Setelah menunggu hampir dua jam, waktu menunjukkan pukul tujuh malam saat akhirnya Nadya mendengar deru mesin mobil berhenti di halaman rumahnya.
Meski begitu ingin keluar lalu mengomel; atas sikap menyebalkan seseorang sore tadi. Juga atas keterlambatan yang seolah disengaja, Nadya memilih menahan diri sampai orang yang ditunggu masuk.
Namun, semenit ... dua menit ... tiga menit ... sampai entah pada menit ke berapa, tak juga terlihat tanda-tanda seseorang akan muncul.
Gusar, wanita itu bangkit. Dia melangkah cepat menembus pintu utama rumahnya, dan berhenti tepat di teras.
Pandangannya tertuju pada mobil yang terparkir di halaman. Seseorang di dalamnya masih duduk di jok kemudi dengan tubuh mencondong kiri. Pria itu menegak tak lama kemudian. Dua jarinya memijat kedua mata yang terpejam. Dadanya bergerak naik turun dengan cepat.
Laki-laki itu membuka mata. Dan segera terpaku tepat ketika menyadari keberadaan perempuan yang berdiri di teras dengan kedua tangan terlipat di dada.
Pandangan mereka beradu. Seperti tengah tenggelam dalam lautan hati masing-masing, mereka menatap tajam satu sama lain. Nadya dengan kemarahan yang bergumul di dadanya. Dan Ali dengan kerinduannya yang mendalam. Seolah jaraknya mampu menenggelamkan siapa pun yang menyelam ke dalamnya.
Wanita di teras membuang muka. Dengan langkah panjang, Nadya berjalan mendekati mobil. Membuka kasar pintunya, lalu mengulurkan tangan, bermaksud meraih Tasya di jok kiri.
“Biar aku.” Belum sampai Nadya menarik putrinya, Ali lebih dulu mencekal lengannya. Pandangan mereka kembali beradu. Kali ini disertai sorot tak suka dari perempuan itu.
Nadya mencoba mengurainya. “Tidak!”
“Nadya!”
Tak mau kalah, Ali mencengkeram wanita itu lebih kuat. Lagi ... laki-laki itu menatap tajam. Tatapan yang hanya dalam beberapa detik saja dengan mudah menembus ke jantung perempuan itu dan membuatnya membeku seketika.
“Biar aku,” bisik Ali di antara geraham beradu. Perlahan dilepasnya lengan wanita itu.
Nadya tertawa skeptis. Tak ada pilihan kecuali menuruti laki-laki itu dengan mundur perlahan.
Dengan gerakan terlatih, Ali membopong bocah yang terlelap itu dan membawanya masuk dalam rumah mendahului Nadya.
Sementara Nadya memilih berbelok ke dapur.
Dengan napas memburu, diraihnya sebuah gelas. Serampangan menuang air dan menenggaknya hingga tandas. Hati yang awalnya diliputi kecemasan memikirkan ke mana putrinya, kini berganti kemarahan akibat sikap laki-laki itu.
Gigi gerahamnya bergemeletuk. Belum selesai Nadya mengatur napas, di belakangnya, Ali muncul tiba-tiba dan kembali mencekal kasar tangan kirinya. Pandangan mereka kembali menghunus satu sama lain. Nadya tahu, Ali sangat marah.
Ngilu, Nadya berusaha menarik lengannya. Namun, dia keliru jika mengira bisa lolos begitu saja. Cengkeraman Ali terlalu kuat hingga upaya melepaskan diri nyaris membuatnya terpelanting ke kiri.
Tak puas hanya dengan mencekal, kini Ali menarik wajah wanita itu demi mengunci kedua matanya. Dadanya naik turun dengan cepat. Rahangnya sekeras batu.
“Siapa yang mengizinkanmu melibatkan Annisa, ha?” geram Ali. “Apa pilihanku melajang, membuatmu rugi?” Pandangan mereka kembali mengunci.
Tak kuasa menerima tatapan itu, Nadya memejam. Namun, lagi-lagi dia keliru jika mengira Ali akan membiarkannya lolos lagi. Tangan kanannya terangkat, mencekal dagu Nadya lebih kuat hingga buku-buku jarinya memutih.
Wanita itu kian tersudut. Dahinya mengernyit. Antara ketakutan dan kesakitan, keduanya terlihat jelas di wajah Nadya.
“Aku tak pernah memaksamu menerimanya, bukan? Tidak sekali pun!
Bahkan, ketika aku bisa saja membawa kau lari, aku memilih membiarkanmu menikah dengan Pram. Apa masalahmu, ha?” Ali terus maju.
Sebaliknya, Nadya semakin surut ke belakang. Kedua tangannya kembali berupaya mendorong laki-laki itu, namun sia-sia.
Ali baru berhenti ketika Nadya terimpit dan bersandar pada kabinet dapur. Butir-butir air mata yang menggantung di pelupuk matanya.
Tak lagi tajam, pandangan Ali Nadya meredup, saat menyadari titik-titik bening di kedua mata Nadya mulai menitik.
Ali mengurai cekalannya. Tak lagi dengan cengkeraman, kali ini dia menarik dagu Nadya dengan telunjuknya.
Dari jarak begitu dekat, dipandanginya setiap inci wajah ayu Nadya. Cahaya membias dari kedua mata yang mengembun. Kedua pipi merah yang menggambarkan paduan antara malu dan haru. Dan bibir basahnya yang entah bagaimana, membuatnya ingin mengecap lalu terhanyut ke dalam surga itu.
‘Astaga.’ Ali menjatuhkan kepalanya di pundak Nadya. Kedua tangannya bertumpu di kabin—mengapit Nadya di antaranya. Dalam-dalam laki-laki itu menarik napasnya, hingga aroma khas Nadya terhidu. Melenakan. Ali menikmatinya.
“Jangan paksa aku, Nadya ....” Ali berucap setelah beberapa menit berlalu dalam hening, “mencintaimu saja sudah cukup menguras energiku. Jangan melibatkan orang lain dan memaksa aku memelihara perasaannya juga.”
Ali menghela napas sekali lagi. Dalam waktu begitu singkat, harum tubuh perempuan itu menjelma bagai candu. Mendorong Ali untuk menghela lebih dalam, demi menghirup lebih banyak. Hingga wangi itu merasuk dalam ingatan dan terpatri kuat di sana.
Tubuh Nadya berguncang. Butir-butir bening kian deras luruh dari kedua matanya.
Nadya menggeleng lemah di antara isak tertahan. “Aku cuma punya satu tempat, Mas ....
Abaikan seberapa besar cintaku untuk dia. Faktanya tak ada tempat untuk laki-laki lain—sebagaimana laki-laki bisa menempatkan bahkan empat sekaligus,” kalimat Nadya terjeda isak.
“Mendapat cinta darimu, memang tak ada ruginya, tapi itu beban bagiku. Kamu melukai perasaanku yang selama ini berusaha kuat mengabaikan rasa ini—setelah semuanya kandas.
Kamu tahu?
Andai ada aku yang lain, aku pun tidak rela menyerahkan kamu pada yang lain.” Nadya kembali menggeleng tak berdaya.
“Jadi menurutmu aku harus bagaimana? Aku cuma mau kamu bangkit. Melupakan masa lalu kita dan menikah dengan wanita lebih baik ....
Lalu bahagia ....
Tak lebih.”
Nadya terisak-isak. Napasnya tersengal seakan beban berat baru saja ditimpakan ke atas dadanya. Membuatnya kepayahan membawa diri hingga terjerembap pada luka lama yang belum terobati.
Guncangan dari tubuh perempuan itu, memaksa Ali mengangkat wajahnya. Sungguh, tak ada manusia yang ingin melukai orang yang dikasihi untuk ke sekian kali, begitu pun Ali.
Laki-laki itu meraih helai rambut Nadya yang terlepas dari ikatan, lalu menyelipkannya di belakang telinga.
“Kalau begitu, tinggalkan Pramono, pergilah bersamaku!” ucap Ali lirih di antara wajah sayu yang kini hanya menyisakan jarak beberapa senti saja.
“Apa?” Nadya menatap nanar pria itu. Jelas itu pikiran yang gila. Bagaimana mungkin dia mengatakan itu sekarang, setelah selama ini? Nadya menggeleng putus asa. Lalu kembali menunduk dengan isak kian menyedihkan.
“Aku tak keberatan menerima Tasya, bahkan biaya hidupnya ....”
“Mas!” Nadya berseru lirih, “Bukan aku. Tapi Annisa. Dia perempuan yang baik.”
Ali mengabaikannya. Embusan napasnya terasa hangat menyentuh kulit wajah Nadya.
“Dia bukan Nadya.
Tak ada yang sama seperti Nadya.
Aku mau ... Nadya.” Ali meraih tangan kiri perempuan itu, mengecupnya lembut.
Oh ... lihat betapa mudahnya hati rapuh. Pertahanan Nadya pecah kembali. Dia tergugu di hadapan Ali untuk ke dua kalinya setelah enam tahun berlalu.
“Tega kamu, Mas. Tega sekali Mas mempermainkan perasaanku sampai sedalam ini!” ucapnya di sela tangis. Kedua tangannya terangkat menutupi wajah yang kacau. Lalu melingkar di pundak laki-laki itu ketika merasakan hangat pelukan merengkuh tubuhnya.
Ya, dialah.
Dialah wanita itu. Dialah raga yang selama ini ingin didekapnya dengan penuh cinta. Dengan penuh kasih.
Lembut, lancang Ali mengecup dahinya.
Kedua pipinya ....
Dan ... debar jantungnya kian memburu ketika pandangannya tertuju pada bibir basah itu. Jarak yang semula tersisa beberapa senti, kini hilang sepenuhnya. Ya, di sana. Ali menyesap penuh kerinduan. Begitu hangat. Begitu lembut. Begitu mesra.
Nadya bersandar lemah. Air matanya kembali berjejalan saat menyadari memang masih sedalam itu cintanya untuk Ali. Cinta lama yang kini dia biarkan masuk dan menjamah apa yang menjadi milik suaminya. Sesuatu yang seharusnya terjaga dengan baik, dia serahkan begitu saja pada laki-laki lain, atas nama cinta.
Cinta? Cinta seperti apa yang berani melanggar batasan?
To be continue ...
Beberapa hari sebelumnya. “Kita mau ke kondangan ya, Ma?” tanya Tasya pada sang ibu yang tengah mengikat rambutnya. “Iya, betul. Ke rumah Eyang, Asya mau ikut?” “Ikut-ikut-ikut. Sama papa?” “Hm ... papa cuma antar. Nanti nyusul. Soalnya ada yang harus diurus.” Nadya meletakkan sisir di meja. Dipandangnya seraut wajah cantik bocah di hadapannya. Lalu dengan girang, bocah itu berlari keluar. Senyum di bibir Nadya memudar. ‘Lihat bocah itu. Dia hanya tahu senang tanpa tahu tempat itu masih sangat ingin kuhindari bahkan setelah sekian tahun berlalu.’ Nadya menghela napas dalam. Pandangannya beralih pada lipstik di atas meja. Diraihnya satu dan meletakkannya kembali setelah mengoleskan sebagai sentuhan terakhir riasan naturalnya pagi ini. Lalu menatap sekali lagi pantulan wajah wanita berusia dua puluh sembilan di cermin. Cantik. Nadya tahu itu. Detik berikutnya, terdengar suara ketukan disusul pintu terbuka. “Sudah?” tanya seseorang seiring langkah mendekat. “Sudah, Mas.” Nadya
“Apa kabar, Nad?” Jantung Nadya seketika memanas saat mendengar lagi suara itu. Meski telah begitu lama, dia sangat tahu siapa pemiliknya. Ali. Nadya membuang muka. Sebuah usapan di pipi dia lakukan buru-buru demi memastikan tak ada sisa air mata yang tersisa. Sedetik kemudian dia melirik pada Ali. Genggaman pada dompet di pangkuan menguat. Mati-matian, Nadya berupaya mempersiapkan diri menghadapi laki-laki itu. Lebih tepatnya, perasaannya sendiri. “Baik, Mas. Alhamdulillaah,” jawab Nadya lirih sebelum menunduk. Dia tahu, tidak seharusnya. Tapi memandang Ali lagi setelah sekian lama, nyatanya membuat dia kacau dalam sekejap. Susah payah dia berusaha menyembunyikan kekacauan itu, dan sialnya, justru membuatnya malah terlihat seperti orang bodoh. “Boleh duduk?” tanya laki-laki itu lagi. Nadya mengangguk samar. Derit kursi. Dan aroma maskulin parfum terhidu begitu saja yang entah bagaimana Nadya menyukai itu. Setelahnya, detik berlalu dalam hening. Bagi seorang teman, tak bertemu
Bukan di kantor, pertemuan itu diadakan di kafe, setelah Pramono menyebutkan alasannya tak bisa berlama-lama. Pramono bangkit ketika pandangannya menangkap dua orang mendekat ke meja yang telah dipesannya. Satu di antaranya lelaki berkaca mata dengan badan sedikit berisi. Usianya kisaran lima puluh lima atau sedikit lebih tua dari itu. Kemeja kotak-kotak, dengan dua kancingnya terbuka. Satu yang lain, wanita dengan rambut coklat dan sedikit kusut, dan ... menatapnya dengan ekspresi tak percaya. Pramono mengabaikannya. “Selamat siang, Pak Bram,” sapanya ramah dengan tangan kanan terulur. “Siang. Senang akhirnya bisa bertemu Anda, Pak Pram.” “Ayah!” pekik wanita muda di samping laki-laki itu tertahan. Pandangannya memindai bergantian ke arah sang ayah dan Pramono masih dengan ekspresi yang sama. Satu tangannya kemudian kikuk merapikan rambut kusutnya. “Betul,” jawab Bramantyo. “Apa dia mirip ayah?” tanyanya seraya memandang Pramono, lalu kembali ke arah putrinya yang menunduk. Semu
“Kamu nggak pernah bilang punya teman bernama Ali?” Nadya tergagap. Dia memandang suaminya dan Ali bergantian. Belum sempat Nadya membuka mulut, Ali mendahului bicara, “Mungkin dia lupa,” ucapnya tenang, “dia terlalu pelupa untuk mengingat aku. Lagi pula, kami baru bertemu setelah lebih dari sepuluh tahun,” lanjutnya. Ali beralih pada Tasya dan menyerahkan boneka panda itu padanya dan menatap teduh seakan ada sesuatu di wajah bocah itu yang sangat menarik perhatiannya. “Sya ... Papa udah pulang, Uncle ke sana dulu, ya?” tunjuknya pada salah satu sudut halaman rumah Minarti di mana pemuda berpakaian serupa tengah berkumpul. Tasya mengangguk. “Makasih, Uncle.” Ali menarik kedua sisi bibirnya. Lalu mengacak gemas rambut bocah itu. “Titip Panda, dijaga baik-baik. Janji?” ucapnya sambil mengacungkan jari kelingking. Tasya menyambut riang. Ali bangkit. Dia memandang Nadya dan Pramono bergantian sebelum melenggang pergi. Di sampingnya, pandangan Pramono masih mengikuti Ali sampai pang
Tujuh tahun sebelumnya. Deru knalpot terdengar berhenti di halaman rumah Ikhsan. Tak berselang lama, Nadya mendengar sapaan salam. Dadanya tiba-tiba memanas disusul debar tak beraturan. Dia kenal suara itu. Dengan langkah buru-buru, Nadya berlari ke arah jendela. Membuka tirainya sedikit, demi memuaskan rasa ingin tahunya. Lalu debar-debar halus itu kian menggila saat akhirnya, dia benar-benar melihat siapa yang datang. ‘Nggak mungkin, ‘kan? Mau apa dia?’ Nadya menggigit bibir. Ada yang seketika bergemuruh, namun Nadya tak bisa menghentikannya. Setelah sekali lagi mencoba menenangkan diri, hati-hati Nadya membuka pintu. Lalu tampaklah wajah Ali dihiasi selarik senyum lembut di antara sorot mata teduhnya. “M—Mas Ali ... ?” “Ya.” Ali kembali mengulum senyum. “Aku.” “S—silakan, Mas.” Nadya menggeser diri, memberi jalan pada Ali untuk masuk. Lalu mempersilakannya duduk. Masih tak percaya pada apa yang dilihat, sesaat Nadya berdiri kikuk memandang laki-laki itu seperti orang bodoh y
Sepanjang perjalanan, hanya deru knalpot yang terdengar karena keduanya tenggelam dalam lautan pikiran masing-masing. Ali dengan pertanyaan bagaimana cara meyakinkan orang tua Nadya untuk mengubah keputusannya. Dan Nadya dengan perasaan campur aduk yang lebih banyak dia keluarkan dengan air mata. Ali melirik kaca spion. Tangan kirinya terulur untuk membetulkan letaknya agar bisa menangkap pantulan seseorang di balik punggung. Seseorang yang tubuhnya bergetar sejak kedatangannya tadi. Seseorang yang dia kecewakan meski selama ini tahu bagaimana perasaannya sejak dulu. Di kafe bambu tak jauh dari rumah mereka, Ali membawa Nadya masuk. Sengaja dia memilih kursi paling ujung dekat jendela karena cuaca mendadak hujan. Bukan hanya karena dia suka suasananya, tapi juga itu jarak terjauh dari pengunjung lain. Mencegah orang mendengar apa pun yang mereka bicarakan. Tak lama kemudian, dua cangkir kopi tersaji lengkap dengan kue keju kesukaan Nadya. Rasa manis adalah buster terbaik saat hati s
Akan ada masa kita menyesal pada apa yang telah terjadi. Itulah sebab, pentingnya memikirkan dengan baik sebelum menentukan pilihan. Menghindari penjara berupa “andai-andai” yang tak mungkin terulang lagi. Tepat pukul sebelas malamnya, kajian walimah selesai. Setelah seharian hatinya terguncang oleh pertemuan dengan Ali, Nadya memutuskan pulang. Dia beruntung karena Tasya biasanya akan rewel jika tidur bukan di rumahnya, dan kini dia memiliki alasan pulang. “Nggak nginep aja, Nduk?” Dinar bertanya penuh harap. “Maunya, Bu, tapi tahu kan, Tasya susah tidur di tempat asing.” Dinar mengangguk. Meski firasatnya sebagai orang tua terlalu terasah untuk dibohongi setelah melihat mata sembab putrinya lagi sejak bertemu Ali. Dinar tahu itu. Tak hanya itu, dia juga sempat melihat Ali menyusul Nadya duduk di teras, beberapa jam lalu. Dan memang di sanalah. Tepat di halaman rumah tak jauh dari rumah mertua Dinar, seorang lelaki tengah diam-diam memandang putrinya di balik gelapnya malam. Pemu
Matahari sudah terik. Waktu menunjukkan pukul satu siang saat Nadya menyelesaikan pekerjaannya di dapur dan duduk di ruang tengah bersama Tasya yang asyik memainkan legonya dengan lesu. “Bobo yuk, Dek?” tanya Nadya. Bocah itu menggeleng. Sebaliknya dia justru bertanya, “Ma, Papa kapan pulang?” Mainan yang semula dia mainkan, kini hanya dipukul-pukulkan ke lantai. “Nanti kalo kerjaan Papa dah selesai, Dek,” jawab Nadya sembari memijat pelipisnya. Matanya terpejam, mencoba mengistirahatkan diri. Tak ada yang memaksanya mengerjakan pekerjaan rumah. Namun, sulit baginya untuk benar-benar santai menyadari dirinya belum berberes rumah. Itulah yang membuatnya harus mengerjakan pekerjaan rumah, meski tak ada yang meminta. “Papa lama! Kenapa Papa nggak ngajak Asya?” ucapnya lagi. Bibir mungil itu mulai mengerucut. “Karena Papa sekarang kerjanya pindah-pindah. Jadi kasihan Tasya kalo ikut.” Nadya mendesah lelah. Kadang-kadang pertanyaan kritis putrinya sedikit menyebalkan. “Tapi Tasya mau
Usai makan malam, dan menidurkan Tasya di kamarnya, Nadya termenung di ujung ruang tamu. Remote di pangkuan. Televisi menyala di ujung ruangan. Namun, pikirannya melayang entah kemana. Ada hal yang membuat dia enggan dengan mudah menerima kebaikan Pramono. Salah satunya, dosa yang dia perbuat. Nadya malu. Dia merasa tak tahu diri jika menerima kebaikan Pramono begitu saja, sementara tangannya telah begitu jahat mencabik hati laki-laki baik itu. Hal yang juga sekali lagi akhirnya Nadya sesali, adanya lebam biru di pipi Tasya yang ternyata akibat ulah Ratna, wanita yang selama ini menampakkan wajah lembutnya di hadapan Pramono, yang seolah sanggup menggantikan kedudukan istri mana pun. Nadya menunduk. ‘Ini semua salahku. Andai aku tak menanggapi Ali. Andai aku tak menyerahkan kehormatanku begitu saja ... mungkin ini semua tak akan terjadi. Dan jika ada yang pantas dihukum, maka itu adalah aku,’ bisik Nadya dalam hati. Dia menangis dalam diam. “Apa yang kau pikirkan?” Dari arah dapur,
“Mas baik-baik saja?” tanya Annisa pada Pramono tepat ketika membuka pintu kamar rawatnya. Setelah sempat melirik sebentar, alih-alih menanggapi, laki-laki itu justru berpaling dari gadis yang mendekat ke arahnya. “Jadi Nadya bersamanya, sekarang?” tanya Pramono tak terkejut. Annisa mengedikkan bahu, seolah ada jawaban, ‘Begitulah’ pada gerakan itu. “Hanya untuk minta maaf. Tak ada yang lain,” jawabnya datar. Sontak laki-laki di bed menoleh. Dahinya berkerut begitu saja. “Minta maaf? Untuk?” “Mbak Nadya merasa apa yang menimpa Ali—kalian adalah salahnya.” Laki-laki itu menatap skeptis, lalu terkekeh pada detik berikutnya. Ekspresi wajahnya berubah begitu getir. “Korban sesungguhnya bukan dia,” ucapnya di antara geraham beradu. “Bukan dia yang seharusnya mendapatkan permintaan maaf itu, kau tahu bukan?” “Mas, Nisa pikir bukan itu maksud Mbak Nadya.” “Lalu apa?” Annisa menelan ludah sebelum mulai bicara, “Dia hanya merasa Ali tak perlu mendapat pukulan itu.” Kerutan di dahi Pra
Berniat pulang lebih awal, pukul tiga sore Pramono keluar dari ruangannya. Melewati meja Hana, berbelok kiri, dia melangkah menuju ruang editor untuk menemui Nadya dan bermaksud mengajaknya pulang bersama. Namun, Pramono harus kecewa karena wanita itu tidak ada di mejanya. Laki-laki itu berbalik. “Kau tahu di mana Nadya, Hana?” Sontak Hana mendongak. Pandangannya sempat melirik ke ruangan sebelah di mana Nadya biasanya berada, sebelum kembali pada sang bos yang berdiri dengan tatapan dingin, menunggu jawaban. “Tidak, Pak. Saya kira tadi sudah izin sama Bapak.” Pramono memicing. Artinya dia pergi? “Sejak kapan?” “Mungkin satu jam yang lalu.” Laki-laki itu meninggalkan meja Hana dan keluar dari ruang editor dengan langkah panjang. Satu tangannya menyelip ke dalam saku kanan celana, lalu keluar dengan ponsel dalam genggaman dan mulai menggulirkan ibu jari. “Kau di mana?” tanyanya pada seseorang di ujung sana setelah nada sambung terputus. “Aku di rumah.” “Rumah yang mana?” “Yang
“Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?” tanya Pramono berusaha menutupi kemarahannya. Laki-laki di hadapannya berdeham pelan. Detik berikutnya punggung dan menatap dingin ke arah Pramono. “Aku ingin mengatakan, mari kita bersaing secara sehat,” jawabnya tenang. “Aku tahu, meski Anda begitu marah, jauh dalam lubuk hati Anda, Anda masih sangat mengharapkan Nadya—demi putri kalian. Dan mungkin, masih ada sedikit cinta untuk dia di dalam sana. Benar? Kupastikan, aku akan mencintainya dengan baik. Jika Anda tidak yakin bisa memaafkannya dengan ikhlas, sebaiknya menyerah lah dari sekarang.” ‘Astaga ...’ Pramono meraup wajah lelah. Gigi geraham bergemeletuk. Menoleh ke kanan, diraihnya ponsel yang tergeletak di meja. Ibu jarinya bergulir menelusuri daftar kontak. Pada nama Annisa dia berhenti dan menekan tombol call. “Ya, Mas?” sapa Annisa tepat setelah bunyi dengung di telinganya terputus. “Sa, aku bisa minta tolong?” “Ya. Minta tolong apa?” *** Sepulang dari kantor Pramono, Edwin
Beberapa menit yang lalu. “Nah, begini kan cantik.” Shofwa mengulum senyum. “Coba Teteh lihat. Cantik, ‘kan?” tanya Shofwa pada wanita di sampingnya. Dipandanginya wajah itu dari pantulan kaca di depan mereka. Tak menyahut, Nadya memandang seraut wajah di cermin. Dia hampir tak mengenali dirinya sendiri yang kini dibalut jilbab panjang. Tak ada yang terlihat lagi melainkan wajah bersih dengan mata coklat dalam dan bibir yang dipulas dengan warna lembut, khas dirinya. Gadis di samping Nadya mengulum senyum. Kedua matanya menyipit. Menampakkan ekspresi kebahagiaan yang tak dibuat-buat. “Bahkan ... masih secantik itu setelah Teteh pakai jilbab. Maha Kuasa Allah menciptakan wanita dengan kecantikannya yang sempurna.” ‘Cantik?’ Nadya menatap ragu pada dirinya sebelum menunduk. ‘Apakah itu anugerah, atau musibah?’ Dia bahkan mengira kecantikannya adalah petaka yang berakhir dengan terlukanya hati banyak orang. Kini, bahkan keluarga dan orang tuanya juga. Nadya merasakan hangat merebak
“Mama masih di sini?” tanya Tasya saat menuruni anak tangga dan melihat ada sang ibu di dapur. Wanita yang masih mengenakan pakaian yang sama sejak kemarin siang, memandang ke arah bocah yang mendekat. Selarik senyum dia suguhkan seolah tak ada beban apa pun di hatinya. “Mama harus masak dulu. Terus antar Tasya ke Sekolah, terus berangkat kerja,” jawabnya. “Tapi ... tapi ... mama pulang lagi, kan?” Gerakan tangan Nadya melambat. Piring berisi nasi itu sempat mengambang sebelum diletakkannya ke meja, lalu memandang bocah di ujung meja dengan tatapan teduh. Dia bisa melihat dengan jelas ketakutan di wajah bocah itu. Nadya menoleh pada laki-laki yang kini siap dengan kemeja putihnya. Tak ikut campur, namun dia yakin Pramono menyimak pembicaraan itu, dan ingin tahu apa jawabannya. Tak berselang lama, wanita yang berdiri di ujung meja mengangguk. “Iya, Sayang. Mama akan datang lagi,” jawabnya seiring tatapan ke arah Pramono. Pandangan mereka beradu. Pramono sadar dia belum mendapat j
“Kuingin kau menemui Tasya barang semenit. Dia membutuhkan ibunya.” Terngiang kembali kalimat Pramono kemarin. Nadya meremas jemarinya gugup. Di depan sana Playground tempat Tasya bermain sudah terlihat. “Kau gugup?” tanya Pramono. Nadya memilih tak menanggapi. Mobil berhenti. Tak langsung keluar, Nadya justru sibuk mengatur napas. Mempersiapkan diri pada apa pun yang mungkin terjadi nanti. Penolakan, misalnya. Saat marah, anak itu sering menolak sang ibu. Dan besar kesalahannya, membuat Nadya merasa pantas mendapat kemarahan dari Tasya, bahkan mungkin bukan kata maafnya. Sementara dalam pandangan Pramono, sikap itu tampak seperti seseorang yang menunggu dibukakan pintu. Maka laki-laki yang telah berada di luar itu lalu mendekat ke pintu, membukanya. Satu tangannya lalu terulur ke arah Nadya. Wanita itu terenyak. Sempat dipandangnya tangan itu, lalu ragu-ragu menerimanya. “Tasya pasti senang melihat kau datang,” ucap Pramono sembari menutup pintu. Sebaliknya, keraguan justru mem
“Mas, di sini.” Annisa melambai pada laki-laki yang mengedar pandang di tepi alun-alun kota Bandung. Topi hitam di kepala. Jam di tangan kirinya. Laki-laki berkemeja putih itu menoleh. Lalu tersenyum. Dia melangkah mendekat. Namun perempuan dari arah sebaliknya melangkah lebih cepat. Gadis itu berhenti ketika jarak mereka hanya tersisa beberapa senti. Dengan teliti, dipandanginya wajah itu. Binar kebahagiaan terpancar jelas di matanya. Senyum jujur yang dibalut rasa malu. Satu lagi ... rasa yang sama. Annisa hampir tak percaya bisa melihat laki-laki itu datang begitu jauh hanya untuk menemuinya. Annisa melangkah maju dengan kedua tangan terbuka, dan merengkuh erat tubuh laki-laki itu. “Aku kangen, sama Mas.” Ragu, laki-laki itu mundur selangkah. Kedua tangannya sempat akan mengurai dekapan Annisa, namun akhirnya memilih membiarkan ketika dekapan itu terasa lebih erat. *** “Ratna!” Mendengar namanya dipanggil, wanita di pintu keluar bandara menoleh. Wajah yang semula sendu, beru
Beberapa menit sebelumnya. “Mas sarapanlah dulu.” Ratna meletakkan mangkuk sayur di meja. Satu piring dia ambil dan meletakkannya di depan Pramono. Di atasnya, nasi lengkap dengan sayuran telah tersaji. “Terima kasih,” jawab Pramono melirik wanita di seberang meja sebentar. Tampak sembab di wajah itu. Dia yakin, Ratna menangis belum lama tadi. Beralih ke piring, laki-laki itu meraih sendok di atasnya. “Kau baik-baik saja?” Ratna tertawa datar. “Apa ada yang baik-baik saja, setelah diceraikan suaminya?” Butuh waktu bagi Ratna untuk mendengar tanggapan laki-laki di depan meja. Wajahnya menunduk ke arah makanan di hadapan. “Aku hanya tak ingin membebanimu, Ratna,” ucap Pramono dengan nada begitu rendah. “Aku tahu.” Wanita itu mengangguk. “Itulah kenapa kuminta Kak Syarif datang untuk menjemput ke sini.” “Syarif? Asisten Ayah?” “Ya.” Pramono manggut-manggut. Kabari aku saat dia datang. Aku harus ke kantor sebentar. *** Usai mengantar Tasya ke sekolah, Pramono bergegas menuju kan