Dear diary,
Akhirnya saat yang kutunggu datang juga. Hari ini hasil audisi The Winter Snow akan diumumkan. Semoga saja aku mendapatkan perannya.Aku mulai tertarik pada drama musikal sejak menonton pertunjukan teater Broadway pertamaku tahun lalu. Ibuku tahu aku suka semua hal yang berbau musik, jadi untuk merayakan aku diterima di universitas Columbia dia membeli tiket Phantom of the Opera. Kami menonton pertunjukannya di hari yang kedua. Sulit dijelaskan tapi kesanku untuk acara itu cukup mendalam.
Sejak itu aku jadi ketagihan melihat pertunjukannya. Tiketnya sendiri tidak murah, karena itu aku kerja paruh waktu di Red Roaster, sebuah restoran keluarga di daerah Lenox Ave, supaya aku tak perlu sampai meminta uang saku pada ibu bila ingin membeli tiketnya. Hingga datanglah kesempatan emas itu.
Bulan lalu saat sedang mengerjakan tugas kuliah, aku tak sengaja melihat iklan sebuah teater bernama Hemingway’s pada sebuah situs, mereka tengah mencari pemeran wanita untuk pertunjukan musim panas mereka, lalu kupikir “kenapa tidak?”
Jadi aku pergi ke kantor Hemingway’s keesokan harinya dan mendaftarkan diri. Aku bertindak spontan, sebelum nyaliku hilang lalu berubah pikiran.
Pandanganku tertumbuk pada bingkai foto keluarga di sudut meja belajar. Dalam foto berlatar belakang danau itu, ayah dan adik laki-lakiku, Joe, mengenakan atribut memancing, aku dan ibu kompak dengan jaket jumper. Ayah merangkul kami bertiga sambil tersenyum lebar ke arah kamera. Foto itu diambil ketika kami berlibur ke perkemahan di Yellowstone, setahun sebelum ayahku meninggal karena kecelakaan. Aku menyusurkan ujung jari ke wajah tersenyumnya.
“Go for it, Mia!” aku yakin ayahku pasti akan bilang begitu bila dia ada di sini sekarang. Dia sahabat terbaik sekaligus suporter nomor satuku. Kadang saat aku benar-benar merindukannya aku akan memutar rekaman lama, lagu-lagu yang dinyanyikan oleh ayah bersama band-nya semasa kuliah dulu—ayahku tergila-gila pada musik dan juga seorang vokalis sama sepertiku—hanya untuk mendengar suaranya.
Ibuku sedikit berbeda. Ia tipikal yang lebih konvensional. Menurutnya bermain musik atau sejenisnya selain buang-buang waktu juga tidak menjamin masa depan. Mengapa melakukan hal yang sia-sia? Ia pernah mengatakannya ketika aku iseng menyinggung soal ikut audisi Hemingway’s. Ibu lantas menyuruhku fokus pada kuliah sebab bukan perkara mudah mendapat beasiswa penuh di Columbia, jadi seharusnya aku lebih menghargainya.
Jadi ya, aku tak mungkin bilang padanya kalau aku ternyata sudah mengikuti audisi itu. Aku tak mau membayangkan reaksinya nanti. Kukemasi buku kuliah lalu menyambar tas yang tergantung di ujung kursi sebelum berjalan ke luar kamar.
"Mom," sapaku saat berjalan memasuki dapur. Ibuku sedang menuangkan sirup ke atas kue dadar di piring Joe, ia melihatku sekilas. Aku mengacak rambut Joe saat melewatinya dan tampangnya langsung memberengut kesal. Aku tertawa padanya.
Joe mirip seperti ibuku, rambutnya ikal berwarna pirang keperakkan dengan bola mata berwarna biru. Sedangkan aku sendiri lebih mirip ayah, rambutku berwarna cokelat begitu juga warna mata kami. Kadang aku selalu bertanya-tanya saat ibu menatapku, apa itu membuatnya teringat pada ayah. Sebab aku pernah memergokinya diam-diam menatapku dengan sendu. Jadi kupikir aku memang mengingatkan dia padanya.
"Kau mau kue dadar?" ibuku bertanya sambil meletakkan sebuah piring kosong lain di depannya. Aku menggeleng kemudian meraih sepotong roti dari keranjang anyaman. "Aku makan sambil jalan saja. Ada kuliah pagi," ujarku sambil mulai menggigiti rotiku sembari berbalik mengitari meja makan.
Cuaca musim semi yang cerah dan hangat langsung menyambut saat aku menginjakkan kaki ke luar rumah. Cahaya matahari pagi ini tampak lebih terang dari biasanya. Sepertinya ini pertanda baik. Aku pernah dengar ada pepatah yang berkata, “Kalau ada hal baik yang akan terjadi padamu, alam biasanya memberikan pertanda.” Sesuatu yang bagus seperti itu jelas layak dipercaya.
Aku sampai di kampus sepuluh menit sebelum kuliah dimulai, dengan setengah berlari langsung bergegas menuju ke fakultasku. Hampir bertabrakan dengan beberapa orang yang sedang berdiri bergerombol di dekat ambang pintu kelas.
Aku mengedarkan pandangan dan melihat teman baikku, Lauren Brown, melambaikan tangan dari deretan kursi nomor tiga dari depan, tempat favorit kami. Aku tersenyum senang sambil berjalan ke arahnya.
"Kukira kau bakal terlambat, karena kau bilang pulang agak malam dari Red Roaster kemarin." Lauren berkata ketika aku telah duduk di sebelahnya lalu mulai menata buku-buku di atas meja. Aku mendengus, "Kau tahu aku tak mungkin membiarkan itu terjadi."
"Benar juga, kau kan seperti jurnal berjalan, kadang aku heran bagaimana kau bisa melakukan begitu banyak hal sekaligus." Aku tertawa mendengarnya. Lauren dan aku berteman sejak kami baru masuk kuliah, berbeda dariku dia gadis yang lebih ekspresif, terkadang agak terlalu dramatis, tapi kurasa karena itulah kami cocok satu sama lain.
"Hei, omong-omong semua orang membicarakan tentang mahasiswa baru yang akan masuk mulai hari ini," ujar Lauren setengah berbisik. "Kabarnya dia selebriti, seorang aktor. Apa kau sudah dengar?" Aku menggeleng tak acuh.
"Untuk apa seorang selebriti pergi kemari?" gumamku sambil membuat coretan angka-angka di salah satu halaman kosong buku tulisku. "Entahlah, ada yang bilang itu untuk pencitraan dan sebagainya, tapi kurasa itu agak menghakimi, aku mencium bau-bau haters di sini." Lauren berbicara sambil terkikik geli. Aku menoleh dan menatapnya dengan heran. Tidak yakin bagian mana yang menurutnya lucu.
Suara langkah yang berderap memasuki ruang kelas mengalihkan perhatianku. Dosen kami Mr.Collins berjalan dengan cepat menghampiri mejanya yang ada di ujung ruangan.
Seorang cowok mengikuti di belakangnya.Cowok itu jangkung dan berbadan tegap, rambutnya berwarna pirang keemasan dan ditata stylish. Kulit wajahnya seperti orang yang baru saja berjemur di pantai. Aku hanya bisa melihat sekilas dari samping saat dia lewat di depanku. Tapi entah mengapa aku merasa wajahnya tidak asing.
Cowok itu mengenakan jeans biru gelap di atas kaus henley yang membalut sempurna tubuh atletis-nya yang tampak dari balik jaket kulit yang dibiarkan terbuka. Aku memang bukan penggila fashion, tapi aku tahu busana buatan seorang desainer saat aku melihatnya.
Dan aku yakin setelan kasual yang dikenakan oleh cowok itu harganya pasti cukup fantastis. Apakah dia aktor yang dimaksud oleh Lauren tadi?Aku melirik Lauren dan mendapatinya tersenyum, seolah ia mengenalnya. Aku kembali memandang cowok itu. Kini dia berdiri membelakangi kami sambil mengatakan sesuatu kepada Mr.Collins yang mendengarkannya dengan serius.
Sesaat kemudian Mr.Collins maju ke tengah kelas sembari memberikan isyarat pada cowok itu untuk berdiri di sampingnya. Cowok itu tersenyum sambil mengangguk pada Mr. Collins, kemudian ia mulai mengedarkan pandangan ke seisi ruangan.
Saat itulah aku baru mengenalinya.
“Aku baru ingat,” celetuk Amy ketika kami berdua tengah berjalan menyusuri koridor sekolah yang lengang setelah jam pelajaran terakhir selesai. “Kim bilang padaku Jason akan mengadakan pesta di Long Island akhir pekan ini di vila pribadinya, katanya semua orang di kelas kita diundang, bukankah itu hebat?!” ujarnya menggebu. Jason Marshall adalah cowok terpopuler di sekolah kami. Dia tampan, kaya dan kebetulan ia juga adalah seorang selebriti. Amy nge-fans padanya. Begitupula para cewek remaja di seantero Sacramento High School. Aku menyebut mereka groupies.Aku sendiri tak begitu mengenalnya selain dari cerita-cerita Amy, namun minggu lalu wali kelas kami ternyata menunjukku untuk mewakili sekolah kami dalam ajang decathlon antar negara bagian, bersama-sama dengan Jason Marshall. Amy sampai heboh karenanya. Sejak itu dia tak pernah absen hadir dalam setiap jadwal latihan tim kami hanya demi melihat Jason.
"Dia membuat kampus ini seperti acara fan meeting setiap harinya." Lauren menggerutu padaku suatu pagi. Kami sedang menunggu jam kuliah berikutnya sembari mempelajari materi yang akan diujikan oleh dosen, namun kumpulan mahasiswi yang mengerumuni Jason untuk meminta foto bersamanya terlampau berisik hingga membuat kami sulit berkonsentrasi. Aku hanya mengangguk lalu segera mengalihkan pandangan dari mereka. Sejak hari itu Jason tak pernah lagi bicara padaku, dia mengacuhkanku seperti aku mengabaikannya. Dan kecuali saat jam kuliah aku menghindari bertemu dengannya sebisa mungkin.Ini cukup mudah, karena kemanapun dia pergi orang-orang akan mengerubunginya seperti lalat. Cewek-cewek groupies yang menjerit histeris, serta deretan mahasiswa yang mengantre untuk meminta tanda tangannya. Jadi di mana ada kehebohan aku tahu siapa yang sedang berada di situ.Awalnya aku tidak mengerti kenapa Jason mau repot-repot masuk kuliah mengingat karir-ny
Jason datang bersama seorang gadis cantik berpotongan pixie yang terus menggelayuti lengannya selagi mereka berjalan. Jason mengenakan t-shirt berwarna gelap dengan aksen robek di bagian dadanya di atas celana kulit cokelat burgundy. Ia hanya mengangkat dagu sekilas menanggapi sapaan Thomas sembari menuju ke tempat kami duduk. Kemudian pandangannya beralih padaku. Ia mengerutkan kening menatapku seolah aku adalah orang yang pernah dia temui namun tak dapat diingatnya, kemudian matanya melebar ketika ia mengenaliku. Jason mengangkat sebelah alisnya memandangiku, kemudian melirik pada Thomas, lalu Lauren. Ketika ia sampai di dekat sofa, dua orang cowok berdiri untuk memberinya tempat lalu mereka berjalan ke luar ruangan. Kini Jason duduk berseberangan denganku. Matanya menatapku tajam. "Kukira kau bakal absen malam ini karena semua artikel itu.” Thomas berbicara sambil menuangkan whiski ke dalam gelas kaca yang telah diisi bongkahan es batu ke
"Jangan ke kampus hari ini!!" Aku mengerutkan kening membaca pesan singkat dari Lauren pagi itu ketika hendak bersiap-siap pergi kuliah. "Kenapa?" balasku. Lalu ia menulis lagi, “GAWAT DARURAT!” tulisnya dengan huruf besar-besar, biasanya itu pertanda kalau ia sedang histeris. Aku bisa membayangkan ekspresi Lauren saat ini."Banyak sekali wartawan yang berkumpul di depan gedung utama dan mereka semua terlihat seperti barracuda, pokoknya jangan datang kemari!!" tambahnya lagi."Benar-benar sial…” aku mengerang seraya membentur-benturkan kepala ke meja. Ingatanku kembali kepada insiden kemarin malam. Ketika Jason Marshall si brengsek itu mempermalukanku di depan para wartawan.Kemarin aku dan Lauren sampai harus bersembunyi selama tiga jam di dalam toilet hanya untuk menunggu mereka semua membubarkan diri. Lalu kami mengendap-endap lewat pintu k
Jason Marshall?! Orang yang paling ingin kucekik seharian ini, sedang duduk dengan santai di sana sambil memandangiku dengan senyum memuakkan yang menghiasi wajahnya. Aku tidak tahan melihatnya dan langsung membuang muka.Setelah berpamitan pada Tim dengan alasan bahwa aku harus mengerjakan tugas penting dari kampus untuk besok, aku bergegas pergi ke loker-ku untuk mengambil jaket dan tas lalu keluar lewat pintu sampingSebenarnya aku benci selalu kabur seperti kucing ketakutan setiap kali melihatnya, tapi aku benar-benar tak ingin bertemu dengan dia, terutama sekarang. Kenapa juga dia bisa muncul di sini?Udara malam yang dingin langsung menyambutku begitu menginjakkan kaki di luar. Aku berjalan sambil merapatkan jaket dan menggosok-gosokkan kedua telapak tanganku, meniupnya sesekali untuk mengusir hawa dingin.Namun saat hendak berbelok ke126th street tanganku tiba-tiba dicekal dari belakang kemudian tu
"Darimana kau tahu tempat aku bekerja?" tanyaku curiga pada Jason yang sedang menyetir di sebelahku. "Nah, kita sudah sampai." Ia berkata seolah tidak mendengar pertanyaanku.Aku memandang berkeliling, "Kita ada di mana?" Ia menghentikan mobil di depan sebuah gerbang hitam yang tinggi menjulang. "Rumahku. " ia berkata santai sambil mengedikkan kepalanya ke arah pintu gerbang itu."Untuk apa kita mesti ke rumahmu segala, katakan saja apa yang mau kau bicarakandi sini," sahutku ketus. Jason memandang sekeliling sambil mengangkat kedua alisnya. "Di sini? Kau yakin? Maksudku mungkin saja para wartawan sedang mengintai rumahku sekarang ini.""Aku sih tidak masalah kalau kau memang ingin kita terpergok lagi oleh mereka sedang berduaan." ia berkata sambil mengangkat bahu tak acuh. Aku melotot padanya.Jason tersenyum kemudian membelokkan mobilnya ke arah pintu gerbang itu, yang entah bagaimana langsung berderit dan membuka perlahan begitu mo
Aku memerhatikan Paul yang tengah mengemudi di sebelahku sembari berbicara santai dengan seseorang lewat earphone-nya. Kemudian aku melirik lewat kaca spion pada Jason yang setengah rebahan di bangku belakang dengan kepala bersandar pada jok dan kedua mata terpejam. Apakah aku satu-satunya yang merasa cemas di sini? Kami bertiga sedang dalam perjalanan menuju Four Seasons karena manajemen mereka akan mengadakan konferensi pers pagi ini diballroomhotelnya. Paul berkata mereka telah mengundang wartawan dari berbagai tabloid, serta reporter dari beberapa stasiun televisi terkenal untuk meliput acara ini. Mengapa aku ikut? Karena akulah alasan mereka mengadakan konferensi pers ini. Sebab pada malam aku bertemu dengan Paul di rumah Jason waktu itu, aku telah membuat kesepakatan paling gila dalam hidupku demi pertunjukan Hemingway’s. Aku memang setengah mati menginginkan peran itu, dan rasanya tidak rela bila hanya gar
"Syukurlah acaranya sukses. Andy Phelps tadi sempat uring-uringan waktu CNET mengajukan pertanyaan di luar skrip." Paul melirik Jason yang duduk di kursi penumpang belakang lewat kaca spion di atas dashboard.“Itu berkat Mia, dia tenang sekali selama konferensi pers-nya. Orang-orang jadi gampang percaya, ya,‘kan?”Jason berkata sambil melirikku. Aku mengabaikannya dan berpaling keluar jendela memandangi deretan gedung sepanjang jalan yang kami lewati di Madison Ave.Kami baru saja menyelesaikan konferensi pers itu setengah jam yang lalu dan pers release tentang Jason dan aku telah dikeluarkan.Ceritanya adalah aku sebagai kekasih Jason merasa enggan identitasku diketahui banyak orang. Jadi selama ini kami sepakat menyembunyikan hubungan kami, hingga terpergok oleh wartawan di klub malam tempo hari.Semua gosip tentang kebiasaan buruk Jason selama ini sama sekali tidak benar. Sesungguhnya dia selalu pergi dengan
{Mia POV} Aku menggenggam tangan Jason yang menangkup wajahku sambil tersenyum haru."Thanks. Ini sangat berarti untukku." aku berkata kemudian mencodongkan tubuhku dan mencium pipinya. Jason melihatku dengan pandangan berbinar-binar."Ini adalah momen yang bagus Mia,” ujarnya dengan suara yang ditarik-tarik, senyum samar menghiasi bibirnya," dan sungguh, aku bisa melakukan ini seharian.""Kalau saja Joe tidak menonton kita dari tadi," imbuhnya kalem. Mataku melebar terkejut, aku menoleh dengan cepat dan mendapati Joe sedang berdiri tidak jauh dari mobilchevy.Ia tengah memperhatikan kami berdua tanpa berkedip. "Hai sobat, apa kabar?" Jason melambaikan tangannya dengan kasual pada Joe. Anak itu melihat ke arah chevy dengan pandangan terkesima. Melihat Jason lebih tepatnya. "Kau berhasil menghidupkan benda ini kembali." ekspresinya campuran ngeri dan takjub."Kukira dulu&n
Jason memejamkan matanya, terlihat gusar. Namun ketika ia membuka mata dan memandangku lagi, aku menangkap sorot geli di matanya, seolah ia mendapati diri sedang berada dalam situasi yang konyol dan tak terduga. “Tidak juga,” ujarnya. “Itu jawaban yang aneh,” gumamku bingung. “Lantas, untuk apa sebenarnya kunci yang ada di dalam kotak itu, aku tidak mengerti…” Ia merengkuh wajahku lalu menyandarkannya ke dadanya. “Jangan dipikirkan.” Ia menghembuskan napas panjang. “Ceritakan padaku tentang kontrak terbaru Blues, apa kau menerimanya?” Aku menggangguk pelan. “Dengan syarat-syarat seperti yang kau beritahukan kepadaku,” kataku teredam. “Siapa yang menyangka.” aku berkata lirih. Setelah pementasan teater Hemingway’s, lalu OST itu dan sekarang kontrak baru ini…” “Aku menyangkanya, kau yang terlalu memandang rendah dirimu sendiri.” Aku tersenyum di dadanya. “Bagaimana denganmu? Apa syutingnya berjalan lancar?” “Ya, sutradara
{Mia POV} “Kenapa aku tidak melihat ibuku dan Joe, atau Lauren malam ini?” aku bertanya seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling teater Delacorte selagi kami berjalan meninggalkan tribun. “Mereka pergi duluan.” Jason mengangguk kepada sopirnya yang menunggu, pria itu dengan cekatan segera membuka pintu belakang mobil dan menahannya untuk kami. “Aku ditunggu untuk makan malam bersama anggota yang lain,” kataku ketika Jason menggiringku masuk ke mobilnya. "Jean-Pierre mengadakan pesta untuk semua kru dan pemain di Forestier, aku wajib datang." aku mengingatkannya. "Kau tidak akan ke sana," sahut Jason ringan, ada jejak humor dalam suaranya. "Karena kau sedang diculik." *** Aku tertegun saat melihat di mana mobilnya berhenti. Jason tersenyum mengamati ekspresiku. "Kau menyukainya?" Dia membawa kami ke Montreal. Aku tertawa pelan lalu berpaling padanya. "Sepertinya kau
{Mia POV} Dua belas jam sebelum pertunjukan Delacorte “Kau ikut? Aku dan Joe ingin ke Forestier.” ibuku berhenti di ambang pintu kamar saat melihatku masih belum beranjak dari depan meja belajar. “Sebentar,” gumamku tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer. Aku sedang menyelesaikan balasan email yang akan kukirimkan pada Blues Record. Setelah kontrak OST yang terakhir kali mereka mengajukan penawaran lain dan aku memerlukan beberapa detailnya sebelum memutuskan. Kemarin aku telah memberitahu Jason tetang prospek tersebut, dan dia mengusulkan beberapa hal dalam klausul kontraknya bila aku memang ingin kembali bekerja sama dengan label mereka. Jason sangat terperinci. Aku harus bersyukur atas pengalamannya berurusan dengan banyak agensi dan manajemen artis sejak kecil, kini itu membantuku. Sudah satu bulan sejak dia berangkat ke Prancis, dan alih-alih berbicara dan saling menan
{Mia POV} Aku memusatkan pikiran, berusaha menghapal dialog yang sudah kuulangi sekitar seratus kali di kepalaku. Mencoba meredam suara-suara di sekitarku dengan berpikir lebih keras meskipun itu tak terlalu berhasil. Aku masih bisa mendengar Jean-Pierre berseru dengan lantang pada para pemain lain serta kru agar bersiap untuk adegan selanjutnya.Adegan penutup yang menentukan. Ini adalah hari terakhir dari rangkaian pertunjukan teater Hemingway's, "The Winter Snow".Sudah empat hari ini mereka mengadakan pertunjukannya di Delacorte. Bahkan malam ini penonton yang datang semakin membludak. Melihat lagi ke belakang, kupikir ini seperti mukjizat. Sampai sebulan yang lalu, aku masih berada dalam perawatan. Dokter yang memeriksaku secara teratur mengatakan meskipun luka tembak yang kualami tidak mengenai bagian yang vital, tapi trauma lukanya membuat tubuhku sempat sulit merespon obat-obatan.Mereka harus melakukan
{Mia POV} “Aku belum memutuskan apapun.” Jason berkata tenang. Ia mengusap punggung tanganku yang digenggamnya dengan ibu jari. “Aku ingin memberitahumu lebih dulu.” Aku menelan ludah dengan sudah payah. ”Itu tidak ada bedanya, kau tetap harus pergi.” Jason mengalihkan pandangannya diriku, tatapannya menekuri jalinan tangan kami di atas selimut. “Sebenarnya aku memiliki beberapa prioritas.” ia berkata lalu menatapku penuh arti. “… dan kekasih yang memerlukan kehadiranku ada di daftar teratas.” Dia ragu karena aku. Untuk sesaat hatiku diliputi kebahagiaan. Sampai perkataannya tersebut membuatku berpikir ulang tentang banyak kemungkinan, dan apa jadinya bila dia mengabaikan kesempatan dalam hidupnya demi aku. Jason telah melakukan banyak hal untukku, bukan saja mendukung namun dia juga menciptakan kesempatan-kesempatan hingga impianku menjadi penyanyi terwujud. Kesal dan frustasi karena sadar tidak mungkin m
{Mia POV} Aku mengerenyit membayangkan wajah Jason yang muram dilanda kecemasan tatkala menungguiku tidak sadarkan diri berkali-kali. Apa yang dia rasakan saat itu ketika mengira aku mungkin tidak akan selamat. Dan betapa kelamnya perasaan Jason saat itu. "Kupikir aku tak bisa membantahnya," gumamku pelan sambil memeluknya lebih erat."Dalam hal itu kita memiliki pikiran yang sama, Jason." Aku merasakan ia mengangguk di puncak kepalaku. "Bagus, kalau begitu kau tahu, kau tidak akan tampil dalam pertunjukan itu." ia berkata singkat. Aku melepaskan diri lalu mendongak melihatnya. "Apa? Tidak. Ibuku akhirnya tidak lagi menentangku dan dokter bilang aku punya peluang, kau tak bisa mencegahku." “Lagipula aku hanya … hanya bernyanyi, dan melakukan sedikit tarian di atas panggung, itu saja!” Jason memejamkan mata dan mendesah. “Ya Tuhan, “katanya letih. “Sebaiknya kita bicarakan masalah ini lagi nanti
{Jason POV} Malam itu kondisi Mia kembali menurun. Obat-obatan yang diberikan kepadanya tidak bekerja dan luka di punggungnya mengalami pembengkakan. Dia tidak sadarkan diri dan demam tinggi membuatnya mengigau nyaris sepanjang malam. Saat sedang cemas menunggui di luar kamar rawat Mia sementara para dokter menanganinya dalam ruangan isolasi untuk mencegah infeksi yang lebih parah, Emma Summers, ibu Mia menghampiri dan duduk di sampingku. “Transfusi darah baru saja selesai, mereka ingin mengetes Joe juga tapi kukatakan itu tidak perlu, mereka bisa mengambil jumlah darah yang mereka butuhkan diriku.” Aku mengangguk muram. Dia menghela napas panjang. “Saat para polisi menjemputku di bandara dan mengatakan apa yang telah terjadi pada putriku, aku tak bisa memercayainya.” Emma berkata tanpa menatapku. “Waktu itu kupikir mereka pasti salah orang. Bagaimana mungkin Mia, putri kecilku—” kata-katanya tersekat. Wajahnya e
{Jason POV} “Pergilah beristirahat, aku akan menjaga Mia.” aku mendengar Karen berbicara di belakangku, mencoba membujukku untuk yang kesekian kalinya sejak semalam agar mau beranjak dari sisi ranjang Mia. Karen datang setelah Grams dan kakekku pergi. Ia membawakan baju serta beberapa barang yang kuminta padanya, dan berkata dengan nada khawatir bila aku pasti juga butuh ditemani. Aku hanya membutuhkan satu hal. Aku menggenggam jemari Mia dengan kedua tangan dan menyurukkannya ke bawah dagu, mengamati matanya yang terpejam. “Apa yang terjadi setelah berita kecelakaanku di Meksiko waktu itu?” “Menurutmu?” sahut Karen heran. “Mia menunggumu pulang, Jason. Dia berharap kau akan datang, dan memberinya pelukan hangat di hari ulang tahunnya.” “Tapi kau memberinya bom, menghancurkannya berkeping-keping karena berita kematianmu,” ujarnya murung. Aku mengulurkan tangan untuk menyapu sejumput r