“Aku baru ingat,” celetuk Amy ketika kami berdua tengah berjalan menyusuri koridor sekolah yang lengang setelah jam pelajaran terakhir selesai. “Kim bilang padaku Jason akan mengadakan pesta di Long Island akhir pekan ini di vila pribadinya, katanya semua orang di kelas kita diundang, bukankah itu hebat?!” ujarnya menggebu.
Jason Marshall adalah cowok terpopuler di sekolah kami. Dia tampan, kaya dan kebetulan ia juga adalah seorang selebriti. Amy nge-fans padanya. Begitupula para cewek remaja di seantero Sacramento High School. Aku menyebut mereka groupies.
Aku sendiri tak begitu mengenalnya selain dari cerita-cerita Amy, namun minggu lalu wali kelas kami ternyata menunjukku untuk mewakili sekolah kami dalam ajang decathlon antar negara bagian, bersama-sama dengan Jason Marshall.
Amy sampai heboh karenanya. Sejak itu dia tak pernah absen hadir dalam setiap jadwal latihan tim kami hanya demi melihat Jason.
“Kim bilang pestanya bakal luar biasa.” Amy berkata sambil meremas bahuku dengan semangat. “Apa kau tidak penasaran seperti apa villa pribadi seorang Jason Marshall?”
Aku memutar bola mata secara mental. Tak adakah hal lain yang bisa dia pikirkan selain bersenang-senang? Belajar misalnya. “Aku tidak penasaran sama sekali,” tukasku. “Lagipula decathlon sudah di depan mata, aku tak bisa ikut pergi.”
“Kupikir kau juga harus lebih serius Amy, ini semester terakhir kita di SMU, sepertinya belakangan ini kau terlalu sering hangout bersama Kimberly dan kawan-kawan cheerleader-nya itu,” kataku.
Amy membalikkan tubuh menghadapku sembari berjalan mundur. “Kau bawel seperti nenek-nenek. Ini yang bikin orang mengataimu kutu buku,” gerutunya sambil berkacak pinggang. “Coba lihat Jason. Nilai-nilainya selalu masuk di peringkat teratas namun masih tetap bisa bersenang-senang.”
“Harusnya kau belajar dari dia.” Aku hanya tersenyum mendengarnya. Bisa-bisanya ia membandingkan aku dengan Jason.
“Tapi omong-omong bagaimana rasanya bisa berdekatan dengan cowok paling populer di sekolah?Akhir-akhir ini ‘kan kalian sering berduaan untuk persiapan decathlon.” Amy menahan lenganku untuk membuatku berhenti berjalan. “Aku cuma penasaran, apa Jason bisa membuatmu deg-degan juga?”godanya.
“Jangan konyol. Kau tahu cowok yang selalu dikelilingi groupies begitu sama sekali bukan tipe-ku.” Amy menaikkan alisnya menatapku ternganga.”Astaga, dingin sekali.”
“Hati-hati, Mia, jangan sampai para groupie itu mendengarmu, bisa-bisa mereka mengeroyokmu nanti.” ia berkata sambil membuat gerakan meninju dengan kedua tangannya. Lalu kami berdua menertawakannya.
Aku tidak tahu apa yang telah terjadi di Long Islands. Tapi sejak itu hidupku berubah drastis. Semuanya bermula pada hari Senin setelah pesta akhir pekan di villa Jason. Aku mendapati para siswa di sekolah mulai bersikap aneh padaku. Terutama kumpulan para gadis yang selalu berada di sekitar Jason.
Tak lama setelah itu aku akhirnya tahu, Amy menceritakan pada anak-anak lain soal omonganku tentang Jason, dan sepertinya ada hal-hal lain yang disisipkannya mengenai aku menjelek-jelekkan Jason, karena pernah kudengar ada yang mengataiku sakit jiwa dan sebagainya. Aku mencoba menjelaskan tapi mereka sama sekali tak peduli.
Makin hari sikap mereka padaku semakin parah. Mereka mengerjaiku setiap hari. Memasukkan benda-benda menjijikkan ke dalam tas dan juga loker-ku, sengaja melemparkan bola basket saat aku lewat atau menyandungku di koridor hingga terjatuh lalu mereka menertawakannya bersama-sama. Singkatnya mereka semua membuat sepanjang sisa semester itu menjadi layaknya neraka bagiku.
Namun yang terburuk dari semuanya itu adalah sikap Jason padaku. Ia hanya menonton dengan tatapan dingin setiap kali anak-anak itu mem-bullyku. Bahkan saat gladi resik maupun waktu pertandingan decathlon berlangsung ia seolah menganggapku tidak ada.
Kenangan pahit bahwa aku pernah diperlakukan tidak adil dan ditindas oleh orang-orang karena Jason Marshall membekas dalam ingatanku. Membuatku ingin mengubur dalam-dalam kenangan masa terakhir SMU-ku. Aku tak pernah mengira akan bertemu dengannya lagi, sampai hari ini.
Tepukan ringan pada lenganku seketika menyentakkan pikiranku kembali. “Menurutku dia kelihatan jauh lebih tampan kalau dilihat secara langsung,” ujar Lauren setengah berbisik. Aku mengerjap bingung. “Ya, ‘kan?”desaknya meminta pendapat. Aku menoleh pada Jason yang berdiri di depan ruang kuliah, sedang sibuk menyapa seisi kelas.
Aku menelan ludah dengan susah payah. “Entahlah,” ujarku hampa. Aku terbelalak kaget lalu buru-buru menunduk ketika Jason tiba-tiba menoleh ke arah kami seolah sadar dirinya tengah dibicarakan.
Kuharap dia tak mengenaliku, batinku kelu sembari terus berpura-pura sibuk menulis sesuatu pada buku, hingga sepasang kaki dengan sneakers keluaran terbaru berhenti tepat di sampingku. "Bisa aku duduk di sini?" sebuah suara bariton bertanya sopan padaku.
Demi Tuhan…
Butuh semua usaha untuk menggerakkan otot-otot leherku hanya demi mengangkat kepala dan memandangnya. "Maaf, tidak ada tempat kosong," kataku parau, yang kedengarannya lebih seperti suara mencicit. Tapi sebelum bisa kucegah Lauren tiba-tiba saja bergeser menjauhiku, dia mencolekku agar aku juga bergeser dan memberi tempat duduk untuk Jason. Aku mengerang dalam hati.
Sambil menggerutu dalam hati kubersihkan meja dari buku dan barang-barangku agar Jason bisa menempatinya. "Terima kasih." ia berkata singkat sembari duduk di sebelahku. Jason tidak membawa apapun. Maksudku seseorang memerlukan paling tidak catatan, buku panduan atau semacamnya, iya,‘kan? Jangan dipikirkan, jangan dipikirkan, batinku gusar.
Aku menarik napas seraya memejamkan mata sejenak mencoba memblokir ingatan pahit yang kini mulai bermunculan di kepalaku. Aku mengalihkan pikiran dan berusaha fokus pada penjelasan Mr.Collins tentang sumber energi terbaharukan, meskipun tidak terlalu berhasil. Sepanjang sisa kuliah itu aku seperti duduk di atas kawat berduri.
Begitu pelajarannya usai aku segera memasukkan barang-barangku ke dalam tas, lalu segera beranjak dari sana tanpa menghiraukan tatapan mata Jason yang mengikuti setiap gerakanku. Lauren terlihat seperti hendak memprotes namun aku berbohong padanya bahwa ada hal penting yang mesti kukerjakan kemudian buru-buru pergi sebelum ia sempat mencegahku.
Aku tahu ini kelihatannya seperti kabur, bukannya aku takut pada Jason. Tapi tak ada alasan untuk bicara padanya. Lebih baik kalau aku tak bertemu dengannya lagi setelah ini, tapi sepertinya itu agak mustahil mengingat Jason mengambil mata kuliah yang sama denganku.
Aku menghembuskan napas frustasi kemudian mempercepat langkah melewati lorong menuju ke area terbuka, bagian depan kampus yang mengarah ke taman berumput luas dengan jalan beton yang terhubung dengan jalan keluar.
Saat aku hendak melangkah ke jalan setapak, seseorang tiba-tiba mencekal lenganku dari belakang. Aku berbalik terkejut. Jason sedang menahan lenganku!
Aku melihatnya dengan mata melebar, kemudian tatapanku beralih pada tangannya yang masih memegangiku, lalu kembali melihatnya. Apalagi maunya sekarang?
Aku menatapnya sambil mengerutkan kening. "Kau Mia ‘kan?" ia berkata ragu-ragu setelah beberapa saat. Aku tidak menjawabnya.
"Mia Summers? Kita dulu pernah satu sekolahan, kau ingat?" sekarang ia menatapku penuh harap. Membuatku merasa mual. Apa maksud dia sebenarnya, apanya yang harus kuingat? Tentang kejadian itu?! Dalam sekejap pikiranku dikuasai oleh kemarahan.
"Maaf, aku tidak ingat," kataku pendek sambil menyentakkan lenganku darinya lalu berjalan pergi meninggalkannya. Seharusnya dia tetap menganggapku tidak ada. Bukannya justru membangkitkan ingatan tentang masa-masa kelam itu.
Apa yang terjadi pada hidupku hari ini? Kenapa aku begitu sial?
Namun aku mendengar langkahnya mengikuti di belakangku. "Benarkah? Jangan-jangan kau terlalu malu untuk mengakuinya karena kau dulu selalu kalah padaku saat ujian lisan bahasa Jerman, atau mungkin karena kau dulu suka padaku?"
Aku seketika menghentikan langkah, membuat dia menabrak punggungku.
Aku berbalik memandanginya dengan marah. "Dengar ya, aku tidak mengenalmu, dan aku tidak ingin tahu, jadi kumohon berhentilah mengikutiku!"
"Dia membuat kampus ini seperti acara fan meeting setiap harinya." Lauren menggerutu padaku suatu pagi. Kami sedang menunggu jam kuliah berikutnya sembari mempelajari materi yang akan diujikan oleh dosen, namun kumpulan mahasiswi yang mengerumuni Jason untuk meminta foto bersamanya terlampau berisik hingga membuat kami sulit berkonsentrasi. Aku hanya mengangguk lalu segera mengalihkan pandangan dari mereka. Sejak hari itu Jason tak pernah lagi bicara padaku, dia mengacuhkanku seperti aku mengabaikannya. Dan kecuali saat jam kuliah aku menghindari bertemu dengannya sebisa mungkin.Ini cukup mudah, karena kemanapun dia pergi orang-orang akan mengerubunginya seperti lalat. Cewek-cewek groupies yang menjerit histeris, serta deretan mahasiswa yang mengantre untuk meminta tanda tangannya. Jadi di mana ada kehebohan aku tahu siapa yang sedang berada di situ.Awalnya aku tidak mengerti kenapa Jason mau repot-repot masuk kuliah mengingat karir-ny
Jason datang bersama seorang gadis cantik berpotongan pixie yang terus menggelayuti lengannya selagi mereka berjalan. Jason mengenakan t-shirt berwarna gelap dengan aksen robek di bagian dadanya di atas celana kulit cokelat burgundy. Ia hanya mengangkat dagu sekilas menanggapi sapaan Thomas sembari menuju ke tempat kami duduk. Kemudian pandangannya beralih padaku. Ia mengerutkan kening menatapku seolah aku adalah orang yang pernah dia temui namun tak dapat diingatnya, kemudian matanya melebar ketika ia mengenaliku. Jason mengangkat sebelah alisnya memandangiku, kemudian melirik pada Thomas, lalu Lauren. Ketika ia sampai di dekat sofa, dua orang cowok berdiri untuk memberinya tempat lalu mereka berjalan ke luar ruangan. Kini Jason duduk berseberangan denganku. Matanya menatapku tajam. "Kukira kau bakal absen malam ini karena semua artikel itu.” Thomas berbicara sambil menuangkan whiski ke dalam gelas kaca yang telah diisi bongkahan es batu ke
"Jangan ke kampus hari ini!!" Aku mengerutkan kening membaca pesan singkat dari Lauren pagi itu ketika hendak bersiap-siap pergi kuliah. "Kenapa?" balasku. Lalu ia menulis lagi, “GAWAT DARURAT!” tulisnya dengan huruf besar-besar, biasanya itu pertanda kalau ia sedang histeris. Aku bisa membayangkan ekspresi Lauren saat ini."Banyak sekali wartawan yang berkumpul di depan gedung utama dan mereka semua terlihat seperti barracuda, pokoknya jangan datang kemari!!" tambahnya lagi."Benar-benar sial…” aku mengerang seraya membentur-benturkan kepala ke meja. Ingatanku kembali kepada insiden kemarin malam. Ketika Jason Marshall si brengsek itu mempermalukanku di depan para wartawan.Kemarin aku dan Lauren sampai harus bersembunyi selama tiga jam di dalam toilet hanya untuk menunggu mereka semua membubarkan diri. Lalu kami mengendap-endap lewat pintu k
Jason Marshall?! Orang yang paling ingin kucekik seharian ini, sedang duduk dengan santai di sana sambil memandangiku dengan senyum memuakkan yang menghiasi wajahnya. Aku tidak tahan melihatnya dan langsung membuang muka.Setelah berpamitan pada Tim dengan alasan bahwa aku harus mengerjakan tugas penting dari kampus untuk besok, aku bergegas pergi ke loker-ku untuk mengambil jaket dan tas lalu keluar lewat pintu sampingSebenarnya aku benci selalu kabur seperti kucing ketakutan setiap kali melihatnya, tapi aku benar-benar tak ingin bertemu dengan dia, terutama sekarang. Kenapa juga dia bisa muncul di sini?Udara malam yang dingin langsung menyambutku begitu menginjakkan kaki di luar. Aku berjalan sambil merapatkan jaket dan menggosok-gosokkan kedua telapak tanganku, meniupnya sesekali untuk mengusir hawa dingin.Namun saat hendak berbelok ke126th street tanganku tiba-tiba dicekal dari belakang kemudian tu
"Darimana kau tahu tempat aku bekerja?" tanyaku curiga pada Jason yang sedang menyetir di sebelahku. "Nah, kita sudah sampai." Ia berkata seolah tidak mendengar pertanyaanku.Aku memandang berkeliling, "Kita ada di mana?" Ia menghentikan mobil di depan sebuah gerbang hitam yang tinggi menjulang. "Rumahku. " ia berkata santai sambil mengedikkan kepalanya ke arah pintu gerbang itu."Untuk apa kita mesti ke rumahmu segala, katakan saja apa yang mau kau bicarakandi sini," sahutku ketus. Jason memandang sekeliling sambil mengangkat kedua alisnya. "Di sini? Kau yakin? Maksudku mungkin saja para wartawan sedang mengintai rumahku sekarang ini.""Aku sih tidak masalah kalau kau memang ingin kita terpergok lagi oleh mereka sedang berduaan." ia berkata sambil mengangkat bahu tak acuh. Aku melotot padanya.Jason tersenyum kemudian membelokkan mobilnya ke arah pintu gerbang itu, yang entah bagaimana langsung berderit dan membuka perlahan begitu mo
Aku memerhatikan Paul yang tengah mengemudi di sebelahku sembari berbicara santai dengan seseorang lewat earphone-nya. Kemudian aku melirik lewat kaca spion pada Jason yang setengah rebahan di bangku belakang dengan kepala bersandar pada jok dan kedua mata terpejam. Apakah aku satu-satunya yang merasa cemas di sini? Kami bertiga sedang dalam perjalanan menuju Four Seasons karena manajemen mereka akan mengadakan konferensi pers pagi ini diballroomhotelnya. Paul berkata mereka telah mengundang wartawan dari berbagai tabloid, serta reporter dari beberapa stasiun televisi terkenal untuk meliput acara ini. Mengapa aku ikut? Karena akulah alasan mereka mengadakan konferensi pers ini. Sebab pada malam aku bertemu dengan Paul di rumah Jason waktu itu, aku telah membuat kesepakatan paling gila dalam hidupku demi pertunjukan Hemingway’s. Aku memang setengah mati menginginkan peran itu, dan rasanya tidak rela bila hanya gar
"Syukurlah acaranya sukses. Andy Phelps tadi sempat uring-uringan waktu CNET mengajukan pertanyaan di luar skrip." Paul melirik Jason yang duduk di kursi penumpang belakang lewat kaca spion di atas dashboard.“Itu berkat Mia, dia tenang sekali selama konferensi pers-nya. Orang-orang jadi gampang percaya, ya,‘kan?”Jason berkata sambil melirikku. Aku mengabaikannya dan berpaling keluar jendela memandangi deretan gedung sepanjang jalan yang kami lewati di Madison Ave.Kami baru saja menyelesaikan konferensi pers itu setengah jam yang lalu dan pers release tentang Jason dan aku telah dikeluarkan.Ceritanya adalah aku sebagai kekasih Jason merasa enggan identitasku diketahui banyak orang. Jadi selama ini kami sepakat menyembunyikan hubungan kami, hingga terpergok oleh wartawan di klub malam tempo hari.Semua gosip tentang kebiasaan buruk Jason selama ini sama sekali tidak benar. Sesungguhnya dia selalu pergi dengan
Ada kantung mata berupa memar keunguan di bawah mataku ketika aku bangun pagi ini. Sepanjang malam otakku tak bisa berhenti memutar momen yang terjadi di ballroom hotel itu, lagi dan lagi.Terasa sangat aneh saat aku memikirkannya kembali. Aku tak percaya telah bersekongkol dengan manajemen Jason untuk membuat kebohongan publik. Apa yang akan kulakukan bila nanti tiba-tiba terjadi sesuatu yang salah?Aku mengerang sambil memeluk lututku dan meringkuk seperti bayi. Ini bakal jadi tiga bulan yang sangat lama. Seharusnya aku tak pernah datang ke klub itu.Atau mengikuti Jason ke rumahnya kemudian membuat kesepakatan dengan manajernya. Mengapa Hemingway’s harus begitu penting hingga aku rela menuruti rencana mereka?Semua pikiran-pikiran itu terus saja membusuk di kepalaku hingga terdengar suara lantang yang sanggup merontokkan jantungku.Datangnya dari arah koridor. Ibuku!
{Mia POV} Aku menggenggam tangan Jason yang menangkup wajahku sambil tersenyum haru."Thanks. Ini sangat berarti untukku." aku berkata kemudian mencodongkan tubuhku dan mencium pipinya. Jason melihatku dengan pandangan berbinar-binar."Ini adalah momen yang bagus Mia,” ujarnya dengan suara yang ditarik-tarik, senyum samar menghiasi bibirnya," dan sungguh, aku bisa melakukan ini seharian.""Kalau saja Joe tidak menonton kita dari tadi," imbuhnya kalem. Mataku melebar terkejut, aku menoleh dengan cepat dan mendapati Joe sedang berdiri tidak jauh dari mobilchevy.Ia tengah memperhatikan kami berdua tanpa berkedip. "Hai sobat, apa kabar?" Jason melambaikan tangannya dengan kasual pada Joe. Anak itu melihat ke arah chevy dengan pandangan terkesima. Melihat Jason lebih tepatnya. "Kau berhasil menghidupkan benda ini kembali." ekspresinya campuran ngeri dan takjub."Kukira dulu&n
Jason memejamkan matanya, terlihat gusar. Namun ketika ia membuka mata dan memandangku lagi, aku menangkap sorot geli di matanya, seolah ia mendapati diri sedang berada dalam situasi yang konyol dan tak terduga. “Tidak juga,” ujarnya. “Itu jawaban yang aneh,” gumamku bingung. “Lantas, untuk apa sebenarnya kunci yang ada di dalam kotak itu, aku tidak mengerti…” Ia merengkuh wajahku lalu menyandarkannya ke dadanya. “Jangan dipikirkan.” Ia menghembuskan napas panjang. “Ceritakan padaku tentang kontrak terbaru Blues, apa kau menerimanya?” Aku menggangguk pelan. “Dengan syarat-syarat seperti yang kau beritahukan kepadaku,” kataku teredam. “Siapa yang menyangka.” aku berkata lirih. Setelah pementasan teater Hemingway’s, lalu OST itu dan sekarang kontrak baru ini…” “Aku menyangkanya, kau yang terlalu memandang rendah dirimu sendiri.” Aku tersenyum di dadanya. “Bagaimana denganmu? Apa syutingnya berjalan lancar?” “Ya, sutradara
{Mia POV} “Kenapa aku tidak melihat ibuku dan Joe, atau Lauren malam ini?” aku bertanya seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling teater Delacorte selagi kami berjalan meninggalkan tribun. “Mereka pergi duluan.” Jason mengangguk kepada sopirnya yang menunggu, pria itu dengan cekatan segera membuka pintu belakang mobil dan menahannya untuk kami. “Aku ditunggu untuk makan malam bersama anggota yang lain,” kataku ketika Jason menggiringku masuk ke mobilnya. "Jean-Pierre mengadakan pesta untuk semua kru dan pemain di Forestier, aku wajib datang." aku mengingatkannya. "Kau tidak akan ke sana," sahut Jason ringan, ada jejak humor dalam suaranya. "Karena kau sedang diculik." *** Aku tertegun saat melihat di mana mobilnya berhenti. Jason tersenyum mengamati ekspresiku. "Kau menyukainya?" Dia membawa kami ke Montreal. Aku tertawa pelan lalu berpaling padanya. "Sepertinya kau
{Mia POV} Dua belas jam sebelum pertunjukan Delacorte “Kau ikut? Aku dan Joe ingin ke Forestier.” ibuku berhenti di ambang pintu kamar saat melihatku masih belum beranjak dari depan meja belajar. “Sebentar,” gumamku tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer. Aku sedang menyelesaikan balasan email yang akan kukirimkan pada Blues Record. Setelah kontrak OST yang terakhir kali mereka mengajukan penawaran lain dan aku memerlukan beberapa detailnya sebelum memutuskan. Kemarin aku telah memberitahu Jason tetang prospek tersebut, dan dia mengusulkan beberapa hal dalam klausul kontraknya bila aku memang ingin kembali bekerja sama dengan label mereka. Jason sangat terperinci. Aku harus bersyukur atas pengalamannya berurusan dengan banyak agensi dan manajemen artis sejak kecil, kini itu membantuku. Sudah satu bulan sejak dia berangkat ke Prancis, dan alih-alih berbicara dan saling menan
{Mia POV} Aku memusatkan pikiran, berusaha menghapal dialog yang sudah kuulangi sekitar seratus kali di kepalaku. Mencoba meredam suara-suara di sekitarku dengan berpikir lebih keras meskipun itu tak terlalu berhasil. Aku masih bisa mendengar Jean-Pierre berseru dengan lantang pada para pemain lain serta kru agar bersiap untuk adegan selanjutnya.Adegan penutup yang menentukan. Ini adalah hari terakhir dari rangkaian pertunjukan teater Hemingway's, "The Winter Snow".Sudah empat hari ini mereka mengadakan pertunjukannya di Delacorte. Bahkan malam ini penonton yang datang semakin membludak. Melihat lagi ke belakang, kupikir ini seperti mukjizat. Sampai sebulan yang lalu, aku masih berada dalam perawatan. Dokter yang memeriksaku secara teratur mengatakan meskipun luka tembak yang kualami tidak mengenai bagian yang vital, tapi trauma lukanya membuat tubuhku sempat sulit merespon obat-obatan.Mereka harus melakukan
{Mia POV} “Aku belum memutuskan apapun.” Jason berkata tenang. Ia mengusap punggung tanganku yang digenggamnya dengan ibu jari. “Aku ingin memberitahumu lebih dulu.” Aku menelan ludah dengan sudah payah. ”Itu tidak ada bedanya, kau tetap harus pergi.” Jason mengalihkan pandangannya diriku, tatapannya menekuri jalinan tangan kami di atas selimut. “Sebenarnya aku memiliki beberapa prioritas.” ia berkata lalu menatapku penuh arti. “… dan kekasih yang memerlukan kehadiranku ada di daftar teratas.” Dia ragu karena aku. Untuk sesaat hatiku diliputi kebahagiaan. Sampai perkataannya tersebut membuatku berpikir ulang tentang banyak kemungkinan, dan apa jadinya bila dia mengabaikan kesempatan dalam hidupnya demi aku. Jason telah melakukan banyak hal untukku, bukan saja mendukung namun dia juga menciptakan kesempatan-kesempatan hingga impianku menjadi penyanyi terwujud. Kesal dan frustasi karena sadar tidak mungkin m
{Mia POV} Aku mengerenyit membayangkan wajah Jason yang muram dilanda kecemasan tatkala menungguiku tidak sadarkan diri berkali-kali. Apa yang dia rasakan saat itu ketika mengira aku mungkin tidak akan selamat. Dan betapa kelamnya perasaan Jason saat itu. "Kupikir aku tak bisa membantahnya," gumamku pelan sambil memeluknya lebih erat."Dalam hal itu kita memiliki pikiran yang sama, Jason." Aku merasakan ia mengangguk di puncak kepalaku. "Bagus, kalau begitu kau tahu, kau tidak akan tampil dalam pertunjukan itu." ia berkata singkat. Aku melepaskan diri lalu mendongak melihatnya. "Apa? Tidak. Ibuku akhirnya tidak lagi menentangku dan dokter bilang aku punya peluang, kau tak bisa mencegahku." “Lagipula aku hanya … hanya bernyanyi, dan melakukan sedikit tarian di atas panggung, itu saja!” Jason memejamkan mata dan mendesah. “Ya Tuhan, “katanya letih. “Sebaiknya kita bicarakan masalah ini lagi nanti
{Jason POV} Malam itu kondisi Mia kembali menurun. Obat-obatan yang diberikan kepadanya tidak bekerja dan luka di punggungnya mengalami pembengkakan. Dia tidak sadarkan diri dan demam tinggi membuatnya mengigau nyaris sepanjang malam. Saat sedang cemas menunggui di luar kamar rawat Mia sementara para dokter menanganinya dalam ruangan isolasi untuk mencegah infeksi yang lebih parah, Emma Summers, ibu Mia menghampiri dan duduk di sampingku. “Transfusi darah baru saja selesai, mereka ingin mengetes Joe juga tapi kukatakan itu tidak perlu, mereka bisa mengambil jumlah darah yang mereka butuhkan diriku.” Aku mengangguk muram. Dia menghela napas panjang. “Saat para polisi menjemputku di bandara dan mengatakan apa yang telah terjadi pada putriku, aku tak bisa memercayainya.” Emma berkata tanpa menatapku. “Waktu itu kupikir mereka pasti salah orang. Bagaimana mungkin Mia, putri kecilku—” kata-katanya tersekat. Wajahnya e
{Jason POV} “Pergilah beristirahat, aku akan menjaga Mia.” aku mendengar Karen berbicara di belakangku, mencoba membujukku untuk yang kesekian kalinya sejak semalam agar mau beranjak dari sisi ranjang Mia. Karen datang setelah Grams dan kakekku pergi. Ia membawakan baju serta beberapa barang yang kuminta padanya, dan berkata dengan nada khawatir bila aku pasti juga butuh ditemani. Aku hanya membutuhkan satu hal. Aku menggenggam jemari Mia dengan kedua tangan dan menyurukkannya ke bawah dagu, mengamati matanya yang terpejam. “Apa yang terjadi setelah berita kecelakaanku di Meksiko waktu itu?” “Menurutmu?” sahut Karen heran. “Mia menunggumu pulang, Jason. Dia berharap kau akan datang, dan memberinya pelukan hangat di hari ulang tahunnya.” “Tapi kau memberinya bom, menghancurkannya berkeping-keping karena berita kematianmu,” ujarnya murung. Aku mengulurkan tangan untuk menyapu sejumput r