memandang ke depan.
Aku tahu dia mati-matian menahan tawa, karena aku melihat bibirnya yang terkatup erat tampak gemetaran karena menahan tawa. Aku melotot padanya.
"Apa kau mau aku berubah pikiran?!" bisikku sengit. Dia mendengus pelan, "Kau tidak akan begitu." Jason berkata santai. “Oh ya?”tantangku.
"Mm-hm," ia bergumam santai. "Tak ada jalan untuk kembali Mia. Kau pasti menyadarinya." Aku benci mengakui kalau ucapannya benar.
"Sekarang singkirkan ekspresi cemberutmu itu dan tersenyumlah. Kita harus terlihat super bahagia di depan mereka." ia berbisik tajam di telingaku.
Detik berikutnya ketika kami melangkah masuk ke dalam ballroom Jason sudah memasang senyum lebar di wajahnya menyapa seisi ruangan yang telah dipenuhi oleh para awak media.
Aku melihat sekeliling dengan gugup hingga langkahku hampir terhenti. Namun Jason menurunkan lengannya yang tadinya mengamit tanganku dan sebagai gantinya ia menggandengku berjalan bersamanya menuju bagian depan ruangan.
Ada sebuah meja panjang yang di atasnya penuh mikrofon dengan logo berbagai stasiun tv di depan deretan kursi berlengan di balik meja itu. "Tersenyumlah," desak Jason.
Setelah memaki diriku dalam hati, karena telah menempatkan diriku sendiri dalam situasi ini, aku mengerahkan segenap kekuatanku lalu memusatkannya pada setiap otot yang ada di wajahku. Aku bersyukur kalau wajahku tidak sampai retak karenanya.
“Bersiaplah, Mia.” Jason berbisik di dekat telingaku selagi kami mengambil tempat di kursi yang telah disediakan. Aku menyipitkan mata melihat senyum liciknya. “Sebentar lagi kau bakal terkenal, karena aku.”
"Syukurlah acaranya sukses. Andy Phelps tadi sempat uring-uringan waktu CNET mengajukan pertanyaan di luar skrip." Paul melirik Jason yang duduk di kursi penumpang belakang lewat kaca spion di atas dashboard.“Itu berkat Mia, dia tenang sekali selama konferensi pers-nya. Orang-orang jadi gampang percaya, ya,‘kan?”Jason berkata sambil melirikku. Aku mengabaikannya dan berpaling keluar jendela memandangi deretan gedung sepanjang jalan yang kami lewati di Madison Ave.Kami baru saja menyelesaikan konferensi pers itu setengah jam yang lalu dan pers release tentang Jason dan aku telah dikeluarkan.Ceritanya adalah aku sebagai kekasih Jason merasa enggan identitasku diketahui banyak orang. Jadi selama ini kami sepakat menyembunyikan hubungan kami, hingga terpergok oleh wartawan di klub malam tempo hari.Semua gosip tentang kebiasaan buruk Jason selama ini sama sekali tidak benar. Sesungguhnya dia selalu pergi dengan
Ada kantung mata berupa memar keunguan di bawah mataku ketika aku bangun pagi ini. Sepanjang malam otakku tak bisa berhenti memutar momen yang terjadi di ballroom hotel itu, lagi dan lagi.Terasa sangat aneh saat aku memikirkannya kembali. Aku tak percaya telah bersekongkol dengan manajemen Jason untuk membuat kebohongan publik. Apa yang akan kulakukan bila nanti tiba-tiba terjadi sesuatu yang salah?Aku mengerang sambil memeluk lututku dan meringkuk seperti bayi. Ini bakal jadi tiga bulan yang sangat lama. Seharusnya aku tak pernah datang ke klub itu.Atau mengikuti Jason ke rumahnya kemudian membuat kesepakatan dengan manajernya. Mengapa Hemingway’s harus begitu penting hingga aku rela menuruti rencana mereka?Semua pikiran-pikiran itu terus saja membusuk di kepalaku hingga terdengar suara lantang yang sanggup merontokkan jantungku.Datangnya dari arah koridor. Ibuku!
“Hati-hati, pertengkaran kalian bisa kedengaran sampai radius satu mil,” kelakar Thomas. Ia mengenakan pakaian yang lebih formal daripada Jason. Setelan jas biru gelap di atas kemeja berwarna merah marun serta sepatu derby yang mengilap. "Thomas? Kenapa kau bisa ada di sini?" Ia berjalan menghampiri kami dengan senyum terkembang. "Tadinya aku sedang mencari auditorium, tapi sepertinya aku tersesat." "Tempat itu tepat di sebelah sana," sahut Jason dingin sambil menuding arah gedung auditorium. "Apa kau buta sampai tak bisa melihatnya saat pergi melewatinya tadi?" "Kau terlihat sangat cantik dengan gaunflorall-mu Mia." Thomas mengomentari penampilanku, terang-terangan mengabaikan Jason. "Uh, terima kasih." "Apa maumu Tom?" Thomas menoleh pada Jason yang tampak terganggu. Tatapannya mengejek. "Tenanglah, aku datang ke sini cuma untuk memenuhi undangan workshop di kampus kalian." "... sekaligus untuk melihat pacarmu,
Aku sedang membantu Joe mengerjakan tugas trigonometri di ruang keluarga saat bel pintu depan tiba-tiba berbunyi. "Biar aku saja!" seru Joe sambil melesat secepat peluru. Sedetik kemudian terdengar jeritan melengking yang membuat bulu kudukku berdiri. Buku yang kupegang sontak terlempar ke udara. Tanpa memedulikan kesopanan aku meloncat dari sofa lalu berlari tunggang langgang mengejarnya. "Kenapa?! Ada apa?!" seruku panik saat mencapai ruang tamu. "King Odyssey datang mencarimu!" Joe menoleh padaku dengan wajah berseri-seri, lalu ia memandang takjub pada Jasonyang berdiri di ambang pintu. Demi Tuhan, bocah ini benar-benar … “Apa kau akan tinggal lebih lama untuk membantuku mengerjakan pe-er?” Joe meraih tangan Jason, menariknya turun. “Mia bilang kau sangat pintar.” Aku ingin sekali membungkamnya. Jason tersenyum padanya. “Aku tidak akan menyangkalnya, tapi sayangnya aku kemari untuk menjemput kakakmu, mungkin lain kali, sobat.”
Aku menoleh dan mendapati Lauren sedang berusaha menyelip di antara kerumunan orang banyak. Dia tampak memukau dalam balutan gaun ketat berwarna hijau zamrud. Lauren melambai penuh semangat ke arah kami. Aku memandang Jason, mengucapkan terima kasih padanya tanpa suara. "Ada tempat kosong untuk satu undangan jadi kuminta Paul agar memasukkan nama Lauren." Ia berkata tak acuh. "Bukan masalah besar." “Selamat ulang tahun!" Lauren menghambur pada Jason ketika sudah sampai di hadapan kami. Dia melingkarkan kedua lengannya memeluk Jason kemudian menyodorkan sebuah kotak kecil berwarna silver dengan pita keemasan di bagian depannya. "Apa ini?" Jason mengangkat sebelah alis menatapnya sambil membuka penutup kado itu. ”Montblanc 1858?" ia mengeluarkan sebuah jam tangan mewah yang berkilauan dari dalamnya, bagian dalam jam serta permukaannya berlapis emas putih. "Walau itu mungkin hanya bakal jadi salah satu penghuni wardrobe-mu, tapi bisakah setidakn
Semuanya terlalu cepat hingga aku hanya bisa memejamkan mata sambil menunggu tangannya yang tak kunjung menyentuh wajahku. Aku membuka mata perlahan, dan melihat Jason sedang berdiri di sebelahku sambil mencengkeram tangan Amy di udara. Wajahnya tampak sangat marah. Dia melepaskan tangan Amy dengan kasar hingga gadis itu terhuyung mundur."Apa yang terjadi disini?!" dia berkata dengan nada tinggi. Para cewek itu langsung mengkeret mendengarnya. "Bukan apa-apa Jason, kami hanya sedang mengobrol." aku berusaha menenangkannya. Tapi Jason tetap memandangi Amy dengan tatapan tajam selagi gadis itu menggosok pergelangan tangannya yang baru dicengkeram oleh Jason. Ia tampak salah tingkah. Sejurus kemudian cewek-cewek yang lain buru-buru menarik Amy pergi. "Apa yang baru saja terjadi?" Jason bertanya padaku ketika para gadis itu sudah tidak kelihatan lagi. "Cuma percakapan antar cewek," kilahku. Jason masih memandangku dengan tatapan curiga. "Bagaimana
"Kenapa kau melakukannya?!"Aku memandang kesal pada Jason yang menyetir di sebelahku. Kami sedang dalam perjalanan pulang dari pesta ulang tahunnya. Untung saja dia tidak menuruti kawan-kawannya dan tinggal sampaiafter party-nya selesai hingga dini hari. Karena tak peduli betapa ibuku menyukai Jason, ia pasti akan membunuhku bila sampai pulang lewat dari tengah malam. "Apa?" Ia melirikku sekilas dengan sebelah alis terangkat. "Yang tadi!" ujarku gusar. "Waktu kau naik ke panggung. Saat kau tiba-tiba... " aku tak sanggup meneruskan perkataanku. "Kau bicara apa sih Mia? " ia bergumam tanpa memandangku. Tapi aku bisa melihat kilatan humor di matanya, yang berarti dia tahu maksudku! Kemudian Jason tersenyum meski ia langsung memalingkan wajah agar aku tak melihatnya. "Kau cuma ingin aku mengatakannya iya kan?!" tuduhku marah. Jason tergelak. Ia mengacak rambut belakang kepalanya dengan sebelah tangan. "Maksudmu waktu kita berciuman di
Kurasa dialah yang baru saja kutabrak. Aku menoleh dengan cepat ke arah empat pemuda yang lain. Mereka semua menatapku dengan pandangan yang membuatku ngeri. Aku menelan ludah dengan susah payah lalu buru-buru berdiri. Dengan tertatih kucoba berjalan menjauh melewati si pemuda berkulit hitam namun langsung menangkap lenganku lalu menarikku kembali. "Mau kemana cantik?" dia berkata sambil memegangi lenganku erat-erat, sebuah seringai kejam menghiasi wajahnya. Aku berusaha melepaskan diri, mendorongnya sekuat tenaga, tapi sia-sia. Kini satu persatu para pemuda lainnya berjalan menghampiriku sambil tertawa senang. "Dia terlihat lezat." salah seorang pemuda dengan rambut acak-acakan menyeringai padaku memperlihatkan deretan giginya yang hitam dan tak lagi utuh. Sedangkan yang lain menertawakanku. Darah surut dengan cepat dari kepalaku, tubuhku gemetar ketakutan dan aku mulai dikuasai rasa panik. Karena aku sadar apa yang akan mereka lakukan padaku.
{Mia POV} Aku menggenggam tangan Jason yang menangkup wajahku sambil tersenyum haru."Thanks. Ini sangat berarti untukku." aku berkata kemudian mencodongkan tubuhku dan mencium pipinya. Jason melihatku dengan pandangan berbinar-binar."Ini adalah momen yang bagus Mia,” ujarnya dengan suara yang ditarik-tarik, senyum samar menghiasi bibirnya," dan sungguh, aku bisa melakukan ini seharian.""Kalau saja Joe tidak menonton kita dari tadi," imbuhnya kalem. Mataku melebar terkejut, aku menoleh dengan cepat dan mendapati Joe sedang berdiri tidak jauh dari mobilchevy.Ia tengah memperhatikan kami berdua tanpa berkedip. "Hai sobat, apa kabar?" Jason melambaikan tangannya dengan kasual pada Joe. Anak itu melihat ke arah chevy dengan pandangan terkesima. Melihat Jason lebih tepatnya. "Kau berhasil menghidupkan benda ini kembali." ekspresinya campuran ngeri dan takjub."Kukira dulu&n
Jason memejamkan matanya, terlihat gusar. Namun ketika ia membuka mata dan memandangku lagi, aku menangkap sorot geli di matanya, seolah ia mendapati diri sedang berada dalam situasi yang konyol dan tak terduga. “Tidak juga,” ujarnya. “Itu jawaban yang aneh,” gumamku bingung. “Lantas, untuk apa sebenarnya kunci yang ada di dalam kotak itu, aku tidak mengerti…” Ia merengkuh wajahku lalu menyandarkannya ke dadanya. “Jangan dipikirkan.” Ia menghembuskan napas panjang. “Ceritakan padaku tentang kontrak terbaru Blues, apa kau menerimanya?” Aku menggangguk pelan. “Dengan syarat-syarat seperti yang kau beritahukan kepadaku,” kataku teredam. “Siapa yang menyangka.” aku berkata lirih. Setelah pementasan teater Hemingway’s, lalu OST itu dan sekarang kontrak baru ini…” “Aku menyangkanya, kau yang terlalu memandang rendah dirimu sendiri.” Aku tersenyum di dadanya. “Bagaimana denganmu? Apa syutingnya berjalan lancar?” “Ya, sutradara
{Mia POV} “Kenapa aku tidak melihat ibuku dan Joe, atau Lauren malam ini?” aku bertanya seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling teater Delacorte selagi kami berjalan meninggalkan tribun. “Mereka pergi duluan.” Jason mengangguk kepada sopirnya yang menunggu, pria itu dengan cekatan segera membuka pintu belakang mobil dan menahannya untuk kami. “Aku ditunggu untuk makan malam bersama anggota yang lain,” kataku ketika Jason menggiringku masuk ke mobilnya. "Jean-Pierre mengadakan pesta untuk semua kru dan pemain di Forestier, aku wajib datang." aku mengingatkannya. "Kau tidak akan ke sana," sahut Jason ringan, ada jejak humor dalam suaranya. "Karena kau sedang diculik." *** Aku tertegun saat melihat di mana mobilnya berhenti. Jason tersenyum mengamati ekspresiku. "Kau menyukainya?" Dia membawa kami ke Montreal. Aku tertawa pelan lalu berpaling padanya. "Sepertinya kau
{Mia POV} Dua belas jam sebelum pertunjukan Delacorte “Kau ikut? Aku dan Joe ingin ke Forestier.” ibuku berhenti di ambang pintu kamar saat melihatku masih belum beranjak dari depan meja belajar. “Sebentar,” gumamku tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer. Aku sedang menyelesaikan balasan email yang akan kukirimkan pada Blues Record. Setelah kontrak OST yang terakhir kali mereka mengajukan penawaran lain dan aku memerlukan beberapa detailnya sebelum memutuskan. Kemarin aku telah memberitahu Jason tetang prospek tersebut, dan dia mengusulkan beberapa hal dalam klausul kontraknya bila aku memang ingin kembali bekerja sama dengan label mereka. Jason sangat terperinci. Aku harus bersyukur atas pengalamannya berurusan dengan banyak agensi dan manajemen artis sejak kecil, kini itu membantuku. Sudah satu bulan sejak dia berangkat ke Prancis, dan alih-alih berbicara dan saling menan
{Mia POV} Aku memusatkan pikiran, berusaha menghapal dialog yang sudah kuulangi sekitar seratus kali di kepalaku. Mencoba meredam suara-suara di sekitarku dengan berpikir lebih keras meskipun itu tak terlalu berhasil. Aku masih bisa mendengar Jean-Pierre berseru dengan lantang pada para pemain lain serta kru agar bersiap untuk adegan selanjutnya.Adegan penutup yang menentukan. Ini adalah hari terakhir dari rangkaian pertunjukan teater Hemingway's, "The Winter Snow".Sudah empat hari ini mereka mengadakan pertunjukannya di Delacorte. Bahkan malam ini penonton yang datang semakin membludak. Melihat lagi ke belakang, kupikir ini seperti mukjizat. Sampai sebulan yang lalu, aku masih berada dalam perawatan. Dokter yang memeriksaku secara teratur mengatakan meskipun luka tembak yang kualami tidak mengenai bagian yang vital, tapi trauma lukanya membuat tubuhku sempat sulit merespon obat-obatan.Mereka harus melakukan
{Mia POV} “Aku belum memutuskan apapun.” Jason berkata tenang. Ia mengusap punggung tanganku yang digenggamnya dengan ibu jari. “Aku ingin memberitahumu lebih dulu.” Aku menelan ludah dengan sudah payah. ”Itu tidak ada bedanya, kau tetap harus pergi.” Jason mengalihkan pandangannya diriku, tatapannya menekuri jalinan tangan kami di atas selimut. “Sebenarnya aku memiliki beberapa prioritas.” ia berkata lalu menatapku penuh arti. “… dan kekasih yang memerlukan kehadiranku ada di daftar teratas.” Dia ragu karena aku. Untuk sesaat hatiku diliputi kebahagiaan. Sampai perkataannya tersebut membuatku berpikir ulang tentang banyak kemungkinan, dan apa jadinya bila dia mengabaikan kesempatan dalam hidupnya demi aku. Jason telah melakukan banyak hal untukku, bukan saja mendukung namun dia juga menciptakan kesempatan-kesempatan hingga impianku menjadi penyanyi terwujud. Kesal dan frustasi karena sadar tidak mungkin m
{Mia POV} Aku mengerenyit membayangkan wajah Jason yang muram dilanda kecemasan tatkala menungguiku tidak sadarkan diri berkali-kali. Apa yang dia rasakan saat itu ketika mengira aku mungkin tidak akan selamat. Dan betapa kelamnya perasaan Jason saat itu. "Kupikir aku tak bisa membantahnya," gumamku pelan sambil memeluknya lebih erat."Dalam hal itu kita memiliki pikiran yang sama, Jason." Aku merasakan ia mengangguk di puncak kepalaku. "Bagus, kalau begitu kau tahu, kau tidak akan tampil dalam pertunjukan itu." ia berkata singkat. Aku melepaskan diri lalu mendongak melihatnya. "Apa? Tidak. Ibuku akhirnya tidak lagi menentangku dan dokter bilang aku punya peluang, kau tak bisa mencegahku." “Lagipula aku hanya … hanya bernyanyi, dan melakukan sedikit tarian di atas panggung, itu saja!” Jason memejamkan mata dan mendesah. “Ya Tuhan, “katanya letih. “Sebaiknya kita bicarakan masalah ini lagi nanti
{Jason POV} Malam itu kondisi Mia kembali menurun. Obat-obatan yang diberikan kepadanya tidak bekerja dan luka di punggungnya mengalami pembengkakan. Dia tidak sadarkan diri dan demam tinggi membuatnya mengigau nyaris sepanjang malam. Saat sedang cemas menunggui di luar kamar rawat Mia sementara para dokter menanganinya dalam ruangan isolasi untuk mencegah infeksi yang lebih parah, Emma Summers, ibu Mia menghampiri dan duduk di sampingku. “Transfusi darah baru saja selesai, mereka ingin mengetes Joe juga tapi kukatakan itu tidak perlu, mereka bisa mengambil jumlah darah yang mereka butuhkan diriku.” Aku mengangguk muram. Dia menghela napas panjang. “Saat para polisi menjemputku di bandara dan mengatakan apa yang telah terjadi pada putriku, aku tak bisa memercayainya.” Emma berkata tanpa menatapku. “Waktu itu kupikir mereka pasti salah orang. Bagaimana mungkin Mia, putri kecilku—” kata-katanya tersekat. Wajahnya e
{Jason POV} “Pergilah beristirahat, aku akan menjaga Mia.” aku mendengar Karen berbicara di belakangku, mencoba membujukku untuk yang kesekian kalinya sejak semalam agar mau beranjak dari sisi ranjang Mia. Karen datang setelah Grams dan kakekku pergi. Ia membawakan baju serta beberapa barang yang kuminta padanya, dan berkata dengan nada khawatir bila aku pasti juga butuh ditemani. Aku hanya membutuhkan satu hal. Aku menggenggam jemari Mia dengan kedua tangan dan menyurukkannya ke bawah dagu, mengamati matanya yang terpejam. “Apa yang terjadi setelah berita kecelakaanku di Meksiko waktu itu?” “Menurutmu?” sahut Karen heran. “Mia menunggumu pulang, Jason. Dia berharap kau akan datang, dan memberinya pelukan hangat di hari ulang tahunnya.” “Tapi kau memberinya bom, menghancurkannya berkeping-keping karena berita kematianmu,” ujarnya murung. Aku mengulurkan tangan untuk menyapu sejumput r