Beranda / Romansa / FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang) / 2. Bukan Mantan, Bukan Musuh Bag. 1

Share

2. Bukan Mantan, Bukan Musuh Bag. 1

Penulis: Bintu Ikhwani
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-29 08:58:15

Beberapa hari sebelumnya.

“Kita mau ke kondangan ya, Ma?” tanya Tasya pada sang ibu yang tengah mengikat rambutnya.

“Iya, betul. Ke rumah Eyang, Asya mau ikut?”

“Ikut-ikut-ikut. Sama papa?”

“Hm ... papa cuma antar. Nanti nyusul. Soalnya ada yang harus diurus.” Nadya meletakkan sisir di meja.

Dipandangnya seraut wajah cantik bocah di hadapannya. Lalu dengan girang, bocah itu berlari keluar.

Senyum di bibir Nadya memudar. ‘Lihat bocah itu. Dia hanya tahu senang tanpa tahu tempat itu masih sangat ingin kuhindari bahkan setelah sekian tahun berlalu.’ Nadya menghela napas dalam.

Pandangannya beralih pada lipstik di atas meja. Diraihnya satu dan meletakkannya kembali setelah mengoleskan sebagai sentuhan terakhir riasan naturalnya pagi ini. Lalu menatap sekali lagi pantulan wajah wanita berusia dua puluh sembilan di cermin.

Cantik. Nadya tahu itu.

Detik berikutnya, terdengar suara ketukan disusul pintu terbuka.

“Sudah?” tanya seseorang seiring langkah mendekat.

“Sudah, Mas.” Nadya bergegas bangkit. Diraihnya tas di meja. Dan bersiap melangkah.

Namun, alih-alih membawa istrinya keluar, Pramono justru meraih pinggangnya. Kedua tangan dia lingkarkan di pundak.

Senyumnya mengembang. Dipandangnya wajah ayu Nadya lekat sebelum mendaratkan sebuah kecupan di dahi.

Nadya bisa melihat kedua bola mata laki-laki itu bergerak ke kanan dan kiri, memandangi kedua matanya bergantian.

“Masya Allah, cantik sekali istriku.” Kali ini sebuah kecupan mendarat di bibir. Pramono melumatnya rakus.

Tak ingin riasannya berantakan, Nadya menarik wajah ke belakang. “Stop! Nanti riasannya berantakan.”

Pramono terkekeh sebelum menenggelamkan wajahnya ke ceruk leher Nadya.

“Bisakah kita tetap tinggal, rasanya nggak mau pergi,” keluhnya, “kamu godaan berat, Nadya.”

Nadya mendelik lalu mencebik. “Bukan godaan, tapi, investasi. Nanti, deh, ya. Kita pulang cepat. Nggak enak ditunggu saudara, ‘kan? Katanya mau ada tamu?”

Pramono mengangguk. Alih-alih menjawab, dia justru menatap lekat istrinya dengan sorot sendu. “Terus ini gimana?” tanyanya.

Nadya memicingkan mata. “Ini apa?”

“Ini!”

“Apa?” Nadya benar-benar kebingungan.

Pramono meraih tangan kiri istrinya dan ...

Satu cubitan gemas dia terima di pinggang. Pramono mengaduh dan tergelak.

***

Hanya butuh sepuluh menit untuk sampai di rumah Minarti. Suasana masih lengang karena besan baru akan tiba jam sepuluh nanti.

“Pram mau ada tamu, Bu, nggak bisa nunggu dari awal. Tapi Pram janji akan langsung ke sini begitu acara selesai,” ucap Pramono pada mertuanya.

“Tapi kenapa pas sekali waktunya?”

“Acaranya dadakan. Dia sudah di Boyolali waktu bilang mau bertemu.”

“Ya sudah. Jangan lupa besan datang jam 10 ya?”

Pramono mengangguk. Dengan langkah panjang dia kembali meninggalkan aula diikuti Nadya di belakangnya.

“Mas janji nggak lama,” Pramono berucap seiring langkah kembali menuju mobilnya. Di belakangnya, Nadya mengangguk samar.

Tepat sebelum memasuki mobil, Pramono mendaratkan sebuah kecupan di dahi istrinya. “Jangan terlalu cemas. Ada ibu. Mas janji akan cepat kembali.”

Nadya kembali mengangguk. Dia baru berbalik setelah memastikan mobil suaminya menghilang di balik tikungan.

Masalahnya jelas bukan itu. Nadya memang tak terlalu suka menghadiri acara formal tanpa suaminya. Ini, lebih dari itu.

Setiba di halaman rumah Minarti, Nadya menyusul duduk tak jauh dari ibunya. Belum banyak tamu yang datang, membuat Nadya leluasa mengedar pandang, memperhatikan sekitar.

Tempat itu telah banyak berbuah sejak kali terakhir Narti mengadakan acara, dua belas tahun lalu. Bahkan rumah seseorang yang sempat mereka lewati tadi pun sudah jauh berubah. Terlihat mewah dengan lantai yang tersusun dan sebuah mobil terparkir di halaman.

Nadya mengulum senyum ketika menyadari Ali telah menjadi laki-laki sukses. Apakah dia sudah menikah? Siapa dan seperti apa istrinya?

Dengan apa yang dimiliki, istrinya pastilah bukan orang biasa.

Seperti antena yang menemukan gelombangnya, pandangan Nadya tertuju pada sesosok laki-laki berkemeja batik di ujung aula. Duduk dengan kedua siku bertumpu pada kedua kaki. Sebuah gelas menggantung di tangan kanan. Pandangannya kosong pada lantai di antara kakinya.

Detik berikutnya, seperti memikirkan hal yang sama, laki-laki itu mengangkat wajah. Pandangan mereka bertemu.

Nadya gelagapan. Buru-buru dialihkannya pandang hanya demi menghindari tatapan lelaki itu. Meski dia yakin, telah tertangkap basah.

Sungguh, jika ada kebetulan yang menyakitkan, itu adalah pertemuan dengan cinta lama. Membuka kembali luka dan memunculkan aroma anyir kesedihan masa lalu dalam relung dada.

Nadya kembali menoleh. Sama seperti sebelumnya pandangan mereka kembali beradu. Lalu mengunci bagai sihir yang menarik keinginan terus menyelam dalam lautan hati yang dalam. Nadya memalingkan muka saat menyadari tatapan mereka terpaut terlalu lama.

Dua belas tahun sejak kali pertama mereka bertemu, Nadya melihat laki-laki itu banyak berubah—terutama ukuran tubuhnya. Ali yang dulu begitu kurus, kini berubah menjadi pria dewasa yang gagah dan matang. Tubuhnya berisi. Otot-otot tubuhnya terbentuk sempurna bahkan dalam balutan kemeja batik. Nadya hafal bagaimana wujudnya dalam perwujudan Pramono.

Tapi ... dari semua yang berubah, wajah itu, senyum dan pandangan mata itu tetap sama bagi Nadya.

Tampan dan bersih.

‘Astaga, aku mikir apa?’

“Lihat apa, Nad?” Dinar tiba-tiba putrinya tergagap.

“Bukan apa-apa, Bu,” ucap Nadya keluar begitu saja. Membuatnya sontak menggigit bibir karena telah berbohong.

Nadya melirik laki-laki itu sekali lagi. Dan sekali lagi pula pandangan mereka beradu. Bahkan kali ini selarik senyum samar, begitu samar, Ali sunggingkan.

Seperti ditenggelamkan berkali-kali, Nadya terbengap. Enam tahun, cukup lama untuk bisa mengembalikan apa yang seharusnya terhapus bersih. Baik dia dan Ali, dulu, sama sekali tak ada apa pun.

Nadya menghirup napas dalam. Mengusir sesak yang tiba-tiba menyerang. Ingatan lama itu menyeruak kembali, berkelebat bagai kilasan film lama yang berputar dalam layar besar kepalanya.

Dulu, Nadya kerap datang ke tempat itu untuk sekedar main. Itu niat kedua, karena tujuan utamanya adalah berjumpa dengan Ali, demi diam-diam memperhatikannya membantu orang tua memasah kayu untuk dijadikan mebel. Diam-diam mengagumi sosok pemuda yang berbakti kepada orang tuanya, saat yang lain sibuk dengan urusannya sendiri.

Ali memiliki kepribadian santun dan jauh dari predikat sok ganteng seperti pemuda lain yang mendekati Nadya kala itu.

Ya, tak sedikit. Sayangnya, tak satu pun dari mereka adalah Ali. Hingga pada satu sore. Untuk janji yang telah disepakati. Ali datang bersama Juna, sahabatnya. Di tepi jembatan yang airnya mengalir tak terlalu deras, Nadya harus kecewa jika mengira Alilah yang akan menyatakan perasaan padanya. Di luar dugaan, laki-laki yang disukai justru mengantar sahabatnya menemui Nadya.

Bukan Juna, tapi kamu. Begitu ingin dia katakan, namun berakhir bungkam akibat gumpalan besar di tenggorokan.

“Maaf, Juna. Tapi aku suka orang lain,” ucap Nadya kala itu.

Dahi Juna mengerut begitu saja. Pun Ali yang memandangnya dari balik punggung sahabatnya.

“Siapa?” Ragu-ragu Juna bertanya.

Nadya membuang pandang. “Orang sini juga,” jawabnya, lalu melempar pandang pada laki-laki di belakang Arjuna.

“Aku kenal dia?”

Nadya tertawa tipis. “Mustahil nggak kenal.”

Lagi ... pandangan Nadya tertuju pada Ali yang masih memandang ke arahnya. Lalu menunduk. “Maaf, ya,” ucapnya sebelum melangkah pergi.

Meski tak mengatakannya, Nadya tahu Ali paham perasaannya. Namun sifat pemalu yang dipelihara itu pula yang akhirnya mengantarkan Nadya pada keputusasaan. Bahkan setelah sekian tahun berlalu, Ali tak kunjung menyatakan apa-apa.

Tahun berganti.

Usia Nadya menginjak dua puluh empat dan cukup untuk menikah. Pramono datang dan menyatakan niat baiknya di hadapan orang tua Nadya untuk memperistri.

Dengan pertimbangan tak baik menolak laki-laki baik yang datang melamar, Nadya menerima lamaran Pramono.

Sayang, malang tak dapat ditolak. Beberapa hari setelahnya, Ali datang membawa serta lamarannya.

‘Terlambat sudah, Ali. Itu salahmu! Salahmu! Salahmu!’ Nadya memejam.  Sebutir bening berhasil lolos begitu saja, dan segera diusapnya.

Wanita itu selalu meyakinkan diri bahwa semua telah berlalu. Namun dia tak mengira, bahwa hanya dengan satu pandangan, dan selarik senyum samar, gelombang dalam dirinya, kembali membuktikan seberapa berarti dia di masa lalu.

Jantung Nadya berdengap. Ekor matanya menyadari seseorang mendekat lalu berhenti tak jauh darinya.

“Apa kabar, Nad?”

Ali.

To be continue ....

Bab terkait

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   3. Bukan Mantan, Bukan Musuh Bag. 2

    “Apa kabar, Nad?” Jantung Nadya seketika memanas saat mendengar lagi suara itu. Meski telah begitu lama, dia sangat tahu siapa pemiliknya. Ali. Nadya membuang muka. Sebuah usapan di pipi dia lakukan buru-buru demi memastikan tak ada sisa air mata yang tersisa. Sedetik kemudian dia melirik pada Ali. Genggaman pada dompet di pangkuan menguat. Mati-matian, Nadya berupaya mempersiapkan diri menghadapi laki-laki itu. Lebih tepatnya, perasaannya sendiri. “Baik, Mas. Alhamdulillaah,” jawab Nadya lirih sebelum menunduk. Dia tahu, tidak seharusnya. Tapi memandang Ali lagi setelah sekian lama, nyatanya membuat dia kacau dalam sekejap. Susah payah dia berusaha menyembunyikan kekacauan itu, dan sialnya, justru membuatnya malah terlihat seperti orang bodoh. “Boleh duduk?” tanya laki-laki itu lagi. Nadya mengangguk samar. Derit kursi. Dan aroma maskulin parfum terhidu begitu saja yang entah bagaimana Nadya menyukai itu. Setelahnya, detik berlalu dalam hening. Bagi seorang teman, tak bertemu

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-29
  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   4. Pertemuan Dua Lelaki

    Bukan di kantor, pertemuan itu diadakan di kafe, setelah Pramono menyebutkan alasannya tak bisa berlama-lama. Pramono bangkit ketika pandangannya menangkap dua orang mendekat ke meja yang telah dipesannya. Satu di antaranya lelaki berkaca mata dengan badan sedikit berisi. Usianya kisaran lima puluh lima atau sedikit lebih tua dari itu. Kemeja kotak-kotak, dengan dua kancingnya terbuka. Satu yang lain, wanita dengan rambut coklat dan sedikit kusut, dan ... menatapnya dengan ekspresi tak percaya. Pramono mengabaikannya. “Selamat siang, Pak Bram,” sapanya ramah dengan tangan kanan terulur. “Siang. Senang akhirnya bisa bertemu Anda, Pak Pram.” “Ayah!” pekik wanita muda di samping laki-laki itu tertahan. Pandangannya memindai bergantian ke arah sang ayah dan Pramono masih dengan ekspresi yang sama. Satu tangannya kemudian kikuk merapikan rambut kusutnya. “Betul,” jawab Bramantyo. “Apa dia mirip ayah?” tanyanya seraya memandang Pramono, lalu kembali ke arah putrinya yang menunduk. Semu

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-29
  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   5. Masih Berdebar?

    “Kamu nggak pernah bilang punya teman bernama Ali?” Nadya tergagap. Dia memandang suaminya dan Ali bergantian. Belum sempat Nadya membuka mulut, Ali mendahului bicara, “Mungkin dia lupa,” ucapnya tenang, “dia terlalu pelupa untuk mengingat aku. Lagi pula, kami baru bertemu setelah lebih dari sepuluh tahun,” lanjutnya. Ali beralih pada Tasya dan menyerahkan boneka panda itu padanya dan menatap teduh seakan ada sesuatu di wajah bocah itu yang sangat menarik perhatiannya. “Sya ... Papa udah pulang, Uncle ke sana dulu, ya?” tunjuknya pada salah satu sudut halaman rumah Minarti di mana pemuda berpakaian serupa tengah berkumpul. Tasya mengangguk. “Makasih, Uncle.” Ali menarik kedua sisi bibirnya. Lalu mengacak gemas rambut bocah itu. “Titip Panda, dijaga baik-baik. Janji?” ucapnya sambil mengacungkan jari kelingking. Tasya menyambut riang. Ali bangkit. Dia memandang Nadya dan Pramono bergantian sebelum melenggang pergi. Di sampingnya, pandangan Pramono masih mengikuti Ali sampai pang

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-29
  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   6. Kenangan Lalu Bag. 1

    Tujuh tahun sebelumnya. Deru knalpot terdengar berhenti di halaman rumah Ikhsan. Tak berselang lama, Nadya mendengar sapaan salam. Dadanya tiba-tiba memanas disusul debar tak beraturan. Dia kenal suara itu. Dengan langkah buru-buru, Nadya berlari ke arah jendela. Membuka tirainya sedikit, demi memuaskan rasa ingin tahunya. Lalu debar-debar halus itu kian menggila saat akhirnya, dia benar-benar melihat siapa yang datang. ‘Nggak mungkin, ‘kan? Mau apa dia?’ Nadya menggigit bibir. Ada yang seketika bergemuruh, namun Nadya tak bisa menghentikannya. Setelah sekali lagi mencoba menenangkan diri, hati-hati Nadya membuka pintu. Lalu tampaklah wajah Ali dihiasi selarik senyum lembut di antara sorot mata teduhnya. “M—Mas Ali ... ?” “Ya.” Ali kembali mengulum senyum. “Aku.” “S—silakan, Mas.” Nadya menggeser diri, memberi jalan pada Ali untuk masuk. Lalu mempersilakannya duduk. Masih tak percaya pada apa yang dilihat, sesaat Nadya berdiri kikuk memandang laki-laki itu seperti orang bodoh y

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-29
  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   7. Kenangan Lalu Bag. 2

    Sepanjang perjalanan, hanya deru knalpot yang terdengar karena keduanya tenggelam dalam lautan pikiran masing-masing. Ali dengan pertanyaan bagaimana cara meyakinkan orang tua Nadya untuk mengubah keputusannya. Dan Nadya dengan perasaan campur aduk yang lebih banyak dia keluarkan dengan air mata. Ali melirik kaca spion. Tangan kirinya terulur untuk membetulkan letaknya agar bisa menangkap pantulan seseorang di balik punggung. Seseorang yang tubuhnya bergetar sejak kedatangannya tadi. Seseorang yang dia kecewakan meski selama ini tahu bagaimana perasaannya sejak dulu. Di kafe bambu tak jauh dari rumah mereka, Ali membawa Nadya masuk. Sengaja dia memilih kursi paling ujung dekat jendela karena cuaca mendadak hujan. Bukan hanya karena dia suka suasananya, tapi juga itu jarak terjauh dari pengunjung lain. Mencegah orang mendengar apa pun yang mereka bicarakan. Tak lama kemudian, dua cangkir kopi tersaji lengkap dengan kue keju kesukaan Nadya. Rasa manis adalah buster terbaik saat hati s

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-07
  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   8. Jalang

    Akan ada masa kita menyesal pada apa yang telah terjadi. Itulah sebab, pentingnya memikirkan dengan baik sebelum menentukan pilihan. Menghindari penjara berupa “andai-andai” yang tak mungkin terulang lagi. Tepat pukul sebelas malamnya, kajian walimah selesai. Setelah seharian hatinya terguncang oleh pertemuan dengan Ali, Nadya memutuskan pulang. Dia beruntung karena Tasya biasanya akan rewel jika tidur bukan di rumahnya, dan kini dia memiliki alasan pulang. “Nggak nginep aja, Nduk?” Dinar bertanya penuh harap. “Maunya, Bu, tapi tahu kan, Tasya susah tidur di tempat asing.” Dinar mengangguk. Meski firasatnya sebagai orang tua terlalu terasah untuk dibohongi setelah melihat mata sembab putrinya lagi sejak bertemu Ali. Dinar tahu itu. Tak hanya itu, dia juga sempat melihat Ali menyusul Nadya duduk di teras, beberapa jam lalu. Dan memang di sanalah. Tepat di halaman rumah tak jauh dari rumah mertua Dinar, seorang lelaki tengah diam-diam memandang putrinya di balik gelapnya malam. Pemu

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-07
  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   9. Dinasnya Pramono

    Matahari sudah terik. Waktu menunjukkan pukul satu siang saat Nadya menyelesaikan pekerjaannya di dapur dan duduk di ruang tengah bersama Tasya yang asyik memainkan legonya dengan lesu. “Bobo yuk, Dek?” tanya Nadya. Bocah itu menggeleng. Sebaliknya dia justru bertanya, “Ma, Papa kapan pulang?” Mainan yang semula dia mainkan, kini hanya dipukul-pukulkan ke lantai. “Nanti kalo kerjaan Papa dah selesai, Dek,” jawab Nadya sembari memijat pelipisnya. Matanya terpejam, mencoba mengistirahatkan diri. Tak ada yang memaksanya mengerjakan pekerjaan rumah. Namun, sulit baginya untuk benar-benar santai menyadari dirinya belum berberes rumah. Itulah yang membuatnya harus mengerjakan pekerjaan rumah, meski tak ada yang meminta. “Papa lama! Kenapa Papa nggak ngajak Asya?” ucapnya lagi. Bibir mungil itu mulai mengerucut. “Karena Papa sekarang kerjanya pindah-pindah. Jadi kasihan Tasya kalo ikut.” Nadya mendesah lelah. Kadang-kadang pertanyaan kritis putrinya sedikit menyebalkan. “Tapi Tasya mau

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-07
  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   10. Antara Anugerah dan Musibah

    “Halo, Al,” Pramono menyapa Ali yang kedapatan tengah duduk sendirian di jajaran kursi tamu yang hampir kosong. Sebagian besar tamu sudah meninggalkan acara, menyisakan beberapa orang saja. Ali menoleh. “Yo.” “Sendirian aja?” Pram kembali bertanya. Lalu menyusul duduk di samping Ali setelah meraih satu gelas teh hangat di meja tak jauh dari mereka. Ali mengangguk. Di tangannya ponsel masih menyala. Dan segera dia masukkan ke saku. Pramono yakin dia sempat melihat foto seorang bocah bergaun putih dengan rambut terikat, yang diambil dari arah samping. Sekilas, tampak mirip Tasya. “Thanks, tadi sudah membawa Tasya main.” Pramono meletakkan teh yang baru disesapnya ke atas meja, “tak menyangka, Tasya akan secepat itu akrab dengan orang asing.” Ali mengangguk samar. “Bukan masalah. Tasya anak penurut, walaupun sedikit keras kepala.” Ali menarik sebelah bibirnya. “Persis seseorang.” Pramono sempat menangkap ekspresi itu. Dan itu sedikit mengganggunya. Tepatnya, pada kalimat, ‘persis

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-08

Bab terbaru

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   136. Last Part Season 2

    Usai makan malam, dan menidurkan Tasya di kamarnya, Nadya termenung di ujung ruang tamu. Remote di pangkuan. Televisi menyala di ujung ruangan. Namun, pikirannya melayang entah kemana. Ada hal yang membuat dia enggan dengan mudah menerima kebaikan Pramono. Salah satunya, dosa yang dia perbuat. Nadya malu. Dia merasa tak tahu diri jika menerima kebaikan Pramono begitu saja, sementara tangannya telah begitu jahat mencabik hati laki-laki baik itu. Hal yang juga sekali lagi akhirnya Nadya sesali, adanya lebam biru di pipi Tasya yang ternyata akibat ulah Ratna, wanita yang selama ini menampakkan wajah lembutnya di hadapan Pramono, yang seolah sanggup menggantikan kedudukan istri mana pun. Nadya menunduk. ‘Ini semua salahku. Andai aku tak menanggapi Ali. Andai aku tak menyerahkan kehormatanku begitu saja ... mungkin ini semua tak akan terjadi. Dan jika ada yang pantas dihukum, maka itu adalah aku,’ bisik Nadya dalam hati. Dia menangis dalam diam. “Apa yang kau pikirkan?” Dari arah dapur,

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   135. Mengubah Niat

    “Mas baik-baik saja?” tanya Annisa pada Pramono tepat ketika membuka pintu kamar rawatnya. Setelah sempat melirik sebentar, alih-alih menanggapi, laki-laki itu justru berpaling dari gadis yang mendekat ke arahnya. “Jadi Nadya bersamanya, sekarang?” tanya Pramono tak terkejut. Annisa mengedikkan bahu, seolah ada jawaban, ‘Begitulah’ pada gerakan itu. “Hanya untuk minta maaf. Tak ada yang lain,” jawabnya datar. Sontak laki-laki di bed menoleh. Dahinya berkerut begitu saja. “Minta maaf? Untuk?” “Mbak Nadya merasa apa yang menimpa Ali—kalian adalah salahnya.” Laki-laki itu menatap skeptis, lalu terkekeh pada detik berikutnya. Ekspresi wajahnya berubah begitu getir. “Korban sesungguhnya bukan dia,” ucapnya di antara geraham beradu. “Bukan dia yang seharusnya mendapatkan permintaan maaf itu, kau tahu bukan?” “Mas, Nisa pikir bukan itu maksud Mbak Nadya.” “Lalu apa?” Annisa menelan ludah sebelum mulai bicara, “Dia hanya merasa Ali tak perlu mendapat pukulan itu.” Kerutan di dahi Pra

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   134. Semakin Keruh

    Berniat pulang lebih awal, pukul tiga sore Pramono keluar dari ruangannya. Melewati meja Hana, berbelok kiri, dia melangkah menuju ruang editor untuk menemui Nadya dan bermaksud mengajaknya pulang bersama. Namun, Pramono harus kecewa karena wanita itu tidak ada di mejanya. Laki-laki itu berbalik. “Kau tahu di mana Nadya, Hana?” Sontak Hana mendongak. Pandangannya sempat melirik ke ruangan sebelah di mana Nadya biasanya berada, sebelum kembali pada sang bos yang berdiri dengan tatapan dingin, menunggu jawaban. “Tidak, Pak. Saya kira tadi sudah izin sama Bapak.” Pramono memicing. Artinya dia pergi? “Sejak kapan?” “Mungkin satu jam yang lalu.” Laki-laki itu meninggalkan meja Hana dan keluar dari ruang editor dengan langkah panjang. Satu tangannya menyelip ke dalam saku kanan celana, lalu keluar dengan ponsel dalam genggaman dan mulai menggulirkan ibu jari. “Kau di mana?” tanyanya pada seseorang di ujung sana setelah nada sambung terputus. “Aku di rumah.” “Rumah yang mana?” “Yang

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   133. Persaingan Dua Lelaki

    “Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?” tanya Pramono berusaha menutupi kemarahannya. Laki-laki di hadapannya berdeham pelan. Detik berikutnya punggung dan menatap dingin ke arah Pramono. “Aku ingin mengatakan, mari kita bersaing secara sehat,” jawabnya tenang. “Aku tahu, meski Anda begitu marah, jauh dalam lubuk hati Anda, Anda masih sangat mengharapkan Nadya—demi putri kalian. Dan mungkin, masih ada sedikit cinta untuk dia di dalam sana. Benar? Kupastikan, aku akan mencintainya dengan baik. Jika Anda tidak yakin bisa memaafkannya dengan ikhlas, sebaiknya menyerah lah dari sekarang.” ‘Astaga ...’ Pramono meraup wajah lelah. Gigi geraham bergemeletuk. Menoleh ke kanan, diraihnya ponsel yang tergeletak di meja. Ibu jarinya bergulir menelusuri daftar kontak. Pada nama Annisa dia berhenti dan menekan tombol call. “Ya, Mas?” sapa Annisa tepat setelah bunyi dengung di telinganya terputus. “Sa, aku bisa minta tolong?” “Ya. Minta tolong apa?” *** Sepulang dari kantor Pramono, Edwin

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   132. Kedatangan Edwin

    Beberapa menit yang lalu. “Nah, begini kan cantik.” Shofwa mengulum senyum. “Coba Teteh lihat. Cantik, ‘kan?” tanya Shofwa pada wanita di sampingnya. Dipandanginya wajah itu dari pantulan kaca di depan mereka. Tak menyahut, Nadya memandang seraut wajah di cermin. Dia hampir tak mengenali dirinya sendiri yang kini dibalut jilbab panjang. Tak ada yang terlihat lagi melainkan wajah bersih dengan mata coklat dalam dan bibir yang dipulas dengan warna lembut, khas dirinya. Gadis di samping Nadya mengulum senyum. Kedua matanya menyipit. Menampakkan ekspresi kebahagiaan yang tak dibuat-buat. “Bahkan ... masih secantik itu setelah Teteh pakai jilbab. Maha Kuasa Allah menciptakan wanita dengan kecantikannya yang sempurna.” ‘Cantik?’ Nadya menatap ragu pada dirinya sebelum menunduk. ‘Apakah itu anugerah, atau musibah?’ Dia bahkan mengira kecantikannya adalah petaka yang berakhir dengan terlukanya hati banyak orang. Kini, bahkan keluarga dan orang tuanya juga. Nadya merasakan hangat merebak

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   131. Perbincangan dengan Shofwa

    “Mama masih di sini?” tanya Tasya saat menuruni anak tangga dan melihat ada sang ibu di dapur. Wanita yang masih mengenakan pakaian yang sama sejak kemarin siang, memandang ke arah bocah yang mendekat. Selarik senyum dia suguhkan seolah tak ada beban apa pun di hatinya. “Mama harus masak dulu. Terus antar Tasya ke Sekolah, terus berangkat kerja,” jawabnya. “Tapi ... tapi ... mama pulang lagi, kan?” Gerakan tangan Nadya melambat. Piring berisi nasi itu sempat mengambang sebelum diletakkannya ke meja, lalu memandang bocah di ujung meja dengan tatapan teduh. Dia bisa melihat dengan jelas ketakutan di wajah bocah itu. Nadya menoleh pada laki-laki yang kini siap dengan kemeja putihnya. Tak ikut campur, namun dia yakin Pramono menyimak pembicaraan itu, dan ingin tahu apa jawabannya. Tak berselang lama, wanita yang berdiri di ujung meja mengangguk. “Iya, Sayang. Mama akan datang lagi,” jawabnya seiring tatapan ke arah Pramono. Pandangan mereka beradu. Pramono sadar dia belum mendapat j

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   130. Permintaan (Mantan) Suami Bag. 2

    “Kuingin kau menemui Tasya barang semenit. Dia membutuhkan ibunya.” Terngiang kembali kalimat Pramono kemarin. Nadya meremas jemarinya gugup. Di depan sana Playground tempat Tasya bermain sudah terlihat. “Kau gugup?” tanya Pramono. Nadya memilih tak menanggapi. Mobil berhenti. Tak langsung keluar, Nadya justru sibuk mengatur napas. Mempersiapkan diri pada apa pun yang mungkin terjadi nanti. Penolakan, misalnya. Saat marah, anak itu sering menolak sang ibu. Dan besar kesalahannya, membuat Nadya merasa pantas mendapat kemarahan dari Tasya, bahkan mungkin bukan kata maafnya. Sementara dalam pandangan Pramono, sikap itu tampak seperti seseorang yang menunggu dibukakan pintu. Maka laki-laki yang telah berada di luar itu lalu mendekat ke pintu, membukanya. Satu tangannya lalu terulur ke arah Nadya. Wanita itu terenyak. Sempat dipandangnya tangan itu, lalu ragu-ragu menerimanya. “Tasya pasti senang melihat kau datang,” ucap Pramono sembari menutup pintu. Sebaliknya, keraguan justru mem

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   129. Permintaan (Mantan) Suami

    “Mas, di sini.” Annisa melambai pada laki-laki yang mengedar pandang di tepi alun-alun kota Bandung. Topi hitam di kepala. Jam di tangan kirinya. Laki-laki berkemeja putih itu menoleh. Lalu tersenyum. Dia melangkah mendekat. Namun perempuan dari arah sebaliknya melangkah lebih cepat. Gadis itu berhenti ketika jarak mereka hanya tersisa beberapa senti. Dengan teliti, dipandanginya wajah itu. Binar kebahagiaan terpancar jelas di matanya. Senyum jujur yang dibalut rasa malu. Satu lagi ... rasa yang sama. Annisa hampir tak percaya bisa melihat laki-laki itu datang begitu jauh hanya untuk menemuinya. Annisa melangkah maju dengan kedua tangan terbuka, dan merengkuh erat tubuh laki-laki itu. “Aku kangen, sama Mas.” Ragu, laki-laki itu mundur selangkah. Kedua tangannya sempat akan mengurai dekapan Annisa, namun akhirnya memilih membiarkan ketika dekapan itu terasa lebih erat. *** “Ratna!” Mendengar namanya dipanggil, wanita di pintu keluar bandara menoleh. Wajah yang semula sendu, beru

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   128. Kemarahan Pramono Bag. 2

    Beberapa menit sebelumnya. “Mas sarapanlah dulu.” Ratna meletakkan mangkuk sayur di meja. Satu piring dia ambil dan meletakkannya di depan Pramono. Di atasnya, nasi lengkap dengan sayuran telah tersaji. “Terima kasih,” jawab Pramono melirik wanita di seberang meja sebentar. Tampak sembab di wajah itu. Dia yakin, Ratna menangis belum lama tadi. Beralih ke piring, laki-laki itu meraih sendok di atasnya. “Kau baik-baik saja?” Ratna tertawa datar. “Apa ada yang baik-baik saja, setelah diceraikan suaminya?” Butuh waktu bagi Ratna untuk mendengar tanggapan laki-laki di depan meja. Wajahnya menunduk ke arah makanan di hadapan. “Aku hanya tak ingin membebanimu, Ratna,” ucap Pramono dengan nada begitu rendah. “Aku tahu.” Wanita itu mengangguk. “Itulah kenapa kuminta Kak Syarif datang untuk menjemput ke sini.” “Syarif? Asisten Ayah?” “Ya.” Pramono manggut-manggut. Kabari aku saat dia datang. Aku harus ke kantor sebentar. *** Usai mengantar Tasya ke sekolah, Pramono bergegas menuju kan

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status